Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 7: Find Him

Mentari pagi menyambut hari Natalie yang indah. Dia berjalan melewati lorong rumah sakit, melewati taman bunga lili yang indah dan mawar merah merona yang mempesona hatinya. Dia seketika mengingat ucapan dari Darren waktu itu. Dia mempertanyakan kepada dirinya sendiri apakah dia bisa bertahan hidup bersama dengan pria yang selalu memiliki hasrat untuk mencintanya?

Natalie selalu berpikir bahwa yang diucapkan Darren adalah sekumpulan kata palsu tanpa makna. Namun, dia menyadari beberapa hal, tatapan Darren, cara Darren menyentuhnya dan memberinya kasih sayang. Semua itu terasa berbeda bagi Natalie. Dia sudah melupakan Cavero sepenuhnya akan tetapi, dia juga tidak bisa jatuh cinta dengan begitu cepat.

Dia ingin memberi jarak antara luka dan cinta yang baru. Dia ingin memberi jeda atas waktu yang telah dia lewati dengan apa yang akan dia lewati. Dia sedang berada di tengah-tengah kebingungan antara apakah dia sedang jatuh cinta dengan Darren atau tidak namun, jantungnya selalu berdetak kencang setiap kali bertatapan dengan Darren.

"Cavero ditemukan meninggal di rumah Feni. Metode pembunuhan Cavero bahkan jauh lebih mengerikan, dia disiksa, di mutilasi bahkan jarinya berserakan di beberapa tempat dan darahnya sempat mengering karena pintunya terkunci dari dalam..." Natalie terkejut mendengar ucapan Arslan di pagi hari.

"Siapa yang membunuhnya? Jika Fransisca diculik dan kembali dengan selama lalu, mengapa Cavero tidak? Siapa yang sebenarnya memainkan permainan ini????" Natalie memelototi Arslan serius.

"Tidak ada apa pun yang kami temukan. Rumah itu bersih, tanpa celah dan tidak ada sidik jari sama sekali. Mereka sudah menghapus jejak mereka dengan baik." jelas Arslan lagi.

"Kami tidak menemukan dimana alamat dan rumahnya. Bahkan identitas penduduknya saja dipalsukan. Namanya adalah Jordy Felipe. Orangtuanya meninggal sekitar dua bulan yang lalu karena menggelapkan uang perusahaan. Kabarnya mereka dibunuh oleh sekelompok penjahat yang haus akan kekayaan. Mereka tidak percaya hukum berlaku adil oleh karena itu, mereka bertindak sendiri."

"Perorangan atau kelompok?" Natalie mengernyitkan dahinya penasaran. "Entahlah, itu hanya desas desus. Banyak yang mengatakan Jonas Felipe dan Jolene Felipe meninggal karena sakit dan beberapa mengatakan mereka meninggal karena diracuni oleh musuh mereka yang mungkin saja lebih dari satu..." Arslan mengangkat bahunya karena apa yang dia katakan itu adalah rumor yang tetangga Jonas katakan.

"Cavero akan dimakamkan hari ini. Jika kamu mau datang...silahkan saja. Aku harus pergi. Kasus ini akan diselidiki..."

"Apa dia sempat di otopsi?" tanya Natalie penasaran, "Iya, bekas di lukanya hanya menunjukkan tikaman pisau yang dilakukan berkali-kali dan di beberapa bagian. Tangan dan jarinya di potong secara terpisah. Tidak ada yang tau apa motif dari si pembunuh ini dan mengapa dia meletakkan jasadnya di rumah Feni. Bukankah, ini adalah kesengajaan? Feni tidak ada keterkaitan dengan Cavero, sejauh yang masyarakat katakan dan profilnya jelas."

"Kasusnya ditutup?" tanya Natalie pasrah. "Sayang sekali, tidak ada bukti apa pun, tidak ada saksi dan tidak ada peralatan yang tersisa di rumah itu." jelas Arslan yang memakai topinya kemudian meninggalkan Natalie yang sedang menikmati kopinya di teras rumah sakit.

Natalie tidak menyangka jika Cavero menyimpan begitu banyak rahasia. Dalam benak Natalie selalu terpikirkan bahwa Cavero mungkin terlibat dalam suatu komplotan kejahatan dan apabila komplotan itu terungkap maka, akan membahayakan mereka. Namun, itu cuma sekedar terlintas dalam pikirannya. Dia tidak akan bisa membuktikkan bahwa pembunuhan Cavero memang sudah direncanakan karena dia saja tidak tau dimana lokasi Cavero.

Dia hampir lupa bahwa dia memiliki pasien bawel di dalam kamar VVIP. Dia sebetulnya tak bergairah untuk bekerja ketika mendengar tentang kematian Cavero. Dia bukan tipe wanita lemah yang tak bisa melupakan sesuatu dengan cepat. Dia adalah tipe wanita yang move on dengan cepat dan melanjutkan hidup seperti biasanya. Dia tak menyesali pernah jatuh cinta dengan Cavero meskipun cinta itu masih terasa melekat dan menyatu dengan hatinya akan tetapi, tidak ada harapan lagi.

Dia harus melanjutkan pernikahan palsu ini bagaimana pun caranya. Meskipun dia tidak mencintai Darren dan bersama dengan Darren membuatnya tersiksa. Dia sangat membenci pria itu. Namun, ketika melihat wajahnya lagi, Darren terlalu innocent untuk melakukan pembunuhan keji kepada mantan kekasihnya. Perasaan Natalie terasa campur aduk dan serba salah. Dia sama sekali tidak mengerti mengapa hanya Cavero yang dibunuh dan bukannya Fransisca.

Dan jika Darren dibalik semua ini, apakah mungkin jika dia menculik adiknya sendiri demi memenuhi obsesi akan cintanya? Terlintas dalam benak Natalie pertanyaan itu. Meskipun dia sendiri tidak yakin mengapa ada orang yang mau melakukan semua ini. Apa yang mereka untungkan dari pernikahannya dan Darren???

"Tidak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri!!" bentak Darren kepada seseorang yang terdengar dari luar ruangannya. Natalie segera masuk karena dia agak khawatir terjadi sesuatu kepada pasiennya. "Ada apa ini?" Natalie menerobos masuk dan melihat Darren sudah berpakaian rapi dan siap untuk pulang. "Darren!!! Kamu masih belum sembuh. Kamu harus istirahat sekarang!!" perintah Natalie yang sama sekali tidak digubris oleh suaminya.

"Akan aku lakukan nanti, temui aku jika kamu melupakan sesuatu..." Darren mencium pipi Natalie di hadapan para perawat. Seketika pipi itu memerah dan Natalie merasa malu harus bermesraan di hadapan para pegawainya sendiri. Namun, bukankah itu tujuannya selama ini? menjaga reputasi baik keluarganya.

Bahkan melirik lelaki lain juga haram bagi Natalie. Bukan dia yang membuat itu akan tetapi, Darren lah yang mengatur. Natalie sering mendengar nama Darren Carter, seorang duda yang tidak mau menikah, dingin dan tak banyak bicara, tatapannya saja mengerikan. Namun, Natalie melihat pria yang berbeda daripada kebanyakan orang yang memberikan definisi. Orang berpikir Darren terlalu rapuh atau perasaanya sudah mati sedangkan, berbeda dengan isi puisinya. Hatinya tidak mati, dia hanya mencoba mengenang Bella.

"Apakah Bella begitu berarti di hidupnya?" Natalie menatap kosong kepada sahabatnya dokter Arlene. "Mungkin saja, Nat. Bella Carter itu kan model, cantik, mandiri. Ya beda lah bukan kelas kamu sama Darren. Latar belakang keluarganya saja sudah beda, cuma dia cantik dan berbakat." jelas Arlene.

"Waktu itu kamu pernah bilang dia cuek, gak banyak bicara, menatap orang saja tak mau apalagi berbicara sampai akrab. Kita ini baru bertemu sebulan yang lalu dan tiba-tiba saja dia tidak seperti yang kebanyakan orang pikir." Natalie meminum seteguk kopi latte. Dia meletakkan secangkir kopi dan mendengarkan ocehan sahabatnya.

"Namanya juga pendapat publik. Datanya mentah belum diolah. Mereka cuma tau Darren sekedar nama dan tampilan sedangkan jika soal isi hati mereka tidak pernah tau. Karena Darren tidak perlu koar-koar bahwa dia sakit hati kan ketika kehilangan Bella?" Arlene menatap Natalie serius.

"Mungkin kamu benar, Darren Carter sangat asyik, bahkan setiap kali kami berbicara meskipun ada rasa ego di antara kebahagiaan dan ketidakpastian. Kami menikmati setiap moment itu." ucap Natalie yang membuat Arlene terkekeh geli. "Now, you're defending him." ucap Arlene tertawa kecil.

"Dia lugas, santun dan cerdas. Dia juga pebisnis yang handal. Wanita manapun akan takluk dengan pria itu. Sekali saja rayuan buayanya itu keluar, rayuan itu bekerja seperti racun yang membuat hatimu terpana seketika..." Arlene dulu pernah bertemu Darren sekali dan dia menceritakan apa yang dia pernah lihat.

"Sayangnya, aku masih belum mencintainya. Aku ragu jika aku bisa. Aku saja masih mencurigainya atas pernikahan kontrak ini. Semua ini adalah palsu dan aku sangat membenci wartawan yang tidak ada kerjaan itu..."

"Gak ada kerjaan gimana, Nat? kerjaan mereka ya wartawan meliput berita buat dijual." Arlene tertawa semakin kencang melihat kekesalan Natalie terhadap para wartawan yang tak pernah membiarkan dia dan Darren hidup tenang.

"Gak ada berita lain apa? seolah aku ini wanita yang menaklukkan sesuatu padahal belum tentu Darren cinta aku beneran. Bisa aja dia bohong cuma untuk pencitraan. Gak ada yang tau, Ar." bantah Natalie. "Lagipula, kayak gak ada berita lain. Musti gitu aku sama dia diliput terus. Masyarakat tuh bosen, berita tuh sembako kek, keadaan ekonomi, bumi gitu atau science. Percintaan, drama dijual...bosen lah!!!" ucap Natalie kesal.

"Ya udah, aku balik ke kantor. Jam istirahat sudah selesai, bye bu kepala dokter." Arlene tersenyum pamit. Karena tidak ada tamu yang begitu penting, Natalie menyempatkan waktu untuk berkunjung dan melihat keadaan Darren yang saat ini sedang berada dalam rapat dengan Sanford.

Ya, orangtua Natalie berbisnis dengan Carter sejak lama jika soal ekspor. Natalie tidak perlu terkejut tentang hal itu. Lagipula, dia tak begitu mengenal keluarga Carter sampai dia terjebak dan masuk dalam keluarga itu. Natalie mulai mengenal keluarga Carter yang tak jauh berbeda dengan keluarganya. Style mereka yang elegant dan rumah yang glamour. Satu hal yang membuat kedua keluarga itu tampak berbeda adalah mereka punya anak lebih dari satu sementara orangtua Natalie hanya memilki dirinya.

"Kenapa kamu kesini sama asisten kamu. Aku sudah bayar mahal pengawal, kamu malah datang sama assisten." protes Darren seketika dia masuk ke ruangannya dan sudah melihat Natalie duduk santai di sofanya bersama asistennya.

"Duduklah, Darren. Aku perlu memeriksa bagaimana keadaan kamu sekarang." tanpa pikir panjang Darren pun duduk sesuai dengan instruksi istrinya. Dia terdiam tak bergerak sementara Natalie mengeluarkan stetoskop dan alat pengukur tekanan darah. Natalie juga membawa alat pengukur demam. Entah sengaja atau di luar kesadarannya akan tetapi, pemeriksaan itu berjalan dengan baik dan keadaan Darren juga baik-baik saja.

"Suster Siska kamu bisa pulang dulu. Nanti supir biar nganter kamu balik ke rumah sakit. Ini bawa semua!!!" perintah Natalie sembari membereskan peralatannya.

Setelah Siska keluar. Natalie menatap Darren lebih dalam yang membuat Darren menyeringai. "Kamu kenapa? masih penasaran dimana Cavero? pembohong itu sudah meninggalkan dunia ini selamanya." ucap Darren.

"Aku tau. Aku tidak berharap dia menyisakan misteri seperti ini. Ada banyak hal yang ingin aku tau dan aku tidak bisa apabila menerima kepergiannya tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Maukah kamu membantu aku?" pinta Natalie memelas kepada suaminya.

Sejak awal Cavero melamar Natalie, pria itu sudah gugup tak karuan seolah ada sesuatu yang menganggu. Rencana pernikahan mereka juga terjadi lebih dan tiba-tiba tanpa ada angin dan hujan, pria itu menghilang ditelan bumi karena diculik dan kembali mati. Berbeda dengan Fransisca yang saat ini masih selamat dan masih berkeliaran di klub setiap malam bersama kekasihnya, Michael.

"Bukankah itu terlalu berbahaya? Musuh Cavero bisa jadi bukan satu orang namun, berkelompok..." ucapan Darren sama persis dengan penjelasan Arslan. Hal itu sepintas membuat Natalie mengernyitkan dahinya apakah yang pernyataan keduanya memang kebetulan sama atau ada hubungan di antara keduanya???

"Aku tidak ingin jika kamu terluka karena menyisir kasus ini sendiri. Meskipun ada aku, kenapa tidak kita lanjutkan hidup kita tanpa harus mencari masalah lagi?" Darren menatap istrinya serius.

"Aku tidak bisa apabila terus dihantui seperti ini. Rasanya aneh karena aku belum menemukan jawaban dari pertanyaanku..." Natalie menaikkan nada suaranya yang terdengar sampai luar ruangan Darren.

"Shhh, nanti ada yang dengar. Tidak semua pertanyaan harus ada jawabannya, kan?" Darren mencoba menyakinkan Natalie untuk tidak pergi apalagi sampai mencari kasus itu sendiri karena dia tau yang akan Natalie hadapi bukan sembarang orang.

Darren hanya khawatir apabila ada yang menyakiti Natalie seperti waktu itu. Namun, Natalie yang sudah buta akan rasa penasaran dan obsesinya menemukan jawaban dari pertanyaan itu pun tak memperdulikan peringatan Darren. Dia keluar dari ruangan Darren dan membanting pintu yang tidak bersalah.

"Apa yang terjadi?" Elvin masuk dan bertanya karena dia melihat Natalie baru saja keluar dan emosi. "Tidak ada. Periksa saja apakah datanya sudah masuk atau belum. Kepalaku agak sakit." Darren menyandarkan kepalanya ke sofa dan rileks sebentar sebelum melanjutkan kerja.

"Apa tidak ada pengawal lain yang lebih baik, aku rasanya geram melihat sikap Natalie yang tidak penurut jika sudah terobsesi dengan beberapa hal." keluh Darren kepada adik lelakinya yang selalu pengertian. Jika ada sahabat sekaligus saudara yang akrab, ya memang cuma Elvin yang dapat Darren percaya.

Karena itu, ketika Elvin terluka, Darren merasa panik bukan main seolah dia juga terluka. Keduanya akrab dan saling ngobrol untuk menemukan solusi dari masalah mereka. Elvin selalu terlihat pendiam dan dingin akan tetapi, dia akrab dengan orang yang dia kenal. Mereka berdua bekerja di tempat yang sama dan Elvin akan menjadi CEO untuk salah satu anak perusahaan Carter. Dia juga akan segera menikah dengan Irene dan Darren mungkin saja akan mendapatkan sedikit kesempatan untuk ngobrol atau hanya sekedar bercanda gurau dengan Elvin.

"Aku akan menemukan orangnya. Hanya saja aku harus memeriksa sesuatu." ponsel Elvin berdering dan dia seketika pamit untuk mengurus sesuatu yang Darren sendiri tidak ketahui.

Darren mengunci ruang kerjanya, dia membuka laptopnya dan berbicara dengan seseorang melalui sebuah telpon.

"Apa yang kalian lakukan sangat beresiko..." protes Darren seketika dia terhubung dengan pria itu. Bahkan di profil seseorang yang sedang Darren telpon saja tidak memiliki foto profil. Pria itu masih begitu misterius untuk Darren dan dia sama sekali tidak mengerti mengapa ada seseorang seperti ini di dunia.

"Lakukan saja tugasmu, kamu tidak perlu ikut campur." ucap pria itu yang terdengar aneh. Sepertinya suaranya disamarkan.

"Akan aku campuri jika ini menyangkut istriku!!" teriak Darren.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel