Perang-perangan-3
Geiska melongo, menerima kotak itu dan melihat sekitar. Tak ada orang yang patut dicurigai sebagai pemberi seporsi bubur ayam di tangannya ini. Semuanya makan dengan khidmat sementara dirinya masih mematung. Akhirnya, Geiska memilih untuk pergi dari kedai, menuju Kafe Bonita tempat ia dan Sandra janjian.
Sesampainya di Bonita, ia tak menemukan sosok Sandra, meski di ruangan lain. Geiska pun memilih tempat duduk yang menghadap pintu masuk dan dinding kaca kafe, agar Sandra bisa langsung melihatnya dari luar. Seorang pelayan mendekat, menanyakan apa pesanan Geiska, pelayan yang berdiri di sisi kirinya itu membawa kertas dan pena.
"Ada lagi yang dipesan?" tanyanya dengan suara bas.
"Tidak ada." Geiska tak melihat pelayan kafe. Hanya terfokus pada siapa yang membelikannya bubur ayam di sana.
"Baik, silakan menunggu."
Geiska tak menjawab dengan suaranya, bahkan tak mendongak, hanya sebuah anggukan dan membuka kotak putih itu, ada sebungkus kecil kuah berwarna kuning yang pekat dan sendok dari plastik berwarna putih. Bubur ayam dengan taburan daun bawang, kacang, cakwe, suwiran ayam, dan bawang goreng serta kecap itu benar sesuai seleranya. Geiska tertegun, menatap bubur ayam yang benar sesuai seleranya seolah orang itu tahu kesukaannya.
Ini hanya kebetulan, benar ini hanya kebetulan. Mungkin ada orang yang punya selera sama dan memberikannya lebih padaku. Ya, anggap saja begitu.
Kopi yang diantar pelayan di mejanya adalah Lattè Vanilla, dengan gambar foam yang mirip dengan wajahnya.
Aku tidak memesan seperti ini.
Geiska tertegun kembali, yang ia pesan benar kopi rasa vanila tapi tidak dengan pilihan gambar dirinya.
081555337xxx
Selamat pagi, Geiska. Selamat makan dan kuharap kau suka kopinya.
Sontak Geiska bangkit dari duduknya, matanya nyalang menatap seisi kafe dan kakinya melangkah ke meja kasir, mencari pegawai yang mengantar kopinya.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya kasir wanita yang berdiri di balik meja.
"Di mana? Di mana pelayan yang mengabtar kopi di meja sembilan?" tanya Geiska.
"Ada di dalam, sebentar. Rio! Ada yang mencari."
Seorang pria bertubuh kurus dan tinggi mengenakan seragam Kafe Bonita keluar.
"Kamu yang mengantar meja nomer sembilan tadi? Kopiku?"
"Nomer sembilan? Saya yang mengantar, ada apa, Mbak?"
"Saya tidak memesan kopi dengan gambar foto saya di foam-nya. Kenapa itu berbeda dengan pesanan saya?"
"Saya memang yang mengantar pesanan tapi, pesanan itu sudah ada di meja saat teman saya ini ke kamar mandi."
Geiska ke balik meja melihat postur tubuh pelayan pria di depannya, berbeda dengan pria yang tadi menanyakan pesanannya tadi, suara bas yang terdengar serak, mereka orang berbeda. Geiska memundurkan langkahnya.
"Ada apa sih, Rio? Pesanannya mbak ini salah apa gimana?"
"Enggak tahu."
Mereka orang berbeda, suara pria pelayan yang mengenakan seragam itu tak sama dengan yang bertanya padanya tadi. Dia memakai sepatu pantofel hitam dan celana hitam.
Geiska melangkah keluar, seingatnya pria itu memakai sepatu hitam saat dirinya terpaku pada bubur gratisnya. Di luar kafe Bonita ada banyak orang lalu-lalang, ada yang bersergam sekolah, pekerja kantoran, buruh pabrik dan lainnya. Geiska mendesah melihat isi pesan dari aplikasi perpesanan di ponselnya.
Apa mungkin pria itu Elang, Si Pengirim Paket? Kue itu, paket, bubur, kopi dan lainnya dari Elanh? Astaga, aku diikuti orang yang tak kukenal!
Geiska kembali ke dalam, dihampiri oleh dua pegawai yang bertanya padanya tadi. Tapi, Geiska tak mempermasalahkannya lagi, ia pun duduk di meja nomer sembilan. Jarinya hampir saja mengetik pesan, berisi keberatannya atas semua apa yang dilakukannya. Tapi, Geiska mengurungkannya, tak mau menanggapinya.
"Geiska! Selamat ulang tahun! Duh, maaf ya, Ge. Aku telat, tadi ada telepon dari mama suruh anter dokumen ke kantor pos." Sandra datang menghampiri Geiska yang menyendokkan sesuap bubur ayam ke dalam mulutnya. Sandra mencium kedua pipi Geiska dan memeluknya erat.
Geiska mengangguk, dan menelan suapan kecilnya sambil membalas pelukan Sandra. "Tak apa, San. Terima kasih. Santai saja. Oh ya, kamu belum kupesankan minuaman."
"Yee, aku yang mau traktir kamu harusnya aku yang bilang gitu ya! Mas, mas!" Sandra pun memanggil pelayan kafe.
Sementara Geiska memakan buburnya dengan khidmat. Tak ada pesan datang dari nomor yang sama lagi, entah kapan, yang jelas pesan itu datang setiap hari tanpa ia pinta.
"Ge, tumben beli bubur ayam? Kayaknya enak tuh!"
"Mau?" tawar Geiska.
"Ah, enggak deh, ada daun bawangnya banyak pula, aku enggak suka." Sandra melihat isi buku menu dan mulai memesan.
Geiska tersenyum, di antara pelanggan bubur ayam, dialah mungkin pelanggan paling aneh, meminta ekstra daun bawang dan bawang goreng yang renyah dan gurih. Karena biasanya orang akan meminta ekstra suwiran ayam dari pada daun bawang.
Geiska menatap ke arah pintu masuk kafe, karena memang ia duduk menghadap sana. Sementara Sandra bercerita tentang kampus, mata Geiska melihat pelanggan datang. Seorang pria bertubuh tinggi dan punya wajah teduh, tersenyum padanya tipis, sementara Geiska mengira dialah sosok Elang, tapi segera ia tepis ketika senyuman itu untuknya.
"Ge, ingat ya nanti ada jam kelasnya Pak Devito, kamu jangan sampai telat loh. Nanti dia ngamuk dan hukumannya tahu sendiri." Sandra mengingatkan Geiska.
Mata Geiska menatap sosok yang berada di belakang pria berwajah teduh, meliriknya ketika lewat dan duduk di meja seberang. Pria berpakaian hitam itu duduk dan menoleh pada Geiska. Tatapannya tajam dan seangkuh malam.
Tepukan Sandra di tangan Geiska menyadarkannya, "Aku bicara sama kamu loh, kamu lihatin apa sih?"
Sandra melihat apa yang dilihat Geiska, hanya ada deretan meja kosong yang berakhir dinding bergambar menarik pelanggan. Tak ada yang aneh.
Geiska menoleh, tak ada pria yang duduk di meja sebelah, kosong. Matanya melihat ke arah pria yang berwajah teduh di depan kasir, memesan satu cup kopi dan membawanya pergi setelah membayar. Dia sendirian. Geiska menghela napasnya, ia kerasa aneh pagi ini.
Di luar, Silas menawarkan kopinya pada pria di sebelahnya, yang langsung dapat tatapan tajam.
"Gadis itu bisa melihatku?" tanya pria di sisi Silas, berjalan bersisian.
Silas menyeruput kopinya, "Tidak juga, hanya kebetulan saja. Euforianya begitu terasa, sangat kental dan begitu besar."
Pria di sisi Silas berhenti berjalan, membiarkan Silas meninggalkannya. Silas berjalan masuk ke mobilnya menyetir menuju tempat pertemuan dengan koleganya, Karasi Corp. Hanya butuh melewati persimpangan jalan dan sampai. Bagian resepsionis mempersilakan Silas langsung naik ke lantai empat, di mana ruangan bos Karasi berada.
Teriakan bocah dengan dasi sekolah berada di kepalanya dan menjadikan pulpen sebagai senapan menyambut Silas. Dia sedang tengkurap di atas lantai membidik Latif-Sekretaris pemilik Karasi. Bibirnya dimajukan dan ada desisan mirip senapan
