Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KENCAN PERTAMA

Seumur hidup baru kali ini Arini nonton film digedung bioskop modern XXI. Dulu waktu SD di kampung pernah nonton digedung bioskop bahari bersama teman satu sekolahan. Film sejarah dimasa peralihan pemerintahan  saat itu. 

Pada menit menit pertama Arini fokus mengikuti alur ceritanya. Namun ketika tangan kiri Irfan mulai bergerilya menyusuri paha dan akhirnya mencapai lebatnya hutan yang menutupi kewanitaannya, konsentrasi Arini ke film buyar. 

Ia biarkan tangan Irfan menari sesukanya di lubang kewanitaan nya hingga membangkitkan hasrat, Arini pun tidak mau diam menikmati permainan tangan Irfan,

tangannya ikut beraksi menggapai kejantanan Irfan membuat hasrat birahinya meledak ledak tak tertahankan. 

"Naik yuk." bisik Irfan ditelinga.

Arini mengangguk. 

Pada saat Irfan mulai menggerayangi bagian kewanitaannya tadi, Arini langsung ingat Candra. Tapi entah kenapa tidak ada lagi rasa benci maupun muak. Ia justru merasa kangen akan kenikmatan yang tanpa sengaja ia reguk bersana Candra saat itu. Makanya Arini spontan mengangguk begitu Irfan mengajaknya naik ke hotel.

Sebelum film habis, mereka keluar karena sudah tidak tahan. 

"Jangan di kawasan Gajah Mada mas, nanti ketahuan bunda Dini," ujar Arini setelah mobil keluar dari parkiran. 

"Kenapa emang?"

"Saya nggak masuk kerja, alasannya sakit. Sri yang suruh bilang begitu."

"Tu kan, belum apa apa sudah terpengaruh Sri."

"Bukan begitu mas. Kami sahabatan sudah sejak SD."

Irfan memacu mobiknya ke kawasan tanah abang.

Arini tercengang masuk kamar hotel bintang tiga. Menurutnya sangat mewah dengan fasilitas yang tidak pernah dilihat sebelumnya. 

"Kenapa orang mau bayar mahal mahal cuma mau tidur aja?" tanya Arini. 

"Ini baru hotel bintang tiga Ar, bos bos itu kalau tidur dengan perempuannya malah dihotel bintang lima."

Arini tidak dapat membayangkan bagaimana mewahnya hotel bintang lima. Tentu fasilitasnya pun lebih lengkap dan mewah. 

Pesanan datang, Irfan memberi tip pada karyawan hotel bagian F&B.

"Emang harus ngasih tip gitu ya mas?"

"Tergantung kita juga. Ada kalanya tamu memberi tip sekedar pamer pada pasangan kencannya."

"Kalau mas Irfan?"

"Nggak, aku nggak pengen kamu puji karena memberi tip pada rom boy."

Arini tidak tau kalau sebelumnya Irfan pesan pada F&B agar membubuhkan serbuk perangsang birahi wanita pada minumannya. 

"Kamu minum yang ini aja," kata Irfan.

"Kenapa, kok minumannya nggak sama?"

"Yang ini mengandung sedikit alkohol, kamu mabok nanti."

"O....gitu."

Arini tidak curiga kalau minumannya dibubuhi serbuk perangsang birahi wanita. Setelah menenggak habis minumannya ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya.

Melihat serbuk dalam minuman Arini mulai bereaksi, Irfan menelan dua butir pil entah apa. 

Irfan yang sudah cukup berpengalaman di atas ranjang dengan berbagai macam perempuan, terkejut melihat Arini yang lugu dan terkesan kampungan ternyata dinamis di arena pacuan hasrat  seperti musyafir ditengah gurun pasir menemukan mata air. 

Irfan merasakan ini semata mata bukan karena serbuk tadi, tapi lebih karena dorongan jiwa Arini. 

Irfan merasa gila melihat kenyataan Arini seperti itu. Ia semakin khawatir kalau Arini sampai terpengaruh bersedia melayani tamu vip. Apalagi ia sempat berpikir buruk pada Arini bahwa sebelumnya ia sudah malang melintang didunia seperti ini.

Tapi kemudian Irfan menyesal ketika ia tau kalau ini pertama kalinya Arini berhubungan intim atas dasar suka sama suka. Sebelumnya ia hanya jadi korban kejahatan sexual dibawah ancaman.

"Maafkan aku Ar, kupikir kamu sudah lama kerja di karaoke."

"Nggak apa apa mas. Kebetulan aku juga lagi mod."

Irfan mendekap tubuh Arini dan membelainya penuh kasih sayang. Angan Arini melayang layang menghadirkan bayangan sosok Jono yang seolah tengah membelainya.

"Ar, kerja di star itu cukup rawan bagi perempuan secantik kamu."

"Tapi aku nggak terima tamu vip kok."

"Saat ini kamu bisa bilang begitu. Tapi esok atau lusa , apa kamu bisa menjamin ?;"

"Entahlah mas, kita liat aja perkembangannya nanti."

*****

Bunda Dini percaya kalau Arini sakit, mungkin karena kaget belum pernah kerja sampai larut malam. Bunda Dini hanya pesan lewat WA agar Arini ke dokter atau minum obat kemudian istirahat. 

Nyatanya Arini malah naik kehotel bersama Irfan sampai pukul duabelas malam. 

Sebelum Sri pulang, ia buru buru minta diantar.

"Makasih ya mas, udah berbagi kasih malam ini." kata Arini.

"Aku yang makasih Ar, Makasih banget."

Arini mencium pipi Irfan kemudian turun dari mobil dan masuk gang. Lama Irfan termenung rasa tidak percaya baru saja berbagi kasih dengan perempuan yang beberapa malam ini menggangu pikiran, menghiasi khayalnya. 

Meski pun mata terasa ngantuk, Arini tetap bertahan menunggu Sri yang pulang setengah jam lagi. Tapi sampai Amat nasi goreng pulang Sri belum juga datang, 

Arini akhirnya ketiduran disofa. 

Jam sembilan  Sri baru pulang. Wajah kusut, mata sayu, jalan sempoyongan, dari mulutnya tercium aroma minuman keras.

"Sri, kamu kenapa ?" tanya Arini panik seraya memapah Sri kedalam kamar dan merebahkannya diranjang.

"Ar, tolong orderin bubur ayam didepan polsek setia budi. Sama air jeruk."

Arini panik, tergopoh gopoh keluar kamar mengambil hape order bubur ayam lewat goofood. Kemudian kembali lagi kekamar mijiti betis Sri. 

Beberapa saat berselang pesanan datang, Arini terkejut saat membuka dompet. Perasaan tadi uangnya tinggal 200 ribu, sekarang kok jadi dua jutaan. 

Ia baru ingat, saat mandi di bathroom hotel malam tadi rupanya Irfan memasukkan uang itu. Arini langsung ngechat Irfan.

"Pake ngasih uang segala. Emang aku ini siapa kamu ?" 

"Maaf Ar, kebetulan lagi ada rejeki. Sumpah, aku tidak bermaksud menganggapmu seperti yang lain. Kebetulan aja aku dapat bonus dari bos aku."

Arini kirim emoji tersenyum dan bibir.

"Firasatku benar kan." kata Sri usai mandi setelah konsisinya membaik.

"Firasat apa Sri?"

"Sebenarnya kamu yang disuruh nemani tamu vip bunda. Karena adanya cuma aku ya terpaksa....."

"Tamunya om om ya !?"

"Lebih parah dari pada om om."

"Kakek kakek !?"tanya Arini penasaran.

"Brondong timur tengah. Kalau om om paling seneng mainin barang kita. Kalau brondong timur tengah borongan. Sudah mainnya berserie, pake mabok lagi. Aku aja dicekoki sampe nyungsep."

Arini menggeser tempat duduknya merapat pada Sri. Kemudian memijit mijit punggung Sri.

"Maaf ya Sri. Gara gara melindungi aku kamu jadi begini." ujar Arini dengan mata berkaca kaca. Sri menepuk nepuk pipi Arini.

"Udah jangan dipikir. Gimana , kamu sudah sembuh. ?"

"Siapa yang sakit. Ini kan akal akalan kamu aja."

" O iya. Udah, jangan disitu terus mijitnya."

"Dimana yang pegel Sri?" tanya Arini serius.

"Disini. Bukan pegel lagi, tapi ngilu," kata Sri seraya menunjuk kewanitaannya. Sontak Arini berusaha memijitnya. Sri tertawa mempertahankan  diri agar tidak dicengkeram Arini. 

Mereka berhenti bergumul dilantai beralas ambal turki setelah keduanya terengah engah. 

Arini melihat jam. Pukul satu.

"Aku of hari ini. Mau santai ke mall. Kamu nggak usah masuk dulu, kan masih sakit..." kata Sri sambil tertawa. 

Arinii mendorong tubuh Sri. Mereka saling dorong dan terduduk dilantai sambil tertawa bersama.

"Ton, Anton !" seru Sri melihat Anton melintas didepan kost kostan.

"Napa mbak Sri." tanya Anton takut takut berdiri menempel pada kusen pintu.

"Sini !" bentak Sri.

Anton masuk dan duduk memet dipintu ketakutan melihat Sri garang gitu. 

Dilingkungan kampung tersebut oleh pemuda setempat Sri dijuluki dewi mahakali. Baik hati, dermawan, welas asih terutama pada anak anak seperti Anton yang masih kelas 8 . Tapi bila sudah marah, preman atau tukang pukul sekelas Bobby aja ngacir. 

Makanya ketika dipanggil Sri dengan nada garang tadi Anton ketakutan.

"Bener kamu naksir Arini." tanya Sri.

"Enggak kok mbak siapa yang bilang."

"Ngaku aja. Nggak apa apa. Arini juga masih jomblo kok."

"Sumpah mbak Anton nggak pernah bilang gitu."

"Sri !" bentak Arini. "Kasian anak orang diplokotho gitu." Sri bangkit, menghampiri Anton kemudian merangkulnya seraya ngasih uang duaratus ribu."

"Makasih ya mbak. Tapi bener kok mbak saya nggak pernah bilang gitu."

"Mbak Sri bohong ." kata Arini  iba melihat mata Anton berkaca kaca.

"SPP sudah bayar belum ?" tanya Sri .

"Sudah mbak."

"Ya sudah, pulang sana."

"Makasih mbak."

Sri berdiri termenung diambang pintu mengikuti langkah Anton. Hatinya pilu setiap kali melihat Anton berangkat atau pulang sekolah. 

Anaknya rajin, penurut, tidak pernah mengeluh meski pun serba kekurangan. Dulu sepatunya bodol sebelum dibelikan Sri, tapi ia tetap semangat kesekolah.

Arini bangga Sri banyak berubah. Kepeuliannya pada Anton patut diacungi jempol meski pun ia kini bekerja ditempat itu dan kadang kadang hasrus menemani tamu tidur di hotel.

"Bapaknya kerja apa?" tanya Arini.

"Serabutan. Ibunya buruh nyuci, sampai tiga rumah ia ambil."

Arini menghela nafas panjang ingat orang tua dirumah. 

"Emak sama bapak gimana ya Sri "

"Kamu nggak usah mikir gimana. Sering sering aja kirim uang supaya mereka tidak dihina orang dikampung."

"Iya Sri. Aku jadi ingat saat itu emak mau utang beras seliter diwarung lek Pangat, bukannya dikasih malah diomeli. Emak pulang nangis. Bapak ikutan nangis karena tidak berdaya. Rasanya aku mau bunuh diri saat itu."

"Simpan sakit hatimu itu untuk memotivasi agar hidupmu lebih baik sehingga bisa mensejahterakan orang tua. Aku gitu Ar. Bodo amat apa kata orang. Bodo amat orang mau nyinyir sama kita. yang penting kita tidak minta makan sama mereka, kalau bisa malah ngasih."

Arini hanya mengangguk angguk.

"Jam berapa ini, ayo buruan mandi. Kita santai ke mall."

"Cair ni rupanya."

"Cair tapi ngilunya seminggu baru sembuh."

"Apanya yang ngilu?"

Sri menyekap Arini dari belakang sambil meremas kewanitaan Arini.

"Ni...ni...yang ngilu."

"Sri geli Sri." teriak Arini.

"Kenthir ..!" gerutu Arini sambil berlalu masuk kamar mandi.

Arini belum siap mengenakan pakaian sexy seperti Sri. Ia lebih nyaman dengan pakaian sopan semacam short dress. 

Sri tidak mempermasalahkan itu. Ia memberi kebebasan penuh pada Arini dalam berpakaian. 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel