Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 9: They Know

Alexander

"Alexander, mengapa kau berteriak?" Dia baru saja terbangun setelah aku memanggil Elizabeth untuk datang memeriksanya. "Aku sudah mencoba untuk membangunkanmu akan tetapi, kau tidak merespon."

"Aku mendengarnya, aku hanya masih mengantuk. Kau menganggu saja."

"Kau tidak sakit, kan?" tanyaku memastikan. Aku memeriksa wajahnya dan suhu tubuhnya.

"Tidak, aku baik-baik saja. Aku hanya kelelahan hari ini dan kau membuatku lebih lelah." protesnya.

"Mengapa kau membangunkanku? Apakah kau membutuhkan sesuatu?" tanyanya lagi.

"Aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita. Apakah kau lapar? Jika tidak kau bisa tidur kembali karena besok kita akan pergi ke Auckland. Kita bisa menyempatkan waktu lebih lama berdua di vila daripada di rumah pribadi milik Foster di Auckland." Aku mendekat ke arahnya, mencium bibirnya. Matanya masih terlihat begitu mengantuk.

"Aku akan makan denganmu, sepertinya aku lapar jika melihat wajahmu begitu." Aku tersenyum menyeringai merespon kalimatnya. Aku membawanya ke meja makan untuk makan bersama. Dia tampak senang melihat beberapa makanan favoritnya tersaji di atas meja. Aku menyajikan makanan di atas piringnya.

"Aku sangat menyukai ini, rasanya lezat sekali." ucapnya ketika mencicipi makanan kesukaannya yang ku masak.

"Alexander, jika kau tidak menyingkirkan Billy. Aku khawatir kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Kau tau aku tidak suka diatur, bahkan ayahku tak pernah memberikan pengawal pribadi karena aku selalu menolaknya." ucapnya sembari mengiris daging yang ada di piringnya.

"Aku hanya mencoba melakukan sesuatu untuk melindungimu, Bells. Aku tidak mengaturmu. Kau tau Rick Bennet sedang berkeliaran." jawabku.

"Dia tidak berbahaya, Alexander. Almonds adalah orang yang paling berbahaya, kau tau mereka membunuh calon istrimu, mereka membunuh Mike dan hampir saja membunuhku waktu itu." tegasnya.

"Dan itu adalah poin pentingnya, Billy bertugas melindungimu dari siapapun. Bahkan dari Almonds atau Bennet sekalipun, Bells. Aku tidak ingin mendengar protesanmu lagi. Nikmati saja hidangannya setelah itu tidurlah dengan nyenyak." ucapku.

"Terlebih kau tidak belajar bela diri atau bahkan menembak jadi, akan lebih baik jika kau mengikuti saranku." ucapku menambahkan.

Dia meletakkan peralatan makannya dan kembali ke kamar tidurnya. Dia sepertinya kesal dengan apa yang aku lakukan. Aku melakukan semua itu untuknya agar dia tidak disakiti akan tetapi, dia sepertinya tak suka diikuti. Bahkan tujuannya mengambil studi kedokteran di Melbourne adalah untuk menjauhkan diri dari keluarganya dan konflik dengan Almonds tempo hari yang ingin mengambil anak mereka. Mereka bahkan mencoba untuk berdamai dan meminta agar anak mereka dikembalikan akan tetapi, keluarga kami mengakui bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan orangtua angkat putri Lily Almonds saat ini.

Mereka bahkan mencoba membunuh Yaren waktu itu, Yaren yang tidak bersalah atas apapun harus menjadi korban atas balas dendam Almonds kepada kami. Jika aku menemukan anggota mereka yang masih hidup, aku sudah pasti akan menghabisi mereka. Jika saja aku dapat menemukan anak Lily yang hilang itupun aku sudah pasti akan membunuhnya karena mereka telah membunuh kekasih dan calon istriku, Yaren.

Meskipun aku sudah melupakan Yaren yang sudah hampir 2 tahun meninggal, aku masih marah dengan siapapun yang telah membunuhnya. Itu adalah salah satu hal yang belum sirna meskipun cinta ini telah tergantikan oleh kehadiran Isabella yang saat ini tertidur lelap. Dia sepertinya baru saja mengonsumsi sebuah obat terlihat dari sisa obatnya yang ada di atas meja nakas. Aku berpikir dia hanya kelelahan saja mungkin, aku tak berpikir serius karena selama ini Isabella sehat-sehat saja.

Aku tidur di sampingnya ketika mengantuk, waktu sudah larut malam. Jane mengabari bahwa mereka sudah sampai di Auckland. Aku tak menghiraukan hal itu karena aku akan pergi ke tempat lain selama liburan akhir tahun di Auckland.

"Alexander, aku minta maaf jika semalam aku sempat menyinggungmu. Aku benar-benar sangat lelah. Tapi, aku tetap tidak ingin Billy." ucapnya sembari merapikan kebutuhannya di koper.

"Aku sudah menyingkirkannya. Aku melakukan apapun yang kau mau, sayang. Kau minta aku melepaskan Rick, ku lepaskan. Kau minta aku menyingkirkan Billy, sudah ku singkirkan dia. Tapi, jika kau memintaku untuk menyingkir, itu adalah hal yang tidak bisa ku lakukan." jelasku padanya.

"Jika aku sudah tidak mencintaimu maka, sudah pasti aku akan menyingkirkanmu, sayang." Dia berbalik menatapku dengan senyumnya yang menyeringai, "Benarkah? Bisakah kau melakukan hal itu, hmm?" Aku memijat kedua pinggulnya, mencium bibirnya, melumatnya dengan cepat.

"Alexander, kita bisa melakukannya di pesawat. Kau tau aku sudah merapikan bajuku untuk perjalanan ke bandara." protesnya lirih.

"Baiklah, jika itu yang kau mau."

Kami berjalan dengan waktu yang berbeda. Aku pergi lebih dulu dan menunggunya di pesawat sementara, dia akan menyusul. Aku tak ingin ada yang melihat kami bersamaan secara kebetulan. Aku ingin mengantisipasi agar tak ada yang melihat kami berbicara. Aku menelpon red untuk memastikan semua pengiriman barang aman karena selama liburan akhir tahun, beberapa pekerja mengambil libur untuk menyempatkan waktu bersama dengan keluarga mereka. Jika pengiriman berada di luar kontrol, aku khawatir Almonds akan kembali ke masa lalunya dengan mencuri beberapa barang berharga kami.

"Almonds sepertinya kembali ke Perth." ucap Dean di telpon.

"Bagaimana kau tau akan hal itu?" tanyaku penasaran.

"Jemma Almonds dikabarkan membeli rumah lama mereka dari Foster. Sepertinya mereka benar-benar ingin menemukan anak mereka. Mengapa kita tidak mengembalikan anak itu." ucap Dean kesal.

"Kita bahkan tidak tau siapa anaknya Lily, dimana dia sekarang dan bagaimana keberadaannya. Bagaimana kita bisa mengembalikan dia?" tanyaku kepadanya.

"Ya, kau benar. Tapi, mengapa kita tidak mencoba untuk mencari tau hal itu, siapa tau jika kau menemukan dia dan kita bisa mengembalikannya secara damai. Aku sudah muak dengan mereka, tempo hari mereka menculik Elizabeth ketika bertugas di Melbourne." Aku sedikit terkejut mendengar penjelasan Dean.

"Apa yang mereka lakukan?"

"Seperti biasa, serangkaian tes DNA. Elizabeth sempat sadar dan kau tau, si keparat William Almonds ternyata masih hidup." ucap Dean kesal.

"Kau tidak perlu khawatir, mengapa kita harus takut dengan mereka? Jumlah mereka sedikit." ucapku menenangkan, "Masalahnya adalah anggota keluarga kita banyak yang menolak untuk diberi pengawal." ucap Dean.

"Siapa itu? Kau tampak serius?" Isabella masuk dan bertanya. Aku menutup mulutku dengan kedua jarinya dan memberi tanda bahwa dia harus diam. "Apakah kau sedang bersama Isabella? Aku bisa mendengar suaranya." tanya Dean.

"Tidak, itu adalah asistenku. Kau tau suara orang di telpon dapat menjadi berbeda dari yang sebenarnya." jawabku beralasan.

"Ya, kau benar. Aku akan membantu menyelesaikan masalah ini jika kau sibuk." ucapnya.

"Baiklah, kalau begitu." ucapku hendak mengakhiri akan tetapi, aku ingat sesuatu yang harus ku tanyakan, "Apakah mereka melakukan hal lain kepada Elizabeth selain tes DNA?" tanyaku kepadanya.

"Tidak ada, mereka tidak melakukan apapun. Itu yang ku herankan karena Isabella disiksa dan hampir dibunuh setelah tes DNA." jawabnya.

"Baiklah, kalau begitu. Terima kasih atas informasinya, Dean. Aku harus mengakhiri telponnya karena ada urusan." ucapku.

"Selamat bersenang-senang, Isabella pasti akan sangat bahagia." Dia tertawa kecil sebelum mematikan telponnya. Aku sedikit terkejut dengan Dean.

"Aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari Dean, Elizabeth juga sudah tau tentang kita. Jadi-"

"Jadi, kita tidak bisa bersembunyi terus menerus, Bells." ucapku memotong kalimatnya. Aku sedikit kesal karena dia sepertinya terbuka terhadap orang terdekatnya, "Mereka akan diam, Alexander. Aku tidak memberitau siapapun selain mereka." Dia meneguk segelas anggur yang baru saja pelayan tuangkan.

"Tentu saja, kau tidak akan memberitau siapapun. Aku tidak ingin jika kau membuat masalah, Bells. Kau tau keluarga kita sangat memuja reputasi." tegasku kepadanya.

"Baiklah, aku minta maaf. Aku seharusnya diam."

"Ya, itulah yang seharusnya terjadi." ucapku sedikit kesal.

Aku beranjak dari tempat dudukku ke ruangan lain karena ada beberapa hal yang perlu ku selesaikan sekaligus aku ingin memberikan ruang dan waktu untuk berpikir jernih. Aku tidak suka jika Isabella membohongiku, tempo hari dia mengatakan hanya memberitahukan Mirabeth akan tetapi, kenyataannya Dean dan istrinya, Elizabeth pun mengetahui hal tersebut, pantas saja Elizabeth sempat menyinggung soal keberadaanku ketika Isabella terluka karena Almonds tempo hari. Aku meneguk segelas rum untuk menghilangkan kekesalanku. Aku masih berpikir tentang kemana hubungan ini meskipun aku sangat yakin untuk mempertahankan keduanya.

Berbicara dengan ayahku bukanlah solusi, dia tak pernah menikah dengan salah satu selingkuhannya. Dia selalu kembali kepada istrinya yang selalu memaafkannya. Dia tidak pernah mengajariku bagaimana berselingkuh yang baik dan benar, tentu saja siapa yang akan menulis peraturan tentang bagaimana selingkuh yang baik dan benar. Selingkuh dari pasangan adalah sebuah kesalahan sebab kita sudah mengikat diri, jiwa dan jari dengan sebuah janji suci pernikahan melalui sebuah pertukaran cincin yang disaksikan oleh Tuhan dan para mahkluk undangan yang hadir waktu itu.

Namun, kadang-kadang aku merasa hati ini terasa begitu aneh. Satu sisi aku sangat mencintai Isabella, aku juga masih mengasihi Jane sebagai istriku yang tak pernah mempunyai waktu untukku. Dia selalu sibuk dengan pekerjaan, selalu menemukan alasan untuk tidak hamil. Dia selalu bekerja dan mengatakan akan memberikan waktu namun, hal itu tak pernah terjadi. Aku mencoba untuk mencintainya waktu itu, gagal.

"Kau minum terlalu banyak, Alexander." Isabella masuk dan membawakan sebuah minuman hangat. Penglihatanku sedikit kabur karena aku meminum banyak rum. "Aku sudah mengatakan kepadamu, aku tidak memberitahukan hal ini kepada orang lain termasuk orangtuaku. Tidak ada yang tau selain kita, Dean, Elizabeth dan Mirabeth. Kau tidak perlu marah."

"Kau sudah berbohong kepadaku, apa yang bisa kau harapkan? Bagaimana aku bisa percaya kepadamu sekarang, hmm?" Aku menatapnya dalam sembari meneguk segelas rum yang ada di dalam gelasku. "Alexander, sudahlah." Dia mengambil gelasku dengan gesit.

Dia membawa botol rum keluar dari ruangan ini.

"Kau memang pembohong, Bells. Kau sangat-" ucapku melantur. Aku tetiba mengingat wajah Mike di dalam kepalaku ketika berada di gudang William waktu itu. "Kau sangat membohongiku, kau tau? Kau memintaku untuk segera menceraikan Jane karena aku tidak mencintainya akan tetapi, kau bersenang-senang dengan Mike di Munich."

Dia melotot terkejut menatapku, "Alexander, itu adalah kesalahan. Aku sudah tidak mempercayainya." jelasnya kepadaku.

"Tentu saja, kau hanya mempermainkannya. Kau ingin membuatku cemburu, bukan? Atau kau memang tidak mencintaiku, hmm?"

"Diamlah, tidurlah. Kita sama-sama berselingkuh, tidak ada bedanya." Dia merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Dia menyelimuti tubuhku dan beberapa saat sebelum mataku benar-benar tertutup aku mendengarnya menelpon seseorang.

"Kau bisa datang nanti, aku akan menunggu. Aku akan kembali ke Perth setelah liburan gila ini." ucapnya mengakhiri telponnya. Dia menatapku sekilas sebelum meninggalkan aku.

Isabella membangunkanku setelah pesawatnya mendarat. Udara di sini lebih dingin daripada di Perth. Aku dapat merasakannya, Isabella pun kedinginan sampai mengenakan syal dan baju hangat di tubuhnya.

"Aku tidak bermaksud menganggu liburan kalian akan tetapi, selamat datang." Dean menyambut kami bersama Elizabeth yang memeluk Isabella.

"Aku memilih tempat ini karena kita bisa sering bertemu." ucap Isabella kepadaku. Aku terdiam tak merespon.

"Kau tidak perlu khawatir, kami tinggal di hotel. Kalian akan pergi ke villa, aku tau itu." ucap Dean. Dia mengantarkan kami dengan mobil yang sudah disediakan untuk menjemput kami. Sebetulnya aku sudah memesannya jauh-jauh hari.

Sepanjang perjalanan aku tidak berbicara kepadanya, aku masih kesal dengan ucapannya. Dia sepertinya sibuk melihat foto-foto yang dikirim Elizabeth sepanjang keduanya liburan di tempat ini. Mereka memang teman baik hanya saja Elizabeth lebih tua darinya karena Elizabeth adalah teman kecil Dean. Mereka sudah berteman sejak lama dan memutuskan untuk menikah setelah berpacaran lebih dari 6 tahun. Aku mencoba menenangkan diriku agar amarahku tidak mencuat ketika mengingat penolakan dan permintaannya tempo hari yang menyebabkan kerugian karena Jerry baru saja mengabarkan, Rick Bennet memberikan petunjuk kepada polisi dimana kami menyembunyikan persediaan obat-obatan itu.

"Aku tidak tau harus mengatakan apa, Bells. Tapi, kau sepertinya meminta ini." ucapku ketika kami baru sampai di villa ini.

Aku menatapnya dengan penuh amarah, aku tidak bisa meredam amarahku terutama setelah mendengar berita itu. Aku tau, itu bukan salahnya untuk mengutamakan kemanusiaan akan tetapi, apa yang telah dia lakukan kepadaku, semua itu rasanya tidak adil.

"Tuan Foster, Tuan Zach menelpon anda." Aku melemparkan kepalan tanganku karena kesal.

"Kurang ajar sekali kau! Apa yang kau lakukan?! Apakah menurutmu melepaskan bajingan itu dapat membuatmu merasa senang atau kau merasa begitu puas?! Lihatlah apa yang akan dia perbuat kepada kita, Alexander!!" teriaknya memarahiku.

"Apa yang akan terjadi setelah itu?" tanyaku. Jantungku berdegup kencang, aku rasanya tak siap jika harus menghadapi hal ini.

"Kita akan merugi, hanya saja ibumu sudah mengubah kepemilikannya."

"Kau menambah pekerjaanku saja, Alexander. Adikmu itu belum selesai sekarang kau yang bermasalah. Jika kau tidak mampu membunuh Rick, serahkan saja kepadaku." ucap ibuku kesal.

"Aku akan membawa kepalanya ke hadapan kalian jika kalian menantangku." ucapku geram.

"Baiklah, kami menunggu pemandangan kepala dengan darah segar, Alexander." balas ibuku.

"Itulah akibatnya jika kau membunuh Frederick Bennet. Sepertinya mereka bukan orang sembarangan, red sudah menyelidiki sebagian dari profil mereka. Ayahnya adalah seorang mantan polisi di Perth. Kau harus hati-hati, kita tidak punya koneksi dengan mereka jadi, sulit untuk menghentikan mereka kecuali jika kau membunuhnya." ucap Papa.

Aku melemparkan ponselku seketika setelah ayahku menutup telponnya. Rick Bennet memang berbahaya, aku sudah menduganya. Dia hanya bermain-main, dia hanya memancingku. Aku sebenarnya sudah melakukan hal yang benar hanya saja, aku harus menunggu keputusan ayahku untuk membunuhnya.

"Alexander, apa ini?" Aku melotot terkejut melihat foto itu.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel