Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 5: Almost Busted

Darren melihat pria itu memberontak agar dilepaskan akan tetapi, pria bertopeng itu sangat tidak peduli. Dia justru duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan. Dia membiarkan pria itu terus memberontak sampai dia mengambil sebuah suntikan yang lagi-lagi membuat wajah pria yang dirantai di atas ranjang rumah sakit pun memasang wajah berteriak.

Darren tak mau berlama-lama karena dia merasa ngilu melihat hal tersebut. Dia sejenak berpikir mungkin itu hanya bayangannya saja. Ketika dia menjauh dia merasa seolah seluruh ruangan ini gelap, tidak ada cahaya apa pun. Dia mencoba mencari cara untuk keluar dari ruangan ini dengan meraba ke setiap dinding. Dia berhasil keluar dan apa yang dilihatnya mungkin saja hanya bayangannya.

"Besok ada rapat dengan Perusahaan Stanfield jam 7 pagi, online. Jangan lupa siap-siap. Awasi istrinya." ucap Elvin sedikit bercanda. "OK. makasih udah diingetin, hampir aja lupa. Kamu dari mana?" tanya Darren penasaran, "Baru dari ruang kerja." jawab Elvin santai. Darren mengelus kepalanya karena merasa kebingungan dengan apa yang baru saja dia alami. Dia tidak tidur semalaman dan sempat meminum red wine sebelum tidur. Pikirnya, mungkin saja itu mempengaruhi sakit kepalanya.

Darren masih berpikir tentang semua itu. Semua hal gelap di ruangan itu dan tempat apa itu selain dari bagasi mobil. Dia terus memikirkan semua itu sampai lupa bahwa dia punya jam untuk istirahat. Dia tertidur di sofa sampai pagi dan Natalie tidak berani untuk membangunkan Darren, dia mendekat dan menatap suaminya yang tertidur pulas dan tak mengeluarkan suara berisik.

"Darren!!! Jangan lupa rapatnya udah mulai ini!!" teriak Stacy terdengar dari luar pintu sedangkan, Darren masih tertidur. "Darren, bangun Darrennn!!" teriak Natalie tepat di telinga Darren karena dia tidak ingin jika Darren terlambat menghadiri rapat. Spontan Darren pun terkejut dan memelotot menatap Natalie dengan kesal. "Kamu ngapain sih pagi-pagi bangunin aku. Aku masih ngantuk ini." keluh Darren, dia mengucek matanya untuk mengumpulkan kembali nyawanya.

"Ada rapat tuh kata Mama." jawab Natalie singkat, "Oh iya, astaga. Ketiduran lagi. Makasih yah." ucapan itu terdengar lembut di telinga Natalie. Darren beranjak dan cuci muka lalu menghadiri rapat secara online di ruang kerjanya.

Natalie yang sudah siap pun segera turun untuk bekerja. Dia melihat rumah ini tak ada bedanya dengan rumahnya. Hanya saja disini lebih ramai karena dia sudah mendengar ocehan Fransisca pagi-pagi sekali di ruang makan. Natalie tidak pernah merasa seramai itu di rumahnya sendiri, dia juga tidak memiliki saudara. Dia tak memiliki sahabat dekat, salah satu orang yang pernah bertemu dengannya adalah Cavero.

Cavero juga tidak begitu dekat dengan Natalie selama hubungan mereka berlangsung. Maklum saja, Cavero adalah pria pertama yang membuat dirinya jatuh cinta dan menjalin suatu hubungan. Natalie menghabiskan waktu mudanya untuk belajar, karena begitu cinta dengan ilmu pengetahuan, sejarah dan kedokteran, dia sampai lupa untuk belajar bagaimana caranya mencintai.

Bagi dirinya Cavero adalah suatu percobaan. Awalnya dia berpikir bahwa hubungan itu akan hancur sama seperti teman-temannya. Namun, hubungan itu tetap berlanjut dan dia sama sekali tidak menuntut Cavero untuk selalu berkabar akan tetapi, sepertinya itu menciptakan suatu alasan bahwa tidak berkabar adalah hal yang tidak baik. Karena Natalie sangat tidak mengerti apa yang sedang di lakukan Cavero, apa yang terjadi dengannya dan mengapa kadang dia menghilang selama berhari-hari.

Dia seharusnya butuh semua komunikasi itu agar dia tau apa yang terjadi sebenarnya. Sayangnya, dia terlalu membiarkan semua itu berlalu begitu saja. Dia turun dan menghampiri anggota keluarga Carter.

"Natalie, sarapan dulu sini." sapa Stacy yang mempersilahkan menantunya duduk di sebelah Elvin. "Darren pasti sudah rapat, dia tipe pria yang sibuk. Oh ya, kalian berencana honeymoon kemana setelah ini?" pertanyaan Stacy membuat Natalie agak bingung, dia bukannya tidak ingin hanya saja itu tidak mungkin dia lakukan sekarang ini.

"Kami belum berencana..." jawab Natalie lirih, "Belum berencana punya anak atau honeymoon nya? kalian ini kan sudah menikah..." protes Stacy yang memancing amarah Natalie akan tetapi, dia tidak ingin berapi-api di depan mertuanya. "Kami hanya menikah karena seseorang menjebak kami saja. Jika kontrak dalam surat itu berakhir, maka, kami juga akan berakhir." jelas Natalie. Dia memakan roti bakarnya dan menatap Stacy serius. Dia tidak pernah ingin atau berharap berada dalam hubungan ini. Dan menolak serta memberontak adalah hal yang masih bisa dia lakukan saat ini.

"Tidak ada yang memaksa, Natalie. Kamu bebas memilih, hanya saja pernikahan kalian sudah terdengar dimana-mana. Jelas, kami baik Sanford maupun Carter keduanya tidak ingin dipermalukan. Mau atau tidak mau kamu harus menerima, tanyakan pada ayahmu jika tidak percaya." Louis meletakkan garpu dan pisaunya kemudian beranjak bersama dengan Stacy untuk bekerja. Fransisca yang masih duduk di depan Natalie menatap kakak iparnya dengan rasa iba.

"Kak Nat gak usah khawatir. Semua ini pasti berlalu..." Fransisca duduk di samping Natalie dan memeluknya. Natalie merasakan kasih sayang seorang saudara seperti Fransisca yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Satu-satunya orang yang tidak pernah bicara dengannya dan selalu memiliki tatapan yang dingin hanyalah Elvin, entah mengapa Natalie merasa ada yang aneh dengan Elvin setiap kali dia menatap mata pria itu.

Jika dia mencurigai Darren, dia tidak pernah merasa bahwa Darren itu aneh. Darren juga pernah sakit hati karena kehilangan istrinya akan tetapi, tatapannya tak terasa sedingin es abadi. Dia mencoba untuk mengembalikan kesadarannya karena dia baru saja memuji tatapan Darren di dalam hatinya.

Natalie ingin melupakan itu dan kembali kepada pekerjaannya. Dia tidak pergi ke rumah sakit kali ini melainkan dia ingin mendiskusikan sesuatu dengan Aslan. Dia merasa resah akan kepergian Cavero yang tidak berujung kembali, dia sama sekali tidak mengerti dimana kekasihnya saat ini dan apa yang sebenarnya terjadi. Cavero menghilang begitu misterius bahkan setelah Natalie menikahi Darren.

Jika penculik memang menginginkan kedua pasangan itu menikah lalu mengapa hanya Fransisca yang dilepaskan dari penculikan itu? Mengapa Cavero tidak dan apa yang sebenarnya terjadi, Natalie mencoba menemukan semua itu sendirian atas bantuan seorang polisi senior, Aslan. Dia juga ingin menyewa detektif akan tetapi, tidak ada gunanya karena orangtua Cavero saja tidak peduli tentang putranya yang hilang.

"Apakah dia menelpon semalam sebelum pernikahan kalian?" Aslan duduk di depan Natalie yang masih panik, "Tidak, dia sama sekali tidak bicara baik lewat telpon atau bertemu. Kejadian itu terasa sangat cepat. Dia melamar kemudian mengadakan acara pernikahan yang berujung dengan menghilangnya dia." Aslan mengelus janggutnya yang memiliki bulu berwarna putih menujukkan bahwa usianya tidak muda lagi.

"Kita akan mencari tau siapa dia dan dimana rumahnya. Kamu pernah berkunjung ke rumahnya?" tanya Aslan penasaran. Natalie menggelengkan kepalanya karena dia benar-benar tidak mengerti dimana rumah Cavero, "Dia selalu mengajak bertemu di hotel, restaurant atau taman lebih tepatnya ke tempat umum. Dia tidak pernah mengajakku ke rumahnya atau memperkenalkan aku kepada orangtuanya meskipun pernikahan kami semakin dekat." jawab Natalie.

Aslan mengangkat alisnya, "Itu artinya kamu tidak tau dimana dia bekerja dan dimana dia tinggal?" lanjut Aslan bertanya. "Kamu tidak tau apa pun tentang dia? Sangat misterius. Apa alasan kamu mau berhubungan dengan pria seperti ini?" Aslan meminum tehnya sembari menunggu jawaban Natalie yang bingung dengan perasaannya sendiri.

"Kami bertemu di sebuah Universitas waktu itu dan dia sedang berkunjung untuk menjadi pemateri sebuah seminar. Kami kemudian berteman dan lebih dekat lewat bertemu dan online. Kami berdua cukup beralasan ketika tidak bisa terus mengabari. Aku sibuk dengan tugas praktek dan dia sibuk dengan bisnisnya." jelas Natalie.

"Baiklah, aku akan membantu..." bisik Aslan. "Aku akan memberikan kabar jika ada sesuatu." Aslan keluar dari ruangan Natalie sementara Natalie panik karena ponselnya sejak tadi berdering.

"Kamu dimana!!!!" teriak Darren di telpon, "Aku cari kamu di rumah sakit kamu tidak ada!" teriak Darren lagi marah-marah, "Aku sedang ada di klinik." jawab Natalie singkat.

Darren mencoba menenangkan dirinya dan tidak marah. Dia segera keluar dari rumah sakit dan menjemput Natalie. Dia menutup telponnya dan menyetir dengan cepat menuju klinik Natalie. Dia masuk ke ruangan Natalie dengan terbirit-birit dan melihat istrinya sedang menelpon seseorang.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu mau kesini?" bentak Darren memarahi istrinya sementara Natalie menatap suaminya yang terlihat marah karena khawatir. Natalie tidak peduli dengan hal itu dan dia tetap diam tanpa merespon amarah suaminya.

"Baiklah, mulai besok kamu akan pergi dengan supir dan pengawal akan selalu ada bersama kamu. Ini aturan dan kamu tidak boleh menolak." Darren menatap mata istrinya dengan serius, "Siapa kamu mengatur hidup aku??? Aku bebas pergi kemana saja yang aku mau dan aku tidak harus menuruti perintah kamu." tegas Natalie.

"Ini yang tertulis disini, apa pun peraturan yang suami buat maka, istri harus menurut." Darren melemparkan secarik kertas yang sudah ada materainya. Natalie ingat ketika menikah dia dan Darren menandatangani surat perjanjian itu sebagai syarat pernikahan mereka dan permintaan dari sang penculik yang juga menyaksikan langsung pernikahan mereka.

Natalie mengambil surat itu dan membacanya kembali. Dengan jelas tertulis bahwa istri harus menaati aturan yang dibuat oleh suami. Istri juga tidak boleh menggugat cerai suami selama kontrak belum berakhir, hal itu juga berlaku untuk suami. Intinya kepala keluarga adalah suami dan suami berhak menentukan aturan apa pun dalam keluarganya.

Natalie memijat keningnya karena dia merasa sakit kepala seketika membaca kembali isi surat itu. Dia terpaku dalam kursinya dan tidak bisa menolak apa yang suaminya perintahkan. "Kamu akan menelpon aku kemana pun kamu pergi dan dimana pun kamu berada. Aku tidak ingin kamu menghilang meskipun hanya sedetik. Paham itu, nyonya istri??" Darren menatap istrinya dengan serius sementara Natalie masih berpikir ini hanyalah mimpi.

"Paham kan, nyonya istri." Darren mengambil suratnya kembali dan memerintahkan pengawalnya untuk menjaga Natalie sampai dia pulang. "Darren, kenapa harus seperti ini? Aku baik-baik saja lagipula disini ada satpam dan aku ini cukup dewasa untuk menjaga diri." Darren menyeringai namun, dia tidak berbalik menghadap istrinya. Dia terus menatap ke depan dan keluar dari ruangan istrinya.

Natalie tidak terbiasa diantar pulang oleh supir apalagi ada pengawal dengan badan kekar dan tatapan yang tajam. Dia sedikit takut kepada pengawal itu dan sebetulnya dia tidak ingin akan tetapi, dia tidak mengerti mengapa dia mau saja menuruti apa yang tertulis oleh surat itu.

"Siapa nama kamu?" tanya Natalie kepada sang pengawal yang terus menatapnya melalui kaca depan, "Dean, nyonya Natalie." jawabnya singkat, "Kamu pernah kerja dimana?" Natalie menatap Dean serius. "Pernah bekerja sebagai pengawal pribadi tuan Darren."

"Baiklah, kamu tau kenapa Darren ingin kamu mengawal saya?" tanya Natalie penasaran, "Dia hanya ingin menjaga keselamatan anda apalagi setelah kejadian hari itu di rumah tuan Darren. Dia tidak ingin anda disakiti. Dia ingin anda bahagia dan hidup dengan tenang." jawab Dean.

"Sepertinya tuan Darren sangat mencintai anda. Meskipun pernikahan ini tidak diharapkan, jika tidak lalu, untuk apa dia melakukan semua ini, nyonya?"

"Mungkin dia hanya bertanggung jawab sebagai suami. Semua itu dia lakukan demi menjaga reputasi dan nama baiknya. Menjaga reputasi dan nama baik kadang-kadang tidak perlu memakai perasaan, Dean." ucap Natalie yang membuat Dean terpaku dan gugup, dia bahkan malu untuk menatap mata Natalie.

Natalie melihat Darren sedang rebahan santai di atas ranjang ketika dia masuk ke kamarnya dan baru saja ingin istirahat. Dia meletakkan tasnya di atas meja dan melihat kopernya sudah terletak di kamar Darren.

"Aku tidak ingin kamu tinggal sendiri di kamar tamu itu jadi, aku menyuruh Dena untuk memindahkan baju kamu di wardrobe kita." Natalie terkejut dengan semua itu, dia ingin marah karena ini tidak sesuai dengan perjanjian mereka.

"Aku tidak ingin mengulanginya, Darren. Aku akan tidur dimana aku seharusnya berada." Tegas Natalie mendekat kepada Darren yang sedang rebahan santai, "Tidak, kamu akan menuruti perintah aku sekalipun aku harus mengambil kebebasan kamu karena aku melakukan ini demi kamu." Natalie mengusap air matanya yang mengalir karena dia tidak ingin berada dekat dengan Darren.

"Ini sangat tidak adil..." Keluh Natalie pelan.

"Cavero saja tidak hidup bagaimana bisa aku masih menuruti semua omong kosong ini. Apakah penculik itu masih menyaksikan kita bahkan saat kita sedang berada di rumah dan tempat privasi seperti ini? Aku memang bodoh." Natalie keluar dan tidur di kamar tamu yang sudah ART Darren siapkan untuknya.

Darren berpikir bahwa itu memang benar. Mereka bodoh jika terus terpaku dan menuruti surat perjanjian yang bahkan pemberi surat itu tidak ada. Namun, tujuan Darren tidak buruk, dia hanya ingin melakukan apa yang menjadi tugasnya tanpa ada surat sekalipun. Karena dia tau tujuan dan alasannya namun, bibirnya tak bisa terus terang kepada Natalie. Semua ada masanya dan dia tidak tau sampai kapan semua ini akan berlangsung.

"Dimana pria itu? Kenapa dia menghilang begitu lama? Apa dia berada di tempat itu?" Ucap Darren di telpon menanyakan keberadaan seseorang.

To be continued...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel