Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 2: Save Her

Alexander

6 bulan sudah berlalu sejak kepergiannya, bersama dengan kekasih baru? Bukan hal yang tidak bisa ku tebak dari seorang Isabella Foster. Banyak lelaki yang tertarik dengannya namun, dia tak pernah mau tau latar belakang mereka. Entah dia hanya mempermainkan mereka atau dia memang mencintainya? Aku tidak pernah tau. Namun, kepergiannya menyisakan sedikit luka di dalam hatiku. Aku merasa kesepian, hampa ketika dia meninggalkanku dari hotel malam itu. Selalu merindukannya, terdengar gila bukan? Namun, itulah cinta.

Hari ini seharusnya aku pulang ke Perth untuk merayakan satu tahun pernikahan dengan istriku, Jane Foster. Hanya saja, ada beberapa hal yang masih belum selesai di Melbourne terutama ketika ayahku memberikan pekerjaan lain yang harus segera diselesaikan sebelum kembali ke Perth. Siang ini seharusnya aku sudah dalam penerbangan menuju Perth namun, ketika ku lihat ada yang genting dari notifikasi red. Aku menuju ke tempat itu bersama beberapa pengawal yang kebetulan berada di Melbourne untuk menjaga adik-adikku.

Isabella? Apakah dia dalam bahaya? Aku menelponnya dan berbicara dengan tenang akan tetapi, keadaannya sepertinya sudah benar-benar parah. Aku mencoba untuk terus tenang ketika membalas percakapannya.

"John kau bisa lebih cepat, Isabella sepertinya sedang dalam bahaya."

"Kita sudah sampai, Tuan." John berhenti seketika di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Kami menerobos melalui gudang dimana sinyal ponsel Isabella masih dapat berfungsi. Sebenarnya, kami masih terkoneksi walaupun 6 bulan dia meninggalkan aku. Andai saja dia tidak ditunjuk menjadi kepala laboratorium, mungkin sekarang dia tidak akan berada di dalam posisi ini.

Aku secara spontan menembak pria tua yang sudah menyakiti Isabella. Dia terluka parah di area leher dan pergelangan tangannya. Tidak ada penjaga lain yang berdatangan sehingga, red hanya perlu meringkus mayat pria tua ini ketika mereka telah datang. Aku membawa Isabella ke rumah sakit untuk dirawat. Aku khawatir akan tetapi, para petugas medis tidak mengizinkanku untuk masuk.

"Alexander, aku tidak percaya kau ada di sini. Apa yang terjadi kepada Isabella?" Elizabeth, wanita ini adalah calon istri sepupuku, Dean. Dia adalah dokter yang baru saja merawat Isabella, tatapannya penuh dengan pertanyaan.

"Aku tidak sengaja melihat sinyal bahaya yang dia kirimkan kepada red, jadi, aku menyusulnya. Tidak ada hal lain, Nona Elizabeth." Dia mengangkat alisnya sebelah, "Itu urusanmu, Alex. Sebenarnya Dean sudah memberitauku, kita bicara. Hanya saja aku tak mau ikut campur. Isabella dan aku, kami cukup akrab sebenarnya."

"Perlukah kita membicarakan hal ini? Bagaimana keadaannya?" tanyaku kepadanya.

"Dia kehilangan banyak darah sebetulnya, kami sudah memberikan beberapa kantung darah kepadanya. Dia masih lemah setelah dilukai. Namun, setelah transfusinya selesai, dia bisa dipindahkan ke kamar pribadi." jelasnya.

"Dan aku harus pergi karena-"

"Kau tidak menelpon kedua orangtuanya, kan?" Aku menarik lengannya yang hendak pergi.

Dia menggeleng, "Tidak, kau bisa memberitau mereka jika kau ingin atau Isabella bisa menelpon mereka nanti. Aku tidak ingin menelponnya karena Isabella bisa memarahiku jika ibunya paranoid melihat keadaannya apalagi mengetahui keadannya ya walaupun dia pasti akan tau karena Jade Foster itukan seorang dokter." jelasnya.

"Ya, kau benar." Aku melepaskan lengannya dan membiarkannya pergi. Aku menunggu Isabella yang masih dalam proses transfusi darah di depan ruangan. Aku masih panik, keadaannya membuatku sedikit takut jika aku kehilangan dia. Sudah setengah tahun dia meninggalkan aku dengan segenap sisa-sisa cinta yang tak bisa ku hilangkan. Aku begitu tergila-gila dengannya.

Jane tidak menelponku hari ini, dia disibukkan dengan pekerjannya sebagai seorang pengacara yang mengurus kasus-kasus yang menyangkut pemerintahan maupun pejabat pemerintahan. Menikah dengannya adalah sebuah kesepakatan besar yang ku putuskan setahun lalu setelah insiden penembakan calon istriku waktu itu. Jane yang ku anggap sebagai sahabat dan teman lama hadir sebagai seorang jodoh yang dibawa oleh kedua orangtuaku.

Tentu aku mencintainya seiring dengan berjalannya waktu. Hanya saja ada sesuatu yang tidak ku temukan pada diri Jane dan hanya ada pada diri Isabella. Seorang wanita yang kini sedang terbaring lemah dengan segala perlengkapan penunjang kehidupan yang membantunya untuk sembuh. Keadaannya begitu memprihatinkan, aku bahkan tidak sanggup melihat ketika para perawat dan Elizabeth merawat luka-lukanya. Melihat hal itu seolah dapat merasakan rasa sakit yang dia derita.

Untuk sedikit mengisi luangku, mengucapkan selamat setahun pernikahan merupakan satu hal yang harus ku lakukan. Jane dan aku beberapa kali melewati masa-masa pernikahan yang sebenarnya cukup sulit meskipun kami berdua sama-sama memaafkan karena sibuk hingga akhirnya sampai sekarang kami masih belum memiliki seorang anak. Selain komitmen, kami tidak begitu dituntut untuk memiliki seorang anak apalagi ibuku, dia sama sekali tidak peduli akan seorang cucu hanya saja ayahku yang sering memintaku untuk segera punya anak.

Memposting fotonya, "Selamat satu tahun pernikahan istriku, sayang. Aku sangat mencintaimu, semoga pernikahan kita terus berlanjut, baik burukku engkau maafkan dan kita tetap saling memperbaiki diri untuk menuju pernikahan yang baik." Setidaknya itulah kalimat yang ku tuliskan di bawah foto kami yang mengenakan pakaian pernikahan ketika menikah dulu.

Aku memang mencintai Jane akan tetapi, Isabella membuatku jatuh cinta lebih dalam. Dia memberikan sesuatu yang tidak bisa Jane berikan, aku masih mengingat ketika bertemu dengannya di Perth waktu itu. Semua orang mengenal Isabella, bahkan banyak yang mengira dia adalah satu-satunya anak perempuan yang ada di keluarga Foster. Jarang yang mengenal Irene karena dia selalu disembunyikan oleh kedua orangtuaku. Mereka tidak membiarkan Irene berkeliaran di Perth. Sejak kecil, Irene bersekolah di Melbourne.

Aku sudah menunggu selama beberapa jam sampai akhirnya Isabella dipindahkan ke ruangan pribadi. Aku mengikuti para perawat, aku meminta beberapa pengawal untuk menjaga Isabella karena aku khawatir dia akan diculik oleh para orang suruhan Almonds. Dia harus tetap aman karena aku tidak ingin ada siapapun yang menyakitinya.

Duduk di sampingnya, membelai telapak tangannya. Aku dapat merasakan setiap sentuhan yang dia berikan di malam-malam itu. Masih ku ingat aroma tubuhnya, parfumnya, kecupannya yang begitu sensual. Permainannya begitu luar biasa, aku senang, selalu merasa senang ketika tidur dengannya. Selama 6 bulan terakhir, aku memang hanya menghubunginya melalui telpon ketika jam kantor telah selesai karena Jane jarang di rumah jadi, aku dapat berbicara dengan Isabella dimana saja yang ku inginkan.

"Alexander, apa yang terjadi? Aku tidak percaya aku masih hidup." Dia memegangi kepalanya yang terasa nyeri setelah mendengar beberapa pertanyaanku sebelum akhirnya dia membuka matanya lebar dan tersadar.

"Almonds memang gila." ucapnya mengeluh.

"Apa yang terjadi? Bagaimana mereka bisa menculikmu?" tanyaku kepadanya.

"Michael, dia adalah pacarku-"

"Isabella, aku tidak-"

"Diamlah, Alexander. Sudah 6 bulan aku meninggalkanmu, mengapa kau menyelamatkan aku? Aku tidak ingin melihatmu lagi dan sepertinya hasrat membunuhmu itu aktif jika melihat aku bersama dengan pria lain." protesnya kepadaku.

"Isabella, jelaskan saja apa yang terjadi." ucapku mempersingkat.

"Mike sepertinya bekerja sama dengan Almonds, semalam aku sempat sadar sebenarnya. Itulah mengapa Red bisa sampai di Melbourne karena semalam aku sudah memencet tombolnya. Mereka sepertinya mengambil sampel darahku."

Aku menyipitkan mataku menatapnya, "Lalu, apa kau mendengar hal lain?"

"Ya, ternyata aku bukan anaknya Lily Almonds. Tentu tidak, aku lahir dari rahim Jade Foster. Bahkan wajahku begitu mirip dengan ayahku, mustahil aku anaknya Lily. Mungkin saja Irene anak mereka, aku sama sekali tidak tau mengenai masalah itu."

"Dan kau tidak peduli?" Aku menatap kedua matanya dalam. Dia tersenyum menyeringai, "Sama sekali tidak akan tetapi, karena mereka sudah hampir membunuhku apa kita tidak sebaiknya melakukan sesuatu, Alexander?" Dia menatapku serius.

"Aku tidak punya kekuatan untuk ini, Isabella. Kita tidak pernah tau siapa anaknya Lily dan diadopsi oleh siapa. Keluarga kita sepertinya menutup rapat hal ini bahkan kelahiran Irene saja masih dipertanyakan banyak orang." jelasku kepadanya.

"Kau tidak tau tentang adikmu sendiri?" tanyanya penasaran.

"Tidak, sama sepertimu. Aku tidak pernah peduli, lagipula Irene jarang pulang ke rumah. Brandon selalu mengatakan dia anak pungut atau anak adopsi. Irene kesal hanya saja orangtua kami selalu membelanya. Aku tidak peduli hal itu, aku hanya peduli dengan keselamatannya saja." jawabku,

"Irene sangat bandel sebenarnya tapi, biarlah begitu."

"Bells, aku sangat merindukanmu." Aku mulai mencium bibirnya, setelah 6 bulan. Akhirnya hari ini bibir kami dapat saling bertemu lagi, "Alexander, kau memang sudah gila. Aku meninggalkanmu akan tetapi, kau tidak melupakanku dan justru kembali kepadaku." protesnya.

"Bells, aku mencintaimu, sudah ku katakan waktu itu. Apa kau tidak percaya kepadaku?" Dia memalingkan wajahnya, "Alexander, kau-pergilah sebelum orangtuaku datang. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Kau tau kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Tidakkah kau sadar-"

"Aku sudah muak kau mengingatkanku setiap hari akan tetapi, kau juga tidak keberatan untuk melanjutkannya, Bells. Mata hijaumu yang indah itu tidak bisa berbohong bahwa kau pun telah jatuh cinta kepadaku." Aku mencium telapak tangannya.

"Alexander, aku tidak tau harus mengatakan apa? Apa yang bisa ku katakan? Apa? Michael bahkan telah mengkhianatiku, dia telah berbohong kepadaku. Dia sudah-"

"Dia sudah mati, Bells. Biarlah begitu, Mike mendapatkan telah karmanya sendiri. Kau tidak perlu mengatakan hal lain. Aku sudah tau bahwa kau mencintaiku." Aku mencium bibirnya sekali lagi sebelum berpamitan karena Jane sudah menelponku untuk mengucapkan terima kasih.

"Alexander, jika aku telah menemukan pria lain. Aku harus melepaskanmu-"

"Tidak, Isabella. Kau tidak akan pernah bisa." Aku keluar sembari mengangkat telpon Jane. Dia menanyakan bagaimana kabarku, basa-basi setiap hari tanpa percakapan yang intens. Dulu ketika masih menjadi teman, dia lumayan komunikatif. Setelah menikah, isinya percakapan kami hanya basa-basi yang terkesan sedikit membosankan untukku.

Aku meresponnya singkat-singkat karena tak ingin banyak berbicara dengannya. Aku juga tak bisa pulang karena harus menjaga Isabella hanya saja aku mengatakan beberapa pekerjaan belum ku selesaikan karena aku membutuhkan beberapa hari sampai pulang. Pekerjaannya sebenarnya sudah selesai semenjak kemaren malam. Aku hanya sedikit mengulur waktu karena aku sedikit malas untuk bertemu dengan Jane.

Isabella sendirian, sepertinya masih belum ada yang tau mengenai keadaannya saat ini. Bahkan Brandon dan Irene pun masih belum mengetahuinya. Mereka sepertinya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku tak menghiraukan mereka, aku meminta beberapa orang red yang sudah datang untuk berjaga di rumah kediaman milik kakek yang ditinggali oleh Irene. Isabella dan Brandon tinggal di apartment pribadinya masing-masing yang dekat dengan rumah sakit dimana mereka menjalani praktek studi kedokterannya.

Aroma parfum tubuhnya masih tersisa di tanganku, aku sangat menyukainya. Aku begitu jatuh cinta kepadanya, setelah kepergiannya selama 6 bulan seharusnya cintaku semakin luntur akan tetapi, dia semakin membuatku jatuh cinta. Berdiri di atas pancuran air merupakan salah satu hal yang mengingatkanku kepadanya, kami sering melakukan video call ketika sedang mandi. Dia sering mengirimkan foto ketika sedang bertelanjang karena aku memintanya. Dia bahkan membantuku untuk mengeluarkan sperma lebih cepat dibanding aku menyetubuhi istriku sendiri.

Aku menyempatkan waktu untuk istirahat dan membiarkan Isabella dipantau oleh Elizabeth. Dia mengirimkan pesan mengenai keadaan Isabella, aku senang dia dalam keadaan stabil saat ini. Sepertinya kedua orangtuanya juga akan datang karena Isabella telah menelpon mereka. Sebenarnya aku ngide untuk membawa Jane ke Melbourne untuk menjenguk Isabella di depan keluarga kami sekaligus merayakan ulang tahun pernikahan kami yang pertama hanya saja, aku tak begitu berminat. Biarlah aku beralasan lain untuk menjenguk Isabella nanti.

"Mike dibayar untuk itu dan keduanya sebenarnya tidak berpacaran lama. Mike segera membawanya kepada Angelo ketika Nona Isabella telah mempercayainya hanya saja Angelo mengkhianatinya karena hasil DNA-nya menyatakan negatif. Mereka sudah terburu menyekap Nona Isabella dan sayang jika tidak ada informasi darinya." John menyerahkan seperangkat dokumen setelah menjelaskan kondisi kemaren.

"Almonds begitu terobsesi untuk menemukan anak mereka." Aku tertawa kecil melihat foto-foto bayi anak ini, anak perempuan Lily Almonds yang sempat diadopsi oleh orang kaya.

Aku melihat dengan teliti karena foto ini mirip dengan seseorang yang ku kenal hanya saja aku tidak yakin karena foto ini diambil 20 tahun yang lalu setelah kelahiran gadis itu. Tidak ada dokumen lain selain foto-foto ini. Bahkan identitas, surat penetapan pengadilan atas adopsi putri Lily pun tidak ada pada dokumen ini.

"Dimana dokumen identitas orangtua anaknya Lily?" tanyaku kepada John.

"Tidak dipublikasikan, Tuan karena mereka sepertinya tidak ingin kehilangan anak mereka. Meskipun anak itu adalah anak adopsi." jawabnya.

"Kedua orangtuaku bahkan tidak pernah membicarakan hal itu." Aku berpikir keras mengenai apa alasan mereka menutup semua ini. Ibuku seharusnya tau karena dulu dia adalah orang yang sempat mengurus hak waris anak perempuan Lily Almonds yang semua aset itu telah dibeli oleh Foster dan Stevenson.

Namun, aku tak ingin berpikir keras karena aku ingin melihat Isabella hari ini sebelum kembali ke Perth. Aku harap dia kembali ke Perth untuk menghadiri pernikahan Arthur Stevenson yang merupakan sahabatnya.

"Alexander, kenapa kau ada di sini?" Aku memang tidak membawa apapun karena para pengawal memberitau para keluarga masih ada di sini, termasuk ibuku.

"Pekerjaan, Ma. Mama juga kenapa ada di sini?"

"Pekerjaan juga." jawabnya sinis. Aku tidak mengerti mengapa dia menatapku begitu sinis. "Kita bicara nanti jika kau sudah di rumah." Aku mengangguk saja. Aku mendekat ke arah Isabella berpamitan dan berbisik bahwa aku akan mengirim pesan nanti. Sebelum aku pergi, pemandangan sebuah buket bunga mawar segar yang dibawa masuk merusak pemandangan mataku terutama ketika aku tau siapa yang membawa buket itu membuatku mengepalkan tanganku.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel