Pustaka
Bahasa Indonesia

Forbidden Desire

124.0K · Tamat
Alexa
60
Bab
489
View
9.0
Rating

Ringkasan

Foster S-3 Alexander & Isabella Alexander Grant Foster memilih untuk menikah dengan Jane Maynard, kekasih dan sahabatnya setelah kematian calon istrinya. Dia mencintai istrinya yang kian hari mulai pudar karena kehidupan sebelum dan setelah pernikahan begitu berbeda. Dia yang semakin kehilangan ketertarikan dengan istri yang sudah dia nikahi selama setahun itu menemukan seorang gadis cantik yang merupakan mahasiswi kedokteran di Melbourne. Isabella Grace Foster tak pernah menyukai tinggal dekat dengan keluarganya ditengah-tengah konflik dengan Almonds yang belum kunjung usai. Isabella memilih mengasingkan diri sampai dirinya tetiba diculik oleh seorang pria yang ternyata merupakan kerabatnya. Alexander mulai terobsesi dengan Isabella, ingin memilikinya dan menyeretnya dalam hubungan perselingkuhan yang membuat Isabella terjebak karena Alexander selalu memiliki cara untuk mempertahankannya.

RomansaDokterBillionairePerselingkuhanPerceraianOne-night StandCinta Pada Pandangan PertamaKeluargapembunuhan

Chapter 1: Coming Back

Isabella

Aku terbangun di antara aroma yang tidak menyenangkan, entah bagaimana aku bisa berakhir di sini sebab semalam aku berpesta bersama dengan kekasihku. Pandangan mataku terasa kabur, aku menyapunya dengan kelopak mataku agar penglihatanku dapat berfungsi dengan baik. Kepalaku terasa begitu sakit, itulah mengapa penglihatanku kabur. Rasanya tubuhku begitu lemas sampai tak terasa ternyata aku terikat pada sebuah kursi dengan rantai yang membelenggu tubuhku. Rasanya begitu kuat, menyiksa. Siapa yang sudah menculikku?

Aku mengangkat daguku melihat kondisi Mike dalam keadaan yang sama. Wajahnya penuh dengan lebam begitupun tubuhnya. Pakaiannya sudah rusak padahal semalam dia terlihat begitu rapi ketika mengajakku makan malam lalu, berpesta. Mengapa semuanya berakhir begini? Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.

"Mike! Bangunlah!" Teriakku memanggilnya.

Aku terus memanggilnya sampai dia mulai mengembalikan kesadarannya dengan membuka matanya. Dia menggerakkan tubuhnya untuk melepaskan dirinya.

"Isabella, apa yang terjadi? Apa yang mereka lakukan kepadamu?" Aku mengernyitkan dahiku heran, "Kita, Mike. Aku tidak tau, semalam kau yang begitu bernafsu membawaku ke atas untuk tidur. Lalu, mengapa kita bisa berakhir di sini?" tanyaku sedikit kesal.

"Mana aku tau Isabella? Semalam kau pingsan karena mabuk dan aku ingin tidur."

"Lalu, apa yang terjadi? Mengapa kita bisa berakhir di sini? Bisakah kau mengingat. Mustahil ada orang yang masuk ke kamar kita kecuali kau belum menguncinya." Ucapku memotong kalimatnya tidak sabar. Belenggu rantai ini semakin menyakiti tubuhku. Aku merasa ada yang aneh, tubuh Mike banyak lebam sementara, aku baik-baik saja. Hanya kemerahan pada beberapa titik karena belenggu rantai ini.

"Apa kau tidak sadar jika semalam kau dipukuli? Tubuhmu banyak lebam, Mike. Aku tidak tau harus apa sekarang? Dimana mereka menyimpan ponsel kita?" Aku semakin paranoid karena ketakutan. Aku tidak ingin mati konyol di sini.

"Aku tidak ingat, Isabella. Berhenti bertanya kepadaku! Kepalaku terasa begitu pusing." Bentaknya kepadaku yang membuatku terdiam seketika.

"Kita harus menemukan cara untuk melepaskan diri." ucapnya ngide.

"Tapi, mana bisa Mike? Kita sedang dirantai begini?" ucapku.

"Kita pasti bisa, Isabella. Kau diamlah, biar ku lakukan sesuatu agar kita bisa kabur."

Dia mulai menggerakkan kursinya sekuat tenaga mendekat ke arah lemari untuk menemukan sesuatu yang dapat melepaskan kita dari belenggu rantai ini. Dia terus mencoba bergerak sampai kursinya mengguling dan terjatuh. Dia berteriak kesakitan karena tangannya terkena sebilah pisau yang entah sengaja di letakkan berdiri di atas lantai atau bagaimana akan tetapi, hal itu membuatku semakin panik dan khawatir.

"Isabella, kuncinya ada di dalam lemari itu, tepatnya di laci atas paling kiri. Kau harus mengambilnya dan kabur dari sini sebelum mereka membunuhmu." ucapnya terbata-bata.

"Apa maksudmu, Mike? Aku tidak bisa melakukan hal itu. Rantai ini terlalu berat bagiku." protesku kepadanya.

"Berusahalah, sayang. Aku tidak ingin kau mati konyol di sini. Mereka akan datang dalam satu jam. Aku tidak ingin kau dibunuh Isabella!!" teriakknya kepadaku.

"Okay, okay fine. I'll get the key." ucapku pasrah.

Aku menarik napas panjang untuk menggerakkan kursi ini yang terasa begitu berat. Aku juga harus menghindari beberapa barang yang berserakan di atas lantai. Aku mengerang kesakitan karena rantai ini menyakiti tubuhku.

"Isabella, kuatlah sayang. Kau harus bisa melakukannya sebelum mereka datang, okay. Aku akan mencoba untuk berdiri." ucapnya terbata-bata karena kesakitan.

"Mike, kau sebaiknya tidak bergerak atau lukanya akan semakin parah. Mereka sengaja menambal pisaunya ku rasa. Kau jangan bergerak atau darahnya akan keluar semakin banyak, Mike. Tunggulah aku akan berusaha." Napasku menderu begitu berat, tubuhku berkeringat ketika menggerakkan kursi ini dengan pelan dan hati-hati agar tidak terjatuh seperti Mike.

Aku terus melaju dengan pelan sampai jantungku berdegup begitu kencang. Rasanya sangat sulit untuk mencapai ke dekat laci yang jaraknya hanya beberapa senti dari tempatku berada. Aku terus bergerak namun, aku semakin lemas karena aku belum makan sekaligus kepalaku terasa sangat pusing. Semalam memang kami berdua mabuk begitu berat, kami berencana untuk menginap sebelum kepulanganku ke Perth karena orangtuaku memintaku untuk datang dalam pesta pernikahan Arthur.

Aku semakin ketakutan karena energiku rasanya begitu terkuras ketika harus menggerakan kursi ini. Napasku terengah-engah setiap kali aku menggerakan kursinya karena beban rantai yang membelenggu tubuhku begitu berat. Aku sama seperti tahanan saja, aku tidak tau siapa yang sudah melakukan hal ini kepada kami. Aku terus mencoba, jantungku terus berdegup kencang, tubuhku mulai basah oleh keringatku sementara, napasku semakin terengah-engah. Aku sepertinya sedang kehabisan napas, aku rasanya ingin menyerah. Namun, melihat kondisi Mike membuatku terus menggerakan kursiku walau begitu berat.

"Isabella, aku minta maaf. Ini semua salahku-" ucap Mike terputus-putus. Dia semakin putus asa, dia terlihat begitu pasrah dengan pisau yang menancap di lengannya. Darahnya terus mengalir karena dia sempat mencoba untuk bangkit akan tetapi, tak mampu.

"Mike, diamlah. Jangan banyak bergerak, kau akan semakin terluka. Pisaunya tertempel di lantai. Aku akan melakukan sesuatu untuk kita." Aku menarik napas dalam-dalam.

"Isabella, dengarkan aku. Mereka mengkhianati aku, Isabel. Mereka telah menjebakku, kau harus mendengarkan sebelum semuanya terlambat." Aku menatap tajam ke arahnya, jantungku semakin berdegup kencang. Aku semakin merasa ketakutan.

"Mike, apa yang terjadi? Siapa yang sudah mengkhianatimu, Mike? Katakan kepadaku?" teriakku kepadanya. Tubuhnya begitu lemas, dia hampir saja menutup matanya.

"Mike, astaga! katakan sesuatu!" teriakku lagi agar kesadarannya kembali.

"Almonds, dia memintaku untuk melakukan semua ini dan-"

"Mike, katakan sesuatu Mike!!" Aku semakin berteriak, air mataku menetes karena dia benar-benar menutup matanya pasrah. Darah terus mengalir dari tubuhnya. "Mike!!! bangunlah Mike!!!" Aku semakin bergerak lebih cepat akan tetapi, sebuah barang kecil membuat kursiku sedikit terpeleset. Tubuhku yang tak bisa menyeimbangkan diri lagi pun terkapar, aku menangis karena Mike tidak membuka matanya.

"Michael Andrews, bangunlah! buka matamu Mike!!!" teriakku kepadanya.

Aku pasrah, tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tak pernah membayangkan melihat kekasihku mati di depan mataku sendiri. Aku harap Mike tidak mati, aku harap semua ini hanya mimpi. Aku menangis sampai tak sadarkan diri. Ketika aku membuka mataku, kursiku kembali tegak begitupun dengan kursi Mike dengan pisau yang masih tertancap.

Aku menangis melihat semua itu.

"Mike, bangunlah!" ucapku sembari menangis tersedu-sedu.

"Nona Foster, akhirnya kau sudah sadar." Seorang pria tua menghampiriku. Dia seusia kakekku, rambutnya putih, wajahnya begitu berkeriput, tubuhnya begitu gendut dan perutnya buncit. Aku tidak mengenal dia siapa? Ayahku mengatakan seluruh keluarga Almonds telah meninggal.

Aku menelan ludahku melihat sebuah pisau yang dia bawa.

"Apakah seorang dokter takut dengan pisau? Bukankah kau sering membedah tubuh pasien dengan alat ini, Nona Foster?" Dia menghunuskan pisaunya tepat di leherku.

"Apa yang kau mau pria tua?" Dia tertawa kecil, "Andai saja ayahmu bukan anggota keluarga Foster. Maka, kau pasti akan hidup tenang, Nona Isabella." ucapnya lagi.

"Bunuh saja aku jika kau mau. Aku juga tidak berniat untuk hidup." ucapku geram. Aku sudah muak terutama ketika melihat Mike terbunuh sia-sia. Terlebih dia sempat mengatakan bahwa dia telah dikhianati.

"Tentu saja, Nona Foster. Kau pasti akan dibunuh, kau tidak perlu khawatir. Tapi, sebelum semua itu. Kau harus mengatakan dimana keberadaan putri dari Lily Almonds." Dia menyakiti tenggorokanku dengan pisaunya yang semakin menusuk.

"Kau menyakitiku, bagaimana aku bisa berbicara-" protesku sedikit terbata-bata, "Baiklah, untuk mempermudah kau berbicara, aku akan mengganti posisi pisaunya." Dia menunduk dan meletakkan pisaunya tepat di atas pergelangan tanganku.

"Jujur saja, aku tidak tau siapa itu Lily Almonds. Aku tidak pernah mengerti siapa dia-" jawabku.

"Jangan berbohong-"

"Ahhhh-ahrggghhhhh!" Teriakku merintih kesakitan ketika dia mulai menyayat pergelangan tanganku. "Aku tidak pernah ikut campur terhadap urusan keluargaku asal kau tau, aku tidak pernah tertarik. Aku bahkan kuliah di Melbourne untuk menjauh dari keluargaku. Aku ingin ketenangan!" teriakku sembari merintih kesakitan karena dia menyayat di sebelahnya.

"Baiklah, berikan ponselku. Aku akan menelpon keluargaku, biarkan aku bertanya siapa itu Lily dan dimana anaknya. Aku benar-benar tidak tau dimana putrinya. Aku bahkan tidak tau siapa itu Lily. Satu hal yang ku tau seluruh keluarga Almonds lenyap tanpa tersisa." Dia semakin menyayat lebih dalam yang membuat darah mengalir lebih banyak dari pergelangan tanganku. Sepertinya aku akan mati.

"Jika kau mengatakan kebenarannya, aku tidak akan melakukan hal ini, Nona Foster." ucapnya.

"Aku tidak tau, aku bahkan tak ingin lahir di keluarga itu. Jika boleh memilih, aku ingin memilih keluarga lain!! Arghhhhh!!!!" Dia menyayat di area lain. Astaga! pria tua ini sepertinya tidak percaya kepadaku.

"Baiklah, aku akan mengatakan kejujurannya. Aku tidak pernah tau siapa yang telah mengadopsi putrinya Lily akan tetapi, keluarga pewaris seharusnya tau tentang siapa yang telah mengadopsi putrinya Lily. Ayah dan ibuku tidak pernah terlibat dalam hal itu." ucapku terburu-buru. Sepertinya dia mulai percaya kepadaku.

Dia berdiri dan menatapku tajam, "Baiklah, kau akan menelpon pamanmu yang kejam itu dan dia harus memberitau dimana putrinya Lily atau kau yang akan mati." Aku menutup mataku karena pergelangan tanganku terasa begitu perih. Darah itu sepertinya tidak akan berhenti mengalir.

Salah seorang pengawal memberikannya ponselku. Mereka juga membuka rantainya dan mengeluarkan tanganku yang sudah penuh dengan darah untuk mengoperasikan ponselku. Aku menekan tombol darurat kemudian, menelpon seseorang. Seseorang yang mungkin saja dapat membantuku.

"Cepatlah sedikit!!" protesnya ketika aku mencoba mengetik namanya di daftar kontak setelah memencet tombol darurat. Aku harap mereka segera menemukan aku di lokasi ini sebelum nyawaku melayang.

Aku menaruh ponselnya di telingaku setelah memencet tombolnya. Aku menarik napas dalam-dalam karena harus tetap tenang dan tak seolah sedang diculik.

"Hidupkan pengeras suaranya, aku ingin mendengarnya." perintahnya setelah telponnya berhasil diangkat.

"Selamat pagi, ada apa?" tanyanya ketus.

"Katakan kepadaku, siapa itu Lily Almonds dan dimana putrinya? Siapa yang telah mengadopsi anaknya?" tanyaku secara langsung. Aku memang tak ingin basa-basi.

"Isabella, bukan? Aku tidak tau mengapa kau menanyakan hal ini, Bells?" Dia tertawa kecil, sepertinya dia berpikir aku sedang bercanda. "Aku bertanya karena aku tidak tau jadi, ku harap kau menjawabnya." jawabku.

Dia tertawa kecil, "Aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaanmu, Bells. Kita bisa bertemu jika kau mau, sudah lama sekali rasanya kau menghilang dari keluargamu. Bukankah kau akan kembali sore ini, hmm?" Aku menutup mataku kesal mendengar ocehannya.

Namun, itulah yang ku inginkan sampai bantuan datang. Biarlah dia terus mengoceh, aku tau dia sebenarnya mengetahui tentang Almonds akan tetapi, entah mengapa dia senang sekali menggodaku akhir-akhir ini. Aku tidak tau harus menelpon siapa lagi karena orangtuaku akan membunuhku jika sampai aku mempertanyakan mengenai hal-hal yang tidak boleh ku ketahui.

"Maaf, aku sepertinya tidak harus menelponmu." Aku hendak menutup ponselnya akan tetapi, pria tua ini mengarahkan pisaunya ke leher kiriku. "Bells, mengapa kau ingin tau? Aku tidak mengerti masalah itu. Jika kau ingin bertanya, kau bisa bertanya kepada ayahku karena secara sah dia masih menjadi pemimpin di perusahaan dan keluarga kita, kau tau itu kan." jawabnya tenang.

"Alexander, aku hanya ingin tau. Aku sebenarnya penasaran jadi, bisakah kau memberitauku tentang hal itu?" pintaku kepadanya sedikit memelas.

"Bells, aku akan ke Melbourne dan kita akan bertemu. Kau terdengar tidak baik, kita bisa bicara ketika aku sudah sampai, okay?" pintanya lembut. Tubuhku semakin berkeringat karena darah terus mengalir dari pergelangan tanganku. Pria tua ini semakin menyayat leherku. Aku pasrah sekarang.

"Bells, are you okay? Aku akan datang, jangan khawatir. Kita akan bertemu, apa Mike menyakitimu?" tanyanya lembut. Aku tidak pernah mendengar dia bertanya selembut itu selama 6 bulan terakhir. Dia benar-benar pria gila. Aku tidak mengerti mengapa sekarang aku menelponnya dan membuang waktuku untuk mendengar ocehannya.

Aku menurunkan ponselku karena aku sepertinya tidak kuat lagi, "Ada apa mengapa kau menutup telponnya?" Aku menggelengkan kepalaku, "Aku tidak tau harus mengatakan apalagi dan sepertinya waktuku tidak banyak untuk hidup jadi, biarkan aku menyampaikan pesan terakhir." ucapku terbata-bata, tubuhku begitu lemas.

"Baiklah, sepertinya pria yang kau telpon tidak akan mengatakan kebenarannya. Kami sudah mencoba banyak cara akan tetapi, gagal. Mengapa sulit sekali untuk mengembalikan anak itu kepada kami. Sudah bertahun-tahun sejak kalian menghabisi William. Sekarang, apalagi yang kalian butuhkan? Kalian sudah mengklaim seluruh harta yang tersisa!" teriaknya memarahiku yang tidak mengerti apapun.

"Kau bisa mengatakan kalimat terakhir." Aku mendekatkan ponselku ke mulutku.

"Alexander, jika aku tidak kembali-aku ingin kau mengatakan kepada ayah dan ibuku bahwa aku sangat mencintai mereka meskipun selama ini aku sangat membenci mereka karena-"

"Cepatlah sedikit! Kau sebaiknya bertanya dimana anak itu!" teriaknya memarahiku.

"Bells!!!" Aku menjantuhkan ponsel itu. Terdengar suara tembakan setelah aku menjatuhkan ponselnya. Aku tidak tau, mungkin aku sudah mati karena tubuhku terasa begitu lemas. Aku sudah tidak menghiraukan siapapun yang mencoba menolongku. Aku memang mati konyol di tempat ini bersama kekasihku, Mike.

***

"Bells? Apakah kau dapat mendengar suaraku?" Aku dapat merasakan Alexander mencium telapak tanganku. Apa yang terjadi? Apakah aku masih hidup?

"Bells, dengarkan aku Bells?!!" Aku tidak tau akan tetapi, mataku rasanya tak ingin terbuka. Aku hanya mendengar sayup-sayup suara Alexander yang panik memanggil namaku.

To be continued...