Chapter 7: His Desire
Isabella
Aku tidak tau akan tetapi dia bergerak dengan gesit melepaskan seluruh pakaian yang ku kenakan. Tadinya aku akan tidur akan tetapi, dia tetiba membuka pintu apartemenku. Hanya Alexander yang dapat melakukan itu karena dia membawa kunci cadangannya. Aku menutup pintunya, menguncinya karena dia sudah terlanjur membuatku telanjang. Napasnya berdesir begitu cepat, detak jantungnya, raut wajahnya tampak begitu marah.
"Isabella, cepatlah!" perintahnya ketika aku memutar kuncinya, "Kau lama sekali!"
"Arghhhh, Alexander!" Dia mendorongku dari belakang yang membuat tubuhku bertatapan dengan pintu yang membuat payudaraku terasa begitu tegang. "Ahhhh-ahhhh!!!" teriakku mendesah karena dia memasukkan batangnya begitu cepat. Dia terus menggerakkan pinggulnya walaupun belum sepenuhnya melepaskan celananya karena aku masih dapat merasakan celananya bersentuhan dengan kakiku.
"Kau tau dimana aku mendapatkan semua kesenangan ini, sayang!" ucapnya sembari terus menggerakkan batangnya menghujam liang kewanitaanku. Aku pasrah, tadinya kewanitaanku terasa sedikit basah sekarang terasa sangat basah karena hujaman batang Alexander dengan tempo cepat.
Kedua tangannya menahan tanganku, tubuhnya terus menghimpitku dengan pinggulnya yang bergerak semakin cepat yang membuatku mengerang kesakitan karena tidak nyaman meskipun rasanya berbeda dan terasa menyenangkan. Dia membalik tubuh telanjangku, mencium bibirku, menjelahkan lidahnya sementara, aku menurunkan celananya. Dia menjelajahkan lidahnya mulai dari leher ke bawah. Kedua tangannya meremas kedua payudaraku, sesekali dengan menjepit puting payudaraku dengan kedua jarinya yang membuatku merasa semakin tegang dan terangsang.
Seluruh tubuhku terasa menggigil dengan lidahnya yang terus menjelajah di atas kulitku. Aku dapat merasakan lidahnya, dia menunduk dan menjelajahkan lidahnya di atas klitorisku. Aku menatap ke atas, memejamkan mataku sembari mendesah dan mendorong kepalanya karena lidahnya bergerak begitu cepat. "Ahhhh-Ahh, Alexander don't stop!" Aku terus mengerang, dia tersenyum menyeringai kemudian, menggendongku dan merebahkan tubuhku di atas ranjang.
"Apa kau masih menyimpannya?" tanyanya kepadaku. Jantungku yang sudah berdegup kencang dan menunggunya untuk segera memasukkan batangnya lagi pun tak sabar, "Iya, lupakan barang itu. Rasakanlah, semua ini sudah terasa sangat bergetar." Aku menarik tangannya karena kewanitaanku terasa berdenyut. Dia memasukkan batangnya dengan cepat, dia terus masuk sembari meremas kedua payudaraku. Dia memegang pinggulku erat, sesekali dia memainkan jarinya dengan cepat di atas klitorisku yang membuatku semakin merasa tegang dan nikmat. Aku meremas sprei karena tempo gerakannya yang begitu cepat.
"Ahhh-ahhh, Alexander!!" Aku memanggil namanya sembari mendesah dia terus mendorong dengan cepat. Tubuh kami begitu berkeringat sementara, dia sepertinya sudah mengeluarkan cairan kental yang membuat rahimku terasa hangat.
"Alexander, I haven't-" Dia segera memasukkan kedua jarinya ke dalam liang kewanitaanku yang begitu basah mengetahui aku belum mencapai puncak. Dia mengulum batangnya dan memasukkannya lagi, dia mengangkat kedua kakiku yang dia letakkan di atas pundaknya. Dia terus memompa ke dalam dengan keringat yang semakin bercucuran. Dia terus menghujam kewanitaanku tanpa henti selama bermenit-menit sampai aku bergetaran karena sudah mencapai puncak.
Aku berteriak karena merasakan puncak yang begitu luar biasa diiringi dengan semburan cairan spermanya yang memenuhi rahimku. Dia melepaskan batangnya lalu, mencium bibirku. Dia membaringkan tubuhnya di sampingku dan mencium leherku.
"Aku sudah sangat merindukanmu, sayang." ucapnya terdengar lirih karena dia begitu mengantuk setelah menghujam kewanitaanku.
Kami tertidur sampai pagi, aku sudah terbiasa bangun pagi untuk memasak sebelum bekerja. Aku tak ingin membangunkan Alexander karena dia tampak begitu lelah ketika masuk ke dalam apartemenku. Aku tidak tau mengapa aku bertahan akan tetapi, di antara semua pria akupun jatuh cinta kepada Alexander. Aku jatuh pada perangkapnya, pria yang ku sebut sebagai kekasihku adalah suami orang lain. Mengapa takdir tidak mempertemukan kita terlebih dulu sebelum dia atau aku bertemu dengan cinta-cinta yang membuat kita sempat terluka hebat.
Pria yang gentle, Alexander tak pernah lupa untuk mengirim pesan atau sekedar menanyakan bagaimana keadaanku hari ini. Dia bahkan rela mempelajari perihal kedokteran agar nyambung berdiskusi denganku. Dia tak pernah melewatkan percakapan mengenai bisnis sebelum akhirnya saling bertelanjang melalui video untuk memuaskan diri masing-masing. Aku selalu membawa hadiahnya, sebuah vibrator kecil yang sangat luar biasa fungsinya, haha. Aku merindukan masa-masa itu. Aku tak menyangka bahkan ketika jarak memisahkan kita, kita masih tetap bisa berkomunikasi dan saling memuaskan.
Aku menyiapkan sarapan untuknya sebelum aku pergi. Aku meninggalkan pesan agar dia memakan sarapan sehat yang sudah ku siapkan. Tak lupa untuk mengingatkannya agar dia selalu berolahraga jenis lain tidak hanya di ranjang saja.
Hari ini aku pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Aku merasa lebih lega setelah menjalani serangkaian ujian. Seharusnya kelulusan setelah tahun baru akan tetapi, mereka mempercepat acaranya karena kampus akan mengadakan seminar besar di tahun depan di gedung yang akan digunakan sebagai tempat sumpah dan acara kelulusan. Walaupun untuk jadwal wisuda masih bulan maret di tahun depan.
"Selamat pagi, Isabella. Kau tampak senang hari ini?" Brandon menyapaku ketika kami masuk bersama ke gedung rumah sakit.
"Sedikit, bagaimana kabarmu hari ini?" tanyaku sedikit basa-basi.
"Aku baik, aku akan memeriksa Irene hari ini. Tempo hari aku tidak bisa datang karena masih berada di ruang ujian. Kau tau kita memiliki jadwal berbeda." jelasnya.
"Iya kau benar. Tapi, setidaknya kau sudah menyelesaikan ujian itu." Dia mengangguk tersenyum.
"Aku akan ke kantorku dulu." pamitku kepadanya. Dia tersenyum kemudian, mencium keningku, "Baiklah, aku juga akan ke ruangan Irene. Kita bisa makan siang bersama nanti jika kau punya waktu." Aku tersenyum merespon permintaannya karena siang ini aku berencana untuk makan di apartemen bersama dengan Alexander.
Alexander sepertinya benar tentang Brandon, aku merasa dia juga menaruh rasa kepadaku. Selama 2 tahun kita ditugaskan di rumah sakit yang sama. Kita pergi ke Munich selama 6 bulan bersama. Brandon dan aku tinggal di apartemen yang berbeda meskipun kami mengambil studi di universitas yang sama hanya saja selama ini kami selalu berbeda kelas. Kebetulan mempertemukan kami ketika praktek di rumah sakit yang sama. Dia mulai mendekat kepadaku, tentu kita sudah saling mengenal karena Brandon dan aku sering datang ke acara-acara penting keluarga berbeda dengan Irene yang tidak pernah datang sama sekali.
Namun, aku tak pernah menanggapi hal itu, aku pikir hubungan kami hanyalah sekedar sepupu sekaligus teman karena sebenarnya kita tidak begitu dekat walaupun tinggal dan bersekolah di universitas yang sama. Aku tak ingin menganggapnya serius karena khawatir Alexander akan berbuat sesuatu sementara, Brandon adalah adik kandungnya. Aku tak ingin menjadi masalah di antara persaudaraan mereka berdua.
Brandon mengajakku untuk keluar makan akan tetapi, aku menolaknya karena aku akan kembali ke apartemen. Brandon tampak kecewa dengan penolakanku akan tetapi, aku tidak ingin berbicara dengannya sebab Alexander juga sudah menungguku karena dia harus segera pulang setelah ini.
"Lunch ready." ucapnya ketika aku baru saja masuk ke apartemenku. Aku mencium aroma yang begitu sedap ketika menuju ke dapur. Alexander menyiapkan semua makanannya sendirian.
"Aku sudah memasak untuk kita sebelum aku kembali ke Perth." Dia menyajikan makanan di atas piringku. "Terima kasih, kelihatannya sangat lezat." ucapku memuji tampilan makanannya yang cantik dan tampak enak. "Terima kasih, semua ini tidak lebih lezat dari masakanmu, sayang." Dia tersenyum kemudian, duduk di hadapanku.
"Bagaimana hari ini? Apakah kau lelah?" tanyanya kepadaku sembari mengunyah makanannya.
"Semuanya baik, aku merasa senang karena lebih dekat denganmu. Kau tau semalam begitu luar biasa. Aku ingin segera kembali ke Perth agar kita bisa bersama." ucapku karena jujur saja, dia pergi pun aku begitu merindukannya sementara, aku tidak bisa menelponnya setiap saat terutama ketika dia sedang bekerja dan bersama dengan istrinya.
"Akupun tak sabar, aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kau dan kita." ucapnya.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Kau akan tau nanti, jika ku beritau sekarang maka, bukan kejutan namanya." Dia tersenyum menatapku, "Aku tidak sedang ulang tahun jadi, sebaiknya tidak ada kejutan, haha." Aku tertawa kecil, "Katakan saja." ucapku terus membujuknya,
"Kau akan tau, sayang. Aku ingin kita terus bersama, aku akan segera mencari cara agar kita bisa menikah tanpa harus ada skandal yang terdengar." ucapnya.
"Baiklah, aku akan selalu menunggumu, sayang." balasku.
Aku menyadari tidak bisa melakukan apapun selain menunggunya selesai membereskan pernikahannya dengan Jane. Aku tidak mengerti rencana apa yang sedang ada di dalam kepalanya akan tetapi, dia memintaku untuk terus menunggu tanpa harus ikut campur terhadap hal itu. Dia bahkan memintaku untuk menghindari ikut campur terhadap urusan Rick Bennet dengan alasan bahwa Rick adalah orang berbahaya. Aku sudah mengenalnya selama beberapa tahun ketika berpacaran dengan Frederick waktu itu. Rick adalah pria yang baik. Dia sudah menikah dan memiliki anak. Sekarang, dia kabur dari kejaran polisi atas kasus pencurian salah satu data aset milik Foster.
Frederick adalah kekasih pertamaku yang membuatku sangat kesal. Dia sudah berselingkuh dengan wanita lain selama setahun terakahir sebelum hubunganku dengannya berakhir. Alexander mengetahui hal itu, dia mengetahui aku bertengkar dengan Frederick di Perth tempo hari sebelum aku pergi ke Munich. Tanpa sepengetahuanku, dia membunuh Frederick dengan begitu kejam dan menjual seluruh organ-organnya ke pasar kami. Jasadnya tidak pernah ditemukan karena dibawa di peti yang dibuang ke samudra atlantik. Aku tidak tau bagaimana Rick menaruh kecurigaan kepada kami, aku bahkan tak memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya.
"Kau melamun saja, sayang? Apakah kau memikirkan sesuatu?" Alexander bertanya yang membangunkan lamunanku, "Tidak, aku hanya bertanya-tanya tentang keadaan Rick saat ini. Apakah dia pantas dihukum seperti itu? Mengapa tidak membebaskannya saja?" tanyaku penasaran.
Raut wajah Alexander seketika berubah menjadi keras, amarahnya seolah membara terlihat dari matanya dan responnya yang terdiam seketika dengan tangannya yang bergerak cepat mencincang-cincang daging yang akan dia makan.
"Dia sudah ditangkap dan berada di rumah. Jika dia setuju, dia akan menjadi subjek penelitian di Grand Foster Laboratorium semenjak kita membutuhkan beberapa subjek baru untuk penelitian." jawabnya santai.
"Mengapa? Ada apa dengan subjek lama? Apakah mereka mati?" tanyaku sedikit khawatir.
"Tentu saja, apa yang kau harapkan jika mereka diberi dosis yang tidak sesuai dengan tubuh mereka, sayang. Mereka akan mati, beberapa bertahan itupun dengan kegagalan fungsi organ karena efek dari obatnya." jawabnya santai sembari mengunyah makanannya.
"Alexander, lepaskan dia. Dia tidak bersalah, dia bisa dihukum karena mencuri. Kau bisa menyerahkannya kepada polisi biar hukum yang bertindak menghukumnya. Kita tidak berhak menghukum kesalahan atas orang lain." ucapku memelas.
"Aku sedang tidak membuat penawaran, sayang. Kau tidak perlu menasehatiku bagaimana caranya menghukum orang yang sudah berbuat kericuhan di perusahaanku." Dia meneguk segelas whiskey kemudian mengambil jas kerjanya.
"Alexander, aku belum selesai berbicara." ucapku mencegahnya untuk pergi.
Dia berbalik dengan tatapannya yang kosong, aku khawatir jika dia menatapku begitu. Aku mendekat dan berdiri di depannya, "Rick tidak melakukan apapun, kau tau yang membuatku terluka tempo hari adalah Almonds. Jadi, kau tidak perlu melakukan sesuatu kepadanya. Dia juga tidak menjual data maupun melakukan sesuatu yang jahat. Dia mengembalikan hal itu kepadamu." ucapku memelas.
"Alexander, dia bahkan menandatangi penjualan tanahnya untuk villa. Apa itu sudah kurang, kau sudah cukup memerasnya." ucapku sekali lagi untuk menyakinkannya.
"Bells, kau tidak- kau tidak mengerti sepertinya." Dia mengepalkan tangannya karena geram mendengar permintaanku.
"Baiklah, jika itu yang kau mau. Aku akan melepaskannya." Aku mencium bibirnya meskipun dia tidak meresponnya. "Aku akan datang minggu depan, jangan membuatku marah lagi dengan meminta hal seperti ini. Mintalah hal lain." ucapnya datar. Aku mengangguk dengan senyum tipis.
Aku mengantarkannya sampai depan pintu kamar apartemenku ketika dia pergi. Aku melambaikan tanganku dan menciumnya dari jauh. Aku akan sangat merindukannya ketika dia pergi. Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja di Perth walaupun di bawah pengawasan ibuku seharusnya hal ini akan membuatku lebih sibuk dan sulit untuk menemui Alexander akan tetapi, apapun alasannya aku pasti akan menemukan waktu untuk bertemu dengannya. Aku kembali masuk untuk membereskan piring yang ada di meja makan sebelum kembali ke rumah sakit karena sudah jadwalku untuk memeriksa pasien bersama dengan dokter Helena.
Helena hari ini akan sedikit telat jadi, aku bisa bersantai sejenak sembari membersihkan cucian piring yang menumpuk sejak semalam karena tadi pagi aku hanya sempat memasak dan menyiapkan sarapan. Helena adalah dokter yang keras meskipun dia adalah teman ibuku akan tetapi, bekerja dengannya seperti di bawah tekanan. Dia adalah dokter yang cukup perfeksionis meskipun begitu dia tetap ramah kepada setiap pasiennya walaupun amarahnya akan kesabarannya terhadap pasiennya selalu dia luapkan kepadaku.
Setelah selesai mencuci piring dan bersiap untuk kembali ke rumah sakit. Aku melihat Brandon berada di salah satu restoran yang berada di dalam gedung apartemenku. Apakah dia makan di sini? Jika iya? Dia pasti melihat Alexander keluar dari gedung ini. Aku harap Alexander mengetahui bahwa Brandon berada di tempat itu. Karena restoran itu berada di sebelah resepsionis dimana tamu dan penghuni sering keluar dan masuk.
"Isabella, aku pikir kau akan turun untuk makan bersamaku akan tetapi, kau tidak ada di sini. Dimana kau makan siang?" Aku tersenyum ketika dia datang menghampiriku.
"Di kamarku? Kau tau aku suka makan masakanku?" Dia tersenyum meresponku, "Aku juga baru saja melihat Alexander, sepertinya dia tidak melihatku. Apakah dia menginap semalam?" Deg, aku tidak tau harus menjawab apa sekarang.
To be continued...
