Chapter 8: Surprise
Alexander
"Oh astaga! Alexander aku tidak tau harus menjawab apa asal kau tau saja." teriaknya panik di telpon. "Tenanglah, kau sudah menjawab hal yang benar." ucapku menenangkannya.
"Untunglah Irene ada di rumah sakit. Jika tidak, apa yang harus ku katakan? Apakah kau sengaja menginap di apartemen yang sama denganku sementara, istrimu berada di kota yang sama untuk bekerja."
Aku tertawa kecil mendengar ocehannya, "Kau bisa mengatakan kau tidak tau. Lagipula, Brandon tidak mengetahui apapun. Tidak ada yang tau tentang kita, Bells. Kecuali jika kau menceritakan hal ini kepada orang lain. Kau tidak-"
"Tidak, Alexander aku tidak tau akan tetapi, Beth tau kita bersama." Dia terdiam sejenak.
"Mirabeth atau Elizabeth?" tanyaku memastikan, aku duduk untuk meminum whiskey yang sudah tersedia di meja kerjaku. "Mirabeth, kau tau dia adalah sahabatku. Kalian bahkan sudah saling mengenal."
"Iya, dia teman baik Yaren Scott." jawabku singkat.
"Apakah kau masih belum bisa melupakan Yaren?" tanyanya kepadaku tetiba, "Aku sudah melupakannya, Bells. Dia sudah berada di dalam tanah dengan tenang jadi, untuk apa mengingat sesuatu yang tidak akan kembali?" jawabku.
"Kau benar, aku ingin tidur. Helena sudah membuatku sangat lelah hari ini. Jadi, selamat malam, Alexander."
"Selamat malam, sayang." ucapku.
Aku bahkan tidak melihat kehadiran Brandon berada di apartemen itu sedang makan. Memang aku tidak melihat ke arah lain ketika keluar dari lobi utama. Aku buru-buru karena setelah mendarat di Perth aku menuju ke kantor untuk rapat penting dengan ayahku. Sama seperti kakek, dia berpesan bahwa dia akan menyerahkan keseluruhan kepemimpinan perusahaan jika aku memiliki anak. Dia masih mengira aku belum begitu berpengalaman untuk mendapatkan posisi ini. Dia bahkan memintaku untuk bekerja lebih keras.
Jika saja aku bisa memilih, aku akan lebih memilih posisi Brandon yang mengambil sekolah kedokteran untuk memimpin rumah sakit saja atau Irene yang akan memimpin firma hukum milik Mama. Mereka mendapatkan pilihan sementara, aku harus hidup di bawah bayang-bayang dan keinginan ayahku untuk menjadikanku pemimpin selanjutnya. Pemimpin yang bersih dari skandal walaupun dirinya sendiri pernah selingkuh dua kali bahkan kabarnya tahun lalu dia tertangkap selingkuh oleh Mama hanya saja aku tidak tau siapa wanita yang waktu itu menjadi selingkuhannya.
Keluarga ini penuh dengan kebohongan, mereka bermain seenaknya di belakang sementara, istri-istri mereka harus menderita karena suaminya senang berselingkuh. Sama sepertiku sebab kita tidak memiliki pilihan akan menikah dengan gadis seperti apa. Tetiba saja Jane datang ke hidupku, memang benar dia adalah sahabat lamaku akan tetapi, mencintainya dengan cepat tanpa memberikan jarak dan waktu untuk melupakan dan selesai dengan Yaren yang meninggal secara tragis tentu semua cinta itu adalah kebohongan semata.
Hubungan intim dengan Jane pun sebenarnya tak begitu baik. Aku merasa kurang puas setiap kali berhubungan intim dengannya, dia selalu diam tanpa mendesah, tak bernisiatif untuk bergerak bahkan dia seperti orang yang tidak mengerti bagaimana bermain seks dengan baik. Berbeda dengan Isabella yang aggresive, aku sangat menyukai suaranya ketika mendesah. Aku sangat menyukainya, itu yang membuatku merasa lebih senang untuk berhubungan intim lebih lama dengannya.
"Alexander, kau tidak bekerja hari ini?" Jane duduk di kursi samping untuk makan malam. Aku memang pulang lebih awal karena ada keperluan dengan orang red. "Aku bekerja, aku hanya perlu menyelesaikan sesuatu. Kau sendiri bagaimana? Baru mendarat dari bandara kemudian, pulang?" Aku mengangkat alisku sebelah.
"Tidak, aku sempat mampir ke bar sebelum pulang. Aku sangat merindukan teman-temanku. Bagaimana kabarmu hari ini? Apa yang kau lakukan?" tanyanya.
"Bekerja seperti biasa, tidak ada yang menarik. Kau tau minggu ini aku akan pergi ke Melbourne-"
"Kau sering sekali pergi ke Melbourne, untuk apa? Apakah Foster memiliki cabang bisnis di kota itu?" tanyanya memotong kalimatku, "Sebenarnya Foster memiliki investasi di berbagai tempat terutama di Australia. Kau tau aku tidak memiliki partner untuk memeriksa pekerjaan ini. Villa akan segera dibangun dan kita membutuhkan investor untuk itu." jelasku.
"Dimengerti, jadi kau tidak akan datang ke Auckland bersamaku?" tanyanya lagi.
"Sajikan makanannya, sepertinya istriku kelaparan." perintahku kepada pelayan karena aku tak ingin berbicara panjang lebar dengan Jane.
"Tidak, Jane. Aku ada pekerjaan. Aku akan menyusul nanti. Kau bisa pergi dulu dan hibur Irene jika kau bisa, sepertinya dia butuh sedikit teman dan liburan." Aku mengunyah makanan terakhir dan minum anggur merah kemudian beranjak pergi.
"Kau akan pergi kemana, Alexander? Aku belum selesai berbicara." Aku berhenti mendengar ucapannya. "Aku ingin bertanya sesuatu tentang tempo hari ketika kau marah kepadaku." Aku berbalik badan dan menatapnya, "Jika kau ingin minta maaf atas sikapmu tempo hari, aku sudah memaafkanmu, Jane. Jadi, kita tidak perlu-"
"Apa yang kau lakukan di apartemen dekat rumah sakit? Apakah kau menginap di tempat itu?" tanyanya memotong kalimatku, "Aku menginap karena akan menjenguk Irene keesokan paginya."
"Aku datang keesokan paginya dan kau tidak ada di sana. Aku mencoba menghibur adikmu akan tetapi, dia mengatakan bahwa kau tidak pernah datang. Aku menelpon Vena kau bahkan tidak menjenguknya sebelum kau pulang ke rumah." Dia menarik napas dalam dan berhenti sejenak.
"Alexander apa yang kau lakukan di apartemen itu? Apakah kau memiliki wanita lain?" Dia menyipitkan matanya curiga.
"Dan apa yang kau lakukan di rumah sakit? Apakah kau tidak bekerja? Kau mengatakan kepadaku bahwa kau sedang bekerja." tanyaku balik.
"Aku menunggu jam konferensi yang kebetulan diadakan di hotel dekat rumah sakit. Ku pikir masih terlalu pagi jadi, aku menunggu sekaligus menjenguk Irene. Kau tidak ada di sana."
"Tadinya aku akan menjenguk Irene akan tetapi, ada telpon dari kantor jadi, aku menyelesaikan pekerjaanku di dalam kamar apartemen yang ku sewa dan ketika pulang aku terburu-buru karena ada rapat. Kau bisa bertanya kepada asistenku jika kau tidak percaya." Aku berbalik meninggalkan Jane yang sudah meneteskan air matanya. Aku yakin dia setengah mati curiga bahwa aku berselingkuh.
Untungnya selama menunggu kedatangan Isabella, ada beberapa telpon yang ku angkat dan beberapa pekerjaan sesuai dengan penjadwalan oleh Sabrina, asisten pribadiku. Terserah dia percaya atau tidak akan tetapi, aku akan lebih berhati-hati sekarang apalagi ketika berada di Perth, kota yang sama dengan dimana dia tinggal. Aku sangat muak dengan Jane, ku pikir semalam dia tidak mengikutiku, ternyata dia mengikuti gerak-gerikku.
"Bagaimana kau tidak mengawasi hal itu, John?" teriakku memarahi John di ruang kerjaku.
"Aku tidak menyadari bahwa itu mobil istri anda. Ku pikir mereka berjalan ke arah hotel. Sebaiknya anda mematikan lokasi ketika sedang berpergian, Tuan. Nyonya Foster sepertinya mengetahui lokasi anda dari ponsel anda."
"Aku sudah memutus sambungannya diam-diam. Ku harap dia tidak berbuat macam-macam, aku tidak suka. Jika dia tau, itu lebih bagus sebenarnya, aku dapat menceraikannya hanya saja aku khawatir dia akan membawa skandal ini mencuat ke publik." ucapku khawatir.
"Mengapa anda tidak berterus terang kepada Tuan Zach saja tentang hal ini lagipula hubungan anda dengan Nona Isabella sudah berlangsung selama setengah tahun." saran John.
"Aku akan berbicara nanti, aku perlu alasan untuk menceraikan Jane dengan alasan yang logis agar tidak ada skandal. Kau tau, kakekku menjadi bahan gosip karena bercerai kemudian menikahi sepupunya yang telah mengandung anaknya yakni ayahku." balasku.
"Kau sudah melepaskan Rick?" Aku duduk sembari membuka laptopku karena harus memeriksa pekerjaanku kemaren.
"Sudah, Tuan. Red sudah mengurusnya, dia masih dalam pantauan akan tetapi, dia sudah kembali bekerja di kantor Bennet." jawabnya.
"Baguslah kalau begitu, siapkan permintaanku untuk minggu ini. Dan tetap awasi Rick Bennet, jangan sampai dia melakukan sesuatu kepada keluargaku. Urusannya adalah bersamaku bukan bersama orang lain." tegasku kepada John.
Dia mengangguk, "Baik, Tuan. Sabrina sudah mengatur permintaan anda."
"Terima kasih. Kau boleh pergi sekarang." ucapku.
Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk Isabella. Hal yang membuatku tidak sabar adalah untuk bertemu dengannya karena hatiku merasa senang. Setiap kali lebih dekat dengannya aku semakin jatuh cinta. Ya, aku sangat mencintainya sejak malam yang terjadi begitu cepat waktu itu. Aku tidak menyangka akan jatuh pada rayuan mabuknya. Andai saja kecelakaan malam itu terjadi sebelum aku menikahi Jane, aku sudah pasti akan membawanya ke pelaminan untuk menikahinya.
Setelah kematian Yaren sebenarnya aku masih sedikit mengingat tentangnya karena aku sudah mencintainya selama 3 tahun lebih sebelum kematiannya hari itu. Almonds sepertinya masih belum puas dengan mengejar Isabella dan Irene untuk dibunuh atau dites apakah mereka adalah anak kandung Lily yang sempat diadopsi oleh keluargaku atau tidak. Isabella jelas bukan anak mereka hanya saja kebenaran tentang Irene? Aku sendiri pun tak tau. Bahkan aku tak melihat ibuku hamil setelah melahirkan Brandon. Namun, itu bukan hal penting selama Isabella tidak memencet tombol darurat milik red. Beberapa orang red sudah ada di Melbourne jika Isabella, Irene atau Brandon membutuhkan bantuan.
Isabella tak pernah menyukai memiliki pengawal pribadi, dia selalu melarikan diri dari mereka karena menyukai kebebasan.
"Selamat sayang." Aku memeluknya yang masih mengenakan pakaian dokter.
"Alexander, ini terlalu banyak. Dimana aku akan mengoleksinya?" protesnya ketika melihat buket bunga yang begitu besar di atas meja di ruang tamu.
"Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kita." Aku merogoh kunci yang ada di saku celanaku dan memberikannya kepadanya, "Kunci cadangan, Billy akan menunjukkan dimana lokasinya jika kau ingin berkunjung untuk bersantai atau jika aku ingin bertemu. Kau bisa masuk kapanpun, sayang." Aku mengambil dokumen yang ada di meja.
"Sebuah hadiah kecil." Dia membuka dokumennnya, dia melotot terkejut, "Alexander, you can't be serious, this is too much." Dia seketika memelukku.
"Jadi, aku bisa datang kapan saja bahkan ketika kau tidak ada?" tanyanya lagi memastikan.
"Tentu saja, kau bisa datang kapanpun kau mau karena itu rumahmu dan aku akan sedikit sibuk dengan pekerjaan setelah liburan nanti. Apakah kau senang?" tanyaku sembari membelai wajahnya.
Dia mengangguk, "Itu adalah salah satu rumah impianku, kau tau aku sangat merindukan ketenangan, dekat dengan alam. Bahkan terdapat danau di tempat itu. Aku masih mengingatnya." jawabnya.
"Aku sengaja membangun kembali rumahnya agar sepenuhnya menjadi milikmu, kekasihku tersayang."
"Alexander, ini adalah hadiah terindah. Dan aku akan menyimpan bunganya nanti di rumah kita akan tetapi, kita harus pergi berlibur." ucapnya sedikit sendu.
"Tidak perlu khawatir, Zoey akan menata bunganya di vas. Dia akan bertugas di rumah itu. Jika kau ingin dia pergi, dia bisa pergi jika kau ingin ketenangan. Perintahkan saja dan Billy akan menjadi pengawal-"
"Alexander, aku tidak bisa menerima bagian itu. Kau tau aku bisa menyetir mobil sendirian. Aku tidak membutuhkan supir atau pengawal." protesnya memotong kalimatku.
"Kau akan membutuhkannya semenjak Rick Bennet berkeliaran, Bells. Aku tidak ingin terjadi sesuatu denganmu." Aku membelai wajahnya, "Alexander-" Dia mencoba untuk membujukku akan tetapi, dengan gesit aku meremas kedua payudaranya yang terasa sedikit keras karena tertutup dressnya yang cukup tebal.
"Apa kau akan menyelesaikan masalah dengan cara ini, hmm?" ucapnya menaikkan nada amarahnya. "Tidak, sayang. Lebih dari ini." Aku menurunkan risleting dressnya mencoba untuk membantu melepaskan dressnya. Dia seketika telanjang hanya dengan lacy thong warna hitam yang masih menutupi kewanitaannya.
"Bahkan kita tidak memiliki masalah saat ini." Aku meletakkan dressnya di atas sofa. Aku melepaskan jas dan dasiku kemudian, membuka kancing kamejaku dengan cepat sementara, Isabella mengunci pintu kamarnya karena aku lupa untuk mengunci pintunya.
"Kau ingin aku hidup dengan seorang pengawal jelas itu adalah masalah bagiku, Alexander!" teriakknya menegaskan. "Bells, aku tidak ingin membuat penawaran. Aku sudah memutuskan kau akan pergi dengan Billy kemanapun." tegasku kepadanya.
"Tidak, kau tidak bisa mengaturku karena aku bukan istrimu." Aku mengangkat daguku menatapnya yang tatapannya berlawanan.
"Benarkah begitu, sayang?" Aku meremas kedua payudaranya seketika.
"Alexander, lepaskan!" perintahnya kesal.
Aku mengangkat tubuhnya dan merebahkannya di atas sofa. Aku menurunkan celana beserta celana dalamku.
"Alexander, aku tidak ingin-"
"Ahhhh-Ahh arhggh!!" teriaknya ketika batangku masuk menghujam liang kewanitaannya dengan cepat tanpa membuatnya basah. Terasa sedikit kering akan tetapi, seiring dengan hujaman batangku, dia mulai mendesah dan terasa begitu basah. Dia meremas sisi kanan kiri sofa sembari mendesah menutup matanya karena hujaman batangku begitu cepat.
"Alexander, Alexander. I-"
"I want more, baby." Aku terus menghujamnya meskipun dia begitu lemas karena kelelahan setelah acara itu seharian. Aku meremas kedua payudaranya, mencium bibirnya dan memegang kedua pinggulnya erat. Sesekali aku memijat klitorisnya yang terasa begitu basah.
Aku membuatnya menungging dan menghujamnya dari belakang. Ku pegang kedua pinggulnya erat. Dia terus mendesah sepanjang hujaman batangku. Dia membuatku tergetar dan bergerak dengan cepat merasakan kenikmatan ini selama beberapa menit. Aku sangat menyukainya, sangat. Aku begitu puas ketika batangku mencapai puncak dan ujung dalam liang kewanitaanya. Aku menyemburkan cairan putih kental kepadanya.
Napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas seketika. Isabella sepertinya tertidur setelah permainan ini karena aku membangunkannya dia tidak merespon. Aku harap dia tidak pingsan dengan gerakanku yang normal-normal saja. Aku membangunkannya untuk makan malam akan tetapi, dia masih belum kunjung bangun. Aku mencoba berbagai cara akan tetapi, dia masih menutup matanya meskipun ketika ku periksa hidungnya, dia masih bernapas.
"Bells, jangan bercanda. Kita sedang tidak di Perth. Bagaimana aku akan menghubungi seseorang, hmm?" Aku membelai wajahnya agar dia segera bangun dari tidurnya.
"Bells!! Bells! Isabella?!" Aku menggerakkan tubuhnya akan tetapi, dia tidak merespon.
To be continued...
