Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

Begitu sampai di kantor, terdengar ada kegaduhan di lobi. Aku berjalan tegak untuk melihat ada apa sebenarnya. Saat melewati resepsonis, aneh sekali mejanya kosong. Akan kuperingatkan resepsionis itu nanti, batinku. Memilih mengabaikannya saja dulu untuk saat ini, aku akhirnya berjalan lagi. "Selemat atas pernikahannya Mrs. Keira William." Teriak mereka serempak. Aku sedikit terkejut, mereka sampai memberikanku sebucket bunga baby breath dan kue pernikahan yang cantik.

"Terima Kasih atas perhatian kalian." Ucapan ku yang datar membuat semua karyawan langsung diam. "Bawa kuenya ke atas. Kalian kembali lagi bekerja." Lanjutku lalu berjalan melewati mereka semua yang membungkuk setengah badan. Masih bisa aku dengar walaupun sudah berjalan agak jauh, mereka berbisik-bisik dan ada juga yang menghela nafas. Aku jadi merasa bersalah, mereka sepertinya kecewa atas sikap dinginku. Akhirnya aku berbalik lagi. Mereka langsung diam kembali dengan wajah menunduk. "Nanti malam kalian semua saya traktir di restorant steak.” Perkataanku seketika membuat mereka berteriak girang lalu serempak membalas. "Terima Kasih Mrs. William". Aku memang sudah berubah menjadi pribadi yang dingin, datar, ketus dan kejam namun aku masih mempunyai hati nurani yang dulu masih aku sisakan untuk ketenangan dan kenyamanan jiwaku.

Saat masuk ke ruangan, sudah banyak bucket bunga ucapan selamat atas pernikahan yang dinobatkan sebagai wedding of the year. Clarissa yang ada di belakang ku mulai membacakan jadwalku hari ini, namun tiba-tiba hpku bergetar. Aku melirik ke arah touchscreen itu. Mataku menyipit saat melihat pesan aneh dari nomor yang tidak aku kenal masuk.

Halo Keira, kamu sangat cantik sekali hari ini

"Mrs.William.” Panggil Clarissa yang membuat aku menyudahi memandang handphone.

"Iya. Sorry.”

Clarissa tertawa geli. Aku keheranan, apa yang membuat Clarissa seperti menertawai ku?. Clarissa yang mengerti dengan kebingungan ku langsung menjelaskan. “Anda baru menjawab saat saya panggil Mrs. William padahal sedari tadi saya memanggil anda Miss. Morgan, tapi anda hanya diam saja.”

"Ayolah Clarissa, aku tadi sedang melihat sms." Kilahku dengan memutar mataku jengah, tapi Clarissa tetap saja memandangku dengan geli. Akhirnya Clarissa langsung menghentikan tawanya dan kembali serius saat aku menatapnya tajam.

"Anda ada pertemuan juga dengan Mr. William hari ini pukul 2 siang, mendiskusikan proyek iklan untuk koleksi perhiasaan kita yang terbaru.” Lanjut Clarissa kembali membacakan jadwal.

"Oke. Apakah itu saja jadwalku hari ini?.” Tanyaku meyakinkan.

Clarissa mengangguk mantap. “Ya, Mrs. William." Aku menatap tajam Clarissa dengan panggilannya itu untukku. “Maaf Miss. Morgan, oh ya tapi kan anda sudah menikah dengan Mr. William kenapa anda tidak suka dipanggil Mrs. William?.” Clarissa bertanya dengan polosnya. Kadang aku geram dengan Clarissa, dia memang sudah banyak berubah tapi untuk urusan menggoda dan kepolosannya sudah tidak dapat diubah.

"Clarissa, mau aku buatkan SP?" tanyaku agar bisa langsung dipahaminya. Dan caraku berhasil Clarissa langsung gelapagan dan membungkukkan setengah badan padaku kemudian keluar dari ruanganku. "Tentu tidak Miss, saya permisi.”

**

Waktu makan siang akhirnya tiba, aku menghempaskan tubuh lelahku pada sandaran kursi kebesaranku. Tepat ketika memejamkan mata tiba-tiba terdengar suara riuh dari depan pintuku lalu masuk wajah laki-laki yang sangat tidak ingin kulihat yaitu Alex Brown. Clarissa tampak mencoba menghalanginya, namun laki-laki brengsek itu terus menerobos kedalam ruanganku. Aku mencoba tetap tenang dikursiku. “Maaf Miss, Mr. Brown memaksa untuk masuk.” Terang Clarissa karena dia sangat tau jelas aku tidak suka ada tamu yang menyelonong masuk seperti sekarang.

"Tidak apa-apa Clarissa. Laki-laki ini saja yang tidak tau diri. Kamu boleh keluar.” Balasku. Clarissa langsung bernafas lega dan keluar dari ruanganku. Akupun memandang laki-laki itu dingin. "Ada apa anda kemari Mr. Brown?," tanyaku seraya bangkit dari kursi dan mempersilahkan laki-laki tidak tau diri itu untuk duduk di sofa merah. Hatiku sebenarnya tidak ingin memperlakukannya secara manusiawi, namun aku harus memperlihatkan padanya bahwa aku sudah berubah dan tidak memikirkannya lagi barang sedetikpun.

Aku duduk dan menumpangkan kaki kanan di atas kaki kiriku. Kaki jenjangku terekspos sempurna karena kebetulan juga aku hari ini memakai rok pendek. Alex terlihat terkejut, mungkin dia tidak menyangka aku kini berani memakai rok pendek dan barang-barang bermerek. Dan hal yang paling membuatnya terkejut adalah aku yang kini mempunyai tatapan dingin, tajam dan kapala yang selalu kutegakkan. Berbanding terbalik dengan diriku yang dulu. Polos, naif, menyukai warna-warna tenang dan hanya memakai barang-barang dengan brand yang standar. Selalu memamerkan senyuman dan riang. “Cepat katakan ada apa Mr. Brown?. Aku tidak punya banyak waktu.” Tanyaku lagi padanya.

"Kamu berubah Kei." Alex berkata dengan suara yang lirih. Matanya pun menatapku lekat dengan tatapan yang menyedihkan.

Oh shit, laki-laki dihadapanku ini sungguh brengsek, umpatku dalam hati. Aku menarik nafas kemudian membalas perkataannya dengan tenang. “Ya seperti yang kamu lihat. Manusia harus berubah untuk harga diri dan kehidupannya kan?.” Pertanyaan yang sarkastik keluar dari mulutku. Dan mataku membalas Alex dengan tatapan tajam.

"Kei kamu tau, sebenarnya aku dan Monica tidak hidup bahagia.” Kata Alex. Aku terang saja mendengus dan memalingkan wajah.

"Lalu apa peduliku?” Tantangku pada Alex.

"Aku sebenarnya berbohong sama kamu Kei. Aku kemari karena aku dan Monica akan menyelesaikan urusan perceraian kami.” Jujur Alex dengan wajah yang menunduk dan suara yang pelan. Sungguh aku muak dengan Alex.

"Aku enggak peduli.” Tegas ku lagi.

"Aku tidak bisa hidup tenang. Bayangan kamu selalu muncul Kei.” Alex mengusap-ngusap wajahnya kasar.

"Jangan bilang apa-apa lagi, karena aku benar-benar enggak peduli.” Aku kali ini tidak mau memandang wajah Alex lagi. Lebih baik melihat pemandangan langit dari jendela daripada harus melihat Alix yang mulai memohon-mohon dengan wajah memelas.

"Tolong maafkan aku Kei. Kamu tidak tau kan apa alasan dibalik aku dan Monica dulu bisa bersama?” Alex terus saja berbicara.

"Aku benar-benar enggak peduli Mr. Brown. Kalau memang kamu enggak memiliki kepentingan denganku lagi, silahkan keluar." Aku sudah mulai kesal, aku putuskan untuk bangkit saja dari tempatku duduk, namun tangan laki-laki itu malah menahanku sambil terus memohon. "Dengarkan aku dulu Kei tolong," pintanya. Air mata yang kubentengi selama bertahun-tahun ini untuk tidak jatuh akhirnya jatuh juga perlahan. Suara Alex yang memohon dan wujudnya yang kembali ada dihadapanku mulai membuat aku kembali ke masa-masa saat kami dulu sama-sama. Sial, umpatku. Aku segera menghentikan kilasan balik itu kemudian aku juga menepis kasar air mata yang tidak tau diri itu.

"Kamu enggak dengar Mr. Brown?.” Tanyaku dengan angkuh padanya. Namun dia masih belum menyerah. Dia menarikku cepat ke pelukannya. Aku meronta-ronta untuk dilepaskan tapi laki-laki yang sangat brengsek itu malah memelukku semakin erat. "Aku bilang lepaskan Mr. Brown!.” Suaraku seakan tertelan oleh dada bidang yang membekap mulutku. Hingga akhirnya tidak aku duga sebuah pukulan jatuh ke wajah Alex. Dia sampai tersungkur ke lantai. Tubuhku dengan cepat ditarik oleh laki-laki itu dan kulihat dia adalah Natte.

"Aku memang laki-laki brengsek, tapi aku masih tau diri." Kata Natte dengan kilatan kemarahan di matanya pada Alex yang masih tersungkur dilantai. Alex tidak meninju balok z Natte, dia hanya menyeka darah yang keluar dari sisi bibirnya. "Dia istriku. Jangan berani menyentuhnya!.” Sambung Natte dingin.

"Hari ini aku pulang, tapi aku pasti akan kembali lagi kesini. Aku tau hati Keira akan selalu mencintai aku." Kata Alex penuh dengan rasa percaya diri. Bibirku tersenyum sinis menanggapinya. "Jangan terlalu percaya diri Mr. Brown. Itu hanya masa lalu yang tidak berarti. Aku kini sudah menikah dengan Mr. William.” Aku kaitkan jemari-jemariku ke jemari Natte.

"Anda dengar apa yang dikatakan istriku Mr. Brown?.” Tanya Natte dengan nada puas.

"Aku tau dia hanya berakting. Lihat saja, aku akan menunjukan padamu Mr. William kalau dia masih mencintaiku." Alex pergi keluar dari ruanganku dengan wajah yang sangat merah karena marah. Aku menghela nafas panjang sebelum mendudukkan tubuhku ke sofa sambil memijat pelipis yang terasa pusing karena kehadiran Alex.

Natte yang masih berdiri ikut duduk disampingku. "Apa kamu masih mencintainya?,” tanya Natte dengan tatapan lurus kedepan, sementara aku menoleh ke samping untuk melihat wajahnya. “Aku tau aku harusnya tidak bertanya karena aku sendiri tidak peduli. Tapi aku perlu tau untuk keadaan seperti tadi. Apa aku harus membiarkanmu atau membantumu sebagai seorang suami?.” Tanya Natte lagi.

Aku sempat memandang wajahnya dari samping agak lama sebelum akhirnya aku berdiri dan menjawab. "Kamu pasti sangat pintar untuk bisa membaca situasi Mr. William.” Tanganku menyambar tas Channel yang ada diatas meja. "Daripada membicarakan hal itu. Lebih baik kita makan siang. Kamu kemari untuk makan siang dan mendiskusikan mengenai projek kita kan?.”

"Ya," jawab Natte singkat lalu mengikutiku dari belakang.

Aku sempat berbalik kepadanya. "Mobilku atau mobilmu?.”

"Mobilku." Natte kini mensejajarkan langkahnya denganku hingga kami jalan beriringan. Kulirik Clarissa menahan tawanya saat akan membungkukkan setengah badannya seperti biasa. "Aku akan makan siang dulu. Tolong siapkan bahan diskusi untuk proyek dengan Mr. William." Clarissa mengangguk pelan seraya masih menahan tawanya. "Kamu boleh tertawa ketika aku sudah benar-benar tidak terlihat."

Didalam lift kami saling diam. Natte hanya memainkan handphone dan sementara aku menatap lurus kedepan. Kejadian saat laki-laki brengsek itu datang seakan terputar otomatis didalam pikiranku. Mencerna setiap omongannya tadi. Langsung timbul pertanyaan, sebenarnya bagaimana kehidupannya dengan Monica?. Bagaimana bisa mereka bercerai?. Apa Alex tidak ingat bagaimana dulu dia pergi saat hari pernikahan kami?.

“Jangan pedulikan dia lagi!." Titah Natte yang seakan menamparku untuk kedua kalinya dan mengembalikkan kesadaranku. Natte seakan tau apa yang sedang ada dalam pikiranku. Aku jadi penasaran dan menoleh kesamping. Natte ternyata tidak melihatku sama sekali, dia tetap fokus pada handphone yang ada digenggamannya.

“Apa maksudmu?,” tanyaku pura-pura.

"Jangan berpura-pura. Pilihannya hanya dua, kamu hapus atau kamu tulis ulang." ..... "Jika kamu hapus, hapuslah benar-benar sampai tidak ada yang tersisa. Namun jika memang tidak bisa menghapusnya maka tulis ulanglah dikertas yang baru dan jangan lupa untuk membuang kertas lamanya." Jelas Natte seraya melangkahkan kaki keluar lift karena saking asyiknya aku melihatnya aku sampai tidak sadar lift telah berbunyi.

Ditengah lobby banyak pasang mata memandang kami sambil berbisik-bisik. Entah apa yang membuat Natte seketika berhenti lalu memeluk pinggangku hingga aku merasa pelukannya terasa possesif. "Banyak pasang mata melihat kita.” Aku sengaja menolehkan wajahku kesamping hingga kini hidungku dan hidungnya sangat dekat. Dia menciumku sekilas. "Aku rasa kamu ingin dicium." Bisiknya lagi dengan percaya diri.

Aku yang masih melihatnya dengan tidak percaya ditarik kembali oleh Natte untuk berjalan ke tempat parkir. Laki-laki angkuh ini memang selalu sempurna aktingnya. Natte membuka pintu mobilnya sendiri sedangkan aku masih dibiarkan mematung didepan pintu mobilnya. Tak lama kemudian mobil Aston Martinnya perlahan turun menampilkan wajah Natte. "Cepat naik!. Kita tidak punya banyak waktu.”

"Apa kamu tidak membukakan pintu untuk istrimu ini?.” Tanyaku kesal. Aku biasa masuk ke mobil dengan dibukakan pintu oleh supir.

"Istriku itu punya dua tangan untuk membuka pintu. Lagi pula pintu mobil ini tidak memerlukan kekuatan besar untuk membukanya kan?.” Katanya dengan masih memandang lurus kedepan tanpa menoleh sedikit pun padaku. Akhirnya karena tidak mau membuang-buang waktu, aku membuka mobil Natte dengan sedikit sentuhan lalu terbukalah dan aku masuk ke dalam mobil dengan wajah kesal.

Selama perjalan, di mobil hanya ada alunan musik milik Bruno Mars yang berjudul thats what i like. Aku jadi kesal, kenapa kami hanya saling diam seperti ini?. Aku tidak mau membuka mulutku lebih dulu, gengsi rasanya. Meski memang percakapan kami selalu berakhir dengan kata-kata yang pedas ,aku rasa itu lebih baik daripada tidak sama sekali seperti saat ini.

Lagu berganti dengan penyanyi yang masih sama, namun saat ini berganti menjadi lagu versace on the floor. Kenapa harus lagu itu saat seperti ini?, umpatku kesal lagi. Aku melirik sekilas pada Natte, dia tidak berniat mengganti lagu ini. Lalu aku akhirnya memilih diam. Namun saat lirik, ‘let’s just kiss 'til we're naked, baby’ aku sudah tidak tahan lagi. Wajahku kini memerah karena malu. Rekaman kejadian malam membuat aku sangat malu. Akhirnya aku putuskan melewati lagu itu dan berganti menjadi Locked Out of Heaven masih milik Bruno Mars. Kali ini lengan kekar Natte yang menekan next. "Lagu ini sudah sering aku dengar. Aku bosan" alasannya yang sebenernya aku menebaknya kalau dia juga merasakan hal yang sama denganku.

Keadaan masih terus saja awkward, hingga getar di handphoneku memecah keheningan. Aku melihat pesan masuk dengan nomor yang tidak aku kenal lagi.

Kalian begitu mesra ketika dilobby, tapi ketika ditempat parkir membukakan pintu saja dia tidak mau

Seketika keringat dingin muncul ternyata ada orang yang memperhatikanku, batinku. Aku terus memandangi layar handphoneku tanpa menyadari Natte sudah menepikan mobilnya. "Ada apa?,” tanya Natte mengalihkanku. "Ada orang yang mengikutiku," jawabku dengan tatapan kosong.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel