Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Pemuas Hasrat Sang Paman

Setelah mendapatkan pekerjaan, Indri merasa lega. Ia akhirnya bisa mandiri dan lepas dari bayang-bayang Paman Hadi. Ia menyewa sebuah apartemen kecil di pusat kota, tidak jauh dari tempat kerjanya. Indri sengaja tidak memberitahukan alamat barunya kepada Paman Hadi, karena ia tahu Paman Hadi akan terus mengganggunya.

"Indri, kenapa kamu tidak mau memberitahu Paman alamat barumu?" tanya Paman Hadi, suaranya terdengar kesal di telepon.

"Paman, aku hanya ingin mandiri," jawab Indri, berusaha bersikap lembut. "Aku sudah punya pekerjaan, jadi aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Tapi, Paman khawatir denganmu," kata Paman Hadi. "Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"

"Paman tidak perlu khawatir," kata Indri. "Aku akan baik-baik saja."

Indri menutup telepon, menghela napas panjang. Ia tahu Paman Hadi tidak akan menyerah begitu saja, tetapi ia bertekad untuk tidak memberitahukan alamatnya. Ia ingin memulai hidup baru, tanpa bayang-bayang Paman Hadi.

Sementara itu, Bibi Sarah mulai curiga dengan perubahan sikap Paman Hadi. Ia memperhatikan bahwa Paman Hadi sering melamun, dan tidak lagi bergairah saat diajak bercinta.

"Mas, kenapa kamu akhir-akhir ini aneh?" tanya Bibi Sarah, suatu malam. "Kamu tidak lagi seperti dulu."

"Aku tidak apa-apa, Sayang," jawab Paman Hadi, berusaha tersenyum. "Aku hanya lelah dengan pekerjaan."

"Tapi, kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya," kata Bibi Sarah. "Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?"

"Tidak ada apa-apa, Sayang," kata Paman Hadi. "Aku hanya sedang banyak pikiran."

Bibi Sarah menatap suaminya dengan curiga, tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi ia tidak tahu apa itu.

Indri mulai menikmati kehidupan barunya. Ia merasa bebas dan mandiri. Ia bertemu dengan teman-teman baru, dan mulai melupakan Paman Hadi. Namun, bayang-bayang Paman Hadi masih menghantuinya. Ia takut Paman Hadi akan menemukannya, dan memaksanya untuk kembali ke pelukannya.

Suatu malam, saat Indri sedang bersantai di apartemennya, teleponnya berdering. Ia melihat nama Paman Hadi di layar, dan hatinya berdebar kencang.

"Halo, Paman," sapa Indri, berusaha bersikap tenang.

"Indri, Paman tahu kamu berbohong," kata Paman Hadi, suaranya terdengar marah. "Paman tahu kamu menyembunyikan sesuatu."

"Paman, aku tidak berbohong," kata Indri. "Aku hanya ingin mandiri."

"Mandiri? Kamu tidak bisa mandiri tanpa Paman," kata Paman Hadi. "Kamu membutuhkan Paman."

"Aku tidak membutuhkan Paman," kata Indri, suaranya bergetar. "Aku bisa hidup tanpamu."

"Kamu tidak akan bisa," kata Paman Hadi. "Kamu akan kembali kepada Paman, cepat atau lambat."

Indri menutup telepon, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa takut dan marah. Ia tahu Paman Hadi tidak akan pernah melepaskannya. Ia harus mencari cara untuk melarikan diri, sebelum Paman Hadi menemukannya.

***

Di tempat kerja barunya, Indri menemukan teman-teman yang hangat dan menyenangkan. Dian, dengan kecantikannya yang memukau dan pembawaannya yang ceria, selalu berhasil membuat suasana menjadi hidup. Sementara Arya, pria yang tampan dan lembut, diam-diam menaruh hati pada Indri.

"Indri, kamu tahu kan Arya itu naksir berat sama kamu?" bisik Dian, saat mereka sedang makan siang di kantin kantor.

"Ah, masa sih?" jawab Indri, tersipu. "Dia kan memang baik sama semua orang."

"Ayolah, Indri. Jangan pura-pura tidak tahu," kata Dian, menggoda. "Tatapan matanya itu lho, jelas-jelas menunjukkan kalau dia suka sama kamu."

Indri tersenyum tipis, tetapi hatinya berdebar kencang. Ia memang merasakan ada sesuatu yang berbeda dari sikap Arya. Arya selalu perhatian dan berusaha melindunginya. Namun, bayang-bayang Paman Hadi masih menghantuinya, membuatnya ragu untuk membuka hati.

Suatu sore, Arya mengajak Indri minum kopi di sebuah kafe dekat kantor. Mereka mengobrol tentang pekerjaan, hobi, dan impian masing-masing. Indri merasa nyaman berada di dekat Arya, ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri.

"Indri, aku... aku senang bisa mengenalmu," kata Arya, suaranya terdengar gugup.

"Aku juga senang mengenalmu, Arya," jawab Indri, tersenyum.

"Sebenarnya, aku..." Arya berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku suka sama kamu, Indri."

Indri terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia menatap mata Arya, dan melihat kejujuran di sana. Ia merasa hatinya luluh, tetapi ia juga merasa takut.

"Arya, aku... aku juga suka sama kamu," jawab Indri, suaranya bergetar. "Tapi, aku..."

"Kamu kenapa, Indri?" tanya Arya, khawatir.

"Aku... aku belum siap untuk menjalin hubungan," kata Indri, menundukkan kepala. "Aku masih punya masalah yang harus aku selesaikan."

"Aku mengerti, Indri," kata Arya, meraih tangan Indri. "Aku akan menunggu sampai kamu siap."

Indri menatap Arya, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa beruntung memiliki teman seperti Arya, tetapi ia juga merasa bersalah karena belum bisa membalas perasaannya.

"Terima kasih, Arya," kata Indri, tersenyum tipis.

"Sama-sama, Indri," jawab Arya, mengusap air mata di pipi Indri.

Indri merasa lega karena sudah jujur kepada Arya, tetapi ia juga merasa sedih karena belum bisa memberikan hatinya sepenuhnya. Ia tahu, ia harus segera menyelesaikan masalahnya dengan Paman Hadi, agar ia bisa membuka hati untuk Arya.

Di sisi lain, Paman Hadi semakin frustrasi karena Indri menghindarinya. Ia terus berusaha menghubungi Indri, tetapi Indri tidak pernah menjawab teleponnya.

***

Suatu hari yang mengejutkan, Paman Hadi berhasil menemukan perusahaan tempat Indri bekerja. Ia datang dengan dalih urusan bisnis, tetapi sebenarnya ia ingin mencari Indri. Saat itu, Indri sedang rapat di ruang lain, sehingga ia tidak melihat kedatangan Pamannya. Namun, Paman Hadi bertemu dengan Dian, teman dekat Indri.

"Selamat siang, saya Hadi," kata Paman Hadi, mengulurkan tangannya.

"Selamat siang, saya Dian," jawab Dian, menjabat tangan Paman Hadi. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya sedang mencari Indri," kata Paman Hadi. "Apakah dia ada di sini?"

"Indri sedang rapat, Pak," jawab Dian. "Apa ada pesan yang ingin disampaikan?"

"Tidak, terima kasih," kata Paman Hadi. "Saya akan kembali lain waktu."

Paman Hadi pergi, tetapi ia tidak melupakan Dian. Ia terpesona oleh kecantikan dan keramahan Dian. Ia merasa Dian adalah pengganti yang sempurna untuk Indri.

Beberapa hari kemudian, Paman Hadi kembali ke perusahaan Indri. Kali ini, ia sengaja mencari Dian. Ia mengajak Dian makan siang, dan mereka mengobrol tentang banyak hal. Dian terkesima oleh pesona Paman Hadi, ia merasa Paman Hadi adalah pria yang sangat menarik.

"Dian, kamu tinggal di mana?" tanya Paman Hadi, saat mereka sedang makan siang.

"Saya tinggal di apartemen dekat sini," jawab Dian.

"Kamu tinggal sendirian?" tanya Paman Hadi.

"Iya," jawab Dian.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan malam di apartemenmu nanti malam?" tanya Paman Hadi.

"Boleh saja," jawab Dian, tersenyum.

Malam itu, Paman Hadi datang ke apartemen Dian. Mereka makan malam bersama, lalu menonton film. Mereka berdua merasa sangat nyaman satu sama lain.

"Dian, kamu sangat cantik," kata Paman Hadi, menatap Dian dengan mata penuh nafsu.

"Terima kasih," jawab Dian, tersipu.

Paman Hadi mencium Dian, ciuman yang penuh gairah. Dian membalas ciuman Paman Hadi, mereka berdua larut dalam hasrat yang membara.

Malam itu, mereka bercinta dengan penuh nafsu. Paman Hadi merasa Dian adalah wanita yang sempurna, yang bisa memuaskan semua hasratnya. Dian pun merasa bahagia, ia merasa telah menemukan cinta sejatinya.

Mereka berdua memulai hubungan gelap, seperti dulu Indri dan Paman Hadi. Mereka mencuri-curi waktu untuk bertemu, memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Mereka tahu, hubungan mereka adalah salah, tetapi mereka tidak bisa menghentikannya.

Sementara itu, Indri merasa lega karena Paman Hadi tidak lagi mengganggunya. Ia tidak tahu bahwa Paman Hadi telah menemukan penggantinya. Ia merasa bebas dan mandiri, ia merasa telah memulai hidup baru.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel