Elang-4
"Cuussss, belemmm!! Kamu langsung mati saja ya, mati! Aaarrgg!" Bocah itu menirukan suara salah satu scene perang dunia. Dia menoleh pada pria yang keluar dari lift. "Halo Paman Salis!!"
"Silas, Alucio! Papa di dalam?" tanya Silas.
"Ada di dalam." Bocah tampan dan imut berusia lima tahun itu menunjuk ruangan papanya.
Silas tersenyum melihat kelakuan putera pertama koleganya, ada dua bocah lelaki yang sama juga, belum berkumpul. Jika berkumpul, dipastikan lantai empat Karasi menjadi medan perang yang asik. Dan para pegawainya harus tabah menghadapi ketiga bocah pemilik Karasi.
Selamat pagi, udah pada sahur belum? Nyak kebangun jam dua, dan malah lanjutin Geiska yang setengah jalan sebelum tidur tadi hi hi hi.
Q : Baby Dean kapan update, Nyak?
A : Nanti siang ya sayangku. Kalau bisa dua part deh, biar cepet kelar dan lempar Equanimous 2.
Oke cuzz duduk manis ya sambil baca.
♧♧
Mata kuliah yang akan diajarkan Pak Devito siang ini adalah Statistik Manajamen. Pria berjambang tipis dan berkumis itu gagah, tinggi dan berparas rupawan. Tapi, jangan salah jika menggodanya, dia orang yang serius dan jarang bicara yang tidak penting. Matanya tajam, dan telinganya sangat sensitif, sekali kalian mengobrolkan hal di luar mata pelajarannya, siap saja akan dapat hukuman yang setimpal. Dipastikan berat, percayalah.
Semua murid kelasnya harus ada di dalam kelas sepuluh menit sebelum kedatangannya. Sandra dan Geiska datang lima belas menit sebelum Pak Devito datang kali ini. Pak Dev-begitu semua mahasiswa menyingkat namanya- masuk membawa bahan ajarnya. Matanya menatap setiap muridnya di jam pertama, aroma parfum berbagai jenis bercampur dengan udara AC, segar, berbeda jika di jam terakhir nanti, dipastikan telah bercampur beraneka aroma, salah satunya bau ketiak.
Pak Devito diperkirakan berusia di bawah tiga puluh lima tahun, dia tak pernah menjawab pertanyaan soal pribadinya kecuali nomer ponsel dan surel pribadinya. Dan dilarang mengirim hal-hal yang tak penting di luar mata kuliahnya. Apalagi sampai mengajaknya kencan, dipastikan akan dapat hukuman seperti Winda minggu lalu, dia dilarang ikut mata kuliahnya tiga kali dan tetap harus mengerjakan tugas sama seperti yang lain. Tanpa pengecualian.
Mata tajam Pak Devito membuat semua muridnya diam seketika, bagaimana tidak? Dosen muda itu berdiri di balik meja, melipat tangannya di dada dan menatap semua muridnya satu per satu, seolah menghitung jumlah mereka. Pak Devito mengalihkan perhatiannya pada buku ajarnya setelah ada wakil kelas yang menyerahkan absen, semua murid hadir! Nampaknya mereka benar takut padanya, tidak, tidak! Bukan takut karena wajahnya menyeramkan, wajahnya dijamin seratus sepuluh persen buat semua wanita jatuh cinta, tapi sikapnya yang tegas setengah tegalah yang membuatnya disegani.
Kelas Geiska hening, tak ada suara satupun yang terucap tak berguna. Jikapun ada suara dipastikan itu adalah sebuah pertanyaan yang dipersilakan oleh Pak Devito usai memberi materi. Pak Devito mempersilakan untuk bertanya, menunggu beberapa menit dengan duduk menghadap laptopnya. Geiska dan Sandra yang duduk bersebelahan saling pandang, menawari kesempatan untuk bertanya.
Suara Pak Devito bass dan berat, sama seperti pencatat pesanan di Bonita tadi. Apa aku masih terbayang oleh Elang? Tapi, apakah benar dia Elang? Astaga, aku terhanyut oleh permainannya. Geiska membuyarkan lamunannya.
"Jadi, semua paham bukan? Karena tak ada yang bertanya, maka saya akan berikan sedikit tugas. Bisa dibagikan?" pinta Pak Devito pada salah satu mahasiswa terdekat dengan mejanya untuk mengambil kertas soal.
Mereka yang melihat soal lebih dahulu hanya bisa memasang wajah pasrah, itu jelas bukan soal mudah. Pak Devito selalu ada saja cara untuk menyiksa muridnya, menyiksa dalam tanda kutib. Kertas soal dengan sedikit penjelasan itu sampai di tangan Geiska, ia hanya mendesah dan tersenyum pada Sandra.
"Bukan soal yang mudah."
Sandra mengimbuhi desahannya, "Yeah, always."
Semua duduk dan kembali diam, menunggu Pak Devito bicara sebelum mengakhiri materi kuliah yang dibawakannya siang ini.
"Baiklah, saya akhiri mata kuliah ini. Saya suka dengan absensi kalian, dan mengikuti kelas saya dengan baik, itu soal yang mudah bukan? Sampai jumpa dua hari kemudian. Terima kasih." Pak Devito mengakhiri.
Semua mahasiswa dan mahasiswi seolah merasa lega usai jadi patung Pancoran selama satu jam empat puluh menit. Mereka menghela napas lega namun hanya beberapa menit, karena Pak Devito berdehem.
"Geiska. Anda dipanggil TU selesai mata kuliah saya." Pak Devito menatap Geiska tegas.
Geiska seolah tahu apa yang akan dibicarakannya dengan TU pun bangkit, ia tersenyum pada Sandra dan pamit. Materi lain diberikan oleh Bu Laily, tapi nampaknya guru wanita itu terlambat datang, maka kesempatannya pun tiba untuk mengunjungi ruang TU.
Pak Devito keluar bersama Geiska, namun langkah keduanya tak lagi beriringan, membuat Devito berhenti dan berbalik.
"Saya tidak punya penyakit kudisan atau masalah kulit lainnya, tidak perlu dihindari." Pak Devito berkata pada Geiska.
Geiska tertegun, "Saya merasa canggung saja, saya tidak berpikir demikian, Pak Dev."
Pak Devito berbalik, sementara Geiska kembali pada posisi sejajar dengannya kembali. Bagi Pak Devito, Geiska merupakan mahasiswi yang rajin, maka dari itu ia mendapatkan beasiswa meski sempat putus kuliah lalu. Kini, ia kembali dipanggil TU kemungkinan soal biaya tambahan yang harus ia setor.
Pak Devito dan Geiska berpisah, ia berbelok ke ruang dosen sementara Geiska masuk ke ruang TU. Wanita dengan gelungan di belakang kepalanya memintanya duduk, ia memberikan Geiska hasil studinya selama enam bulan, ternyata tak cukup memuaskan orang yang telah memberikan beasiswa untuknya.
Geiska mengerutkan keningnya saat bagian TU berkata menarik beasiswanya. Geiska meminta, jika ia akan berikan nilai yang baik lagi, tapi tetap tak merubah keputusan. Geiska masih bisa kuliah jika membayar semua biayanya selama satu semester. Geiska tentu saja tak punya dana sebesar itu meski bisa dibayar dua kali, impian ayahnya terputus sudah, ingin melihat puterinya memakai toga dan memegang piagam.
Geiska hanya bisa pasrah, tak bisa melanjutkan kuliahnya lagi besok. Tak lagi ada minatnya untuk diikutinya lagi. Pesan dari Sandra yang menanyakan keberadaannya diabaikannya. Bahkan berpapasan dengan Pak Devito di lorong pun tak disapanya sopan seperti biasa.
Ayah, impianmu hanya bisa digantung ditepian langit. Aku tak lagi bisa melanjutkan kuliah seperti mimpi ayah. Pekerjaan sampinganku jelas tak bisa menutup biaya sebesar itu, aku harus cari kerja yang bener, agar bisa kuliah lagi. Mewujudkan mimpi ayah.
Geiska berjalan keluar dari ruangan TU dengan mata sembab, karena ia tak lagi bisa mewujudkan keinginan ayahnya untuk bisa melanjutkan kuliah, lulus memakai toga dan menjadikannya bangga. Geiska tak lagi minat kembali ke kelas, maka rumah adalah tujuan utamanya. Ia mengendarai Gege dan pulang, tak mau orang menjadi iba padanya, ia harus tegar dan mulai berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang untuk menabung. Tapi nyatanya, ia tak segera pulang justru duduk di bangku taman.
