Bab 10
Suara manja seorang wanita seketika membuat hening kediaman keluarga Natte. Aku menolehkan wajahku kebelakang hingga terlihat wanita dengan gaun yang aku tau gaun itu berlabel DKNY dengan Gucci yang membungkus kaki jenjangnya. "Hallo Natte. Aku merindukanmu," sapanya seraya memeluk Natte dan tidak kusangka Natte balik memeluknya.
"Kamu harus hati-hati dengannya. Dia adalah orang yang memiliki tempat di hati Natte dari dulu," ucap Andrew tiba-tiba
"Terus kenapa dia punya hati yang dingin dan mau saja dijodohkan denganku?." Tanyaku heran.
"Perempuan itu tidak pernah mau berkomitmen dan tampaknya Natte melihatmu sama dengannya." Bisik Andrew lagi.
"Apa pekerjaannya?." Tanyaku spontan.
"Designer."
"Pantas," jawabku sambil menganggukkan kepalaku.
"Hei Tania jangan memeluk Natte sembarangan dia sudah berisitri." Tegur Sivia sambil memisahkan pelukan wanita yang dipanggil Tania itu dengan Natte.
"Tidak apa dong mah, pernikahan Natte kan hanya perjodohan." Jawabnya enteng.
"Iya mah tidak apa-apa." Bela Natte tiba-tiba
"Jangan panggil mamah sembarangan. Anak perempuanku hanya Keira. Hey anak bodoh suami macam apa kamu itu?." Akupun yang meilhat pertengkaran kecil ketiga orang itu melenggangkan kaki anggunku ke arah mereka bertiga dengan wajah tegap tentunya. "Tidak apa mah. Kenalkan aku Keira Morgan," suaraku memecah pertengkaran mereka dan semua menatapku. Terlihat Sivia bingung dengan sikapku, kalau Natte jangan ditanya dia tetap datar dan perempuan itu menelaahku dari atas hingga bawah lalu diapun tersenyum sinis. “Tania Clark. Wah selera istrimu lumayan Natte"
"Biasa saja," jawabnya yang kemudian mendapat sorotan tajam dari mata Sivia.
"Aku seorang designer."
"Keira seorang CEO perusahaan jewelry. Dia membangun sendiri perusahaannya diusia yang terbilang muda." potong Sivia yang dengan bangga memperkenalkanku pada Tania.
"Itu berlebihan," ucap lagi Natte
"Ya itu berlebihan," timpalku dengan angkuh.
"Silahkan saja dilanjutkan aku akan kembali ke taman." Putusku.
"Bagus, cepat kesana. Kamu mengganggu" ucap Natte dingin masih dengan lengannya yang memeluk pinggang Tania posessif
"Aku tidak mengajarkanmu untuk bersikap seperti itu pada wanita apalagi istrimu." Peringat papah Natte kini yang berjalan mendekati kami. "Tidak apa-apa pah," jawabku tidak mau ada keributan diantara keluarga karena aku.
"Jangan ke taman belakang lagi, kita akan makan malam bersama. Mah panggil Andrew."
"Biar aku saja pah" potongku kini.
**
Aku kini sudah duduk dimeja makan bersama keluarga Natte plus perempuan Natte bernama Tania. Natte duduk dihadapanku dengan Tania disampingnya. “Aku bawain ya Natte makan kamu.” Kata Tania.
"Terima kasih," jawab Natte dengan senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bisa senyum juga batinku.
"Kei kamu kenapa makannya sedikit?," tanya Andrew
"Gak apa-apa."
"Dia itu makannya diatur," jawab Natte sambil memilihkan makanan yang sedang diambilkan oleh Tania.
"Pantas badanmu bagus Kei." Puji Andrew.
"Makasih" jawabku singkat dengan senyum simpul.
"Aku juga melakukan diet carbo, apakah badanku juga bagus?." Tania yang sepertinya tidak suka dengan pujian Andrew padaku langsung berkata dengan nada manja.
"Sayang sekali Tan, kalau dibanding Keira badanmu itu kalah jauh." Balas Andrew yang langsung disanggah Natte. "Engga ko, badan Keira gak ada apa-apanya. Kurus." Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Suamiku bukan membelaku malah adik ipar yang membelaku, miris. Akupun tertawa dalam hati.
"Natte tolong nanti antar aku pulang ya, supirku tadi aku suruh pulang." Pintanya enteng.
"Suruh siapa menyuruh pulang supirmu." Ucap ketus Andrew yang baru kulihat. Ternyata Andrew mempunyai sisi sama seperti Natte."Jangan berpikir kamu bisa mengantar Tania pulang Natte."
"Gak apa-apa antar aja Tania pulang. Aku bawa mobil sendiri kok."
"Bagus."
"Keira memang cewe mandiri," puji Sivia
"Biasa saja," jawab Natte
"Harusnya Keira yang jawab begitu. Dasar suami menyebalkan. Untung papahmu tidak seperti kamu, walaupun sama gak suka banyak ngomong, tapi papahmu gak brengsek." Kata Sivia dengan sedikit emosi.
**
Setelah acara makan malam, kami semua berkumpul ditaman belakang dan berbincang-bincang. Aku kini menyesap wine putihku. "Maaf aku kemarin tidak datang ke pernikahanmu," ucap Andrew tiba-tiba.
"Ya tidak apa-apa. Lagipula tidak ada yang istimewa." Jawabku sambil memainkan gelas ramping ditanganku.
"Iya Natte maaf juga aku tidak bisa datang, aku sibuk mempersiapkan untuk fashion week" suara Tania kini.
"Tidak apa-apa lagipula tidak ada yang spesial."
"Tidak usah menjiplak kata-kataku." Kataku dengan nada pelan namun sinis pada Natte.
"Kamu tidak memiliki hak paten atas kalimat itu," sanggah Natte
"Oh ya kamu tau Kei, Natte ini tidak bisa melihatku diganggu oleh kakak mahasiswa," ucap Tania tiba-tiba yang sebenarnya tidak ingin aku tau juga. "Oh ya? Aku baru tau Natte mempunyai sisi possesif.” Aku pura-pun aterkejut.
"Iya, kamu tidak tau?, dia memang possesif terhadap orang yang disayanginya saja." Jelasnya seperti ingin menekankan kalau Natte tidak mungkin bersikap possesif padaku. "Dia ini cinta pertamaku." Terang Natte.
"Kenapa kalian tidak bersama?." Tanyaku.
"Aku tidak menyukai komitmen." Kali ini Tania yang menjawab.
"Lalu kalian menjalin hubungan seperti apa?."
"Aku dan Natte selalu bertemu ketika aku mempunyai waktu. Kami menghabiskan waktu berdua seperti sepasang kekasih. Tapi kami tidak pernah mempunyai komitmen karena itu kesepakatan kami."
"Oh seperti itu. Aku dulu sempat tertarik menjalin hubungan seperti itu. Tapi rasanya terlalu membuang waktu dengan mahluk yang berhati paling buruk, lebih baik aku berpacaran dengan dokumen-dokumenku," jawabku sambil menyesap kembali wine putihku.
"Kenapa kamu berpikir pria itu adalah mahluk dengan hati yang paling buruk?.”
"Pria itu berucap sesuka hatinya. Berlaku sesuka inginnya dan berpikir semaunya. Sehingga banyak melukai perempuan lemah yang selalu menuruti kata hati nuraninya dan laki-laki yang dicintainya," ucapku lirih
"Kamu saja sebagai perempuan terlalu lemah."
"Iya mungkin seperti itu tapi tidak untuk sekarang"
"Aduh kayanya udah malem. Anter aku pulang sekarang yu Natte" Tania terlihat sekali tidak suka dengan ku.
"Iya aku juga mau pulang."
"Bagaimana kalau aku antar saja," tawar Andrew kepadaku.
"Tidak perlu.”
"Tapi ini sudah malam."
"Aku terbiasa pulang tengah malam dari kantor. Aku bukan anak kecil," ucapku lalu mengambil tas Chanel Diamond Forever.
Kamipun melangkah bersama ke arah ruang tengah. Lalu menyalami mamah dan papah mertuaku. Aku berjalan anggun ke mobilku. Lalu Natte yang berada diseberang tiba-tiba memanggilku dan berkata, "aku akan pulang malam."
"Aku tidak peduli. Lebih lama lebih bagus. Tapi ingat perjanjian kita." Aku mengingatkannya akan perjanjian pernikahan kami yang tidak boleh melakukan making out dengan yang lain.
"Tentu," jawabnya singkat yang langsung membuatku memakai kacamata Lugano Diamondsku.
**
Saat aku buka mata, Natte sudah tidur disamping dengan lengan yang memelukku. Akupun melepaskan pelukannya dan turun dari ranjang untuk menuju kamar mandi.
Setelah 30 menit di kamar mandi, akupun memilih pakaian apa yang akan kupakai hari ini. Setelah kulihat koleksi bajuku aku baru sadar ternyata sebulan sibuk dengan pernikahan aku belum membeli koleksi baju terbaru. Setelah cukup lama menimbang pilihanku jatuh pada kemeja sutra berwarna putih gading dengan rok mini hitam di pahaku. Setelah selesai dengan penampilanku. Aku memoles wajahku. Lalu hal terakhir yang aku lakukan adalah memilih tas dan sepatuku. Aku memilih tas dengan brand Fendi dan sepatu dengan brand Manolo Blahnik berwarna kuning cerah. Aku melihat pantulan diriku di cermin. "Perfect." Seru laki-laki dibelakangku yang tidak lain adalah Natte. Akupun sontak berbalik.
"Tidak usah berbicara seperti itu. Aku ini terlihat biasa saja.” Sinis ku, menyindir Natte mengenai ucapannya tadi malam.
"Kamu masih mengingatnya?.”
"Pasti. Karena penampilan untukku adalah hal pertama yang penting dibanding cinta." Jelasku lalu melenggang pergi dari hadapannya yang kini sudah memakai kemeja. Sejenak aku menyimpan dulu tasku diatas kasur kemudian membantunya memasangkan dasi biru navy dilehernya sehingga jarak wajah kami begitu dekat. Aku baru sadar dia memandangku lekat. "Ada apa melihatku sampai begitu?,” tanyaku disertai kening berkerut.
"Aku memang mencintai Tania. Tapi ternyata tubuhmu, wangimu dan bibirmu sangat membuatku kecanduan.” Pernyataan jujur Natte membuat ku terkejut untuk beberapa detik terkejut. Tapi secepat kilah aku menormalkan ekspresiku dan mengingat perkataan Natte semalam saat berada didepan Tania dan keluarganya.
"Kamu mungkin lupa kalau semalam tadinbilang tubuhku tidak bagus Mr. William.” Aku mengingatkan Natte yang malah tertawa kemudian satu tangannya membelai pipiku. “Kamu marah Keira?. Jangan marah, saat kita berdua tubuh dan segalanya yang ada padamu membuat aku mabuk."
"Kamu licik dan penjilat, Mr. William." Balasku yang langsung menjauh darinya namun tepat saat akan mengambil tas dia menarik tubuhku hingga terjatuh ke dada bidangnya. Natte menangkap dan memelukku erat hingga tercium wangi kayu manis yang biasa aku hirup darinya. "Aku menginginkanmu sekarang Mrs. William." Bisiknya begitu dekat dengan telingaku.
Mataku menatapnya dalam. “Tapi kita akan berangkat ke kantor Mr. William."
"Aku yakin, kamu tidak akan menolak jika sudah memulainya.” Goda Natte.
Aku langsung berdecih. “Anda sangat percaya diri sekali.”
"Tentu. Oh ya lain kali jangan memakai rok ini lagi dan kemeja tembus pandang ini." Katanya sambil mengangkat rok hitamku dan menunjuk kemejaku dibagian dada. Aneh sekali pikirku. Memang apa yang salah?. “Kenapa?. Perlu aku koreksi, ini kemeja berbahan sutra berwarna putih gading bukan kemeja tembus pandang." Protesku tidak terima.
"Karena kamu terlihat menggoda saat kamu memakai kemeja ini. Bentuk tubuhmu sangat terlihat dan dalaman victoria secret yang berwarna hitam terlihat mempesona ditubuhmu." Jawab Natte menatapku.
"Apa pedulimu?.” Sengaja aku memalingkan wajah.
"Saat kamu menjadi istriku, kamu tidak bisa melakukan making out dengan pria lain. Jadi hindarilah memancing nafsu pria lain untuk melakukan itu denganmu." Setelah ucapannya, Natte mendorong tubuhku hingga roboh ke ranjang.
"Jangan main-main. Kita harus pergi ke kantor." Peringatku yang kini mulai menelan ludah karena Natte saat ini melancarkan aksinya dengan membuka kancing kemejanya satu persatu. Sial, aku akan disiksa batinku.
Lalu dia menindih badanku dengan badannya yang sungguh menggoda dengan semerbak wangi kayumanis dan tak lama dari itupun dia mencium bibirku rakus dan dia kini telah merobek kemejaku juga melempar rokku ke tempat sampah. Liat saja aku akan membobol habis kartu kreditmu, pikirku.
Akupun membalasanya dengan membabi buta dan akhirnya percintaan panas kamipun terjadi dipagi hari. Setelah selesai, kasur menjadi sangat berantakan dan baju bertebaran dimana-mana. Dan sekarang waktu sudah menunjukan pukul sepuluh siang. Akupun melirik Natte yang sudah penuh dengan keringat bercucuran di dadanya juga wajahnya. "Skor kita seri." Katanya.
"Ya,” jawabku singkat dengan nafas terengah-engah. "Kamu membuatku sangat terlambat Mr. William dan lihat ulahmu badanku penuh tanda kemerahan." Keluhku merasa kesal padanya. Beberapa saat kemudian aku ingat kalau kita belum juga menentukan akan tinggal dimana. “Oh ya kita belum menentukan akan tinggal dimana?. Aku sudah bosan tinggal di hotel. Aku ingin memasak.”
"Kamu senang memasak?,” tanya Natte heran. Raut wajahnya menampilkan kebingungan yang kentara.
"Iya, kamu harus tau aku ini dulu wanita seperti kebanyakan wanita lainnya yang mempunyai impian dapat membahagiakan suaminya dengan masakannya. Ingat, mengubah kepribadian seseorang , bukan berarti bisa mengubah 100% kebiasaan seseorang." Terangku pada Natte yang mengendikannbahunya
"Apakah enak masakanmu?l Kalau tidak enak lebih baik tidak usah."
Aku memutar mataa kesal. “Memang aku mau memasakkanmu?. Jangan terlalu geer. Asal kamu tau, laki-laki brengsek itu selalu memuji masakanku. Tapi aku juga tidak tau sih apa dia berbohong atau tidak.” Kali ini aku yang bercerita sambil mengendikkan kedua bahuku.
"Jangan membicarakan mantan ketika kita sudah melakukan making love Mrs. William." Natte memalingkan wajah.
"Sorry.” Ungkapku dengan wajah datar.
"Bagaimana kalau kita membangun rumah sama-sama. Hitung-hitung investasi saja. Tapi sebelum itu tinggal di rumahku saja." Usul Natte yang kedengarannya menarik. “Ide yang bagus. Lalu bagaimana kalau kita bercerai suatu saat nanti ketika salah satu dari kita tidak tahan?.”
"Tinggal kita jual lalu bagi keuntungan. Selesai." Akupun mengangguk setuju atas saran yang diberikan Natte. Setelah perbincangan itu, aku masuk kembali ke kamar mandi. "Sial, aku harus mandi lagi karena dia.” Geramku
**
