#####Chapter 3
Tanpa banyak bicara, ia beranjak pergi dan asal melangkah. Sampai akhirnya ia menemukan tanah kosong dengan dinding tinggi, batas wilayah pesantren tempat ia menumpang tinggal. Ada pintu jeruji besi yang menunjukkan pemandangan sawah hijau yang luas dibaliknya.
Tina dekat pintunya yang tidak terkunci. Tangannya sudah ingin membuka, tapi gemuruh fi dada membuat Tina ragu untuk melakukannya.
"Itu sawah milik pesantren."
Lagi-lagi Tina terkejut oleh suara yang sama.
"Kamu bisa tenangkan diri disana. Aku letakkan gembok sama kuncinya di sarang burung kosong yang paling dekat dengan pohon pisang itu,"
Agam membawa kunci dan gembok pada tempat yang dimaksud, kemudian pergi. Sedangkan Tina memantapkan diri untuk melangkah keluar.
Terpaan angin menyambut dan memberi Tina sebuah ketenangan. Ia pejamkan mata hingga bulir air jatuh membasahi pipi. Meski hanya tiupan angin, Tina merasakan kedamaian dan kenyamanan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.
Ia kembali membuka mata. Langit senja yang membiarkan cahaya keemasan di cakrawala, sawah hijau yang membentang luas bak permadani, gemericik aliran sungai dan cicit burung yang terbang di sekeliling memberikan ketenangan untuknya.
"Harusnya aku bisa setiap saat menikmati ini! Aku ini hidup! Aku manusia! Aku manusia! Aku manusia, bukan binatang menjijikan yang terkurung dalam kehinaan!"Teriak Tina. Ia meluapkan emosi yang selama ini menghimpit dada.
Saung di tepi sawah menjadi ternyaman bagi Tina selama hampir setengah bulan berada di pesantren keluarga Agam. Kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan mulai berkurang. Disana Tina merasa diperhatikan. Ia juga punya teman bicara meski ia sendiri tak banyak bicara, apalagi setelah pembahasan perihal ulat yang disampaikan Agam. Tina selalu berusaha normal. Ia terus belajar untuk mengendalikan diri dan tidak berburu sangka kepada siapapun.
Kini bibir ranumnya sering menguras senyum. Meskipun tidak terlalu lebar. Itu menjadi tads perkembangan yang cukup besar. Seperti saat ini, ketika ia melihat Agam yang sedang mengukur sawah bersama beberapa orang santri.
Pria itulah yang kini menjadi pusat atensi Tina. Pria itu sangat ramah, selalu menegur, mengulas senyum, dan menanyakan kabar setiap kali bertemu. Dari pertemuan-pertemuan awal yang tidak disengaja itu menbuat Tina sering pergi ke sawah hanya untuk memperhatikan Agam yang melakukan aktivitas sore bersama pada santri.
"Lho! Tina!"pria itu kaget dengan kehadirannya. Agam meninggalkan santri dan menghampirinya.
"Udah dari tadi?"tanyanya dan mendapat anggukan.
"Mau bikin sesuatu?"Tina mengalihkan perhatian kepada Agam ketika bertanya, lalu mendapat anggukan darinya. Pria tersebut duduk dengan menjaga jarak.
"Mau bkin jalan buat orang kampung, kalau mau ke masjid biar nggak memutar terlalu jauh,"jawab Agam.
"Kamu baik."
"Tuhan menyuruh kita berbuat baik pada sesama. Bukankah hal seperti itu juga ada di agamamu?"cetus Agam membuat Tina mendengkus.
"Aku tidak mengenal agama dan Tuhan."ujarnya dengan suara datar tetapi cukup membuat Agam terbelalak.
Mereka diam sejenak. Tina tahu kalau Agam memperlihatkannya, tapi ia abaikan.
"Kamu bukan tidak mempercayai adanya Tuhan. Kamu cuma sedang kecewa dengan takdir yang tidak sesuai dengan keinginan,"ujar Agam dan membuat Tina tersenyum masam.
Biner kekaguman pada Agam lenyap dalam sekejap. Ia menatap pria itu sinis dan bertanya.
"Kalau Tuhan memang ada, kenapa Dia tidak menolongku?"
"Dia menolongmu, Tina,"
"Kalau dia memang menolongku, Dia tidak akan membiarkanku jatuh ke dalam kesengsaraan terus-menerus, tanpa jeda!"Ucap Tina penuh penekanan.
"Dia sedang berbicara denganmu, Tina. Dia berusaha memberi pertolongan, tapi kamu mengabaikan-Nya karena terlalu sibuk meratapi nasib."jawab Agam. Tina mendengkus kesal
"Jangan berbicara omong kosong. Aku bisa membencimu karena terlalu naif."cetusnya. Kemudian Agam tersenyum.
"Asal jangan membenci Tuhan yang menciptakanmu, Tina."ujarnya.
"Kamu tidak pernah ada diposisiku, karena itu merasa dunia ini sangar adil."Tina berdiri dan melangkah pergi.
"Tina!"panggilan Agam menghentikan langkah perempuan itu. Tina berhenti tanpa menoleh ke belakang.
"Dia ada! Dia menolongmu. Kamu harus mendekat pada Tuhan agar hatimu tenang."lanjut Agam.
Tina melanjutkan langka, tetapi Agam kembali berseru.
"Kalau Dia tidak menolongmu, kamu tidak akan ada disini, Tina!"teriaknya.
"Pikirkan hal itu baik-baik."
Ia menyukai Agam yang ramah, tapi tidak kali ini. Agam terlalu naif, merasa suci dan merasa pantas menyalahkan Tina. Ia memang terlahir di keluarga muslim, tetapi keadaan yang membuat Tina mengingkari akidahnya.
Belum selesai di satu permasalahan batin Tina hari ini. Menjelang tidur, dua orang pengurus yang biasanya hanya menyapa, kini datang menghampiri. Adiba dan Zania, kini mereka duduk di samping kanan kirinya.
"Dek, tolong jangan salah paham, ya!"ujar Adiba.
"Ini soal kedekatan kamu sama Gus Agam."
"Banyak yang menggunjingkan kamu karena dekat dengan Gus Agam. Mbak takut kalau hal ini sampai terdengar sama Buya Dan Ummi."
"Kedekatan kalian bisa membuat orang lain salah paham, Dek."imbuh Zania.
Zania dan Adiba saling memandang bingung karena tidak ada respon dari perempuan yang duduk diantara mereka.
"Maaf kalau kami membuatmu enggak nyaman, soalnya Gus Agam sudah memiliki calon istri. Namanya Mbak Fina."
Kontan, Tina yang terkejut segera berdiri sampai membuat kursinya terjatuh.
"Ma-maaf!"ujarnya panik dan segan atas tingkatnya. Ia mencengkram erat ujung baju dan mundur sampai menabrak dinding di belakangnya.
"Dek, minum dulu."Zania mengambil botol air mineral yang ada diatas meja.
Dengan bergetar, ia ambil botol itu dan meneguk habis airnya. Dan harus menekan kepanikannya, mencoba mengendalikan diri agar tidak hilang kendali. Atau semua akan semakin membencinya dan memperlakukan seperti orang-orang di lingkungan dulu.
"Makasih!"ia letakkan botol kosong di atas meja, kemudian bergegas pergi ke kasurnya.
Tina menutupi tubuhnya yang menggigil dengan sarung pemberian Zania. Ia pejamkan matanya. Sesaat kemudian, cairan bening mulai berdesakan keluar dari balik kelopak mata
"Apa yang kamu pikirkan, bodoh? Kamu pikir siapa dirimu? Kamu hanya manusia terbuang! Ingat, Tina. Kamu manusia hina. Kamu sudah mari, Kamu sudah mati. Kamu nggak pantes untuk mendapatkan apapun. Tidak akan ada orang lain yang mau mengerti kamu!"meraung dalam hati Tina sejadi-jadinya.
Rutinutas pagi Tina masih sama setiap harinya. Ia menyiram, merawat, memupuk, dan menyapu halaman depan rumah milik pesantren. Pagi ini tidak ada sapaan dari Buya Safri dan Ummi Atika sebab sejak subuh mereka sudah pergi entah kemana.
Sejak Adiba dan Zania memberi tahu fakta menyakitkan tentang hubungan Agam dengan seorang wanita, Tina lebih suka menyendiri. Ia menghindari siapapun terutama pria itu.
"Kenapa selagi ini sudah melamun?"
Tina tidak ingin menoleh sedikit pun pada pria yang sedang bertanya padanya. Agam sedikit mendekat dan kembali bertanya.
"Kamu marah padaku?"ia tidak mendapat jawaban.
"Apa kita harus meluruskan sesuatu untuk meredam kemarahan?"
Lagi-lagi Tina bergeming. Agam tidak bisa berkata lagi. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menyapa Tina. Ia pun beranjak pergi.
"Kenapa kamu menolongku?"Pertanyaan Tina sukses menghentikan langkah Agam. Pria itu berbalik dan memberikan tatapan teduh kepada Tina.
"Takdir Tuhan."
Tina berdecak, tidak menyukai jawaban yang menurutnya tidak masuk akal itu.
"Tuhan sedang menjawab keraguan kepada-Nya. Dia ingin membuktikan kalau pertolongan dari-Nya itu nyata."
Tina tersenyum masam. Ia merasa sangat kesal.
"Jangan bicara tentang Tuhana saat kamu tidak tahu apa yang sudah ku alami selama ini!"
"Tina, apa pun masalahmu, ikhlaskan. Banyak di luar sana yang punya masalah lebih besar dari kita. Tuhan tidak memberikan cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya. Sebagai manusia biasa tidak patut kita membenci-Nya. Dia-"
"Apa kamu pernah di kurung bertahun-tahun, dianggap gila, dijadikan pemasangan nafsu oleh keluargaku? Pernah?"pangkas Tina penuh emosi.
"Berteriak sekeras apapun, meminta tolong sampai suaramu habis tidak akan ada yang menolong. Karena kamu dianggap gila!"bulir bulir air mata perlahan berjatuhan dan membasahi pipinya.
"Delapan tahun! Delapan tahun aku menjalani itu! Tidak terkira berapa kali ayah dan kedua kakak tiriku menyentuh tubuhku! Mereka menjadikanku hina, memperlakukanku seperti hewan untuk memuaskan nafsu bejat mereka!"imbuhnya dengan nafas memburu karena menahan amarah.
Kontan, Agam bergeming. Dia mematung dan terpaku saat mendengar pengakuan Tina.
"Dimana Tuhan? Dimana Dia saat itu? Dimana kekuatan yang kata semua orang bisa melakukan apapun? Dimana ketika aku meminta pertolongan-Nya! Kenapa dia membuatku sehancur ini? Kenapa hah? Kenapa?"teriak Tina. Ia meminta Agam menjawab semua pertanyaannya, agar sedikit saja sesal didadanya terurai dan bisa sedikit membuatnya bernafas lega.
