#####Chapter 4
Tak kuasa ia menahan air matanya yang mengalir semakin deras. Kemarahan dan kebencian ia luapkan kepada pria itu.
Agam mendekati Tina. Ia merogoh sesuatu di saku kemeja dan mengeluarkan sebungkus tisu. Ia menyodorkan, tapi perempuan itu hanya bergeming. Dengan rasa iba, Agam mengeluarkan tisu dari bungkusnya, kemudian menyeka pipi Tina.
"Astagfirullahaladzim! Mas Agam!"
Perhatian mereka teralihkan pada sumber suara itu. Ada beberapa orang sedang masuk ke halaman rumah. Hal itu juga menarik perhatian beberapa santri yang lewat disana.
"Fina!"cetus Agam, membuat gadis berhijab lebar itu meneteskan air mata. Ia lekas menghampiri pria tua di antara rombongan itu kemudian tangannya juga mencium tangan dua orang pria yang usianya terlihat lebih sedikit lebih tua dan memberikan sapaan kepada empat orang wanita, termasuk Fira.
"Jadi benar desas desus kedekatanmu dengan wanita asing itu, Gam?"
Perasaan Tina semakin tidak nyaman ketika mendengar tuduhan pria yang baru datang itu pada Agam.
"Astagfirullah, Mas. Itu tidak benar!"bantah Agam. Ia menatap Tina yang masih berdiri di tempatnya.
"Dia Tina-"
"Pernikahan kalian akan berlangsung dalam hitungan hati, tapi kamu menyentuh wanita lain, Gam!"pria yang lain memotong perkataan Agam.
"Itu sama sekali tidak benar, Mas! Aku tidak berani menyentuh apa yang tidak halal untukku. Ini salah paham."Agam terlihat panik.
"Kami jelas-jelas melihatnya!"ujar Fina sembari melirik Tina dengan tatapan penuh luka. Agam menunjukkan tisu ditangannya pada Fina dan menyakinkanya.
"Ini, Dek. Mas pakai ini. Kami nggak bersentuhan."
"Sudah banyak kabar yang masuk ke telinga kami tentang kedekatanmu dengan perempuan yang kamu tolong itu, Nak."pria yang paling tua disana menatap Tian sejenak dan kembali menatap Agam.
"Sebenernya kami ingin bertanya mengenai kabar itu dengan abi dan umimu, tapi kini semuanya sudah terjawab."
"Ustad, saya berani bersumpah tidak berbuat seperti yang dibicarakan orang, apalagi kejadian ini. Ini semua hanya salah paham."Agam menoleh ke belakang.
"Tina, tolong jelaskan pada mereka apa yang sebenarnya terjadi di antara kita."
Tina hanya bergeming, perasaannya benar-benar tidak nyaman. Segala pemikiran buruk mulai menyelimutinya. Banyak mata tertuju padanya, seakan menuduh, menyalahkan dan menghakimi.
"Tina!"panggilan Agam.
"Sudahlah, Abi. Kita akhiri saja. Aku lebih senang adikku menikahi pria yang benar-benar bisa menjaga diri."
"Astagfirullahaladzim, Mas! Aku sama sekali tidak menyentuhnya. Itu hanya rasa empatiku mengetahui gimana dia diperlakukan buruk oleh keluarganya."Agam berusaha memberi alasan.
"Itu hanya alasannya, Gam."pria muda disana memberi isyarat pada keluarganya untuk angkat kaki.
"Ummi! Dek Fina! Tolong dengarkan penjelasanku dulu."
"Fina sakit, Mas,"ujar wanita yang terisak dalam rangkulan ibunya itu.
"Dek, Mas ini hanya iba mendengar masa lalunya. Selama delapan tahun dia dijadikan tempat penampilan nafsu oleh ayah dan kedua kakak tirinya. Dia dikurung dan dianggap gila oleh semua orang untuk menutupi kebejatan keluarganya. Dan dia baru-"
"Kenapa kamu lakukan itu padaku?"Pertanyaan lirih dari Tina menbuat Agam berhenti bicara dan menatapnya.
"Kamu buat semua orang tahu siapa aku."suara Tina hampir tak terdengar. Matanya nanar juga ketakutan melihat orang-orang di sekitar menatapnya.
Meskipun para santri di luar pagar itu menunduk dan lewat, tetapi Tina tahu suara Agam cukup jelas untuk di dengar. Ia pergi ke teras rumah dengan kaki yang gemetar. Ia lepas hijabnya lalu diletakkan di salah satu kursi.
"Tina-"
"Diam!"Tina berteriak dengan melempar sebuah pot plastik ke arah Agam, kemudian berlari meninggalkan rumah lewat pintu samping. Kali ini ia tidak berlari ke arah belakang, tetapi ke arah depan. Ia tidak bisa lewat disana, ia takut dengan pandangan semua orang padanya.
Selama ini, yang tahu kondisinya hanya diri sendiri, tiga manusia biadab itu, dan satu orang yang mengaku sebagai ahli kejiwaan. Namun sekarang lebih banyak lagi yang tahu. Semua orang tidak hanya menganggapnya gila, tapi perempuan hina, rendah dan menjijikan.
Di pesantren, lebih tepatnya di taman belakang sawah pesantren sudah ada tiga orang perempuan yang sedang bertos ria. Ketiga perempuan itu tak lain ialah Dasya, Jihan dan Jenny. Mereka bertiga tengah merayakan kemenangan mereka untuk menghancurkan pernikahan Fina dan Agam melalui umbar isu negatif mengenai Tina di keluarga besar Fina.
"Huff, rencana kita bertiga berhasil guys."ucap Dasya dengan rasa senang.
"Ya, bener banget, Sya. Rencana pertama berhasil."timpal Jenny yang juga bertos gembira.
"Lalu rencana selanjutnya apa guys?""tanya Jihan yang sedari tadi diam.
"Kita lihat dulu situasi kedepan gimana guys. Menguntungkan seperti ini apa nggak. Biar rencananya berjalan mulus. Jadi, sembari kita mengawasi keadaan kita terus mengumpulkan bukti buat menghancurkan si Fina manja itu. Paham guys?"penjelasan Dasya membuat Jihan dan Jenny mengangguk membenarkan.
"Paham, Sya."sahut jihan dan Jenny yang nyaris bersamaan.
"Oke, sekarang kita bubar guys biar nggak ada yang tahu rencana kita."titah Jenny. Kompak mereka bertiga kembali ke ruangan mereka masing-masing.
Dasya, Jihan dan Jenny begitu senang dengan rencana mereka. Berbanding terbalik dengan Tina. Baru saja ia menemukan secercah kebahagiaan, setitik kenyamanan dan segenggam impian. Dunia menyeretnya kembali ke dalam lubang kepedihan dan tidak membiarkan ia mendapatkan ruang untuk merasakan apa yang dinamakan kebahagiaan.
Tina mempercepat langkah keluar dari lingkungan pesantren. Pelariannya terhenti saat ia menemukan mobil pickup dengan bagian belakang yang tertutup terpal. Perempuan tersebut masuk dan meringkuk di antara kontainer plastik yang anyir, seperti bau ikan busuk.
Ia tak tahu seperti apa lingkungan di sekitar tempat itu. Ia hanya ingin pergi dari orang-orang yang sudah mengetahui masa lalunya. Ia tidak ingin dikenal siapapun. Ia ingin menghilang, kemana pun itu. Bahkan saat mesin mobil menyala, ia tidak mempunyai niat untuk turun. Ia rela mobil itu membawanya ke mana pun.
Cukup lama meringkuk di bawah terpal. Mobil yang ia tumpangi berhenti. Dari balik terpal, ia mengintip dan melihat sebuah warung. Di sisi kiri ia melihat perbukitan dan di sebelah kanan sebuah pantai.
Lantas, Tina turun dengan sangat hati-hati. Kemudian melewati pembatas jalan dan masuk wilayah pantai. Angin laut yang tidak pernah ia rasakan lekas menerpanya. Ia lepas gelungan rambutnya hingga tergerai kemudian mulai melangkah memyusuri bibir pantai.
Sepanjang hari, Tina hanya terus berjalan di tepian pantai, mendaki perbukitan kecil, lewatd di tepian karang yang menjorok ke laut. Sampai akhirnya ia tiba di pantai yang sedikit ramai. Ada beberapa orang disana yang menikmati suasana senja di pantai. Tina memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.
Ia duduk menghadap ke laut lepas. Ingin menikmati ketenangan, tetapi orang-orang memberi tatapan tidak menyenangkan.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu? Apa aku terlihat menjijikan?"Tina menekuk kaki, lalu meneggelamkan kepala di antara lututnya yang terlipat.
"Aku lelah, Tuhan! Aku lelah untuk hidup!"teriak Tina yang mampu menarik perhatian orang sekitar. Sekali lagi, ia menangis seorang diri. Dari sekian banyak orang disana, tidak ada satupun dari mereka yang peduli.
