
Ringkasan
Hidupnya sudah tak berarti. Ia hanya seonggok daging bernyawa bernama Atina tanpa kemerdekaan. Saat mendapat kesempatan untuk melihat dunia luar, ia bertemu dengan orang-orang yang dikiranya baik. Namun tak disangka, ternyata mereka menggiringnya ke dalam lubang kenistaan yang lebih dalam. Dunia tidak baik padanya. Dia tidak bisa mempercayai siapapun. "Hari ini... Atina Faurin akan mati. Aku sudah sangat lelah dengan dunia ini." Atina sudah tersisa dengan keadaan, tetapi tidak ada sedikit pun niat untuk menyelamatkan diri meski bisa berenang. Ia bisa menahan karena sudah merasakan yang lebih menyakitkan dari sekedar kematian. Sedikit lagi, semua rasa itu akan hilang, pikirnya dan ia akan benar-benar bebas sekarang.
#####Chapter 1
Gelap malam kemerlap bintang kini berangsur berganti dengan sinar cerah membuncah semangat. Ada seorang Perempuan pakaian lusuh terbangun. Membuka kelopaknya secara perlahan. Mengerjap beberapa saat sembari melihat sekeliling. Sontak, perempuan itu berteriak kencang, bak seperti orang gila yang keluar Dari rumah sakit jiwa.
Arrgghhh…
Ayah…
Bunda…
Dimana kalian semuanya, aku takut sendiri…
Arrgghhh…
Mentari terus menampakkan sinarnya. Hingga sang rembulan kembali tertidur dalam gumpalan awan. Masih di dalam gubuk, perempuan itu terus terteriak, seperti pasien dengan gangguan mental. Hingga, teriakan kencang berhasil menarik perhatian warga. Para warga yang mendengar teriaan itu, langsung berbondong-bondong sembari membawa alat pukul untuk menghakimi perempuan berteriak itu.
Beberapa warga sudah siap membawa alat mereka sambil berjalan menuju gubuk ringkih dekat pos kampling yang sekarang sedang dibersihkan warga setempat. Hal itu mengejutkan ustadzah muda bernama Hilda sedang membersihkan kaca jendela dengan kemoceng.
"Waduh! Para warga, kenapa berbondong-bondong seperti ingin berdemo?"tanya ustadzah Hilda melihat para warga begitu marah.
"Gini Ustadzah. Kita semua ingin melaporkan, di rumah gubuk dekat pos kampling nomor dua terdengar suara teriakan seorang perempuan yang keras, Ustadzah"keluh warga bernama Adi sembari menepuk-nepuk tongkat baseball untuk mmenghakimi perempuan gila.
"Kita para warga disini terganggu dengan suara itu, Bu Ustadzah"timpal ibu-ibu berhijab berwarna merah muda, bu Jihan.
"Kalian jangan main-"
"AYO KITA HABISI PEREMPUAN ITU…"teriak para warga dengan emosi menggebu-gebu.
"AYO!!..."teriak para warga dengan serentak.
Saat itu, para warga pun berjalan mendekat ke gubuk pos kampling. Yang dimana sumber suara teriakan berasal. Kembali dengan perempuan gila-Tina-sekarang sudah berhenti berteriak. Tetapi entah sebuah kebetulan, yang ditunggu para warga, muncul dengan sendirinya. Tina berjalan keluar dari gubuk dengan berjalan pelan. Melangkah pelan. Menoleh ke arah sekitar sejenak. Hingga suara teriakan warga menghentikan ayunan langkah Tina.
"Berhenti wanita gila!"Teriak para warga.
Tetapi, Tina terus mempercepat langkahnya. Membuat para warga kembali meneriaki Tina dengan sebutan wanita gila.
"Tanggap dia!"
"Dia tidak waras! Dia gadis gila!"
Seruan dan sentakan yang membuat perempuan berambut lurus panjang itu semakin ketakutan. Tetapi, tidak membuat langkahnya terhenti. Tina terus berlari dari kompleks tempat tinggalnya yang sangat luas menuju jalan raya. Ia ingin menjauh dan menghilang dari siapapun yang mengenalnya.
Dengan nafas yang hampir habis, Tina ingin beristirahat. Tetapi, para warga terus mengejar. Seberapapun banyak orang yang menghadang, Tina berusaha terus menerjang dan menerobos menuju jalan raya.
"Masukkan saja orang gila itu ke rumah sakit jiwa"
Sentakan dari seorang yang baru ia lewati yang membuat air mata menetes. Ia menggeleng cepat sambil berbisik lirih. "Aku nggak gila, aku nggak gila dan aku, bukan tawanan rumah sakit jiwa hiks… hiks…"
Beberapa tahun lalu, ia mendapatkan label sebagai ODGJ-Orang Dengan Gangguan Jiwa-dari seseorang psikolog kenalan ayah tirinya. Dia memang sering mengamuk dna hilang kendali, tetapi ia masih waras. Sayangnya, semua tetangga yang menganggapnya gila yang membahayakan.
Tina lahir sebagai anak yatim. Dari cerita sang Mama, saat masih hamil besar, Papa meninggal karena kecelakaan kerja. Mama berjuang sendiri membesarkannya dengan membuka dua minimarket dari uang duka dan pensiunan Papa sebagai pekerja di salah satu pertambangan batu bara. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Mama menjadi sering sakit-sakitan dan sering keluar masuk rumah sakit.
Papa yang seorang anak yang besar di pantai asuhan tidak mempunyai keluarga. Mama adalah keturunan orang Jepang. Karena memilih menikah dengan Papa, ia tidak dianggap anak oleh orangtuanya. Hanya tante Yuri, satu-satunya orang yang peduli dengan Mama. Namun, usai menyelesaikan kuliah di Indonesia, wanita itu kembali ke Jepang. Benar-benar tidak ada saudara yang membantu dan bisa dipercaya jika ada hal-hal buruk terjadi.
Karena hal itu, Sang Mama memutuskan menikah dengan seorang dada beranak dua. Seorang yang memiliki rumah makan besar dikota Malang, tempat tinggal mereka. Tina ingat sekali masa kecilnya sangat indah, dengan sang ayah dan dua kakak laki-laki yang selalu memanjakannya.
Sayangnya, semakin besar, Tina merasakan semua fasilitas yang membuatnya seorang putri dirumahnya berangsur menghilang. Ternyata pengobatan Sang Mama cukup besar dan itu membuat perekonomian keluarganya menurun drastis. Lebih parahnya, tepat usianya yang kedua belas tahun, sang Mama tutup usia. Dunianya benar-benar hancur saat kehilangan orang yang paling penting dalam hidupnya.
"Tina! Pulang, Tina! Bahaya ada diluar!"Seruan Kevin membuyarkan ingatan Tina akan keadaannya saat kecil. Kevin adalah kakak tirinya yang tertua, sedangkan yang kedua bernama Libra. Tina yak mendengarkan apapun di belakang sana. Ia terus berlari sampai akhirnya bisa keluar dari pintu gerbang perumahan.
Ckittt!!!
Suara rem mendadak dari motor sport hitam hampir saja menabraknya.
"Tangkap dia!"seru beberapa orang yang mengejarhya kepada pengendara motor itu.
Hal itu membuat Tina bergegas menaiki motor pria itu.
"Tolong, bawa aku pergi dari sini!"pintanya ketakutan.
"Woy! Turunkan dia! Dia gila dan bisa mencelakakimu!"
Pengendara motor itu dibuat bingung. Ia buka kaca helmnya dan menengok ke belakang.
"Jangan dengarkan mereka! Tolong aku! Kumohon!"Tina menarik jaket pria itu.
"Tolong aku. Kumohon!"pintanya setengah berteriak karena warga sudah semakin dekat.
Akhirnya, pria itu menarik tuas gas motor dan melaju kencang. Sayangnya, tidak terlalu jauh, hanya beberapa kilometer saja.
"Turun!"pria itu memberi perintah kepada Tina dengan tegas.
"Tolong, bawa aku lebih jauh lagi. Kemana pun kamu pergi, aku ikut."Tina mencoba membujuknya.
"Ini sudah cukup jauh."
"Tapi mereka masih bisa mengejarku."
"Kau bisa bersembunyi."
"Aku ingin selamat."pintanya dengan suara rendah dan lirih.
"Orang lain sedang membutuhkanku disana!"Pengendara motor itu meninggikan suara sambil menunjuk sebuah rumah sakit diseberang jalan.
"Tidak bisakah kamu menolongku?"
"Aku sudah menolongmu!"jawab pria itu lirih dan penuh penekanan. Hal itu mampu membuat Tina san turun meskipun disertai tangisan.
Dengan gusar, Tina menatap pria itu dengan helm full face itu. Resah dan takut terus menghantui. Tangannya terus memeluk badannya dengan sesekali mengusap lengan yang tanpa sadar malah menimbulkan luka goreng karena kuku-kukunya.
"Sembunyi ditempat aman. Seseorang akan menolongmu nanti!"ujar pria itu kemudian pergi.
Tina memutuskan bersembunyi di belakang ruku yang terletak tidak jauh dari posisinya tadi. Ia tidak memperdulikan jalanan berbatu, bahkan ketika pecahan beling melukai kakinya yang tidak mengenakan memakai sandal. Ia duduk meringkuk di antara semak-semak. Ia mencoba percaya pada pria dengan gelang hitam di tangan kirinya tadi bahwa akan ada orang yang akan datang menolong.
Walau berjalan cukup lama. Tina hampir putus asa. Ia ingin bebas. Hidupnya sungguh melelahkan karena terpengaruh dalam kepiluan.
"Cari lagi, Mas! Katanya ada di sekitar sini!"
Degub jantung Tina kembali tak karuan saat mendengar seruan itu. Ia semakin erat memeluk lutut, lalu meneggelamkan wajahnya di sana sebelum lengannya berpindah merengkuh bahu dengan erat. Tubuhnya bergetar hebat ketika mendengar derap langkah kaki mendekat. Ingin lari, tapi ia mematung dan terpaku di tempat.
"Mbak..."
Tina mendongak saat mendengar panggilan lembut seorang pria dan kembali tertunduk ketika cahaya dari lampu senter menyorot wajahnya. Ia beringsut menjauh ketika pria itu mendekat.
"Saya Agam, Mbak. Teman saya memberi tahu keberadaan Mbak disini."
Memberanikan diri menatap pria itu. Baju koko dan celana kain membuatnya berpikir pria itu adalah orang baik. Beberapa pria di belakangnya juga memakai sarung dan kopiah.
"Kalau Mbak sedang berada di bawah tekanan, insya allah kami bantu, termasuk mengantarkan Mbak ke kantor polisi-"
"Nggak!"tiba-tiba Tina berteriak. Ia histeris dan kembali menjauhkan diri.
"Polisi nggak akan membantuku! Polisi nggak akan membantuku! Mereka hanya akan membawaku pulang! Aku nggak mau pulang! Lebih baik aku mati daripada kembali pada mereka."
"Tenang, Mbak. Tenang! Kami nggak akan mengantar Mbak kesana."Agam berusaha menenangkan wanita didepannya itu.
"Kita pergi ke tempat tinggal saya saja. Saya tinggal di pesantren. Kalau Mbak mau, ikutilah dengan kami."
Tanpa berpikir dua kali, Tina menerima ajakan tersebut.
