Chapter 5: Sex Party
Isabella
Alexander tidak ingin aku ikut campur akan tetapi, dia selalu ikut campur terhadap urusanku. Berapa mantan kekasihku yang sudah mati karenanya. Aku sudah sangat muak, aku tidak bisa membiarkan dia terus membunuh karena itu adalah perbuatan yang salah. Aku tidak mengerti mengapa keluarga kita dengan sangat mudah mengambil nyawa orang lain tanpa memperhatikan dosa apa yang akan mereka tanggung nantinya. Apakah mereka tidak memikirkan tentang dosa atau mereka memang sudah terbiasa dengan hal itu.
Aku mengerti sepenuhnya dunia Foster, kita semua bahkan ayahku sendiri adalah seorang pembunuh handal. Ibuku adalah seorang dokter bedah yang seringkali bertugas untuk mengawetkan organ-organ yang dijual secara illegal ke luar negeri. Setiap kali ada manusia yang tidak terdaftar atau masuk secara illegal mereka akan membunuh mereka dan mengambil organ mereka. Selain itu, mereka juga memperdagangkan pelacur yang bekerja sama dengan Moretti. Pekerjaan yang cukup berbahaya dan beresiko, mereka mempelajari hukum untuk diri mereka sendiri.
Sialnya aku lahir di antara para pendosa itu, namun itulah kenyataan yang tidak bisa ku bantah sebab Foster sudah terbiasa melakukan hal itu sejak lama dengan hati-hati dan tersembunyi. Siapapun yang menentang pekerjaan mereka akan mereka lenyapkan dengan mudah sama seperti mendiang tante Yasmin. Selain bunuh diri, dia sebenarnya tertekan dan menolak sehingga, keluarganya harus memberikannya racun setiap hari untuk membunuhnya secara perlahan. Namun, dia justru meminum racun itu sendiri lebih banyak ketika bunuh diri di bathtub.
Mengerikan sekali mendengarkan setiap cerita tentang pembunuhan, pembataian, kekejaman dan bisnis gelap Foster serta pencucian uang yang selama ini mereka lakukan. Namun, aku tak pernah berkomentar, tugasku adalah membantu dan diam. Sama seperti yang lain hanya saja, satu-satunya yang tidak dikenalkan dengan dunia Foster adalah Irene. Aku tidak mengerti apa alasannya akan tetapi, dia adalah satu-satunya anak Foster yang diasingkan di Melbourne semenjak usianya menginjak 11 tahun. Mungkin dia masih naive, tidak mengerti dunia ini yang sebenarnya. Biarlah begitu, itu lebih baik daripada harus melihat darah setiap hari.
Aku mencoba menelpon keluarga Bennet akan tetapi, mereka justru tidak mengetahui dimana keberadaan Rick. Mereka marah menyalahkan Foster yang telah menghabisi Frederick karena alasan yang tidak jelas. Tempo lalu mereka sudah melaporkan kasus ini kepada polisi akan tetapi, tidak ada bukti yang kuat bahwa Frederick telah dibunuh. Itu karena laporan otopsinya dipalsukan. Aku sudah tau benar pekerjaan Alexander.
"Travis!" panggilku kepada Travis salah seorang pengawal yang ditugaskan ayahku untuk mendampingiku selama menempuh pendidikan kedokteran di Melbourne.
"Ada apa, Nona? Apakah anda membutuhkan sesuatu?" tanyanya kepadaku.
"Apakah kau bisa meminta Red untuk mencari lokasi keberadaan Rick Bennet? Aku butuh untuk bertemu dengannya, aku ingin berbicara baik-baik kepadanya."
"Itu tidak perlu, Bells. Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak usah bertemu dengan Rick. Kau sepertinya tidak memperhatikan peringatanku." Alexander masuk ke dalam apartemenku tanpa pemberitahuan. Tentu saja, dia memiliki kunci cadangannya.
"Tuan Foster." Travis menunduk menyambut kedatangan Alexander, "Keluarlah, Travis!" perintahnya yang dianggukkan oleh Travis.
"Apa yang kau lakukan di sini? Aku harus bekerja hari ini." Aku duduk dengan kesal menatap dirinya yang datang tanpa menelponku terlebih dulu.
"Bagaimana keadaan kekasihku atau harus ku sebut apa dirimu, Bells?"
"Selingkuhanmu, sayang." jawabku kesal.
Dia tertawa kecil, "Tidak, aku lebih suka menyebutmu sebagai kekasihku."
"Tentu saja, kekasih gelapmu, bukan? Alexander apa yang membuatmu datang kemari? Bagaimana jika Jane curiga?" tanyaku khawatir. Dia duduk di sampingku, mencium telapak tanganku, "Jane pergi ke Auckland lebih awal karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Kau tau dia selain memiliki pekerjaan sebagai staff pemerintahan, dia juga bekerja di firma ibuku dan di perusahaan ayahnya." jelasnya.
"Dia sangat sibuk, bahkan pekerjaannya terdengar jauh lebih kompleks dibanding dengan pekerjaanku." ucapku membandingkan. "Dia masih muda dan sudah memiliki banyak pekerjaan, bukankah dia wanita yang hebat? Lalu, mengapa kau masih berselingkuh dan ingin aku menjadi kekasihmu setiap saat? Kau tau aku bukan suatu barang yang bisa kau simpan dan kau buang jika kau sudah tidak membutuhkannya, kan?" Aku menatap kedua matanya dalam.
"Kau juga memiliki pekerjaan, sayang. Apa bedanya? Kau wanita yang cerdas bahkan lebih cerdas bermain di ranjang daripada dia. Aku memilihmu karena aku mencintaimu." Dia mencium bibirku, aku hanya meragukan ucapannya. Dia selalu saja merayuku, memujiku setiap kali kita bertemu.
"Alexander, aku masih harus magang setelah ini. Dan kau tidak perlu pergi ke Melbourne untuk bertemu denganku karena aku akan magang di Grand Foster Hospital." Dia tersenyum kemudian mencium keningku, "Aku tidak perlu merindukanmu lagi nanti."
"Ya, setelah disumpah aku akan resmi menjadi dokter jadi, aku akan mulai magang di rumah sakit milik keluarga kita." ucapku.
"Itu bagus, Brandon juga?" Dia menyipitkan matanya, "Benar, dia akan bekerja di rumah sakit kita. Alexander aku harap kau-"
"Aku tau kalian berteman akan tetapi, apa yang Brandon lakukan kepadamu adalah karena dia menyukaimu, Bells. Aku bisa melihat hal itu, jika dia bukan saudaraku maka, sudah pasti aku akan menghabisinya saat itu juga." ucapnya memotong kalimatku.
"Aku harap kau mengerti batasanmu, sayang. Aku tidak ingin kau menerima Brandon apalagi merespon perasaannya. Kau adalah milikku dan aku-"
"Bagaimana jika dia akan menikahiku sementara, kau hanya bisa menjadikan aku selingkuhanmu, Alexander?" tanyaku memotong kalimatnya, "Dan kita sepertinya tidak pernah membicarakan tentang kepemilikan, aku adalah kekasihmu begitupun sebaliknya meskipun hal ini terlarang. Namun, bagaimana jika Brandon mampu untuk mengikatku dengan pernikahan sementara kau tidak bisa?" lanjutku mempertanyakan kepadanya.
"Bells, jika dia menunduk di bawah lututmu dan mengatakan maukah kau menikah denganku? Sekarang kau harus menjawab pertanyaanku, apakah sedikit di dalam hatimu pernah mencintainya? Bukankah kalian sudah bersama di dalam fakultas yang sama selama 6 tahun. Kalian tinggal tetanggaan dulu sebelum kau pindah. Kau selalu menganggapnya teman." Dia seketika mencium bibirku, menjelajahkan lidahnya ke dalam mulutku dengan cepat.
Aku memegangi kepalanya karena mulai terangsang dengannya, napasnya mendesir cepat. Dia menurunkan risleting dressku sementara, aku membuka jasnya, membuka kancing kemejanya dengan cepat menyisakan dada bidangnya yang terlihat mempesona, selalu mempesona.
"Kapan terakhir kali kita melakukan ini, Bells?" Dia menurunkan dressku dengan gentle. Aku tersenyum tipis menatap dada bidangnya, aku sangat menyukai tubuhnya yang atletis dengan wajahnya yang dibalut dengan brewok tipis, astaga aku sangat mencintainya semenjak malam kecelakaan waktu itu di hotel.
"Jangan menatapku begitu, aku sedang bertanya?" Dia tersenyum menyeringai sembari meremas kedua payudaraku yang masih tertutup bra warna hitam. "Aku lupa, waktu itu kau pergi ke Munich bersama istrimu yang sedang bekerja sementara, kau? Kau memintaku untuk bertemu di sebuah hotel dan ingat apa yang kita lakukan seharian?" tanyaku lirih sembari menurunkan risleting celananya. Aku menurunkan celananya dan mulai memasukkan batangnya ke dalam mulutku.
"Seks, seharian. Satu ronde bahkan lebih dari 3 jam, bukan? Apakah kau merindukannya?" tanyanya sembari mengerang melepaskan pengait bra-ku dengan gentle. "Ahhhhh-" Dia mendorong kepalaku untuk bergerak lebih cepat memasukkan batangnya ke dalam mulutku. Aku bergerak semakin cepat yang membuatnya semakin mengerang. Dia menuntunku untuk berdiri dan berciuman. Aku mencium bibirnya, menjelajahkan lidahku ke dalam bersama dengan lidahnya.
Dia menurunkan celana dalamku, "Aku masih ingat waktu itu, kau menangis karena Fred memutuskanmu karena dia selingkuh tepat di dalam mobil setelah kepergianku ketika pertunangan Arthur dan kau justru menjadi kekasihku saat itu. Kita baik-baik saja, Bells sampai sekarang." Kami berciuman dengan ganas, dia terus mendorong tubuhku memasuki kamar dimana aku biasanya tidur. Jendela masih terbuka lebar karena ini masih siang. Alexander menutup semua tirainya dan mendorongku ke atas ranjang.
"Kita akan selalu baik-baik saja dan bersama, kan?" Aku menatap kedua matanya dalam. Dia mengangguk kemudian turun ke atas ranjang. "Tentu saja, kita akan selalu baik-baik saja dan bersama. Aku berjanji akan selalu melindungimu, sayang." Dia melebarkan pahaku lalu, menjelajahkan lidahnya di atas klitorisku yang membuatku seketika tergetar karena merasakan gerakan lidahnya yang begitu cepat.
Dia memegang erat kedua pinggulku dengan tetap menjelajahkan lidahnya dengan tempo cepat dari atas sampai dengan ke bawah melalui liang kewanitaanku. Aku merasa begitu basah dan tegang karena terangsang oleh gerakan lidahnya yang begitu sensual. Dia memasukkan kedua jarinya ke dalam liang kewanitaanku untuk membuatnya lebih basah setelah itu dia memasukkan batangnya dan menggerakkan pinggulnya dengan cepat menghantam kewanitaanku yang sudah sangat terangsang dan basah. Aku mengerang dan mencengkram selimut karena gerakannya yang begitu kuat.
"Aahhhh-ahhh-ahhh." Aku mendesah sembari menutup mataku karena kenikmatan batangnya yang tidak bisa ku tahan. Dia mencium bibirku dan memegang pinggulku erat, sesekali dia memijat pinggulku. Dia menarik batangnya kemudian memiringkan tubuhku, dia memasukkan batangnya melalui belakang tubuhku yang sudah memiring menghadap kaca. Astaga kami begitu terasa sangat berkeringat, dia terus menghantam batangnya ke dalam kewanitaanku di antara himpitan pahaku. Sesekali dia mencium pundakku dan menggigit leherku.
"Ahhh-ahh." Aku menutup mataku merasakan gairah batangnya yang terus menghantam masuk dengan begitu cepat. Napasku mendesir, jantungku berdegup kencang merasakan sebuah kenikmatan seks oleh Tuan Alexander. Dia tetiba mengangkat tubuhku dan meletakkannya di atas pangkuannya, aku bergerak memutar pinggulku di atas batangnya yang sudah masuk ke dalam liang kewanitaanku.
Dia tersenyum menyeringai menatap wajahku dan suara lirihku yang mendesah merasakan batangnya. Aku mempercepat tempo gerakanku yang membuatnya menutup matanya dan mendesah dengan kencang. Dia mengangkat tubuhku, mendorong batangnya sementara aku berada dalam posisi melingkarkan tanganku di lehernya. Dia berdiri dan memasukkan batangnya dengan cepat yang membuatku mengerang dan bergetar karena aku sudah mencapai puncak akan tetapi, dia terus mendorong yang membuatku merasakan puncak sekali lagi sampai dia mengeluarkan cairan kental yang hangat ke dalam rahimku. Napasku terengah-engah, dia masih belum menarik batangnya, aku memeluknya karena terasa begitu melelahkan.
"Tadinya aku ingin menjemputmu untuk pergi ke Auckland, maksudku ke vila yang sudah kau pesan untuk berbicara. Apa yang kau ingin bicarakan?" tanyanya lirih, aku masih terasa begitu lemas untuk menjawabnya. Aku merasa mengantuk sekarang padahal saat ini mendekati jam untuk kembali ke rumah sakit.
"Alexander, kau datang terlalu awal. Bukankah kita akan berlibur sekitar semingguan lagi? Atau aku yang salah? Aku lupa mengatakan bahwa aku sudah selesai dan akan disumpah sebelum perayaan natal. Jadi, aku harus menyelesaikan hal itu dulu sebelum bergabung untuk liburan. Kau tau, aku tidak terlalu suka kumpul dengan keluarga." jawabku lirih.
"Dan lepaskan batang itu." protesku karena kewanitaanku sedikit bergetar meskipun batangnya diam saja. "Tidak." ucapnya menolak akan tetapi, telponku berdering tetiba yang membuatku melepaskan Alexander karena itu pasti telpon dari rumah sakit.
"Ada apa? Apa yang terjadi? Satu jam lagi aku akan sampai." ucapku ketika mengangkat telponnya. Dia menjelaskan situasi yang sedang terjadi, "Baiklah, aku akan segera datang kesana." Aku meletakkan ponselku dan segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dengan cepat. Tidak butuh waktu lama untuk bersiap karena aku sudah terbiasa.
"Ada apa, Bells? Kau tampak panik sekali? Bukankah kau masih bekerja sebagai asisten?" tanyanya penasaran. "Aku tidak tau harus mengatakan apa Alexander akan tetapi, ini adikmu." Aku segera keluar tanpa menjelaskan lebih lanjut sementara, dia mengejarku meminta penjelasan namun, aku tidak bisa memberikan dia penjelasan karena aku harus segera datang.
Hanya membutuhkan 5 menit untuk sampai rumah sakit karena apartemenku berada di sebelah rumah sakit. Irene terlihat begitu lemas dengan luka di pergelangan tangannya, entah apa yang terjadi akan tetapi, dia kehilangan kesadarannya sesaat setelah tiba di ruang tindakan. Aku membantu dokter Arlene untuk menangani luka Irene yang tidak membutuhkan waktu lama karena dia telah diperiksa dan dalam keadaan baik. Untungnya dia tidak kehilangan banyak darah.
Aku menelpon Alexander setelah tindakan selesai dilakukan.
"Apa?! Mengapa kau tidak memberitauku tadi. Baiklah aku akan segera datang." ucapnya dengan sedikit emosi.
"Isabella, apa yang akan kita lakukan? Aku tidak bisa menghubungi keluarganya, mereka pasti sibuk. Dokter Sherlien akan datang sebentar lagi dia baru saja berada di pesawat setelah dikabari." Aku menghela napas panjang karena tidak tau harus berbuat apa. "Aku akan menghubungi paman dan bibi nanti. Anda tidak perlu khawatir, dokter Arlene. Dia akan dipindahkan, bukan?" Dia mengangguk kemudian pamit untuk pergi.
"Nona Foster apa yang terjadi kepadanya? Apakah Nona Irene baik-baik saja? Aku sangat ketakutan ketika menemukannya begitu." tanya perawat Irene, ya perawat Irene ketika dia masih kecil yang kini dia bekerja untuk melayani Irene di rumah pribadinya.
"Dia baik-baik saja, Vena. Dia akan dipindahkan, jangan khawatir. Aku akan menghubungi paman dan bibi nanti." ucapku menenangkannya. Aku masih memantau sampai Irene dipindahkan. Kabar ini sangat mengejutkan aku, selama ini dia baik-baik saja? Atau siapa yang tau dia bahkan tinggal jauh dari aku dan Brandon.
"Bells, apa yang terjadi? Mengapa dia melakukan ini?" tanya Alexander lirih ketika Irene selesai dipindahkan di kamar rawatnya.
"Aku tidak tau, tidak ada yang tau. Kau sebaiknya masuk, aku tidak ingin ada yang melihat kita." perintahku kepadanya karena kami berada di depan pintu kamar Irene yang terbuka. "Dan aku tidak akan menemuimu karena orangtuamu akan datang." ucapku sekali lagi.
"Aku tetap bisa melihatmu jika kau memeriksa Irene nanti." Dia semakin mendekat dan hampir mencium keningku. "Alexander!" Aku memperingatkannya karena Irene mulai membuka matanya.
To be continued...
