Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Date with Abang

Hari ini Aila dikejutkan oleh seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya. Laki-laki itu berdiri di depan rumah dinas Akhtar dan sedang berbicara. Aila yang baru saja selesai joging menghampiri mereka.

"Assalamu'alaikum Ukhti," sapanya. Laki-laki itu langsung memeluk Aila erat. "Abang kangen kamu Dek. Adek Abang yang cantik jelita yang petakilan juga." Aila mendengus sebal kala lelaki di depannya ini menyebut dirinya petakilan.

Aila mencubit pinggang laki-laki yang memeluknya. "Lebay deh, Abang." Dan dia tertawa. Akhtar mengajak Hafizh dan Aila untuk masuk ke dalam rumah.

Hafizh adik dari Habib kini sudah berada di depan rumah dinas Akhtar dan memeluk erat Aila. Vebby dengan senyum centilnya berusaha menggoda Hafizh saat dia baru saja tiba tadi. Memang dasarnya Hafizh tak peka, jadilah dia hanya masa bodoh dengan Vebby yang caper dengan membawakan minum dan cemilan yang sama sekali tidak di sentuh Hafizh. Bahkan Vebby sudah duduk di depan Hafizh pun dengan dandanan super waow saja tidak di lirik.

Begitu aja terus sampai lalat hijau nempel di kening Vebby. Kesalnya Vebby tak di lirik sama sekali. Aila yang peka, hanya mengulum senyum melihat Vebby sudah melunturkan senyum centilnya, raut mukanya telah berubah menjadi masam.

Mamam noh lalat nemplok. Batin Aila

"Ikut abang yuk, bantuin beres-beres di rumah dinas." Aila mencebik tetapi langsung mengiyakan ajakan Hafizh. Batin Hafizh bersorak karena Aila langsung menyetujui permintaannya, Hafizh hanya ingin menjauh dari sikap centilan Vebby.

”Aku ikut bantuin ya?” Vebby sudah menghadang jalan Aila dan Hafizh. Hafizh menaikkan satu alisnya menatap Vebby di depannya.

“Siapa ya? Saya gak kenal kamu. Kamu kenal Dek?” Perkataan Hafizh membuat Vebby melongo, sedangkan Aila sudah ingin menyemburkan tawanya dari tadi, sampai wajahnya merah.

”Papaaaaa,” rengek Vebby ke Akhtar. Akhtar justru sibuk dengan laptopnya tanpa susah payah mempedulikannya.

“Sana buruan berangkat Bang, jagain adeknya ya, jangan sampai kecapekan. Perhatikan makannya juga.” Hafizh mengangguk, lalu memberikan hormat ke Akhtar.

“Siap Komandan, laksanakan!”

“Vebby masuk kamar, selesaikan tugas kamu,” titah Akhtar. Vebby sudah cemberut dari tadi, lalu dia menghentakkan kakinya sebelum meninggalkan ruang tamu.

Setelah berpamitan dengan Akhtar. Aila dan Hafizh menaiki motor matic milik Aila. Hafizh yang membawanya menuju rumah dinas yang akan dia huni selama di Surabaya.

Kini Aila ada di rumah dinas Hafizh, bertiga membersihkan rumah dinasnya bersama dengan Habib juga. Tadi dia datang membawa beberapa makanan dan minuman untuk Hafizh dan Aila juga. Lumayan untuk pengganjal perut.

***

Akhirnya selesai juga mereka membersihkan rumah dinas Hafizh. Aila duduk dengan memegang minuman kaleng dan beberapa cemilan yang dibeli Habib.

"Bang, Ai, dijodohin sama Papa." Aila langsung memulai sesi curhatnya, tanpa melihat apa yang sedang di lakukan Habib dan Hafizh.

Minuman yang mereka berdua minum, mereka sembur kembali. "WHAT??" tanya keduanya bersamaan.Aila menoleh dan terkikik geli.

"Sama siapa Dek?" tanya Habib. Aila menghela napas dan memeluk Habib, dia menangis sesenggukan. Menumpahkan segala bebannya. Aila butuh sandaran disaat seperti ini.

"Namanya Azlan ... dia Letnan satu dan tinggal di sini juga. Abang, Aila nggak mau." Tangis Aila kembali pecah. Habib dan Hafizh menepuk punggung Aila pelan untuk meredakan tangisnya.

"Jangan nangis Adik abang sayang. Abang tahu kalau kamu nggak mau dijodohkan seperti ini, apalagi dia seorang tentara. Abang tahu kamu belum siap." Aila hanya mengangguk membenarkan ucapan Habib.

"Ganteng mana dek sama Abang?" tanya Hafizh yang malah mendapatkan sentilan di keningnya oleh Habib. "Sakit Bwang," ringisnya dan mengusap kening yang di sentil oleh Habib tadi.

"Dia dingin kayak es, mukanya datar kayak triplek, gak ada manis-manisnya kayak iklan itu." Sontak keduanya tertawa terbahak-bahak mendengar Aila yang mendefinisikan tentang Azlan.

Hafizh menekan tombol telepon. Dia menelepon Hasan, papanya yang berada di Jakarta. Dering ketiga barulah dijawab oleh Hasan.

"Assalamu'alaikum, ada apa ini?" tanya Hasan yang berada di seberang. "Sudah sampai Dek?"

Aila lalu berhenti menangis di pelukan Habib. Habib mengusap air mata Aila dengan tisu yang sudah disediakan oleh Hafizh. Menepuk kepalanya dengan lembut.

"Sudah Pa. Ini baru saja selesai bersih-bersih sama Abang dan Adek".

"Assalamu'alaikum Papa Hasannya Aila." Terdengar suara tertawa di sana.

"Waalaikumsalam anak cantiknya papa Hasan. Apa kabar Sayang?".

"Buruk banget, Pa. Si Aila dijodohin sama seorang tentara." Kali ini suara Habib yang menjawab. "Om Akhtar yang jodohin anaknya sendiri. Parah nggak tuh, Pa?"

"Minta dihajar orang itu. Seenaknya aja jodoh-jodohin anak papa. Dikira anak cantiknya papa nggak laku apa?”

“Emang si Aila nggak laku, Pa!” jawab Hafizh, yang langsung mendapatkan cubitan dari Aila.

“Fizh, papa sentil kamu! Kamu tenang ya, Sayang. Minggu depan, papa akan datang dan hajar Papa kamu," ucapnya menggebu-gebu.

Hasan dari dulu paling tidak suka melihat Inara dan Aila terluka, bagi Hasan, Inara adalah adik ipar yang baik untuk Akhtar yang bodoh dan Aila gadis cantik yang hilang kebahagiaannya bahkan senyuman manis di wajahnya juga ikut hilang setelah kematian Inara. Aila menjadi tidak tersentuh, menjadi pribadi yang dingin dan datar.

"Jangan Pah, kasihan papanya Ai, nanti kalah lagi sama Papa Hasan." Hasan tertawa diseberang sana bersama dengan Hanifah istrinya.

Mereka tentu saja ingat bagaimana marahnya Hasan dan membabi buta memukul Akhtar saat Inara selesai dimakamkan. Yang melerai hanya Hamzah. Hasan marah karena dengan bodohnya Akhtar yang langsung menikahi Raya secara sirih tanpa berbicara dengannya.

"Anything for you my princess nya papa Hasan dan mama Hanifah. Kita ketemu minggu depan ya, Nak.”

"Oke Papa Hasannya Aila yang masih ganteng maksimal. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam Sayang," jawab keduanya.

Aila menyerahkan ponsel milik Hafizh kembali. Aila, Habib dan Hafizh pergi ke luar rumah. Belum sampai memasuki mobil. Ada seseorang yang memanggil namanya.

"Aila!" Mereka bertiga menoleh ke rumah depannya, ada seorang wanita paruh baya yang memanggilnya. Mereka mendekat.

"Assalamu'alaikum Tante." Aila mencium tangan Regita. Regita memeluk Aila erat. Dari awal Regita sudah sayang dengan Aila. Baginya, Aila hanya cocok dan berjodoh dengan anaknya, Azlan.

"Selamat pagi Ibu Is," sapa Hafizh.

"Loh, Kapten Hafizh. Apa kabar?" sapa balik Regita, Aila hanya menaikkan satu alisnya ke Hafizh.

"Alhamdulillah baik Ibu. Mohon maaf, Ibu kenal Adik saya?" tanyanya penasaran.

"Oh, jadi Aila adik kamu?" Itu suara Wahyu. Hafizh memberikan hormat.

"Siap. Benar Ndan, Aila, adik saya dan ini Abang saya." Memperkenalkan Habib.

"Aila ini, calon menantu saya, dia akan menikah dengan anak saya satu-satunya, Azlan," jelas Wahyu. Mereka bertiga saling pandang. Dan detik berikutnya wajah datar mereka bertiga kembali melekat.

"Kok lo, nggak bilang sih, Dek, kalau calon lo itu anaknya Djendral Mayor Wahyu, hm?" bisik Hafizh di telinga Aila. Aila hanya menampakkan deretan giginya yang putih di depan Hafizh. Hafizh gemas dan mencubit pipi Aila.

"Izin mendahului. Kami permisi pergi lebih dulu," pamit Habib. Mereka berdua memberikan hormat kepada Wahyu dan pergi menaiki mobil Habib.

Azlan pulang karena mengambil berkas yang ketinggalan. Azlan sempat melihat Aila naik ke mobil bersama dua lelaki, dia ingin tahu siapa mereka. Setelah pamit kepada kedua orang tuanya. Azlan bingung tapi tidak berani bertanya. Kenapa kedua orang tuanya hanya melambaikan tangan dan tidak mencegah Aila. Batinnya bertanya.

❤❤❤

Malam ini Aila terlihat cantik dengan baju yang sudah dibelikan oleh Habib kemarin. Karena hari ini Habib dan Aila akan pergi ke undangan pernikahan teman seperjuangan Habib. Kapten TNI AL, Iskandar yang menikah dengan Letda Jelita seorang TNI AD.

"Gimana Bang?" tanya Aila yang memutar di depan mereka.

Habib memilihkan kemeja putih berbahan satin yang terlihat serasi dengan kemeja miliknya, dengan rok panjang berwarna abu-abu monyet yang juga serasi dengan jilbabnya.

"Ya Allah adik Abang cantik bener sih. Sini peluk Abang." Habib dan Hafizh menghampiri Aila dan memeluknya. Aila terkekeh dengan tingkah laku mereka.

"Yuk, pergi! Hafizh jaga rumah," titah Habib.

"Yee, ini rumah dinas gue kali. Jangan lupa beliin gue makan Bang." Habib tak menggubris dan menggandeng tangan Aila, melambaikan tangan ke Hafizh yang memanyunkan bibirnya lima centi.

***

Mereka sudah sampai di gedung tempat resepsi diadakan. Habib menyuruh Aila menggandeng lengannya. Habib berjalan menuju rekan-rekannya, menyapa mereka.

"Cantik. Siapa kamu?" Tak dipedulikan oleh Habib. "Boleh kenalan kan?" tanya lelaki itu pada Aila.

"Udah taken," jawab Habib, lalu menggandeng Aila menuju stan minuman. Aila terkekeh dengan jawaban Habib yang mendadak posesif.

Di seberang Azlan melihat Aila bergandengan tangan dengan seorang lelaki. Alvino mendekati Azlan yang hendak menghampiri Aila.

"Lan, kamu ingat ‘kan sama cewek yang aku ajak kenalan tapi ninggalin aku?" Azlan mengangguk.

Jelaslah, dia calon istri gue. Batin Azlan.

"GILA. Dia sekarang gandengan sama Dankinya AL. Pantesan dia nggak mau sama tentara. Aduh, padahal cantik gitu." Azlan hanya diam tak menanggapi. ”Eh, AL juga tentara kan ya?”

“Bego!’ maki Azlan.

Benar juga. Ada hubungannya apa Aila sama Danki itu. Batin Azlan

"Siapa namanya?" Alvino menoleh ke arah Azlan.

"Hira namanya." Azlan berdecak, lalu menoyor bahu Alvino.

"Danki?" Alvino menggeleng dan menggigit bibir bawahnya.

"Gak tahu gue," kelakar Alvino. Azlan memilih meninggalkan Alvino dan berdiri di belakang Aila untuk mengucapkan selamat kepada pengantin. Dan berusaha ingin tahu tentang kedekatan Aila dan Habib.

"Bang, jangan lama-lama ya. Aku besok ada kuliah pagi." Habib berdecak sebal.

"Nginap rumah abang aja ya, besok abang anterin kamu ke kampus deh, janji." Aila menggeleng.

"No. Dari rumah dinas Abang ke kampus itu jaraknya jauh. Aku pulang ke kos ajalah Bang, kasihan teman aku sendirian.” Habib menggeleng.

"Teman kamu udah gede Sayang. Nginap rumah abang ya! Beneran abang anterin besok pagi." Aila menggeleng kembali.

"Ntar tetangga Abang ngira yang enggak-enggak lagi, masa Danki mereka pulang bawa perempuan ke rumah, gimana?"

Habib tertawa mendengarnya. "Tinggal telepon papa buat jelasin, kalau perlu om Akhtar yang abang suruh jelasin ke Danyon."

Rasanya hati Azlan sudah memanas mendengar percakapan ambigu antara mereka. Bahkan Azlan berharap agar Aila tidak mengiyakan ajakan Danki di depannya. Bolehkah Azlan egois?

"Ish, diktator. Untung sayang, kalau enggak udah aku lempar ke laut." Habib hanya tertawa. Sedangkan Azlan merasa dongkol dengan percakapan Aila dan Habib. Azlan mengepalkan tangannya di saku celananya.

Selesai bersalaman, Azlan memberanikan diri mendekati Aila dan Habib yang menuju pintu ke luar gedung ini. Azlan mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal.

"Aila," suara berat itu memanggilnya. Aila berhenti dan berbalik badan. Di sana Azlan berdiri menatapnya tajam dan datar. Aila sendiri berani memandangnya datar.

"Siapa?" Habib berbisik di telinga Aila, yang tak luput dari pemandangan Azlan.

"Azlan," bisik Aila kembali. Habib mengangguk dan ide jahil muncul di kepalanya. Dia memeluk pinggang Aila. Aila hanya menatap Habib bingung.

"Ada hubungan apa kamu sama dia?” tanyanya tanpa bisa basa-basi. Aila hendak menjawab, tetapi Habib lebih dulu membuka suaranya.

"Hubungan kamu dengan Aila apa? Kenapa kalau saya jalan berdua dengannya? Ada masalah?" tanya Habib tenang.

"Aila calon istri saya. Anda siapa? Ayo Aila, saya antarkan kamu pulang ke rumah." Aila hanya menggelengkan kepalanya.

"See? Lihat sendiri ‘kan? Aila Nggak mau pulang ke rumah. Dia akan menginap di tempat saya." Dengan tersenyum smirk. Azlan menatap tajam Aila dan beralih ke Habib.

"Pulang Aila." Dengan nada tegas. Aila kembali menggeleng dan Habib mengajak Aila pergi. Tapi pergelangan tangan Aila di cekal oleh Azlan. "Bisa saya bicara berdua dengan Aila?"

Habib melihat ke arah Aila, kemudian dia mengangguk. "Sure. Saya beri kamu waktu lima menit dan tidak lebih."

Azlan mengangguk dan segera menggandeng Aila ke samping gedung yang terlihat sepi. Azlan memojokkan Aila ke dinding dan tangan Azlan mengungkung Aila.

"Ada hubungannya apa kamu sama dia? Kenapa kamu harus menginap di rumahnya? Kalau kamu nggak mau pulang ke rumah, kamu bisa menginap di rumah saya. Ada ayah dan bunda di sana, biar tidak timbul fitnah." Aila melongo mendengar Azlan berbicara panjang kali lebar, kali tinggi kali luas. Baru pertama kalinya dia berbicara seperti ini. Aila sampai shock.

Azlan gemas dengan tingkah laku Aila yang hanya diam dan melongo melihatnya berbicara. Azlan mencubit pipi kanan Aila gemas.

"Sakit tahu! Aku aduin abang nanti.” Aila mengusap pipinys. “ Gini ya, Bapak--"

"Saya bukan bapak kamu Aila. Saya calon suami kamu. Dia saja kamu panggil abang, kenapa kamu panggil saya bapak?" Aila terkekeh mendengarnya.

"Oke, Mas Letnan." Azlan memutar bola matanya malas.

"Pertama, saya nggak akan menginap di rumah Anda, karena kita bukan muhrim, apa nanti kata tetangga di sana, bisa tercoreng nama papa saya. Dan kedua, saya dan Anda belum terikat, jadi jangan mencampuri urusan pribadi saya. Paham Mas Letnan?"

"Besok sore, saya akan temui kamu di rumah orang tua kamu. Saya ingin kamu sudah ada di sana sendirian tanpa lelaki itu." Aila mengangguk dan mendorong dada Azlan.

Tetapi Azlan memegang tangan Aila dan menciumnya, membuat Aila membelalakkan matanya tak percaya. "Saya belum bisa cium kamu, jadi saya cuma cium tangan kamu. Kamu calon istri saya Aila Nuha Zahira. Saya tunggu kamu besok sore di rumah orang tua kamu."

Azlan menggandeng tangan Aila dan menggenggam jemarinya. "Ayo." Dengan nada dingin. Aila masih diam saja, dia masih syok dibuatnya. Azlan yang melihat Aila diam saja, membuatnya tersenyum tipis hampir tidak terlihat.

Kamu buat saya gemas Aila. Kamu satu-satunya perempuan yang membuat saya hampir gila karena melihat kamu jalan dengan orang lain. Batin Azlan.

Azlan mengantarkan Aila kembali ke Habib yang sudah menunggu dengan wajah tak kalah datarnya. Aila merasa risih di kelilingi lelaki berwajah datar namun tampan. Aila meringis kala Azlan dengan terang-terangannya mencium tangannya di depan Habib. Jangan tanya lagi bagaimana wajah Habib saat ini, dia sudah melotot sampai itu mata hampir copot.

“Selamat malam Aila Sayang.” Aila sudah melotot mendengar panggilan sayang dari Azlan. Sedangkan Azlan melenggang pergi dengan santainya.

Habib menarik lengan Aila meminta penjelasan. Saat mengamati wajah syok Aila, dia urung bertanya dan memilih diam. Aila tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu. Habib tersenyum tipis, Ailanya akan menjadi istri orang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel