
Ringkasan
Geiska sering memdapatkan paket dari orang yang tak dikenal. Tak hanya itu, juga mendapat pesan dari nokor yang asing, entah mengingatkannya untuk makan, istirahat dan lain-lain. Ia mencurigai beberapa orang di sekitarnya, apqlagi pekerjaannya yang tak biasa jelas jangkauannya meluasSiapakah pengirim semua itu?
Pelanggan Baru-1
Mendung datang dengan tiba-tiba memayungi Universitas Alethea siang ini. Beberapa mahasiwa dan mahasiswi keluar dari gedung utama dan bergegas pulang, tak mau jika sampai kehujanan di luar dan membuat badan meriang. Dua orang gadis berpisah di halaman parkir Alethea, gadis berkemeja merah muda melambaikan tangannya, memeluk buku cukup tebal dan berjalan ke arah parkiran mobil. Sementara gadis berambut cokelat sepunggung membalas lambaian tangan temannya, Sandra.
Motor matic-nya terparkir di sisi barat, bersama ratusan motor lain dengan berbagai merek. Gege, begitulah gadis itu menyebut motor kesayangannya, motor matic berwarna putih itulah yang setia mengantar gadis dua puluh delapan tahun itu kemanapun. Suara klakson terdengar, itu adalah mobil milik
Sandra, teman kuliahnya.
Kepala Sandra muncul di kaca mobil setengah terbuka, "Geiska, jangan lupa besok masuk siang!"
Gadis yang sedang memakai helm berbalik, "Iya aku ingat! Trims, hati-hati!"
Sandra tersenyum dan melambai, kaca mobilnya naik dan rodanya melaju perlahan ke luar Alethea. Angin yang membawa petricor menerbangkan rambut cokelatnya, segera gadis berkemeja biru tua itu mengendarai Gege pulang. Sebuah pesan masuk, tapi tak dihiraukan olehnya, pesan berikutnya datang lagi dan lagi. Geiska menepikan motornya guna melihat pesan yang beruntun datang.
081555337xxx
Akan hujan, cepatlah pulang.
081555337xxx
Minumlah air hangat, jangan es!
08155537xxx
Jangan lupa makan siang, banyak istirahat!
Itu adalah pesan yang dikirim oleh nomer tak dikenal Geiska. Dikirim melalui aplikasi perpesanan dengan latar hijau, sebuah aplikasi yang sering digunakan semua orang dan sudah jadi hal umum. Geiska mengecek lagi, pengirim telah offline beberapa menit lalu, padahal Geiska baru membukanya. Ini bukanlah pesan baru, sungguh, sejak ia kuliah dan punya pekerjaan sampingan yang tak biasa, pesan dari nomer yang sama selalu datang, tanpa mengenal waktu dan Geiska tak pernah sekalipun membalasnya, hanya membacanya kemudian mengabaikannya.
Geiska memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, melajukan motornya sebelum hujan benar-benar akan membasahinya, bukan lagi gerimis. Gedung apartemen dengan sewa cukup terjangkau kantung terlihat, Lisabeth. Toko Sakura yang berada persis di sebelah gedung terbuka, ada beberapa anak muda berseragam membeli minuman kemasan dingin di showcase.
Satpam yang berjaga di lobi berukuran cukup luas itu menyapa, mendekati Geiska dengan membawa sebuah paket.
"Mbak Geiska, ada paket lagi." Satpam memberikan sebua kotak dibungkus kertas cokelat dan ada nota di dalamnya.
Nota yang palsu, menurut Geiska. Karena di sana tak benar jelas ada nama pengirimnya. Bayangkan saja, pengirimnya menggunakan nama Elang, benar disertai nomer telepon, tapi itu adalah nomer kosong tanpa bisa dihubungi.
"Mbak Geiska sering ya dapat paket, malah kayak dijadwal, seminggu dua kali kadang tiga kali," ujar Satpam pada Geiska.
Geiska hanya tersenyum, "Terima kasih Pak Doni, saya mau naik dulu."
Geiska bergerak dari lobi ke dalam lift, ya benar perkataan Pak Doni mengenai paket yang sering diterimanya ini, ini juga bukan barang pertama yang tak pernah dipesannya. Geiska hanya menimang tanpa ada minat untuk membukanya, di sana, di atas note terlihat jelas isi paket, Pakaian. Pakaian apa, dengan model dan bahan apa, tak minat untuk diketahui Geiska.
Tak lama untuk sampai di lantai tiga. Bangunan yang telah direnovasi habis-habisan ini berubah total, semua pintu terisi penuh, tak ada yang terlewat sampai lantai tujuh. Pembatas dekat lift pun dibangun bagus, ada celah di setiap jengkal, jika pagi yang cerah ada banyak berkas cahaya yang bisa dijadikan objek selfie. Geiska berjalan ke kiri, berbelok tak jauh dari sana, pintu rumahnya terlihat. Ia menyukai tempat tinggalnya, ruang tamu mini, ruang tengah yang bersatu dengan dapur dua kamar dengan masing-masing kamar mandi dan balkon yang menghadap ke barat. Geiska suka sekali jika senja menyapanya dari balik pintu kaca bertirai tipis itu.
Sayangnya, sore ini mendung, bahkan hujan terdengar berjatuhan di lantai balkon. Geiska menaruh tas di sofa kecil berwarna hijau, melangkah ke arah pintu balkon, membukanya dan segera hawa dingin menyergapnya. Dingin dan segar.
"Aku tak menyukai hujan, tapi ini mengingatkanku pada mama dan papa waktu aku kecil, bermain hujan bertiga, yang tak pernah kurasakan lagi." Geiska berbisik pada buliran air hujan.
Geiska menatap bangunan sekitar, tak ada yang sepertinya, bermain air hujan di balkon. Matanya menangkap sosok bertubuh seperti pria, membawa capil dan besi yang ujungnya melengkung, dipastikan itu lancip, karena memungut kardus bekas yang mungkin sudah lapuk di tengah hujan. Tak ada yang mencurigakan, ah ya, Geiska diam-diam mencurigai orang-orang yang bisa diduga sebagai pengirim paket atau pesan yang sering diterimanya.
Ponsel Geiska meraung, tak dihiraukannya, namun telinganya merasa risih dengan panggilan itu. Geiska mengalihkan pandangannya, segera mendekati ponselnya di atas sofa dan keluar. Dikiranya, telepon itu dari pria yang berdiri di bawah hujan memungut sampah di bawah, suaranya benar pria tapi tak ada suara hujan, hanya keheningan.
"Halo, ini siapa?"
Hening. Geiska melihat layar ponselnya dan pria yang ada di bawah, masih tetap di sana, dan menepis praduga Geiska soal orang yang dicarinya.
Keheningan berubah, sebuah suara terdengar. "Apa kau Geiska? Maaf, tadi aku sedang bicara dengan sekretarisku sejenak, aku ingin memakai jasamu."
"Jasaku? Ah, begitu."
"Aku ingin meminta bantuanmu, karena ini sungguh memuakkan." Suara di seberang kini terdengar jelas, tak lagi dikalahkan oleh deru hujan yang turun deras.
Geiska menyambar handuk yang tersampir di dekat pintu balkon. "Tiga ratus ribu perjam."
"Tak masalah. Akan kuberi bonus jika aku puas dengan hasil kerjamu."
"Akan gratis jika tak memuaskan."
Pria di seberang tertawa, "Aku suka cara kerjamu, Geiska. Baiklah, akan kukirim pesan apa yang harus kau lakukan."
"Dengan nama? Sudah tahu persyaratan awalnya?"
"Ilyas."
Notifikasi pesan M-Banking memberitahu jika ada penerimaan sejumlah tiga ratus ribu ke nomer rekeningnya atas nama Ilyas Avanindra.
"Sudah masuk bukan? Persyaratanmu kupenuhi, dan bantulah aku." Pria di seberang meminta.
"Kuterima." Geiska menyetujui.
Panggilan telepon itu diakhiri, pelanggan pertamanya hari ini, Ilyas Avanindra memintanya datang ke sebuah hotel mewah, Pramdana yang terkenal akan fasilitas dan keramahan pegawainya itu akan didatanginya pukul delapan malam. Geiska melepas semua pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Air hangat di bak mandi segera menenggelamkannya, memberinya sensasi berbeda.
Setelah mandi, Geiska bergelung dalam selimut di sofa, ditemani teh hangat dan perlahan matanya memejam. Rinai hujan di luar menjadi backsound telinganya sore ini. Segala letih dan lelahnya terlepas perlahan, tak mempedulikan rambutnya yang acak-acakkan di dalam selimut, yang jelas kehangatan ini membuatnya tenang.
Alarm di ponselnya berdering nyaring, nyalang di tengah rumahnya yang gelap dan sunyi. Geiska tertidur beberapa jam meski tanpa bantuan obat-obatan lagi. Matanya melihat ke arah balkon, satu-satunya sumber cahaya dari luar di kegelapan rumahnya saat ini. Geiska bangkit, melepaskan selimutnya dan menyalakan lampu.
