Bab 2 Pemuas Hasrat Sang Paman
"Maaf, Indri. Paman tidak sengaja," kata Paman Hadi, salah tingkah.
"Tidak apa-apa, Paman," jawab Indri, tersenyum tipis.
Sejak saat itu, ketegangan seksual di antara mereka semakin meningkat. Paman Hadi seringkali mencuri pandang ke arah Indri, dan Indri pun tak segan-segan menunjukkan pesonanya. Suatu malam, saat mereka sedang menonton televisi di ruang tamu, Paman Hadi tak sengaja menyentuh tangan Indri. Indri tidak menarik tangannya, dan mereka berdua merasakan sengatan listrik yang sama.
"Indri, Paman..." Paman Hadi terdiam, tak berani melanjutkan kata-katanya.
Indri menatap Paman Hadi, matanya berkilat nakal. "Paman apa?" godanya.
Paman Hadi menelan ludah, gugup. "Paman... Paman merasa..."
"Merasa apa, Paman?" desak Indri, semakin menggoda.
Paman Hadi meraih tangan Indri dan menggenggamnya erat. "Paman merasa... tertarik padamu, Indri," bisiknya.
Indri tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Paman Hadi. "Aku juga, Paman," bisiknya.
Mereka berdua berciuman, ciuman yang penuh gairah dan kerinduan. Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, melupakan sejenak Bibi Sarah yang sedang sakit. Mereka tenggelam dalam hasrat yang membara, menikmati keintiman yang terlarang.
Malam itu, di tengah kesunyian rumah yang ditinggalkan Bibi Sarah di rumah sakit, Indri dan Paman Hadi hanyut dalam gelombang hasrat yang tak tertahankan. Ciuman mereka semakin dalam, semakin panas, seolah-olah ingin melampiaskan semua kerinduan yang selama ini terpendam.
"Indri," bisik Paman Hadi, suaranya serak. "Kamu tahu, Paman tidak seharusnya melakukan ini."
"Aku tahu, Paman," jawab Indri, suaranya bergetar. "Tapi aku tidak bisa menahan diri."
Mereka berdua tahu bahwa apa yang mereka lakukan salah. Bibi Sarah, istri Paman Hadi, sedang berjuang melawan penyakitnya di rumah sakit. Namun, hasrat mereka terlalu kuat, mengalahkan segala logika dan moralitas.
Paman Hadi membawa Indri ke kamar tidur, tempat di mana ia dan Bibi Sarah biasa berbagi kehangatan. Di sana, di atas ranjang yang sama, mereka melepaskan semua hasrat mereka, menyatu dalam keintiman yang terlarang.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, melupakan sejenak Bibi Sarah yang sedang sakit. Mereka tenggelam dalam hasrat yang membara, menikmati keintiman yang terlarang.
Keesokan paginya, mereka bangun dengan perasaan bersalah yang menghantui. Mereka tahu, apa yang mereka lakukan tidak bisa dibenarkan. Namun, mereka juga tidak bisa menyangkal perasaan mereka yang begitu kuat.
"Kita tidak bisa terus seperti ini, Paman," kata Indri, menatap Paman Hadi dengan mata berkaca-kaca.
"Paman tahu, Indri," jawab Paman Hadi, menghela napas panjang. "Tapi Paman tidak tahu bagaimana cara menghentikannya."
Mereka berdua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Mereka tahu, hubungan mereka adalah sebuah kesalahan. Namun, mereka juga tahu, mereka tidak bisa begitu saja mengakhiri apa yang telah mereka mulai.
Selama beberapa hari berikutnya, mereka terus menjalin hubungan terlarang mereka. Mereka mencuri-curi waktu untuk bertemu, memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Mereka tahu, cepat atau lambat, rahasia mereka akan terbongkar. Namun, mereka tidak bisa menahan diri.
Suatu hari, Bibi Sarah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Ia masih lemah, tetapi kondisinya sudah membaik. Indri dan Paman Hadi menyambutnya dengan perasaan campur aduk. Mereka senang Bibi Sarah sudah sembuh, tetapi mereka juga takut rahasia mereka akan terbongkar.
Bibi Sarah tidak curiga sama sekali. Ia berterima kasih kepada Indri dan Paman Hadi karena telah merawatnya selama ia sakit. Ia tidak tahu, di belakang punggungnya, mereka telah mengkhianatinya.
Indri dan Paman Hadi merasa semakin bersalah. Mereka tahu, mereka harus mengakhiri hubungan mereka. Namun, mereka tidak tahu bagaimana caranya. Mereka terjebak dalam jaring-jaring kebohongan dan pengkhianatan, tanpa tahu bagaimana cara keluar.
***
Setelah kepulangan Bibi Sarah, Indri merasa ada perubahan dalam dirinya. Awalnya ia merasa bersalah dan takut, tetapi lama-kelamaan ia mulai menikmati perhatian dan hasrat Paman Hadi. Paman Hadi, dengan segala pesonanya, berhasil membuatnya merasa diinginkan dan istimewa.
Malam itu, saat Bibi Sarah sudah tertidur pulas, Paman Hadi kembali mengendap-endap ke kamar Indri. Indri menyambutnya dengan senyuman menggoda, tidak ada lagi rasa takut atau ragu.
"Paman, aku merindukanmu," bisik Indri, menarik Paman Hadi ke dalam pelukannya.
"Aku juga merindukanmu, Indri," jawab Paman Hadi, mencium Indri dengan penuh gairah.
Malam itu, mereka bercinta dengan penuh nafsu. Paman Hadi, yang sangat lihai di ranjang, membuat Indri melayang dalam kenikmatan. Indri pun tidak kalah bersemangat, ia membalas setiap sentuhan Paman Hadi dengan penuh hasrat.
"Paman, kamu sangat hebat," bisik Indri, terengah-engah.
"Kamu juga hebat, Indri," jawab Paman Hadi, mencium Indri dengan lembut.
Setelah bercinta, mereka berdua terbaring lemas di ranjang, menikmati kebersamaan mereka. Indri merasa bahagia dan puas, seolah-olah ia telah menemukan cinta sejatinya.
Keesokan harinya, Indri merasa lebih percaya diri. Ia tidak lagi merasa bersalah atau takut. Ia merasa memiliki kekuatan, karena ia tahu Paman Hadi sangat menginginkannya. Ia mulai berani menggoda Paman Hadi di depan Bibi Sarah, seolah-olah ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang lebih berkuasa.
Paman Hadi pun semakin terobsesi dengan Indri. Ia merasa Indri adalah wanita yang sempurna, yang bisa memuaskan semua hasratnya. Ia mulai mengabaikan Bibi Sarah, dan lebih sering menghabiskan waktu dengan Indri.
Suatu hari, saat Bibi Sarah sedang pergi berbelanja, Paman Hadi mengajak Indri bercinta di siang bolong. Mereka bercinta di kamar Bibi Sarah, di atas ranjang yang biasa mereka gunakan. Indri merasa sangat berani, seolah-olah ia sedang menantang Bibi Sarah.
"Paman, ini gila," bisik Indri, tetapi ia tidak menghentikan Paman Hadi.
"Aku tahu, Indri," jawab Paman Hadi, "tapi aku tidak bisa menahan diri."
Mereka bercinta dengan penuh gairah, tidak peduli dengan risiko ketahuan. Indri merasa sangat puas, ia merasa telah memenangkan permainan.
Setelah bercinta, mereka berdua berbaring di ranjang, menikmati kemenangan mereka. Indri merasa sangat bahagia, ia merasa telah menemukan kebahagiaannya. Ia tidak peduli dengan Bibi Sarah, ia hanya peduli dengan dirinya sendiri dan Paman Hadi.
***
Hari itu, setelah mengantar Indri pulang dari sesi pencarian kerja yang kurang membuahkan hasil, Paman Hadi merasakan gejolak hasrat yang tak tertahankan. Indri, yang juga merasakan hal yang sama, menatap Paman Hadi dengan tatapan menggoda.
"Paman, aku lelah," kata Indri, suaranya berbisik.
"Aku juga, Indri," jawab Paman Hadi, matanya berkilat nakal.
Tanpa banyak bicara, Paman Hadi membelokkan mobilnya ke sebuah penginapan yang tampak sepi. Mereka berdua masuk ke kamar, dan tanpa membuang waktu, mereka melepaskan semua hasrat yang terpendam.
Indri, yang biasanya tampak malu-malu, kali ini sangat agresif. Ia mencium Paman Hadi dengan penuh gairah, meremas tubuhnya dengan liar. Paman Hadi, yang terkejut dengan perubahan Indri, merasa sangat bergairah.
Mereka bercinta dengan penuh nafsu, dua kali di atas ranjang dan sekali di kamar mandi. Indri tidak memberikan kesempatan bagi Paman Hadi untuk bernapas. Ia terus menyerang, membuat Paman Hadi kewalahan tetapi sangat menikmati.
Di kamar penginapan yang remang-remang, Indri dan Paman Hadi melepaskan hasrat birahi yang membara. Indri, dengan gerakan lincah, membuka kancing kemeja Paman Hadi, lalu mencium dadanya yang bidang. Paman Hadi mendesah, tangannya meremas pinggul Indri, menariknya lebih dekat.
Mereka berciuman dengan penuh gairah, saling melumat dan menggigit bibir. Indri mendorong Paman Hadi ke ranjang, lalu menindihnya. Ia membuka sabuk celana Paman Hadi, lalu menurunkan celananya. Paman Hadi menatap Indri dengan mata penuh nafsu, tangannya meraba tubuh Indri yang montok.
Indri membuka blusnya, lalu melepas bra-nya. Buah dadanya yang ranum menyembul, membuat Paman Hadi semakin bernafsu. Ia mencium dan mengisap buah dada Indri, membuatnya mendesah nikmat. Indri membuka roknya, lalu melepas celana dalamnya. Paman Hadi menatap tubuh Indri yang telanjang bulat, lalu menciumnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Mereka bercinta dengan penuh nafsu, saling melampiaskan hasrat yang terpendam. Indri bergerak lincah di atas Paman Hadi, membuatnya mendesah kesakitan dan kenikmatan. Paman Hadi membalas gerakan Indri, membuatnya semakin liar.
Setelah mencapai klimaks pertama, mereka berdua beristirahat sejenak. Indri lalu mengajak Paman Hadi ke kamar mandi. Di sana, mereka bercinta di bawah pancuran air hangat. Indri duduk di pangkuan Paman Hadi, lalu bergerak naik turun, membuatnya mendesah keras. Paman Hadi mencium leher Indri, lalu menggigitnya pelan.
Mereka mencapai klimaks kedua di kamar mandi, lalu kembali ke ranjang. Di sana, mereka bercinta lagi dengan posisi yang berbeda. Indri berbaring telentang, lalu mengangkat kakinya. Paman Hadi menindih Indri, lalu memasukkan miliknya ke dalam Indri. Mereka bergerak bersama-sama, menciptakan gesekan yang nikmat.
Setelah mencapai klimaks ketiga, mereka berdua terkapar lemas di ranjang. Mereka berpelukan, menikmati kebersamaan mereka. Indri merasa sangat puas, ia merasa telah memiliki Paman Hadi sepenuhnya.
"Paman, aku sangat mencintaimu," bisik Indri, mencium pipi Paman Hadi.
"Aku juga sangat mencintaimu, Indri," jawab Paman Hadi, mencium kening Indri.
Mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka adalah salah, tetapi mereka tidak bisa menghentikannya. Mereka telah terjerat dalam jaring-jaring hasrat dan kebohongan, dan mereka tidak tahu bagaimana cara keluar.
