Chapter 6: Dating
"Dia tidak ada di tempat itu? Bagaimana bisa?" tanya Darren memastikan, "Iya benar, tempat ini bersih setelah pembunuhan Feni." jawab pria itu singkat. "Ya sudah, cari di tempat lain. Jika perlu cari di tempat ini." Darren memijat keningnya sembari memerintahkan anak buahnya. "Baik, boss. Kami akan memanggil Nino." Darren menganggukan kepalanya dan mengiyakan hal tersebut.
Tempat itu sepertinya tidak asing. Pembunuhan Feni bukanlah hal yang dia tidak tau. Dia tau apa alasan dibalik semua itu akan tetapi, itu tidak penting. Dia tidak ingin apabila kehidupan pribadinya sampai tercampur dengan kasus-kasus yang sama sekali tidak memberikan keberuntungan untuknya. Dia lebih baik fokus dengan kehidupan keluarganya dan mencoba mendapatkan hati Natalie.
Terus terang Darren tidak mengerti kenapa dia begitu khawatir dan peduli kepada Natalie. Dia tidak tidur sebelum melihat ke kamar Natalie dan melihatnya tertidur pulas. Dia bahkan menempatkan pengawal di depan pintu kamar Natalie. Dia tidak memperlakukan Bella seperti itu dulu dan dia menyesal karena tidak melakukannya. Namun, semua itu dia lakukan demi Natalie dan sejenak dia sempat berpikir apakah itu cinta atau hanya obsesinya saja terhadap perempuan yang sempat menolong adiknya.
Darren tidak pergi bekerja sebelum melihat Natalie pergi dengan pengawal dan supirnya. Dia memastikan Natalie sarapan dan dia juga selalu meminta kabar dari Dean dimana Natalie berada. Darren begitu terobsesi dalam menjaga perempuan yang baru dia ketahui tanpa dia sadari dia sebenarnya sedang mencari sesuatu yang hilang.
Natalie begitu berharga di matanya. Jika ada perempuan yang lebih baik dari Bella, dia adalah Natalie. Darren terlalu terobsesi dengan pemikirannya sendiri sehingga dia membandingkan seseorang yang sudah dia nikahi setahun dengan perempuan yang baru saja dia kenal dan dia nikahi. Namun, dia menyakinkan dirinya bahwa itu bukan obsesi melainkan cinta. Dia telah mengaku jatuh hati kepada seorang perempuan yang sedang menulis resep dan duduk di ruangannya yang cukup lebar dan terdapat banyak buku serta dokumen.
Masih ada satu pasien yang menunggu Natalie menulis resepnya, sedangkan, Darren tanpa permisi sekaligus tanpa izin dari asisten Natalie pun masih berdiri di depan pintu, menatap istrinya yang sedang bekerja.
"Tidak sopan." tatap Natalie tajam kepada Darren. Ucapan Natalie membuat pasien yang masih duduk di depan Natalie terkejut dan memelotot, "Maaf, dok. Saya tidak sopan karena apa?" dengan polosnya pasien itu bertanya, "OH, bukan kamu. Silahkan kamu beli obatnya sesuai resep dan semoga cepat sembuh." ucap Natalie kepada pasien yang segera beranjak dari tempat duduknya dan keluar.
Seketika sang pasien keluar, Darren mengunci pintu ruangan Natalie dan tidak mengizinkan siapa pun masuk. Dia berjalan mendekati istrinya yang memijit keningnya pelan. Dia duduk di depan istrinya dan menatap istrinya tajam.
"Kenapa kamu ada disini, Darren?"
"Apa semua ini tidak cukup, pengawal, kamu semalaman mengawasi aku tidur. Kenapa kamu melakukan ini?" Darren terkejut mendengar semua ucapan Natalie. "Kamu tidak tidur malam itu?" tanya Darren penasaran.
"Tentu saja aku tidur, aku tidak ingin melihat wajahmu yang mengesalkan itu. Lagipula kenapa kamu tidak mengaku saja bahwa kamu yang merencanakan semua ini, Darren. Aku sudah lelah dengan semua ini." ucap Natalie kesal
"Bukan aku, Natalie. Percayalah."
"Menurutmu, bagaimana aku bisa percaya dengan orang yang baru saja aku kenal?" Natalie mengangkat alisnya, dia membereskan beberapa dokumen sebelum keluar dari kantornya. "Karena itu kita kenalan. Aku ingin kamu menghadiri makan malam denganku di restoran Alison malam ini jam 7." Natalie tak menghiraukan itu sementara Darren beranjak dari tempat duduknya, merapikan bajunya kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Tidak ada respon iya atau tidak, Darren menganggap Natalie menerima ajakannya. Dia kembali ke kantor dan bekerja serta pulang seperti biasanya. Darren mandi dan bersiap untuk makan malam keluar bersama dengan istrinya. Dia mengenakan attire formal warna hitam rapi dengan dasi dan memakai minyak pria yang cukup wangi karena dia ingin jika aromanya membuat Natalie sedikit mabuk akan dirinya.
"Kamu terlihat cantik." Darren menyeringai memuji Natalie yang memakai dress warna merah open chest dan panjang di atas lututnya.
"Thanks, kamu terlihat luar biasa," ucap Natalie gugup ketika memuju Darren. Kemudian Darren menggandeng Natalie dan mengajaknya masuk ke mobil. Tidak ada orang yang melihat seketika mereka keluar dari rumah karena sepertinya orang sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing apalagi setelah jam makan malam.
Kedua pasangan itu tidak berbicara sama sekali ketika berada di dalam mobil. Tidak juga saling bertatapan dan mereka melemparkan senyumnya hanya ketika wartawan sudah menunggu di depan restaurant dimana mereka akan makan.
"Tuan Darren, apakah anda terpaksa menikahi nyonya Natalie? Dan apakah anda sudah move on dari Nyonya Bella?" pertanyaan salah seorang wartawan membuat Darren merasa agak pusing dan teringat dengan masa lalunya. Dia memijat pangkal hidungnya dan terlihat tak punya keberanian untuk menjawab, Natalie bisa melihat hal itu sehingga dia yang menjawab.
"Tentu tidak, kami menikah tanpa ada paksaan dari siapa pun. Dan kebetulan tunangan saya kabur dan kemudian saya dan Darren menikah setelahnya. Dia adalah pria yang baik dan saya harap ini bisa menjawab semua rasa penasaran kalian." tegas Natalie yang membuat para wartawan terpaku dan terkejut sehingga mereka memberi jalan kepada Darren dan Natalie untuk masuk.
"Kenapa kamu menjawab semua itu?" bisik Darren di telinga Natalie. "Demi reputasi dan nama baik keluarga kita." jawab Natalie berbisik yang membuat telinga Darren merasa geli karena merasakan suara Natalie yang mengalir dari telinga ke syaraf-syaraf tubuhnya.
Mereka berdua duduk di kursi yang Darren saja tidak perlu memesannya. Natalie tentu tidak heran, dia sering makan malam di restoran mewah dengan Cavero bahkan tanpa harus memesan terlebih dahulu. Dia sendiri merupakan pemilik dan dia tentu tidak perlu memesan untuk duduk dan menikmati hidangan mewah.
"Ketika aku tidur kemaren aku mendengar suara seorang perempuan berteriak entah dari mana sedangkan kita tidak punya tetangga..." ucap Natalie lirih. Darren menyipitkan matanya heran, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Darren meletakkan menu karena ingin mendengarkan jawaban Natalie. "Aku tidak mengerti, jika kau tidak datang mungkin aku tidak akan tidur." jawab Natalie panik mengingat malam itu.
"Hahaha, itulah mengapa lebih baik jika kamu tidur di sampingku." ucap Darren. Natalie terpaku dan melebarkan matanya mendengar ucapan Darren, "Aku tidak tau, sudah kau temukan siapa yang melukai pergelangan tangan aku?" tanya Natalie gugup.
"Aku pikir kamu tidak tertarik berbicara denganku, justru kita malah berbicara panjang lebar seperti ini. Apakah obsesi kamu dalam menemukan Cavero sudah hilang sepenuhnya?" Darren menyeringai menatap Natalie yang cemberut kesal mendengar pertanyaan Darren.
"Aku ingin menemukan dia akan tetapi, dia begitu misterius dan aku tidak yakin jika kamu akan mengizinkan. Bernapas dan berpindah ruangan juga tidak akan terjadi jika kamu tidak mengizinkan. Aku terjebak dalam suatu keadaan yang tidak aku inginkan Darren. Bukan aku tidak mencintai Cavero, aku cuma penasaran kemana dia pergi. Namun, jujur saja aku tidak akan kembali dengan dia..." jelas Natalie sembari meminum green tea ice yang disajikan terlebih dahulu.
"Itu artinya kamu cuma punya dua pilihan, bertahan dan mencintai aku atau kamu menunggu sampai 5 bulan lagi dan menemukan pria lain untuk jatuh cinta..." ucap Darren menyeringai.
"Aku tidak tau apakah aku bisa jatuh cinta lagi atau tidak. Cinta pertamaku membuat aku terlalu polos bahkan untuk memahami apa niatnya. Terus terang saja Darren aku sama sekali tidak memiliki ketertarikan denganmu. Kamu masih mengingat Bella dan bagaimana kamu akan menggantikan dia dengan aku di hatimu?" Natalie mengangakat alisnya yang membuat Darren mendekat dan memegang kedua tangan Natalie.
"Sejak pertama aku bertemu dengan kamu. Semuanya sudah berubah, Natalie. Aku menghapus Bella akan tetapi, itu bukan berarti aku jatuh cinta dengan kamu..." ucap Darren ragu, dia melepaskan tangan Natalie sementara Natalie sudah mendengarkannya dengan serius akan tetapi, itu semua diluar ekspetasinya.
"Jangan membohongi pikiran dan hatimu, Darren." ucap Natalie lirih. Darren terlihat mengingat tentang Bella lagi. "Aku sudah mencari Cavero akan tetapi, mereka mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk menganalisis." tambah Natalie yang ingin mengalihkan pembicaraan.
"Aku memang tidak mengizinkan kamu terlibat jadi, biarkan saja Clinton yang mencari dia. Kamu cukup bekerja, pulang tepat waktu dan jangan pergi kemana pun tanpa memberi tau aku. Paham itu?" tegas Darren memerintah istrinya. Natalie mengunyah makanannya dan menatap Darren serius. "Paham, tuan suami." balas Natalie.
"Jujur saja aku tidak mengerti kenapa kamu lebih overprotective daripada Papa." ucap Natalie lirih yang membuat tatapan Darren kosong karena tidak mengerti.
"Karena aku mencintaimu, Natalie. Aku adalah pria dingin yang sudah kau hangatkan, senyumanmu bagaikan sinar mentari, indah, terang sekaligus membuat mata berbinar dan mabuk seketika menatapnya. Aku adalah pria yang hilang di tenggelam dalam rapuh, layu. Sampai kau menjadi tanah yang subur dan kembali menanam cinta itu. Namun, bunga kecil itu layu karena dia tidak memiliki air..." ucap Darren sendu.
Dia tidak mengatakan hal itu sejak lama dan puisinya pun menjadi usang. Tanpa pemilik, hatinya sendu, hampa tak tersisa. Dia menemukan cinta lagi bersama dengan Natalie yang tampaknya tidak terkesan dengan rasa cintanya yang begitu besar.
"Aku hanya ingin satu hal, jika kita berpisah suatu hari nanti aku harap aku sudah melupakan kamu dan meletakkan namamu di salah satu daftarku yang tidak akan aku hapus dari hidupku. Jika sang pujangga telah menemukan cinta lagi, itu berarti dia sudah terikat akan tetapi, apabila dia harus melepaskan ikatan itu dan membunuh dirinya untuk menyelamatkan cintanya, sudah pasti akan dia lakukan. Ingatlah itu, Natalie..." Natalie menatap dan mendengarkan Darren dengan serius.
Dia punya bakat yang luar biasa. Kata-katanya begitu indah...pikir Natalie. "Aku cuma butuh waktu untuk mencerna semua ini, Darren. Siapa pun dibalik pernikahan saja masih misterius. Cavero hilang entah kemana dan pria yang melukai aku juga belum ditemukan. Sejak aku bertemu denganmu, hidupku berubah. Pandanganku tentang cinta kini pun berbeda..."
"Jika dulu aku pikir dia akan berakhir menyenangkan. Namun, nyatanya aku menelan rasa pahit setelah mencintai. Banyak yang tidak aku tau dan aku beruntung akan satu hal bahwa aku tidak menikahi Cavero karena dia tidak jujur tentang segalanya." ucap Natalie.
"Lalu, sekarang apa?" Darren memakan sesendok sup sementara Natalie bingung harus menjawab apa. "Ntahlah, aku harus menemukan Cavero bagaimana pun caranya dan dia harus menjelaskan semuanya."
"Menjelaskan tentang apa, Natalie?"
"Menjelaskan apa masalahnya dengan pria itu, barangkali, orang yang menculik Cavero juga melukai aku untuk balas dendam..." Darren melongo mendengar dugaan istrinya. Dia tak begitu paham bagaimana Natalie bisa berpikiran sejauh ini.
Tatapannya kosong dan Darren terpaku dan menatap mata Natalie tanpa melirik. "Darren, kamu kenapa??? Darren...." Teriak Natalie menatap suaminya yang memegangi tenggorokannya karena tak bisa bernapas.
"Darren!!! Ah Darren!!!!" teriak Natalie panik melihat suaminya pingsan di tempat. Natalie segera memanggil pengawal dan supirnya untuk mengangkat Darren karena dia tidak cukup kuat untuk melakukan itu.
Darren tidak mengeluarkan busa dari mulutnya sepanjang pengamatan Natalie selama perjalanan. Dia justru mengalami demam yang tinggi. Natalie sangat tenang dalam menghadapi situasi ini, lagipula dia tidak mencintai Darren jadi apa yang dirasakan sebatas dokter dan pasien saja. Meskipun faktanya tetap terasa berbeda ketika kepala Darren bersandar di pangkuannya dan dia menatap pria malang itu penuh dengan rasa iba.
Darren telah menyelamatkan hidupnya saat ada yang mencelakainya. Dan ini saatnya untuk membalas kebaikan Darren. Natalie memeriksa suhu Darren dan menyuntikkan obat penurun panas.
"Sepertinya dia sempat shock dan teringat akan sesuatu, namun, ntahlah. Tatapannya kosong waktu itu dan dia tidak banyak bicara..." jelas Natalie kepada Stacy yang baru saja datang.
"Apa ada yang meracuninya, Natalie?" tanya Stacy bernada khawatir, Natalie menggelengkan kepalanya, "Tidak, dia hanya kelelahan dan butuh istirahat saja. Mama tidak perlu khawatir..." jelas lagi Natalie.
"Apa yang kamu rencanakan, Natalie?" Stacy menatap mata Natalie serius. Natalie yang clueless pun sama sekali tidak mengerti dengan pertanyaan Stacy. "What does that mean?" Natalie menyipitkan matanya penasaran.
"Apa kamu dibalik semua pernikahan palsu ini? Dan sebenarnya kamu ingin balas dendam entah untuk tujuan kamu yang sudah pasti busuk..." Natalie terkekeh geli mendengar tuduhan Stacy yang tiba-tiba. "Mama sendiri tidak tau tujuan apa itu, lalu, mengapa menuduh?" Natalie mendekat dan menatap mata Stacy dalam.
"Aku sama sekali tidak mencintai Darren dan bila aku harus terpaksa mencintai dia sekalipun. Aku tidak akan pernah memberikan hatiku kepada pria penipu seperti putramu itu!!!!" Natalie menaikkan nada suaranya yang membangunkan Darren.
"Natalie!!!!" dia berteriak memanggil istrinya. Stacy yang sudah khawatir pun masuk disusul oleh Natalie. Darren yang masih pusing pun memaksa dirinya untuk segera keluar dari rumah sakit.
"Darren mau kemana kamu?" protes Stacy yang tidak ingin jika anaknya keluar tanpa izin dari dokter. "Darren, kamu tidak bisa pergi kemana-mana. Kamu masih demam, lemah, lesu dan butuh istirahat.!!!!" teriak Stacy pada anaknya yang sama sekali tidak mau mendengar ocehan ibunya.
"Darren! Mama benar. Kamu masih butuh istirahat, kamu kelelahan dan setidaknya kembali besok sampai kamu benar-benar membaik. Tolong, jangan mempersulit keadaan. Kamu harus sembuh dulu baru bisa kembali ke rumah..." pinta Natalie terlihat memelas di mata Darren.
Darren kembali duduk dan menurut. Dia tak berdaya jika Natalie sudah memerintahkannya.
To be continued...
