Chapter 3: Last One-Night
Isabella
*Flashback*
"Alexander, is that you?" Dia terus menggerakan pinggulnya menghantam liang kewanitaanku yang terasa begitu nyeri. Aku setengah sadar, dia begitu berkeringat. Aku baru ingat bahwa aku sedikit menggodanya, astaga koktail biadab itu membuatku berakhir dengan sepupuku sendiri.
Memalukan sekali rasanya, aku tau Alexander sudah menikah. Namun, mengapa dia mengerang, terus bergerak hingga berkeringat seolah dia pun menikmati permainan gila ini.
"Alexander, stop it!" Aku mencoba mendorong perutnya yang begitu atletis agar dia berhenti menggerakkan pinggulnya dengan tempo cepat yang membuat napasku terengah-engah ketika memaksanya untuk berhenti.
"Isabella Foster, you've wanted me, don't you?" Aku memegang erat kedua pinggulnya, dia mencium bibirku dengan begitu ganas bahkan aku tak punya kesempatan untuk bergerak, himpitan tubuhnya cukup erat. Dia seolah sedang merantai tubuhku dengan gerakannya yang begitu cepat dan cengkraman tangannya yang kuat.
"Ahhhhh-ahh-ahhh" Aku terus mengerang sepanjang pinggulnya terus bergerak, bibir kami saling bertemu dan dia menjelajahkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku mencengkram sprei karena gerakannya yang terlalu cepat. Kami berkeringat, aku terus mendesah yang membuatnya sampai puncak dengan mengeluarkan cairan putih kental ke dalam rahimku. Pria gila, itulah satu hal yang terbesit di dalam benakku ketika dia selesai dan membersihkan dirinya.
Aku sebenarnya masih begitu mengantuk sehingga, aku memutuskan untuk tidur dan melupakan apa yang telah terjadi. Berharap semua itu adalah mimpi, aku tidak mungkin melakukan seks dengan sepupuku sendiri yang telah menikah.
"Selamat pagi, Isabella."
"Aww!" teriakku terkejut ketika dia membangunkanku. Ku rasa semalam bukanlah mimpi, aku berkeringat menatap senyumnya yang menyeringai, "Alexander apa yang sudah kau lakukan kepadaku semalam, hmm? Apakah kau-?" Aku menatapnya serius.
Dia tertawa kecil kemudian duduk di sampingku, aku bergeser sedikit dan menutup tubuh telanjangku dengan selimut, "Aku sudah melihat semuanya, kau tidak perlu menutupinya, Isabella." Dia tersenyum menyeringai menatapku, aku menutup mataku sejenak agar tidak takut untuk menghadapinya. Aku merasa begitu ketakutan karena semua ini terasa begitu illegal untukku.
"Lagipula semalam sepertinya bukan yang pertama untukmu, Isabella." ucapnya lagi.
Aku menarik napas dalam, "Alexander, bisakah kau keluar? Aku butuh untuk berganti. Kau tau jika ada orang yang menemukan kita, skandal sudah pasti mencuat ke publik. Kau sebaiknya kembali kepada istrimu." saranku tanpa basa-basi karena ku rasa semalam sudah terlanjur terjadi dan aku dalam keadaan setengah sadar. Aku benar-benar tak ingat apapun sampai Alexander menghantam kewanitaanku berkali-kali dengan batangnya yang besar dan cukup panjang. Aku tak pernah merasakan kenikmatan seperti semalam sebenarnya.
"Baiklah, jika itu yang kau mau. Tapi, aku pastinya akan kembali untuk menculikmu, Isabella." Dia mencium keningku sebelum dia pergi. Aku tak menghiraukannya dan kembali tidur sebelum dering telpon ibuku membangunkan tidurku. Dia tak pernah membiarkan aku hidup dengan tenang terutama ketika aku mengambil studi dan akan memiliki profesi yang sama seperti dirinya.
Aku tak menghiraukan dering telponku, aku kembali tidur karena kepalaku masih sakit sebab koktail biadab semalam. Meskipun mencoba untuk menutup mata, aku masih teringat tentang hantaman Alexander semalam, bayang-bayang wajahnya ketika berada di atas tubuhku, pinggulnya yang bergerak begitu cepat dan lidahnya yang menjelajah ke dalam mulutku. Aroma tubuhnya, bentuk tubuhnya yang atletis, erangan suaranya yang begitu menggoda, wajahnya yang tampan dengan sedikit brewok. Oh astaga! Dia itu suami Jane Foster, aku tidak boleh memikirkan suami orang lain.
Aku harus mengembalikan kesadaranku bahwa semalam tak lebih dari hanya sebuah kecelakaan saja. Jadinya aku tidak bisa tidur karena kepikiran Alexander sehingga, aku mengangkat telpon ibuku yang mengomel dengan begitu cepat.
"Mama, aku masih di hotel, hari ini aku akan datang ke rumah." ucapku singkat.
"Kapan kau akan kembali, Isabella? Semalam kau mengatakan sudah sampai di bandara, mengapa harus menginap di hotel? Apa yang kau lakukan semalam? Apa kau tidak bisa langsung pulang ke rumah?" Ya begitulah ocehannya yang membuatku beranjak dari tempat tidur dan memakai handuk sebelum berendam diri di dalam bathtub.
"Semalam aku mabuk, Ma. Jadi, harus nginep di hotel. Nanti pulang kok, Ma." ucapku sedikit lembut agar dia tidak mengoceh lebih banyak.
"Baiklah, kalau begitu. Kau harus segera datang karena acaranya malam ini." Aku hanya mengiyakan ucapannya, aku sudah muak dengan omelannya setiap kali menelponku.
Aku kembali di antara sela-sela studi praktek yang ku ambil. Setelah ini, aku akan pergi ke Munich untuk praktek sekaligus mempelajari obat-obatan bersama dengan Brandon Foster, sepupuku atau adiknya Alexander. Sebenarnya itu akan membuatku begitu sibuk namun, aku tidak punya pilihan lain, aku tidak bisa menolak sebab tak ada opsi untuk menolak. Sepertinya aku harus terbiasa untuk mengerjakan dua hal dalam satu waktu.
Acara malam ini adalah pertunangan kakakku, Dean Foster dan sahabatku sejak kecil, Elizabeth Foster. Dan malam selanjutnya adalah pertunangan sahabatku, Arthur Stevenson yang merupakan seorang dokter juga dengan kekasihnya, Lenna Scott. Aku tidak bisa melewatkan keduanya terutama ketika Arthur memintaku untuk datang di acara spesialnya. Sebenarnya aku ingin segera kembali ke Melbourne untuk mempersiapkan diri sebelum praktek di Munich. Hanya saja Arthur sedikit menunda kepergianku dengan mengundangku secara langsung ke Melbourne waktu itu. Dia memang sedikit aneh, mengapa harus datang ke Melbourne untuk mengundangku begitu?
Malam ini aku mengenakan dress warna hitam, aku tidak pulang ke rumah terlebih dulu melainkan istirahat di hotel setelah mengangkat telpon ibuku karena aku tetiba mengantuk jadi, aku berangkat dari hotel menuju ke rumah dimana pertunangannya akan diadakan di rumah. Hanya keluarga dekat Foster yang menghadiri acara malam ini termasuk Alexander Foster yang datang bersama dengan Jane.
"Isabella, darimana saja kau? Mama sudah menelpon kau berkali-kali akan tetapi, tidak tersambung." Ibuku menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Aku menutup mataku dan menghembuskan napas panjang, "Aku lupa ngecas ponsel aku, Ma. Jadi, ponselnya sekarang mati." Aku melambaikan tangan kepada pelayan yang datang untuk mengambil ponselku yang sudah mati. Aku memang sengaja mematikannya agar dia tidak menganggu penginapanku di hotel.
"Lagipula acaranya belum dimulai jadi, mengapa Mama begitu panik kalau aku belum datang?" Aku mengangkat alisku sebelah, "Kau adalah bagian dari keluarga, Isabel. Kau tidak boleh melewatkan acara ini atau Dean akan bersedih. Dia sangat menunggu kehadiranmu."
Aku tersenyum tipis menatap raut wajahnya yang masih sedikit khawatir, "Dean atau Papa?"
"Isabel" Papa mendekat dan memelukku erat seketika. "Papa sangat merindukan kau, kenapa tidak langsung pulang semalam, hmm? Kau membuat ibumu hampir gila karena khawatir." Dia mencium keningku.
"Aku butuh untuk bersenang-senang sedikit, sudah 5 tahun aku tidak tinggal di Perth jadi, aku sedikit merindukan suasana klub." jawabku.
"Mama harap kau tidak mabuk berat, Isabel." ucapnya sinis.
Aku menggeleng, "Tidak, aku tidak mabuk berat. Aku minum sedikit dan lelah kemudian memutuskan untuk menginap di hotel."
"Benarkah? Kau tidak menyelipkan lelaki ke dalamnya, kan?" Papa menatap kedua mataku dalam. "Kau sepertinya menyinggungku, Louis." Bibi Lara menimpali pertanyaan Papa tepat ketika dia datang bersama suaminya, Alexander dan istrinya. Brandon tidak datang karena dia masih bertugas sekaligus dia bersedia untuk menggantikan bagianku selama aku di Perth.
"Jika bukan begitu, kau tidak akan bertemu denganku, Lara." balas Paman Zach.
"Silahkan masuk, keluarga wanita akan datang sebentar lagi." ucap Mama mempersilahkan.
Kita semua masuk ke dalam ruangan makan dimana seluruh hidangan telah disajikan di atas meja yang lebar dan cukup panjang. Papa sengaja tidak mengundang banyak orang bahkan menyelenggarakan pesta karena khawatir Almonds akan menyelinap dan menyerang selama acara mengingat kejadian penembakan yang menewaskan calon istri Alexander tempo hari, seluruh acara pribadi Foster dan Stevenson dilaksanakan secara tertutup dan dihadiri oleh keluarga dan teman terdekat jika ada.
"Lara, dimana Irene? Mengapa dia tidak datang, apakah dia sibuk?" tanya Mama kepada bibi.
"Irene tidak bisa datang karena dia harus ujian praktek sekaligus setelah ini dia harus mengerjakan skripsinya agar cepat lulus karena dia harus mendapatkan sertifikasi dan mengambil studi master." jawab bibi Lara yang terdengar sedikit ambisius di telingaku.
"Jangan memaksakan hal itu, Lara. Kau harus ingat apa yang terjadi tempo hari. Atau haruskah aku mengingatkanmu, hmm?" ucap paman Zach lirih. Aku tidak mengerti apa yang mereka maksud.
"Sebaiknya kita membicarakan hal lain, topik Irene kedengarannya begitu sensitif, Jade. Dimana Dean? Apakah dia masih belum bersiap juga?" tanya ayahku karena Dean belum juga muncul sejak kedatanganku.
"Dia sudah datang." ucap ibuku ketika melihat Dean datang yang kemudian menghampiri semua orang untuk mengucapkan selamat datang. Beberapa saat setelah Dean duduk di samping ibuku, keluarga Elizabeth datang untuk menghadiri acara pertunangannya. Acara ini dimulai dengan sambutan ayahku sebagai permintaan izin kepada keluarga Elizabeth dilanjutkan sambutan ayah Elizabeth dan tukar cincin sebagai acara selanjutnya.
Setelah semua sambutan yang terdengar membosankan itu, makan malam disajikan oleh pelayan sebagai jamuan untuk para tamu. Semua orang berbicara termasuk Jane yang dapat nyambung dengan topik tentang bisnis dan ekonomi saat ini karena dia bekerja sebagai salah satu staff pemerintahan yang mengatur regulasi tentang bisnis sekaligus dia adalah seorang pengacara muda yang terkenal karena telah menyelesaikan sebuah kasus pencucian uang milik Foster.
Istri yang cerdas, elegan, cantik dan berpendidikan seperti Jane. Namun, Alexander Foster sepertinya tidak cukup dengan hal itu terlihat dari matanya yang melirik menatapku. Sesekali dia menatap tamu lain agar tak terlihat menatapku begitu lama. Setelah apa yang terjadi semalam dia seharusnya berhenti memperhatikanku dan bersikap seolah semalam tidak pernah terjadi. Namun, parahnya dia mengirim sebuah pesan kepadaku yang terlihat cukup gila.
"Aku akan menunggumu di hotel Green. Jika kau tidak datang, aku akan menculikmu, Bells." Aku membacanya dan menatap kedua matanya seketika dengan sinis. Dia tersenyum menyeringai sembari meneguk segelas anggur merahnya merespon tatapanku. Aku tidak menghiraukan pesannya karena ku pikir mana mungkin dia akan menculikku sementara, aku berada di dalam rumah kedua orangtuaku. Lagipula, dia sudah punya istri, seharusnya dia tidak tertarik terhadap wanita lain meskipun semalam benar-benar bentuk ketidaksengajaanku.
Aku menikmati hidangannya sembari menatap Alexander sesekali yang memperhatikan aku dengan senyumannya. Dia itu seperti orang tidak waras, istrinya bahkan berada di sampingnya dan dia melirik ke arah wanita lain tanpa rasa bersalah, dia memang sudah tidak waras. Aku minum lebih banyak karena sedikit frustasi setelah mendapatkan pesan lain. Aku sudah muak dengan semua itu.
Setelah serangkaian acara itu, dia hanya berbohong kepadaku saja, aku sudah cukup memberikan toleransi akan tetapi, aku tidak bisa terus bertahan dengannya. Aku lebih frustasi ketika dia menelponku berulang kali dengan dalih dia ingin menjelaskan kesalahannya tempo hari. Dia sudah mempermalukan aku di depan para dokter karena datang terlambat dan menuduhku berselingkuh tepat ketika aku selesai bertugas membantu tindakan operasi waktu itu. Aku tak menghiraukan telponnya, aku memilih untuk pergi diam-diam tanpa diantarkan pengawalku setelah acaranya selesai.
"Ku pikir kau tidak akan datang, Isabella." Dia duduk dengan santai sembari meminum whiskey.
Aku menutup pintunya dan menguncinya. Aku menghampirinya yang tersenyum karena aku tidak menolak tawarannya.
"Apa yang membuatmu berubah pikiran."
"Alexander berhenti menanyakan hal itu." Aku mengecup bibirnya, melumatnya dengan begitu ganas. Dia meletakkan gelasnya di atas meja kemudian menurunkan risleting dressku dengan cepat. Aku membuka celananya dan duduk di atas batangnya yang sudah menegang sejak aku mencium bibirnya dengan ganas.
Aku memutar pinggulku, menaikkan dan menurunkan pantatku dengan cepat. Dia memegang erat kedua pinggulku, terdengar napas dan detak jantungnya berdegup kencang. Dia terus membuat pinggulku bergerak. Ketika aku merasa sedikit kelelahan, aku bergerak dengan tempo pelan sembari melepaskan kancing kemejanya dengan gentle. Aku membuka kemejanya, mencium bibirnya, lidahnya menjelajah ke dalam mulutku dengan gentle. Dia mengangkatku dan menurunkan aku di atas ranjang. Dia menurunkan seluruh celananya dan menyisakan tubuh atletisnya telanjang di hadapanku.
"Aku tidak menyangka kau akan membuatku begitu tegang dan ingin menyetubuhimu sampai kau pingsan, Isabella Grace Foster." napasku menderu mendengar suaranya ketika dia melepaskan bra dan celana dalamku. Kami saling telanjang, dia turun ke atas ranjang dan mulai memasukkan batangnya ke dalam liang kewanitaanku yang sudah begitu basah karena aku bermain lebih dulu. Sebenarnya, aku sudah sangat terangsang ketika melihatnya, aku merindukan semua ini tanpa disadari. Sepertinya aku dimabuk olehnya, tidak bisa ku pungkiri kenikmatan yang ku dapatkan dari setiap hentakkan pinggul Alexander yang terasa luar biasa.
Aku memegang erat kedua pinggulnya, kakiku sedikit bergetar ketika dia terus menghentakkan pinggulnya dengan cepat memasukkan batangnya ke ujung kewanitaanku yang membuatku sudah sampai puncak. Dia mengeluarkan cairan putih kental ke dalam kewanitaanku yang terasa begitu hangat. Aku terasa begitu lelah dan tertidur setelah permainan Alexander selesai. Aku tertidur sampai pagi karena telpon dari ibuku.
"Jika kau punya waktu, kita akan bertemu malam ini, Isabella. Maaf, meninggalkanmu karena aku harus pergi bekerja." tulisnya dalam secarik kertas yang dia tinggalkan di meja nakas. Aku membakar suratnya sebelum akhirnya pergi untuk membersihkan diri dan kembali ke rumah.
Malam ini aku datang ke acara pertunangan Arthur yang dilaksanakan dengan pesta dan lebih banyak orang diundang termasuk kedua orangtuaku serta Dean dan calon istrinya.
"Semalam luar biasa sekali, Bells. Aku sangat suka gerakanmu yang begitu aggresive." Alexander membawakan minuman serta berbisik di telingaku. "Kecelakaan, Alexander. Aku tidak akan menerima undanganmu lagi karena aku tidak bisa. Kau sudah menikah." tegasku sambil minum anggur merah yang dia bawa.
"Kalau begitu, Alexander Foster sudah tentu akan menculikmu, Isabella Foster." Dia berbisik tepat di telingaku sebelum akhirnya pergi untuk berbincang. Aku tak menghiraukan peringatan itu sampai seseorang masuk ke dalam mobilku dengan paksa.
To be continued...
