Bab 1 Pemuas Hasrat Sang Paman
Seorang wanita muda dan cantik serta bertubuh padat berisi dengan buah dada segar dan bentuk bokong indahnya bernama Indri usia 23 tahun yang baru saja menyelesaikan studi S1 nya dan bermaksud mencari kerja di luar Kota . Karena di kota tempat ia tinggal bersama ortunya sangat sulit dapat kerjaan. Akhirnya atas saran ibunya agar ia segera menuju kota tempat tinggal Bibi Sarah dan Paman Hadi maka Indri segera bertolak menuju rumah mereka.
Malam itu, Indri tiba di depan rumah bercat putih gading dengan pagar besi tinggi. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, ia berharap bisa segera merebahkan diri di kasur empuk. Namun, keanehan menyambutnya. Rumah itu tampak sunyi, padahal lampu teras menyala terang. Berkali-kali Indri menekan bel, namun tak ada jawaban.
"Aneh, ke mana Bibi dan Paman?" gumam Indri sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul sebelas malam. Ia mencoba menelepon Bibi Sarah, tapi panggilannya tak diangkat.
Tiba-tiba, Indri mendengar suara-suara aneh dari balik dinding kamar samping. Suara desahan pelan, lalu erangan tertahan. Penasaran, ia mengintip melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Di dalam remang cahaya lampu tidur, Indri melihat siluet dua tubuh telanjang yang bergerak-gerak di atas ranjang.
Jantung Indri berdebar kencang. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi. Bibi Sarah dan Paman Hadi nampaknya sedang bercinta. Indri merasa canggung dan sedikit malu. Ia segera menjauh dari jendela, berharap mereka tidak menyadari kehadirannya.
Beberapa saat kemudian, suara-suara itu mereda. Tak lama, lampu kamar menyala, dan pintu depan rumah terbuka. Bibi Sarah muncul dengan rambut sedikit berantakan dan wajah memerah. Ia tampak terkejut melihat Indri.
"Indri? Ya ampun, kamu sudah datang? Bibi kira kamu besok baru sampai," kata Bibi Sarah, berusaha menutupi rasa malunya.
"Iya, Bi. Tadi dapat bus yang lebih cepat," jawab Indri, sedikit canggung.
Paman Hadi menyusul keluar, hanya mengenakan celana pendek. Tubuhnya yang atletis dan tegap tampak berkilau oleh keringat. Indri terkesima melihatnya. Paman Hadi terlihat sangat macho dan tampan.
"Wah, Indri sudah besar ya. Makin cantik saja," kata Paman Hadi, tersenyum ramah.
Indri tersipu. Ia tahu Paman Hadi hanya berbasa-basi, tapi pujian itu membuatnya salah tingkah. Ia melirik Bibi Sarah, yang tampak sedikit cemburu.
"Ayo masuk, Indri. Kamu pasti capek. Bibi sudah siapkan kamar untukmu," kata Bibi Sarah, mengalihkan perhatian.
Indri mengikuti Bibi Sarah masuk ke dalam rumah. Ia masih bisa merasakan tatapan Paman Hadi yang mengamatinya dari belakang. Tubuh Indri yang padat berisi dengan buah dada segar dan bentuk bokong indahnya, jelas menarik perhatian Paman Hadi.
"Maaf ya, Indri. Tadi Bibi sama Paman lagi... ya, begitulah," kata Bibi Sarah, sambil terkekeh kecil.
"Tidak apa-apa, Bi. Indri ngerti kok," jawab Indri, berusaha bersikap santai.
Di dalam hati, Indri merasa sedikit geli. Ia tidak menyangka akan menyaksikan adegan intim antara Bibi dan Pamannya sendiri. Namun, ia juga merasa sedikit terkesan dengan Paman Hadi. Tubuhnya yang kekar dan tatapannya yang tajam membuatnya merasa sedikit berdebar.
Malam itu, Indri tidur di kamar tamu dengan pikiran bercampur aduk. Ia tidak sabar untuk memulai petualangan barunya di kota ini, tapi ia juga penasaran dengan hubungan antara Bibi Sarah dan Paman Hadi. Ada sesuatu yang misterius dan menggoda di antara mereka, dan Indri merasa tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh.
***
Pagi itu, mentari pagi menerobos masuk melalui celah gorden kamar Indri. Aroma kopi dan roti bakar menyeruak, membangkitkan selera. Di meja makan, Bibi Sarah telah menyiapkan sarapan.
"Selamat pagi, Indri. Tidur nyenyak?" sapa Bibi Sarah, tersenyum hangat.
"Pagi, Bi. Nyenyak sekali," jawab Indri, duduk di kursi.
"Ini, sarapan dulu. Bibi buatkan roti bakar kesukaanmu," kata Bibi Sarah, menyodorkan piring.
"Terima kasih, Bi," ucap Indri, mulai menyantap sarapannya.
Tiba-tiba, Paman Hadi muncul di ambang pintu kamar Indri. Ia hanya mengenakan celana pendek, memamerkan dada bidang dan perut six-pack-nya. Indri sedikit terkejut, tapi ia berusaha bersikap biasa.
"Pagi, Indri. Wah, sudah sarapan ya?" sapa Paman Hadi, melangkah masuk.
"Pagi, Paman," jawab Indri, sedikit gugup.
Paman Hadi duduk di tepi ranjang Indri, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Indri bisa merasakan tatapan itu tertuju pada dadanya yang terbalut pakaian dalam tipis, dan pahanya yang mulus. Ia merasa risih, tapi juga sedikit terpesona.
"Indri, kamu kan mau cari kerja. Kebetulan Paman ada kenalan di beberapa perusahaan. Mau Paman antar?" tawar Paman Hadi, matanya tak lepas dari tubuh Indri.
"Benarkah, Paman? Wah, terima kasih banyak," jawab Indri, senang.
"Tentu saja. Kamu kan keponakan kesayangan Bibi," timpal Bibi Sarah, tersenyum.
"Nah, kalau begitu, nanti kita berangkat setelah kamu selesai sarapan," kata Paman Hadi, berdiri dan keluar dari kamar.
Indri merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tidak menyangka akan mendapat tawaran seperti ini. Ia tahu, Paman Hadi memiliki maksud tersembunyi, tapi ia juga tidak bisa menolak bantuannya.
"Bi, Paman baik sekali ya," kata Indri, menatap Bibi Sarah.
"Iya, Pamanmu memang orang yang baik. Dia selalu membantu orang lain," jawab Bibi Sarah, tersenyum.
Setelah sarapan, Indri bersiap-siap. Ia mengenakan blus putih dan rok span hitam, menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Ia sengaja berdandan sedikit lebih rapi, berharap bisa membuat Paman Hadi terkesan.
"Wah, cantik sekali keponakan Bibi ini," puji Bibi Sarah, saat Indri keluar dari kamar.
"Terima kasih, Bi," jawab Indri, tersipu.
Paman Hadi sudah menunggu di ruang tamu. Ia mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan, terlihat sangat rapi dan tampan.
"Sudah siap, Indri?" tanya Paman Hadi, tersenyum.
"Sudah, Paman," jawab Indri, mengangguk.
Mereka pun berangkat. Di dalam mobil, suasana terasa sedikit canggung. Paman Hadi beberapa kali melirik Indri, membuat gadis itu merasa tidak nyaman.
"Indri, kamu punya pengalaman kerja apa saja?" tanya Paman Hadi, memecah keheningan.
"Saya baru lulus kuliah, Paman. Jadi, belum punya pengalaman kerja," jawab Indri.
"Oh, begitu. Tapi, kamu kan punya gelar sarjana. Itu sudah modal yang bagus," kata Paman Hadi, tersenyum.
"Iya, Paman. Semoga saja saya cepat dapat kerja," harap Indri.
"Pasti dapat. Kamu kan cantik dan pintar. Banyak perusahaan yang pasti mau menerima kamu," kata Paman Hadi, menatap Indri dengan tatapan menggoda.
Indri hanya tersenyum tipis. Ia tahu, Paman Hadi sedang merayunya. Ia merasa tidak nyaman, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berharap, Paman Hadi tidak bertindak terlalu jauh.
***
Senja merayap, menyelimuti kota dengan warna jingga saat Indri dan Paman Hadi tiba di rumah. Mereka terkejut mendapati Bibi Sarah terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya menggigil.
"Ya Tuhan, Sarah!" seru Paman Hadi panik, menghampiri istrinya.
Indri segera memeriksa suhu tubuh Bibi Sarah. "Demamnya tinggi sekali, Paman. Kita harus segera bawa ke rumah sakit," ujarnya cemas.
Tanpa membuang waktu, mereka membawa Bibi Sarah ke rumah sakit. Setelah pemeriksaan, dokter mengatakan Bibi Sarah mengalami infeksi dan harus dirawat inap. Indri dan Paman Hadi bergantian menjaga Bibi Sarah di rumah sakit, bersama dengan orang tua dan kakak perempuan Bibi Sarah, Bibi Dini.
Selama Bibi Sarah dirawat, Indri dan Paman Hadi seringkali hanya berdua di rumah. Suasana rumah yang sepi dan kehadiran mereka yang hanya berdua menciptakan keintiman yang tak terduga. Pada hari kedua Bibi Sarah dirawat, Paman Hadi mulai sering mengintip Indri yang sedang mandi. Jantungnya berdebar kencang saat melihat tubuh Indri yang basah dan menggoda.
Indri menyadari kehadiran Paman Hadi, tapi ia tidak menunjukkan ketidaksenangan. Sebaliknya, ia merasa sedikit tertantang. Ia mulai berpakaian perlahan, seolah-olah ingin memamerkan lekuk tubuhnya. Paman Hadi terpaku, matanya tak lepas dari Indri.
