Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PENYAKIT KELAMIN

Sri memang suka selengekan dimana pun ia berada. Saat ia dan Arini nongkrong di cafe blok m square, Sri yang mengenakan mini span korea sengaja duduk agak terbuka  sehingga jadi perhatian lelaki yang ada disitu atau orang orang yang melintas.

"Sri ! sikap dudukmu itu lho. Nggak enak pada ngeliatin kesini." kata Arini.

"Biarin. Copot copot tuh mata nggak bisa liat barang beginian."

Tiba tiba seorang anak perempuan umur limatahunan menghampiri Sri.

"Tante, duduknya yang sopan dong. Malu tau ." kata anak itu polos orang orang menahan tawa mendengar bocah itu.Sri tersipu malu.

"Busyet dah, gue di skak mati ama orok." gerutu Sri.

Arini juga ikut menanggung malu. 

"Makan tu omongan orok !" ujar Arini kesal.

Langkah Sri tertahan saat ia mau masuk butik karena lengannya ditarik Arini.

"Mau ngapain ?" tanya Arini.

"Liat liat baju."

"Liat liat, ada yang bagus trus beli "

"Ya begitulah."

"Sri, pakaianmu sudah banyak. Mending beli emas. Kamu juga kan yang ngomong, sering sering kirim uang emak. Disini kita harus sering sering nabung juga."

"Repot juga kalau jalan sama nenek nenek ," gerutu Sri sambil berlalu melewati butik, sesekali ia masih menoleh kesamping. 

"Malam tadi kamu dapat berapa emang ?"

"Cuma sepuluh. Brondong timur tengah mang pelit. Lain sama Jepang apa Korea."

Saat mereka menuruni escalator, Jimmy nelpon Sri. Mereka berdua kemudian  buru buru keluar dari mall sementara Jimmy menunggu ditempat parkir.

"Teman sekampung." kata Sri memperkenalkan Arini.

"Kerja di star juga ?" tanya Jimmy pada Arini. 

"Iya."

"Oke,  kemana kita?."

"Antar aku pulang dulu. Nggak enak mengganggu kalian." ujar Arini.

Jimmy memaksa Arini ikut, tapi ia tetap mau pulang. Sri tidak bisa menahan, ia tau watak Arini. Kalau dia bilang tidak ya tidak.

Jimmy dan Sri baru dua bulan ini jadian, ia belum tau banyak soal pacarnya itu. Jangankan kerumahnya, tempat kerjanya aja Sri belum tau. Tapi Sri senang, Jimmy bisa menghargai privasi pacarnya. Ia juga menyadari kalau pacarnya seorang pemandu lagu jadi wajar bila sering berinteraksi dengan lelaki. 

Jimmy tidak pernah memaksa Sri meluangkan waktu untuk mereka berdua. 

"Sudah makan ?" tanya Jimmy setelah ngantar pulang Arini.

"Belum. Ayam taliwang bali di WTC Sudirman aja." kata Sri. 

Meski pun yang bayar pasti Sri, Jimmy masih aja menggerutu dalam hati karena disana satu porsi 200 ribu. Coba makan bakso apa mie di Benhil aja. Atau sate di Karet Gusuran. Kan bisa hemat dikit.

Kalau soal makanan atau pakaian, selera Sri tidak bisa disaingi teman teman di star. Itu yang membuat Jimmy kadang uring uringan. Gimana kalau kebiasaan seperti ini sampai keterusan sedang popularitas di star kian tahun kian menurun. Sekarang aja posisinya bakal tergeser oleh Arini. 

Usai makan Sri menunduk menahan kepala dengan kedua tangan.

" Kenapa Sri !?"

"Tau ni, kepala tiba tiba hanyut."

Jimmy terkejut begitu memegang kening Sri, panasnya tinggi.

"Kedokter aja kita mumpung masih jam segini." kata Jimmy.

Sri melotot. Ia paling anti mendengar kata dokter. Dulu saat sekolah, bila mendengar mau ada suntikan masal Sri kabur duluan lewat belakang meski pun harus memanjat pagar setinggi dua meter. Ia mending kelahi sama guru dari pada disuntik.

"Antar pulang aja ." kata Sri tanpa ekspresi. Kalau sudah begitu Jimmy tidak berani membantah. Ia mengantar pulang Sri.

"Mbak Sri, mbak Sri !" 

Anak anak kampung yang saat itu lagi gitaran dan nyanyi nyanyi bersama Arini, serentak diam demi melihat Sri dipapah Jimmy. 

"Sri panasnya tinggi. Tapi nggak mau kubawa kedokter." ujar Jimmy. 

Arini panik, membawa Sri masuk kamar sementara Jimmy duduk diruang tamu.

"Dia musuhan sama dokter. Sudah minum obat belum ?"tanya Arini.

"Belum sih."

Arini keluar nyuruh anak anak beli paracetamol sama ampicillin.

"Ar, aku cabut dulu ya. Mau kerumah paman."

Jimmy masuk kamar pamitan sama Sri, kemudian berlalu keluar

"Apa yang dirasa ?"

"Kepala berat. Wajah serasa bengkak. Mata berat."

"Anak anak lagi kusuruh beli obat. Bikinkan teh ya ?"

Sri mengangguk. 

"Mbak Ar...ni obatnya."

"Makasih ya. Ambil aja kembaliannya. Sekarang gitarannya didepan mbak Puput aja ya. Mbak Sri sakit."

"Ya mbak ."

Anak anak pindah tempat. Arini kembali masuk kamar ngurusi Sri.

"Bangun dulu minum obat. Baru baring lagi."

Melihat ketulusan Arini mempedulikan dirinya Sri menyesal ingat dulu pernah membencinya gara gara Jono.

"Ar, maafin aku ya. Aku dulu pernah benci sama kamu gara gara Jono."

"Yang sudah lewat ya sudah. Sekarang pikirkan gimana caranya besuk bawa kamu kedokter soalnya ini bukan demam biasa. Kamu bilang wajah serasa bengkak, itu efek lain dari sesuatu entah apa, yang tau dokter."

"Jangan kedokter dong Ar, please."

"Terus maunya kemana, dukun!?"

Sri pasrah. Kalau sampai besuk panasnya tidak turun juga mau tidak mau. 

Keesokan harinya panasnya semakin tinggi. Saat buang air kecil rasanya perih, seperti ada yang terluka diarea kewanitaannya. Sri semakin panik begitu melihat dipakaian dalamnya ada bercak nanah yang berbau.

"Ar, aku kena penyakit kelamin." ujar Sri.

"Hah ! Malam tadi kamu naik sama Jimmy ?"

"Enggak. Rasanya sudah sebulan ini aku tidak masuk vip apalagi naik."

"Terus, dapat dari siapa kamu ?"

Sri berpikir mengingat ingat.

"Astaga...!, paling brondong timur tengah sialan itu."

"Jadi, gimana sekarang . Mau kedokter apa ke dukun !?"

"Emang ada dukun yang bisa ngobati penyakit ini."

"Ada. Dukun cabul. "

Sri manyun. Tadinya ia berharap beneran ada dukun yang bisa mengobati penyakit itu. Jadi tidak perlu ke dokter. 

*****

Selama menunggu antrian di klinik Sri merasa tersiksa oleh perasaannya sendiri. Pasien pasien lain yang memperhatikannya seakan mencibir padanya, masih muda sudah kena penyakit kotor seperti itu. Padahal sebenarnya mereka tidak tau Sri sakit apa.

"Suka ganti ganti pasangan ya mbak ?" tanya dokter pada Sri.

"Kadang kadang dok."

"Coba menikah aja kalau memang sudah tidak tahan. Dari pada begini, nanti imbasnya kemana mana. Untung mbak segera berobat selagi masih fase awal, memang bakteri treponema pollidium ini tidak terlalu aktif tapi kalau dibiarkan akan menjadi latent. Nah kalau sudah begitu akan menyerang kelenjar getah bening. Masuk ke pembuluh darah sampai ke otak. Akibatnya bisa  kelumpuhan atau kebutaan."

Meski pun Sri tidak begitu paham akan penjelasan dokter yang panjang lebar, namun kata terakhir dari dokter membuat ia merinding. Kelumpuhan atau kebutaan akibat rusaknya jaringan sungsum tulang belakang.

"Sudah punya pacar kan ?" kata dokter sambil memberikan resep.

"Sudah dok."

"Ajak pacarmu nikah sebelum terjadi masalah yang serius."

"Ya, dok."

Sri meninghalkan ruang periksa sambil memaki maki diri sendiri. Ternyata cuma begini rasanya disuntik. 

"Gimana, sudah suntik?"

"Sudah. Sialan, kirain sakit."

"Siapa bilang sakit, itu cuma ada dalam pikiranmu."

Arini mengamati empat macam obat yang ditebus. Ia mengenali salah satunya, anti biotik.

"Ar, aku ngeri, nggak mau lagi nemeni tamu bule."

"Emang apa kata dokter?"

Sri menceritakan apa yang dikatakan dokter. 

"Aku nggak ngerti, kata dokter bakteri trepolium atau apa, mboh nggak jelas."

Mendengar kata bakteri Arini kaget. Karena biasanya bakteri itu bisa menular.

"Aku nggak mau tidur sama kamu. Aku tidur diluar aja sampai kamu sembuh," kata Arini.

"Kenapa?"

"Bakteri kan bisa menular,  pakaian dalammu yang kena noda itu buang!" kata Arini dengan nada tinggi sambil melotot membuat Sri takut.

"Iya, iya, nggak usah pake melotot gitu napa, aku takut tau."

Arini tersenyum, menggeser pantatnya agar kebih dekat dengan Sri. Kemudian menyentuh  kening Sri dengan punggung tangannya. 

"Panasnya turun sudah. Wajah masih terasa bengkak?"

"Nggak sih, cuma mata yang masih berat."

Arini minta agar Sri tidak usah kerja dulu. Biar ia yang masuk sendirian. 

"Kamu yakin berani sendirian!?" tanya Sri masih meragukan Arini. 

"Kan ada alaram untuk Bobby dan Jack bila ada apa apa."

"O iya."

Hape Sri dan Arini serta karyawati lain di SK terhibung dengan hape Bobby dan Jack. Bila keadaan darurat tinggal aktifkan lokasi, tekan tombol alarm, mereka berdua segera datang.

Arini mengakui bunda Dini memperhatikan keamanan anak buahnya 24 jam nonstop. Ia rela menggaji Bobby dan Jack untuk itu, makanya semua anak buah merasa  aman terutama saat melayani tamu naik ke hotel.

Setelah minum obat, Sri tertidur. Arini pesan pada Jannet, tetangga sebelah agar liat liat Sri selama ia kerja.

"Sri sakit apa Ar?"

"Kecapean kali, kemarin ia pulang pagi."

"Cair dong," gurau Jannet yang berprofesi sebagai ladys disebuah diskotiq.

Sebenarnya Jannet pengen ikut Sri di SK, tapi ia tidak pede bila nyanyi. Suaranya cempreng seperti kaleng kosong.

Selain Jannet, ada sekitar tujuh wanita yang berprofesi serupa di blok kost kostan haji Soleh. 

Di blok lain yang lebih sederhana kebanyakan karyawati sebuah konveksi, rata rata usia mereka lebih muda ketimbang Jannet. 

Arini sempat heran, kenapa haji Soleh mengijinkan perempuan perempuan seperti Sri atau Jannet menyewa tempat kost mereka.

"Ini Jakarta Ar, segala sesuatu diukur dengan uang. Akhlak nomor 27, yang penting tertib," jawab Sri saat Arini tanya soal itu.

Sri benar, meski pun tempat kost atau barak lain dihuni orang orang berbagai profesi bahkan ada yang berprofesi sebagai pemandu lagu atau ladys yang notabene  negativ, tapi mereka semua bisa tertib. Satu dengan yang lain bisa saling menjaga tidak pernah ada macam macam.

Pukul dua siang Arini berangkat diantar Purnomo, tukang ojek yang mangkal dimuara gang. 

"Sri mana Ar?"

"Sakit mas, kemarin pulang pagi."

Ojek meluncur langsam. Orang orang senang pada Pur karena setiap membawa penumpang selalu hati hati tidak ngebut.

"Aku sudah sering ingatkan pada Sri, jangan memforsir tenaga apalagi jam kerja kalian malam, rawan penyakit. Sekarang belum terasa, nanti umur 40 keatas kalian baru merasakannya."

Arini baru sadar kalau ia bakalan tua juga. Sampai di SK, setelah menyimpan tas dalam loker, ia bercermin sambil meraba raba pipinya. Sepuluh tahun lagi kamu akan keriput, katanya dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel