Pustaka
Bahasa Indonesia

GAIRAH SANG MAJIKAN

164.0K · Tamat
Didit Suryadi
143
Bab
27.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

#Cover from pixabay.com Ayah Arini mengalami kecelakaan jatuh dari tebing setinggi 20 meter dan harus diamputasi. Sejak saat itu ibunya mengambil alih tanggung jawab ayahnya bekerja sebagai buruh tani. Melihat kenyataan itu Arini ikut kakaknya ke Jakarta bekerja sebagai asisten rumah tangga. Baru beberapa bulan ia bekerja, Arini mendapat perlakuan tak senonoh dari majikannya. Tidak tahan diperlakukan layaknya budak sex oleh sang majikan, Arini kabur kerumah kakaknya. Dirumah kakaknya ia kembali mendapat perlakuan tak senonoh oleh kakak iparnya sendiri. Sri, juga, entah kenapa kini be sebagai pemandu lagu di karaoke plus plus.

AktorWanita CantikRomansaMetropolitanKampusKeluargaCLBKDewasaPerselingkuhan

KE JAKARTA

Kereta api senja baru saja meninggalkan stasiun Kebumen. Hati Arini bergemuruh serasa berat meninggalkan orang tua, teman dan Jono, lelaki pertama yang berani menyatakan isi hatinya seminggu sebelum kelulusan sekolah. 

Arini tidak seperti teman teman lain yang punya cita cita setinggi langit. Bisa lulus SMP saja sudah bersyukur. Namun setelah lulus SMP Arini bingung mau ngapain. Sawah sepetak yang selama ini digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari sudah tergadai untuk biaya operasi bapaknya. 

Beberapa bulan lalu bapaknya kecelakaan saat bekerja memanen sarang burung walet di goa naga, Karang Bolong. Bapak jatuh dari ketinggian 20 meter saat memanjat tebing curam. Tubuhnya jatuh menghantam karang. Kedua kaki remuk sehingga harus diamputasi.

Setelah kejadian itu emak  mengambil alih tanggung jawab bapak sebagai kepala rumah tangga. Ia bekerja sebagai buruh tani yang upahnya tidak seberapa. Untung Salbini kakaknya kadang kadang membantu.

Menyadari keadaan ibunya yang semakin renta untuk bekerja seberat itu, Arini berpikir akan mengikuti jejak kakaknya kerja di Jakarta sebagai asisten rumah tangga. Maka,  setelah kelulusan ia berangkat ke Jakarta bersama Salbini.

Suara gemuruh roda kereta seakan mengacau pikiran. Arini masih memikirkan orang tuanya dirumah. 

Selama ini selang emak kerja di sawah ia mengurus bapak serta melakukan pekerjaan dirumah, hingga saat emak pulang semua sudah rapi. 

Sanggupkah emak mengurusi bapak dan pekerjaan dirumah sedang ia sudah kecapaian kerja di sawah. 

Pikiran Arini terombang ambing. Ada rasa sesal meninggalkan mereka. Tapi bila bertahan dirumah, upah emak tidak cukup untuk untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Kadang beras aja ngutang diwarung.

Kereta api melintas stasiun Purwokerto. Arini menyandarkan punggung dan memejamkan mata, namun tidak bisa tertidur seperti Salbini. Mau ngobrol sekedar menyiasati waktu, penumpang di kanan kirinya juga tertidur.

Arini bangkit, berjalan menyusuri gerbong kereta. Di pintu ia melihat seorang gadis seusia dirinya duduk di tangga memeluk tas. Mungkin ia tidak dapat tempat duduk atau entah karena apa.

"Sendirian mbak?" tanya Arini.

"Iya." jawab gadis itu sambil melempar senyum dan memberikan tempat disampingnya.

"Ke Jakarta juga?"

"Ya. Bekasi. Saya kerja disana."

"Sudah lama kerja di Bekasi?"

"Baru dua tahun."

Gadis asal Cilacap yang memperkenalkan diri bernama Desi itu kemudian cerita kalau ia ijin pulang karena kakeknya meninggal. Biasanya ia pulang setahun dua kali. 

"Sudah pengalaman juga. Kalau saya baru pertama kali ke Jakarta."

"Hati hati Ar, kata orang kejamnya ibu tiri masih kejam ibu kota."

Arini tertawa, ia pikir Desi bergurau. Ternyata ia benar benar memperingatkan agar Arini hati hati. Tidak mudah percaya pada siapa pun meski majikan sendiri.

"Emang kenapa?"

"Aku tidak bisa menjelaskan secara detail. Pokoknya pegang aja pesanku itu. Aku tidak ingin berburuk sangka."

"Makasih ya."

Kereta api terus melaju menyibak kegelapan menyisir persawahan yang mulai berubah fungsi menjadi gudang gudang terutama dipinggir jalan provinsi.

Arini tidak kuasa menahan kekagumannya begitu sampai di Jakarta. Ibu kota yang selama ini hanya bisa dilihat melalui layar teve tetangga, kini ada dihadapan mata.

Gedung gedung menjulang tinggi mungkin dua kali pohon kelapa di desanya. Taman taman kota tertata rapi dengan beraneka macam bunga serasa sejuk dipandang mata. 

Dengan PAD tertinggi Jakarta mampu menggaji ASN nya hampir dua kali lipat dari daerah lain. Namun masih saja terdengar suara sumbang bahwa hidup di Jakarta ini keras, penuh persaingan dan sebagainya.

Dari stasiun Senen Salbini langsung mengantar Arini kerumah majikannya di daerah Benhil, Jakarta selatan. 

Tante Mona adalah pengusaha cafe beranak dua sedangkan suaminya karyawan disebuah perusahaan swasta sebagai sales manager. 

Tante Mona terpesona melihat kecantikan Arini. Meski pun saat itu ia tampak norak mengenakan stelan rok seragam SMP dan atasan kuning. Namun itu tidak dapat mengelabui mata untuk tidak berkata bahwa Arini memang cantik mempesona. 

"Beneran ini adik kamu Sal," tanya tante Mona tak percaya. 

"Bener tante. Kami cuma berdua dirumah."

"Mudah mudahan betah disini ya."

Salbini pamitan, ia harus ke rumah majikannya yang masih ada hubungan saudara dengan Candra, suami Mona. 

Basa basi tante Mona yang berlebihan dimaknai oleh Arini sebagai keramah tamahan. Maklum Arini belum mengenal betul karakter orang kota apalagi kota besar seperti Jakarta. Segala sesuatu hanya dilihat dari sisi realisnya dan bukan berdasar analis.

Rumah tante Mona memiliki empat kamar, satu diantaranya kamar khusus untuk asisten rumah tangga. Arini tercengang masuk kamarnya. Luasnya dua kali luas kamarnya di kampung, itu pun dulu untuk berdua dengan kakaknya.

Kamar itu sudah dua bulan tidak ditempati sejak pembantu  terdahulu pulang kampung dan tidak kembali lagi entah kenapa. 

Arini duduk termenung dibibir ranjang, ia tidak percaya kalau berada di Jakarta  karena hatinya masih tertinggal di kampung.

Tante Mona kembali kekamar Arini membawa setumpuk pakaian bekas miliknya dulu.Meski pun dibilang bekas oleh tante Mona namun bagi Arini masih sangat bagus. Bahannya juga halus, lembut tidak seperti pakaian pakaian yang dibelikan ibunya selama ini. Kasar, panas bila dipakai.

"Mandi dulu Ar, baru sarapan. Tante sudah order lewat go food. Tante jarang masak. Sibuk, tapi banyak malesnya juga sih."

Arini tersenyum. Begini rupanya kalau orang banyak uang, pikir Arini. Pengen makan apa aja tinggal pencet hape. Kalau dikampung pengen telor aja paling cuma beli tiga butir. 

Arini berlalu kekamar mandi. Beberapa saat berselang ia keluar mengenakan blus warna biru muda pas ukuran tubuhnya. Tante Mona ingat saat belum ada Azka dan Lola. Blus itu juga pas seperti itu. Tante Mona menghampiri Arini yang duduk menghadap meja.

"Nanti rambutnya dipotong segini ya !?" kata tante Mona seraya menyisir rambut Arini yang hitam pekat. Arini hanya mengangguk.

"Tante biasa sarapan nasi uduk  seperti ini Ar, dikampung kamu ada nggak nasi uduk!?"

"Mungkin ada di Kebumen kota."

"Emang jauh rumahmu dengan kota.?"

"Sekitar 15 km tante."

Pukul sepuluh Lola pulang dari sekolah diantar ojek langganan. Ia  diantar jemput sejak kelas satu dulu. Sekarang Lola sudah kelas dua.

"Siapa dia mi ?" tanya Lola.

"Mbak Arini, penggantinya mbak Wanti."

"Cantik ya mi. Cantikan mbak Arini ketimbang pacar bang Azka."

"Hus ! Masih kecil nggak boleh pacaran !" hardik maminya.

"Temen Lola masih kecil punya pacar nggak dimarahi maminya."

"Ngebantah aja kalau diomongi. Sudah sana ganti baju dulu. Itu apa, slem lagi. Hari hari yang dibeli cuma slem. Coba beli makanan."

"Bosen makanan di kantin cuma itu itu aja."

Tante Mona geleng geleng kepala.

"Anak anak sekarang pinter membantah, pinter mendebat."

"Sama aja tante, dikampung juga gitu."

Usai sarapan Arini membersihkan meja kemudian  menghampiri Lola yang asyik main slem sementara tante Mona terima telpon dari rekan bisnisnya.

"Ganti baju dulu ya  sayang, nanti main lagi." kata Arini dengan penuh kasih sayang. Lola diam aja digantikan baju tanpa memberontak. Tante Mona heran, padahal paling susah nyuruh Lola ganti baju. Wanti aja  kewalahan memaksa  Lola ganti baju.

"Sarapan yuk. mbak suapi ya ?" tanpa menunggu komentar Lola, Arini mengambil nasi uduk dan mulai menyuapi Lola. Sementara Lola tetap fokus pada slemnya.

"Bagus banget...bikin apa itu?" puji Arini membesarkan hati Lola.

"Ini lope mbak." jawab Lola dengan ejaan seenak udelnya sendiri.

"Mbak Ar punya pacar nggak ?"

"Enggak."

"Lola punya, namanya Edward. Tapi orangnya  gendut. Nggak apa apa ya mbak gendut ?"

"Enggak, yang penting baik hati dan pintar." kata Arini sambil menahan tawa.

Usai magrib Azka nyelonong aja masuk kamar Arini.

"Main mobile legen yuk mbak." ajak Azka. 

"Mbak nggak bisa."

"Nanti Azka ajari deh."

"Bentar ya ,mbak  ngajari Lola ngerjain PR dulu, nanti baru sama Azka."

Mereka bertiga tidak menyadari kalau diam diam Mona dan Candra nguping pembicaraan mereka. Mona heran, anak anak bisa sedekat itu dengan Arini yang baru saja dikenalnya. Ia baru menyadari kalau selama ini pendekatannya pada anak kurang tepat. Ia senantiasa menuntut agar anak anak menuruti apa kata orang tua sehingga dengan Lola saja ia selalu bertentangan. 

Arini punya metode sendiri dalam melakukan pendekatan dengan anak anak. Ia ikuti kemauan anak sambil mengisi apa yang kita mau. Semua ia lakukan dengan kasih sayang tanpa tekanan apalagi ancaman.

Mona mengangguk angguk pada Candra sambil mengacungkan ibu jari.

"Kita harus belajar dari Arini, pi." kata tante Mona sambil berlalu menuju ruang tengah.

 "Jauh ya sama kakaknya. Salbini sama anak anaknya mas Toro galak lho mi. Tapi mbak Ria diam aja gitu." kata Candra.

"Mudahan dia betah disini ya."

"Itu tugas mami."

"Kok tugas Mami, papi juga dong."

Candra berlalu keruang tengah nyetel TV. Mona masuk kamar Arini bergabung dengan anak anak. 

"Pintarnya anak mami....belajar apa?"

"Ngerjain PR, mami sih nggak pernah ngajari Lola."

"Mami kan sibuk cari uang untuk Lola," ujar Arini memberi pengertian pada Lola.

"Kalau nyari uang untuk Lola kenapa Lola cuma dikasih goceng untuk jajan."

Mona geleng geleng kepala. Arini menahan tawa.

"Lola, Azka, sudah, sudah. Mbak Ar mau istirahat." kata Mona tegas seraya menarik tangan mereka berdua.

"Ala.....Azka mau ngajari mbak Ar main mobile legen," gerutu Azka.

"Besuk aja ya, sekarang tidur," ujar Arini.

Mereka patuh pada Arini. Ini membuat Mona heran.  Ia bertanya tanya dalam hati, jangan jangan Arini punya semacam pengasihan yang bisa membuat siapa saja mematuhi omongannya.

Pernah di forum arisan ibu ibu membicarakan soal pengasihan tersebut.  Hampir semua ibu ibu ingin memilikinya agar suami patuh. 

Mona penasaran ingin menanyakan hal itu pada Arini namun lampu kamarnya sudah padam. Di kamarnya Mona membahas soal pengasihan yang mungkin dimiliki Arini. Setidaknya ia tau soal itu.

"Mana mungkin Arini tau soal itu," kata Candra.

Mona diam, tapi ia masih penasaran soal itu.