Chapter 6: With Her
Alexander
"Irene, apa kau merasa tidak nyaman? Bagaimana keadaanmu, sayang. Apa kau merasakan nyeri?" Isabella mendekat ke arah Irene yang sudah mulai membuka matanya. Irene justru menangis ketika Isabella menanyakan bagaimana keadaannya. Dia menangis tersedu-sedu sampai berteriak. Aku mendekat untuk membantu menenangkannya. "Irene sayang, apa yang terjadi? Mengapa menangis? Apa yang sudah kau lakukan?" tanyaku kepadanya agar dia berhenti menangis.
"Alexander, diamlah!" Isabella memperingatkanku.
Dia tersenyum sembari membelai rambut Irene yang masih menangis sedikit. "Sudah, tidurlah lagi, ya. Mama sama Papa kamu akan segera datang nanti, jangan khawatir. Dokter Sherlien akan datang untuk memeriksa kamu nanti. Dia sudah ditelpon." Irene hanya mengangguk mendengar perintah Isabel, dia kemudian langsung tidur sementara, aku dan Isabella keluar meninggalkannya. Aku harap dia tidak melihat aku dan Isabella yang sempat bercakap.
"Aku harap penglihatannya masih sedikit kabur ketika melihat kita begitu dekat, Alexander. Dia tidak boleh tau atau melihat kita." Isabella menarik napasnya panjang ketika menutup pintu utama kamar Irene. "Akupun demikian." Aku mengambil jalan yang berbeda seiring dengan kedatangan Vena yang membawakan makanan dan minuman untuk Irene. Aku akan menjenguknya lagi nanti karena sepertinya dia masih butuh istirahat.
"Tuan Foster, tunggu sebentar." Aku berbalik badan karena Vena memanggilku.
"Ada apa, Vena? Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanyaku.
"Tuan Zach meminta anda untuk mengawasi Nona Irene sampai mereka datang nanti, Tuan." Aku mengangguk dan kembali ke kamar Irene. Aku masuk ke dalam kamarnya kemudian menghampirinya yang ternyata masih belum tertidur.
"Apa yang kau lakukan disini, Alexander? Dengan Isabella?" Irene menatap wajahku sedikit ragu sementara, Vena menyiapkan makanan untuknya. "Aku tidak ingin makan, Vena."
"Ada telpon, aku akan menunggumu di ruang tamu jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa memanggilku, Irene sayang." Aku tersenyum dan mencium keningnya. Aku tidak tau harus mengatakan apa jika orangtuaku datang nanti karena tidak ada pekerjaan di Melbourne. Semua pekerjaan di Perth ku tinggalkan sejenak untuk bertemu dengan Isabella sehari. Aku tidak ingin dia berurusan dengan Rick Bennet karena itu akan membahayakan dirinya.
"Kau sebaiknya berada di sini untuk menjaga Irene, aku harus kembali untuk bertemu dengan Isabella karena besok pagi aku sudah harus berada di kantor. Jane sepertinya akan kembali lebih cepat." perintahku kepada John.
"Baiklah, Tuan."
Aku keluar dari kamar Irene dan kembali ke apartemen Isabella sampai dia selesai dengan tugasnya. Aku sengaja melalui kantornya untuk melihat apakah dia baik-baik saja atau tidak. Ku lihat dia baik jadi, ku tinggalkan hanya saja dia sedang berbincang dengan Brandon. Raut wajah Brandon tampak sedikit bahagia ketika berbicara dengan Isabella walaupun Isabella meresponnya sedikit canggung. Hal itu membuat hatiku sedikit terbakar rasa cemburu. Aku ingin sekali memukul Brandon karena berada di dekat kekasihku akan tetapi, dia itu adikku. Jika dia orang lain, sudah ku bunuh dia dan ku buang jasadnya ke samudra atlantik.
Aku mempersiapkan beberapa hadiah untuk Isabella nanti. Aku sangat mencintainya, sungguh aku tidak bisa melupakannya. Aku bahkan sudah membeli rumah pribadi yang jauh dari komplek perumahan milik Foster karena aku ingin bercinta dengan Isabella tanpa diketahui oleh siapapun. Kita tidak perlu berpisah lagi, kita akan bersama-sama sampai aku memutuskan untuk menikah dengannya nanti.
"Alexander, are you there?" Isabella mengunci pintu apartemennya ketika memanggil namaku, "Kau sudah kembali?" Aku memberikan sebuah buket besar yang berisi bunga berwarna merah dan ungu. "Irene seharusnya mendapatkan ini, bukan aku." Dia mencium aroma bunganya.
"Aku ingin memberikan ini untukmu sebelum kelulusanmu nanti. Kau akan menjadi seorang dokter, bukankah itu sebuah pencapaian besar?" Aku mencium bibirnya, "Terima kasih, sayang. Always the sweetest one. I love you so much." Dia mencium bibirku, menjelajahkan lidahnya ke dalam mulutku.
"Aku akan kembali besok dan minggu depan, aku akan menjemputmu lagi." Aku membelai wajahnya yang terlihat sangat cantik meskipun baru selesai bekerja, "Alexander, orangtuaku akan datang di acara itu. Dan aku tidak ingin mereka melihat kita." Dia meletakkan buketnya di atas meja dapur.
"Mereka tidak akan datang ke tempat ini, kan?" Dia tersenyum menatapku sambil meletakkan bunganya di dalam vas, "Tidak, mereka mengatakan akan segera pulang karena pekerjaan. Sementara, aku akan membereskan semua barangku untuk dikirim ke Perth sekaligus bersiap untuk pergi berlibur ke Auckland. Bagaimana jika kau menungguku di sana?" tanyanya kepadaku.
Aku mengangguk, "Baiklah, sayang."
"Apakah kau lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." tanyanya kepadaku, aku mendekat dan memijat kedua pinggulnya, "Bahkan sejenak kau pergi, aku sangat merindukanmu." ucapku.
"Aku akan menyiapkan makan malam kita, kau sebaiknya istirahat. Kau tampak lelah, Alexander." ucapnya menyarankan.
"Aku akan membantumu, Bells." Dia tersenyum sembari memberikan beberapa peralatan untuk memasak.
Aku sedikit mengingat kenangan lama semasa aku masih menempuh pendidikan sama sepertinya. Aku lebih sering memasak sendiri dulu, sekarang aku menemaninya memasak, kami berbincang banyak hal tentang hari-harinya dan tentang diriku. Aku bercerita banyak hal sepanjang memasak dengannya, kami tertawa bersama karena aku terus menggodanya dan sesekali menggelitik tubuhnya sampai beberapa makanan yang digoreng harus gosong karena kami terlalu banyak bercanda.
Isabella menyiapkan semuanya, aku membuang makanan yang telah gosong. Kami menikmati makan malam dengan pemandangan kaca apartemennya yang indah, langitnya malam ini cukup cerah, pemandangan kota Melbourne yang gemerlapan dan pemandangan rumah sakit dimana Isabella bekerja. Masakannya terasa begitu lezat bahkan lebih lezat dari yang biasanya ku buat. Aku dan Jane tak pernah menyempatkan waktu untuk hal-hal kecil seperti ini.
"Alexander, aku harap kau berjanji kepadaku bahwa suatu hari nanti kau akan memilihku. Kau tau kita sudah lebih dari 6 bulan bersama dan aku tak ingin membuang-buang waktu di usiaku yang akan segera menginjak 24 tahun." Dia mengunyah makanannya, kedua matanya menatapku dalam.
Aku mengangguk, "Tentu saja, aku pasti akan menikahimu. Pernikahanku dengan Jane bukanlah sebuah pernikahan kontrak. Aku bisa mengakhirinya kapan saja jika dia berbuat kesalahan." jawabku.
"Apakah kau akan menunggu sampai dia berbuat kesalahan? Bagaimana jika dia menjadi istri yang baik, atau bagaimana jika dia akhirnya mengandung anakmu? Apakah kau akan menceraikannya, Alexander?" tanyanya khawatir.
Dering ponsel sedikit menganggu percakapanku akan tetapi, aku punya alasan untuk tidak menjawab pertanyaan Isabella dengan menjawab telpon ini. "Aku akan segera kembali," Aku beranjak dan mengambil ponselku untuk mengangkatnya di luar ruangan.
"Alexander, ku dengar kau ada di Melbourne? Ibumu mencarimu dan kau tidak ada di sini? Aku sudah memintamu untuk menjaga adikmu, mengapa kau tidak melakukannya?" tanya ayahku dengan nada tenang.
"Aku ada pekerjaan, Pa. Aku sudah meminta John untuk menjaganya, dia akan baik-baik saja. Bukankah kalian sudah memanggil orang red?" tanyaku penasaran, "Iya, mereka sudah datang, aku pikir ada yang mencelakainya makanya aku meminta Vena untuk menyuruhmu menjaga Irene ternyata dia mencoba untuk bunuh diri."
Aku terdiam tak merespon, aku sudah mengetahuinya dari Isabella dan hal itu sangat mengejutkan sebetulnya hanya saja aku tidak ingin menganggu kehidupan Irene terlebih dia sudah mempertanyakan apa yang aku lakukan dengan Isabella di depan pintu kamarnya, itu artinya dia melihat apa yang ku lakukan dengan Isabella walau hanya berdekatan. Namun, dia mempertanyakan seolah mencurigaiku.
"Mengapa diam saja, Alexander? Apakah kau tidak ingin menjenguk adikmu? Jane akan segera datang karena kebetulan dia akan bertugas besok di Melbourne." Mataku melotot terkejut mendengar hal itu apalagi Jane sama sekali tidak memberitauku mengenai hal ini.
"Kapan dia akan datang? Dia sama sekali tidak menelponku." tanyaku.
"Sudah dalam perjalanan, sepertinya akan sampai dalam satu jam."
"Baiklah, aku akan datang setelah rapat malam ini." jawabku tenang.
Papa menutup telponnya sementara, aku kembali kepada Isabella yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Sampai dimana kita tadi?" tanyaku kepadanya.
"Kau akan menikahiku, kan?" Dia menatapku serius, "Bells, apa itu tidak terlalu awal untuk mempertanyakan hal itu? Meskipun mudah untuk menceraikan Jane akan tetapi, bagaimana jika dia menolak atau bagaimana jika orangtua kita menemukan skandal ini? Aku pasti akan mencari cara untuk menikahimu akan tetapi, tidak sekarang." ucapku mencoba menyakinkannya.
"Baiklah, aku akan menunggu. Aku akan menunggu sampai kau benar-benar siap untuk malu di depan umum bahwa Alexander Foster seorang pewaris dari seluruh perusahaan milik Foster tersandung skandal dan berselingkuh dengan sepupunya sendiri."
"Bells, kita tidak sebaiknya membicarakan ini." tegasku kepadanya.
"Itu adalah fakta, Alexander. Kau tidak bisa terus bertahan dalam hubungan ini."
"Kau selalu mengatakannya, apakah kau tidak bosan, sayang?" Dia mengusap air matanya sembari membereskan piringnya.
"Isabella, aku akan pergi untuk menjenguk Irene karena Jane akan ada di sana. Kau jaga diri baik-baik. Aku akan kembali minggu depan."
Dia mengangguk, "Baiklah, take care." Aku memeluknya dan mencium lehernya.
Aku mengambil jas dan dasiku sebelum akhirnya keluar dari kamar apartemennya. Aku rasa dia mengerti apa yang harus dia lakukan, tak dipungkiri dia pun jatuh cinta denganku. Kita saling mencintai, dia sepertinya tidak akan melepaskan aku semudah itu. Sudah pasti percintaan ini akan bertahan karena rasa cintaku kepadanya begitupun sebaliknya. Aku tidak pernah jatuh cinta sebelumnya kecuali kepada Yaren, calon istriku yang tertembak mati. Pernikahan dengan Jane hanyalah sebuah perjodohan, jika ada kata aku mencintainya adalah semata-mata untuk mempertahankan pernikahan yang sudah setahun berjalan.
Aku selalu mencoba untuk mencintai Jane semampuku karena setelah kematian Yaren sebenarnya aku masih belum bisa melupakannya. Dia adalah gadis yang baik, aku memutuskan untuk menikah dengannya setelah berpacaran selama 3 tahun lebih. Sama seperti Isabella, dia pandai memasak, tubuhnya ramping dan dia menyukai bunga. Hanya saja dia bekerja sama sepertiku, seorang CEO pada perusahaan Scott. Kami bertemu ketika masih kuliah studi bisnis di Melbourne.
Jane datang karena ibuku membawanya atas rekomendasiku karena aku sudah mengenalnya sejak lama, teknisnya aku juga memilihnya dan orangtuaku menyetujuinya untuk menutup skandal kematian Yaren. Dia menikah denganku beberapa hari setelah kematian Yaren. Sekarang, dia adalah istriku. Istri sahku tepatnya, aku tidak tau apa yang orangtuaku harapkan dari Jane akan tetapi, posisinya di pemerintahan sangat membantu perusahaan kami.
"Alexander, tepat sekali. Aku baru saja mendarat dari bandara." ucapnya menyambutku dari arah yang berbeda ketika tepat berada di depan kamar Irene.
"Senang sekali, kau apa kabar. Kau tampak cerah." ucapku memujinya. Tidak biasanya dia tersenyum bahagia. Aku mendekat memijat pinggulnya, "Tempo hari kau meminta bantuan untuk masalah Rick Bennet. Boom! dia tanda tangan atas tanah yang ingin kita bangun sebuah villa." jelasnya.
Aku menyipitkan mataku, "Kau tau dia berbahaya, Jane. Mengapa kau-"
"Alexander, aku mendapatkan pembelian itu untuk kita dan kau justru tidak berterima kasih atas apa yang sudah ku lakukan untukmu." ucapnya memotong kalimatku.
"Baiklah, terima kasih istriku sayang. Setidaknya kau tau dimana Rick Bennet saat ini."
"Di rumah, kau tau rumah itu. Dia masih di sana diinterogasi." jawabnya singkat.
"Dan kau? Kau ke tempat itu sendirian?" tanyaku penasaran.
"Benar, sayang. Aku hanya memintanya untuk tanda tangan persetujuan penjualan dan setelah itu aku kembali untuk mengirim uangnya ke rekening keluarganya." Aku bernapas lega mendengar jawabannya karena dia tidak bertanya aneh-aneh.
"Kau ingin masuk atau tidak, sayang?" Aku membuka pintu untuknya.
Irene masih menangis ketika ditanya oleh orangtua kami. Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi dengannya akan tetapi, Papa tidak akan diam merespon orang yang membuat Irene sampai menangis hingga melakukan hal yang tidak terduga seperti itu. Jane mendekat untuk membantu menenangkan Irene akan tetapi, Vena berakhir memanggil dokter yang akhirnya menyuntikkan penenang agar Irene tidak menangis lagi.
Setelah selesai menjenguk Irene, Jane mengajakku untuk menginap di hotel untuk menemaninya semalam.
"Aku akan bekerja besok jadi, ku harap malam ini kita bisa menginap bersama. Ku pikir aku setuju denganmu untuk segera memiliki anak, jadi-"
"Jadi, kau ingin aku untuk?" Aku mengangkat alisku menatapnya yang sedikit canggung. Semenjak dia sering pergi ke luar kota sebenarnya jarang sekali kami melakukan seks. Bahkan aku lebih sering pergi mabuk ke bar atau pergi ke Melbourne di malam hari dan pulang keesokan paginya ke kantor.
"Ya, kita bisa mencoba untuk itu." ucapnya ragu.
"Jane, ini bukan pertama kali kita melakukan hal itu. Mengapa kau tampak canggung sekali, hmm?" tanyaku memastikan, "Aku baik-baik saja, aku sebenarnya tidak begitu ingin-"
"Kau baru saja mengatakan ingin segera memiliki seorang anak dan sekarang kau mengatakan bahwa kau tidak begitu ingin melakukan seks. Sebenarnya apa yang kau mau?" teriakku kepadanya karena sudah terlanjur emosi. Aku tidak bisa menahan hasrat untuk melakukan seks dengannya, dia sudah meminta dan aku merasa ingin melakukan hal itu dengannya semenjak ayahku menelpon untuk menjenguk Irene dan aku meninggalkan Isabella.
"Alexander, aku minta maaf. Kau boleh pulang jika kau mau. Aku hanya ingin-"
"Baiklah, katakan tidak usah memintaku untuk menemanimu jika kau menolaknya!" Aku turun seketika dari mobil dan naik ke mobil yang John setir yang mengikuti dari belakang.
"Alexander!" Aku tak menghiraukan teriakan Jane dan pergi kembali ke apartemen Isabella.
Isabella masih belum tertidur untungnya. Napasku sudah menderu tercampur dengan emosi yang membara. Aku segera melucuti seluruh pakaian Isabella tepat ketika dia menyambutku di depan pintunya. "Alexander?"
"Diamlah Isabella!"
To be continued...
