Bab 9
Setelah selesai acara makan malam bersama para karyawan, aku dan Natte pulang bersama dengan mobilnya. Selama diperjalanan aku hanya diam dan memandang keluar jendela dengan tetesan air hujan hingga tidak menyadari kalau kami sudah sampai didepan hotel The La Plaza. Akupun melirik jam tanganku, ternyata tidak sampai satu jam perjalanan. Mungkin karena sudah tengah malam jadi jalanan sudah lenggang, pikirku. Kami memang masih bermalam di hotel karena kami belum tau akan tinggal di rumahku atau rumahnya.
Saat menutup pintu mobil, vallet mengambil alih mobil milik Natte. Dan Natte berjalan jauh didepanku seperti melupakan bahwa dia pulang bersama istrinya. Aku mendengus kesal. Sampai di kamar hotel, kami sama-sama menghempaskan diri ke sofa yang ada didepan king size bed. "Siapa yang mandi duluan?," tanya Natte memecah keheningan yang sudah 15 menit berlalu.
"Kamu dulu, aku mau berendam untuk menyegarkan tubuh."
"Tidak, aku masih ingin seperti ini. Kamu saja." Jawab Natte santai.
"Untuk apa bertanya kalau begitu?." Tanyaku dengan lirikan mata kesal.
"Ingin saja." Jawab Natte datar.
Aku tidak punya pilihan lain selain menurut saja untuk mandi lebih dulu. "Menyebalkan," umpatku. Setelah satu jam berendam dikamar mandi dengan aroma terapi mawar yang ampuh menghilangkan penat dan lelahnya di badanku, tidak disadari Natte sudah berdiri dihadapanku saat aku keluar dari kamar mandi. "Kamu seperti mayat hidup Keira." Katanya tiba-tiba.
"Oh ya?," aku mendekati meja rias untuk melihat pantulan diriku sendiri. Ternyata benar saja, mukaku sangat pucat dan bibirku sedikit keunguan.
"Kamu sengaja membuat aku repot karena harus mengurusi kamu bahkan di hari pertama kita menikah?." Sindir Natte.
"Tidak sama sekali Natte." Jawabku kesal. Natte mengangkat telepon hotel kemudian sibuk sendiri. "Saya ingin pesan makanan. Satu sandwich dibawa ke deluxe king room nomor 104. Tolong cepat karena ada wanita sekarat kelaparan disini." Natte menutup telepon hotel sambil tersenyum penuh kemenangan lalu menurunkan celana kerjanya didepanku. Akupun spontan membalikkan tubuh membelakanginya. "Kita memang sudah jadi suami istri, tapi bisa tidak kamu enggak lepas celana dimana saja?." Natte malah dengan sengaja memutar dan berdiri dihadapanku. "Kamu malu?," godanya.
"Enggak." Jawabku masih dengan kedua tangan yang menutupi wajah.
"Kalau begitu.... " Natte menurunkan perlahan celana dalamnya. Aku spontan memutar tubuhku kembali hinga memunggunginya. Dan dengan sengajanya lagi dia berdiri dihadapanku. "Natte!." Peringatku dengan nada yang sangat kesal pada Natte.
"Sepertinya Keira marah." Natte belum menyerah untuk menggodaku. Natte malah semakin maju dan aku mulai melangkahkan kakiku mundur hingga tubuhkupun menubruk keras dinding. "Hey jangan main-main!."
"Aku tidak pernah main-main Kei."
"Kalau begitu mundur!." Titahku.
"Tidak akan," lalu sejurus kemudian tidak aku sangka Natte menarik tali kimono handukku. Natte lalu menurunkan satu sisi handuk kimonoku sehingga memamerkan bahu telanjangku dan tak lama dari itu dia menurunkan satu sisi handuk kimonoku. Sudah itu tak sulit rasanya, dengan satu tarikan tangannya handuk kimonoku terjatuh dan kali ini benar-benar terlihat olehnya tubuh toplesku dengan handuk yang melilit di kepalaku seperti ice cream.
"Ternyata kamu memang seperti gitar spanyol Mrs. William," lalu sejurus kemudian dia menciumiku. Kupegang dada tegapnya lalu mengalungkan lenganku ke lehernya.
Ting Tong
"Sial, aku lupa.” Umpat Natte seraya melepas pagutan kami.
"Aku sudah bilang jangan bermain-main dulu," ucapku lalu menalikan kembali handuk kimono yang tadi dilepas simpulnya oleh Natte.
"Tapi jangan lupa kamu juga suka Mrs. William," ucapnya sambil berlalu melewatiku dan menghampiri pintu hotel kami. Tak lama Natte kembali dengan membawa nampan berisi satu sandwich dan kemudian menaruhnya di nakas samping tempat tidur. "Makan dulu, aku tidak mau dituduh sebagai suami yang menelantarakan istrinya," perintahnya ketus kemudian berlalu ke kamar mandi.
"Pasti tidak lama lagi dia akan menyalakan showernya," ucapku pelan. Dan ternyata benar Natte menyalakan showernya lama.
"Dia pasti sedangmengumpat," tebak ku lagi seraya memasukkan sandwich kemulutku. Sambil mengunyah sandwich isi tunaku, aku mengambil laptop yang tadi kubawa pulang. Kemudian kubuka laptop itu di dihadapanku. Tak lama dari itu jemari lentikku yang barwarna merah gelap menari lincah diatas keyboard laptop berlogo apel itu. Aku kini sudah tenggelam dengan dunia kerjaku, hal itu memang tidak bisa kuhindari jika sudah berhadapan dengan laptopku ini. Hingga tak menyadari kini Natte dengan kaus Armaninya sudah duduk disebelahku dan tengah memangku laptopnya juga. Aku meliriknya sekilas kemudian tenggelam kembali pada pekerjaanku hingga suaranya mengembalikan kesadaranku kembali ke dunia nyata. "Kamu tidak akan mengganti handukmu?.” Tanyanya.
"Oh ini?. Aku memang terbiasa begini.” Kataku cuek.
"Ganti!."
"Kenapa?. Apa mengganggumu?. Kan tidak.” Pendirian ku tetap.
"Ya. Itu menggangguku.” Terangnya seperti mengajak ribut.
"Tidak mau.”
"Kalau gitu aku yang akan menggantinya.”
"Kamu sudah gila." Aku sedikit berteriak.
"Aku tidak pernah main-main dengan kata-kataku Keira," setelah melihat tatapannya aku tau dia tidak main-main. Akupun memilih untuk mengganti baju karena aku ingin tenang mengerjakan pekerjaanku. Aku mengenakan liengerie berwarna hitam milik Victoria Secret karena memang dilemari pakaian hanya ada lingerie saja. Aku tau ini kelakuan siapa, siapa lagi kalau bukan mamahku dan mamahnya.
Aku kembali berjalan ke ranjang, dan memangku laptopku. Namun belum aku menelaah laporan, dia sudah memandangku tajam. "Apa lagi sekarang Mr. William?.” Tanyaku sinis.
"Kenapa kamu memakai baju itu?,” baliknya sinis.
"Karena yang ada dilemari hanya ini,” jawabku singkat lalu membaca laporan.
"Sial, ini pasti mamah.”
"Dan mamahku pastinya," timpalku masih dengan menatap ke laptopku. Lalu sejurus kemudian tidak kuduga dia melepas kausnya sehingga menampilkan dada bidangnya dan menguar wangi kayu manis dari tubuhnya. Oh shit dia ingin membuatku tidak bisa bekerja dengan tenang umpatku lagi dalam hati.
"Oke kita akan sama-sama menyiksa satu sama lain.” Kata Natte dengan pasti.
"Jangan terlalu percaya diri Mr. William.”
"Kalau begitu kita lihat saja," tantangnya.
"Tidak mau, aku sedang bekerja." Tolakku yang mendapat pelototan tajam. “Terserah.”
"Oh ya kamu tidak tidur?." Natte terus bertanya, aku jadi berpikir dia ini termasuk orang yang bisa berubah-berubah ya. Sedikit irit bicara, sedikit bawel, kadang narsis juga. “Apa pedulimu?. Aku harus menelaah laporan." Tanyaku balik.
"Aku tidak peduli. Hanya saja kamu benar-benar wanita tangguh.”
"Karena wanita lemah itu akan selalu dipermainkan," jawabku angkuh. Lalu kami akhirnya sama-sama mengobrol mengenai pekerjaan dan mengurus pekerjaan kami sama-sama. “Aku kira hanya aku saja yang tetap meneliti dan menelaah segala yang dilaporkan sekretarisku.”
"Ya, aku selalu menelaah segalanya dirumah karena aku tidak ingin menyinggungnya.” Kataku.
"Alasan yang sama,” jawabnya. Tidak kusangka, selain sifat yang sama kami juga memiliki kebiasaan yang sama. Ah mungkin inilah keuntungan menikah dengan orang yang sama denganku. Kamipun tenggelam dengan pekerjaan kami masing-masing. Hingga tak kusadari perlahan tubuhku roboh kesampingnya dan mataku mulai gelap.
Besoknya aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Kulihat tubuhku sudah diselimuti dan laptopku sudah diletakkan di atas meja. Aku melihat nakas dan kulihat jam sudah menunjukan pukul 10, aku kaget bukan main. Aku memang tidak dituntut untuk datang tepat waktu, tapi selama aku bekerja aku tidak pernah terlambat sekalipun karena aku orang yang menghargai waktu kecuali saat pernikahanku batal. Aku hanya berdiam diri dikamar selama satu bulan sehingga membuat orangtuaku khawatir.
Setelah bergulat dengan pikiranku. Kulirik ke samping, dinakas sudah terdapat note kecil dengan tulisan : Jangan berpikir macam-macam aku menyelimutimu karena aku tidak suka melihat badan kurusmu itu dan aku tidak membangunkanmu karena aku tidak tahan dengan baumu. Oh iya malam ini kita ada janji dengan mamah di rumah jam tujuh.
"Aku tidak berpikir macam-macam, dan apa katanya tadi badan kurusku?. Pembohong besar, malam tadi dia bilang kalau badanku seperti gitar spanyol dan apa katanya aku bau?. Aku selalu berendam wangi-wangian bunga dan aku juga selalu memakai parfum milik Clive Christian dengan wangi vanili," monologku sambil meremas kertas darinya dan membuangnya ke sembarang tempat. "Menyebalkan,” timpalku lagi berbicara sendiri.
**
Malam ini aku melajukan sendiri mobil Ferarri F60 Amerika ku ke rumah mamah mertuaku. Ketika aku sampai didepan rumah besar milik orang tua Natte yang baru kudatangi semenjak menikah dengan Natte, aku menatap takjub. Terlihat rumahnya didesain oleh seorang arsitektur hebat. Buktinya rumah besar ini terasa megah dan mewah. Setelah paus mengamati rumahnya, aku lalu melangkahkan kaki dengan Jimmy Choo yang membungkus indah kakiku ke pintu besar yang menjulang. Dipintu aku sudah disambut oleh seseorang yang kuperkirakan adalah kepala pelayan dari rumah milik keluarga Natte ini. Dia menyapaku ramah dan membungkukkan setengah badannya kepadaku.
Aku terus melangkahkan kakiku hingga mamah mertuaku menghambur ke arahku dan langsung memelukku erat. Dilepasnya pelukannya itu dan menandangku lekat-lekat yang kini tengah memakai dress milik Christian Dior. "Cantik sekali menantu mamah ini,” puji Sivia atau mamah mertuaku yang masih terlihat cantik diusianya yang terbilang sudah cukup tua, tapi masih memiliki selera yang tinggi seperti Natte. Dan itu terbukti dari gaun yang dipakainya sekarang, gaun dari rancangan Azzedine Alaia yang memang selalu bisa memperlihatkan setiap lekuk tubuh pemakainya. "Ayo masuk kedalam sayang. Sikutub sudah menunggu dengan bosan," ajak Sivia membuyarkan pikiranku sendiri.
"Kamu baru datang?,” tanyanya ketus sambil menyesap kopi.
"Ya, kamu bisa lihat kan.” Balasku tidak kalah ketus.
"Dipuji dong istrinya udah dandan cantik gitu." Sela Sivia.
"Tidak usah mah. Dia memang tidak pernah memujiku.” Kataku jujur pada Sivia.
"Keterlaluan kamu." Tegur Sivia langsung pada Natte.
"Ya karena dia memang biasa saja.” Balas Natte datar bahkan pada ibunya sendiri. Keterlaluan.
"Sudah jangan didengar, dia sebenarnya kagum sama kamu cuma gengsi aja ngaku ya Kei.”
"Iya mah, dia memang gengsian," suara berat yang berbeda datang dari arah tangga. Ketika aku menolehkan wajahku, kulihat laki-laki yang sama ketika perayaan pesta kerja sama perusahaanku dengan perusahaannya. Entah aku lupa namanya.
“Hei boy, sini. Kenalin Kei ini putra kedua mamah. Namanya Andrew William." Sivia memperkenalkannya dengan senyuman lebar.
"Aku sudah berkenalan dengannya mah dipesta kemarin."
"Oh iya aku baru ingat," kataku ketika ingat kalau dia adalah laki-laki yang aku acuhkan kemarin.
"Cantik sekali malam ini Kak Kei,” aku bergidik geli dipanggil speerti itu.
"Panggil aja Keira. Umur kita enggak beda jauh.” Pintaku.
"Sok muda," kini suara kejam Natte
"Abaikan dia. Senang bisa bertemu kamu lagi," serunya kemudian tidak kusangka dia memelukku lalu mencium kedua pipiku. Hal itu memang biasa disini tapi aku belum pernah merasakan ciuman akrab dari adik ipar.
"Kamu biarin dia aja kak?.”
"Terus harus aku apain?.” Tanya balik Natte sewot.
"Ngajak ngobrol atau apa gitu. Ya sudah aku saja yang akan menemani Keira. Jangan menyesal jika dia jatuh cinta padaku," ucap Andrew membuat Sivia meliriknya tajam dan Natte hanya membaca buku seraya berkata. "Silahkan saja.” Sial, umpatku. Laki-laki angkuh itu mempermalukanku. Oke. Di surat perjanjian kita memang sudah menyepakati akan kebebasan bersama wanita atau pria lain. Akupun akhirnya memilih mengobrol bersama Andrew di taman. Hingga suara manja seorang perempuan memasuki rumah keluarga Natte dan mengalihkan pandangan kami.
"Hallo Natte, aku sangat merindukanmu.”
