#####Chapter 2
Cukup lama berada dalam sebuah mobil tua, Tina melihat Agam kembali bersama seorang wanita paruh baya. Setelah sampai di pesantren beberapa waktu lalu. Agam pergi meminta izin pada kedua orangtuanya untuk membawa Tina masuk ke lingkungan mereka.
"Assalamualaikum, Nak. Saya ummi Atika, ibunya Agam."sapa ummi Atika. Namun wanita itu tersebut terkejut ketika Tina mendekati dan menggenggam tangannya dengan gemetar.
"Izinkan saya tinggal disini untuk beberapa waktu, Bu!"pinta Tina.
"Kita bicara di dalam, ya?"ajak ummi Atika dengan anggukan kecil.
Tina menuruti kemana Ummi Atika menuntun. Sedangkan Agam berjalan beberapa langkah di depannya. Mereka menyusuri tepian masjid besar yang ada di tengah kompleks pesantren sampai akhirnya tiba di sebuah rumah sederhana dengan banyak tanaman di halamannya.
Tina melihat seorang pria paruh baya berkaos putih dengan sarung coklat tua duduk ketika ia memasuki ruang tamu rumah tersebut. Parahnya terlihat garang tetapi mempersilahkan duduk dengan sopan. Tak lama setelah duduk, seorang gadis datang membawakan teh.
"Diminum dulu, Nak."ujar Ummi Atika.
"Teh buatan Adiba enak. Insya allah bisa buat kamu lebih tenang."
Dengan tangan bergetar Tina meraih cangkir teh itu. Namun, ia letakkan kembali ketika bulir bening berjatuhan ke lantai.
"Maaf,"sesal Tina sembari menundukkan kepala.
Ummi Atika pindah duduk di samping Tina dan menggenggam kedua tangan itu dan bertanya.
"Apa yang terjadi, Nak?"
Tina menggeleng. Ia menatap cangkir teh di depannya masih dengan rasa ketakutan.
"Bisakah saya ti-tinggal disini ta-tanpa memberi alasan apa yang terjadi dengan saya?"tanyanya gugup. Ia mendongak, menatap penuh harap pada semua anggota keluarga itu.
"Kamu bisa tinggal disini tanpa tapi,"ujar pria yang sedari tadi tidak melepaskan pandangan padanya. Tentu saja keputusan itu membuat terkejut orang disekitarnya.
"Benarkah Anda mau menolong, saya?"tanya Tina tidak percaya.
"Siapa nama kamu, Nak?"tanya Ummi Atika.
"Fa-fatina. Anda bisa panggil saya Tina"ujar Tina membuat Ummi Atika tersenyum.
"Beliau suami saya, kamu bisa memanggilnya Buya Safri."
Tina mengangguk dan tersenyum pada pria bernama Buya Safri itu.
"Apa kamu keberatan jika memakai hijab, Nak?"tanya Ummi Atika.
"Ada banyak laki-laki disini yang mungkin tanpa sengaja akan kamu temui. Khawatirnya, penampilan kamu akan menarik pandangan mereka yang sebenernya harus terjaga."jelasnya dan Tina mengangguk setuju.
"Kami punya putra yang belum menikah. Karena itu, kami tidak bisa mengizinkanmu tinggal di rumah ini. Kamu bisa tinggal di asmara putri,"jelas Buya Safri.
Tina mengangguk. Dimana saja, selama ada dalam lingkungan itu dia akan merasa aman.
"Nduk... ajak Mbak Tina ketemu sama Mbak Zania, ya. Besok pagi, Ummi yang akan jelaskan sama pengurus,"pinta Ummi Atika pada Adiba.
"Inggih, Ummi,"
Diantar Adiba, Tina pamit meninggalkan rumah pemilik pesantren itu. Ia mengikuti Adiba menyusuri koridor dan beberapa anak tangga hingga sampai ke gedung asrama putri. Adiba mengetuk salah satu pintu dan seorang wanita yang terlihat lebih tua darinya keluar. Adiba membeir penjelasan singkat dan perempuan itu mengangguk paham.
"Mbak Tina sementara tinggal di sini, ya. Mbak Zania nanti yang akan tunjukkan tempat-tempat di sekitar sini,"jelas Adiba.
"Habis ini Adiba pinjaman baju yang huza Mbak Tina gunakan setelah mandi."
Tina mengangguk dan Adiba beranjak pergi. Perempuan bernama Zania itu mengajak masuk ke dalam ruangan dengan empat rak susun. Ada beberapa perempuan yang seumuran Zania di sana dan tentu saja hal itu membuatnya sedikit canggung.
Hari pertama tinggal di pesantren, Tina habiskan di dalam kamar pengurus asrama putri. Perempuan itu hanya keluar saat mandi pagi dan menjelang Asar. Yang dilakukan perempuan berusia dua puluh tahun itu hanya diam memeluk lutut, menatap kosong lapangan yang tersekat jendela.
Rambut hitamnya yang bergelombang dan hampir menyentuh pinggang dibiarkan terurai karena basah. Ia meninggalkan hijab karena hanya di pakai ketika pergi keluar kamar saja. Piring di atas meja yang berisi sayur bening dan tempe goreng dengan sedikit sambal masih utuh tak tersentuh. Bukan tidak menyukai, tapi Tian sedang tidak berselera untuk makan. Saat ini, ia hanya ingin menenangkan diri dan menikmati hari baru tanpa ada seorang pun tahu pribadi dan masa lalunya.
Banyak orang yang menatapnya aneh serta waspada. Namun, Ummi Atika, Adiba, Ketua pesantren putri dan para pengurus bersikap baik serta membuatnya nyaman berada disana.
Tiga hari berikutnya. Tina masih melakukan hal yang sama. Ia mengurung diri dan tidak mau berbicara dengan siapapun. Yang keluar dari bibirnya hanya ucapan maaf dan terima kasih. Matanya lebih banyak terjaga dibandingkan terlelap. Bukan hal baru, memang seperti itulah Tina melewati waktu.
Didalam keempat, Ummir Atika datang ke kamar Tina seorang diri. Banyak hal yang dibicarakan istri pemilik pesantren itu, di antaranya hal-hal ringan seperti keseharian yang ada di lingkungan. Ia ingin menemani Tina karena nalurinya berkata bahwa Tina berbeda dari gadis lain.
"Apa kamu mau membantu ummi menyiram dan merawat tanaman saya dirumah?"tanya Ummi Atika.
"Setiap jam enam pagi dan jam empat sore."
Tina mengangguk. Tidak ada alasan. Ia hanya merasa harus melakukannya.
Keesokan harinya, tepat pukul enam pagi, Tina mendatangi rumah pemilik pesantren. Ia dianter oleh Zania. Ummi Atika mengajak Tina ke halaman depan, menjelaskan berbagai macam tanaman disana dan cara untuk merawatnya.
Dua hari pertama, Tina ditemani oleh Ummi Atika. Pada hari selanjutnya. Ia sudah mendapat kepercayaan. Setiap hari Tina melakukan aktivitas yang sebenarnya membuat dia tak nyaman. Cara pandang santri putri yang lewat di depan halaman membuat Tina risi.
"Siapa, sih, itu? Kok disitu?"
"Itu cewek bawaan Guz Agam."
Kalimat yang sayup-sayup sering terdengar oleh Tina. Ucapan itu terdengar biasa bagi orang lain, tetapi baginya itu menyakitkan. Ia merasa seperti terdakwa di kursi pesaksian. Tatapan sinis dan curiga yang mereka tujukan kepada Tina membuatnya jatuh dan dan merutuk diri sendiri.
Pagi ini Tina sedang berjongkok diantara tanaman yang menghiasi halaman. Tatapan matanya terlihat kosong dan pikiran penuh dengan banyak hal. Ia mengadu kuku ibu jarinya tanpa sadar membuatnya terluka. Berulang kali ia menghela nafas, berusaha menguasai diri. Namun, perhatiannya teralihkan pada ulat hijau yang tengah menggerogoti daun. Bahunya bergidik ngeri karena geli dan jijik.
"Sedang apa?"
Pertanyaan itu membuat Tina terperangkap. Ia begitu terkejut dan hampir jatuh saat melihat Agam mendekatinya.
"Dia menarik buatmu?"tanya Agam sambil menatap ulat hijau itu. Kontan, Tina menggeleng.
"Menjijikan,"ucapnya lirih. Ia hendak mematahkan ranting kecil tempat ulat itu menempel.
"Kenapa mau dipatahkan?"sergah Agam.
"Dia akan merusak tanaman, Ummi , Mas."
"Dia cuma cari makan, apa salahnya?"sanggah Agam membuat gerakan tangan Tina terhenti.
"Dia memang menjijikkan dan buat orang lain takut, bukan berarti kita punya hak membunuhnya. Padahal dia makhluk yang ikhlas, memberi sesuatu yang indah untuk manusia yang mencacinya."
Tiba-tiba saja, Tina merasa dibandingkan seperti ulat itu.
"Ikhlas seperti apa yang bisa dilakukan makhluk sekecil itu?"sentaknya.
Agam menunjuk beberapa bunga di sekitarnya secara bergantian.
"Kamu suka lihat bunga-bunga itu?"tanya Agam membuat Tina bergeming.
"Bunga itu bisa tumbuh, salah satunya berkat bantuan ulat. Ia yang menurut sebagian orang menjijikan adalah makhluk yang berjuang keras dalam hidup. Ia harus menjadi asing bersama kepompong. Allah menjadikannya lebih baik dalam kesendirian itu. Dia akan punya sayap, menjadi cantik juga menyebarkan serbuk sari hingga membuat beraneka ragam bunga yang memanjakan mata manusia yang sudah menghinanya dulu.
"Diam!"Tina membentuk dengan mata yang telah bersembunyi. Kalimat yang keluar dari mulut Agam seakan sedang mengupas semua tentang dirinya.
"Jangan bicara lagi,"pintanya begitu lirih.
