Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

"Jangan pernah membiarkan dirimu terluka lagi, Revan. Aku nggak menyukainya. Aku sayang sama kamu, aku mencintaimu." ungkap Devan dengan tangan yang menggenggam erat jari ku.

Aku memandangnya bingung. Aku tidak terlalu yakin atas apa yang dia ucapkan barusan. Tapi entah mengapa mendengarnya membuatku berdebar tidak karuan. Di tambah lagi saat wajahnya mendekat dan mempersempit jarak di antara kami, membuat jantungku berdetak lebih cepat sampai akhirnya bibir Devan menemui bibirku dan menimbulkan rasa yang aneh saat bibir Devan bergerak dan memandu ku agar mengikuti pergerakannya.

Aku terbawa suasana, tak terasa aku memejamkan mata dan mengikuti alur yang Devan berikan pada ku. Aku memundurkan langkahku karena Devan melakukannya dengan sedikit dorongan yang membuatku harus mundur. Awalnya semuanya berjalan lancar, sampai akhirnya suara benturan kecil yang ku rasakan di bagian pinggangku membuatku terjaga dengan mata membesar menatap langit-langit ruangan yang butuh waktu beberapa saat untuk ku kenali.

Rasa pusing segera menyerang kepala ku begitu aku berusaha berdiri dari tidur ku dan meringis pelan begitu pinggangku terasa nyeri yang seketika mengingatkan ku akan apa saja yang sudah terjadi. Aku menatap jam tanganku untuk melihat pukul berapa sekarang, dan sudah berapa jam aku berada di dalam garasii seperti ini

"Aku terlambat!" ucapku pelan namun sebenarnya panik.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Dan aku masih berada di garasi ini dengan seragam yang kotor dan luka lenganku yang sudah mengering. Aku memijat pelan pinggangku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk bangkit dari baring ku dengan susah payah. Tapi syukurlah, aku bisa melakukannya. Aku masih bisa berdiri dan berjalan tertatih menuju kamar ku untuk mandi dan berganti pakaian.

Ya, aku tau aku sudah terlambat. Tapi setidaknya aku masuk sekolah kan? Daripada harus absen dan mengurangi nilai harian ku. Setidaknya aku rajin masuk walaupun otak ku berada di tengah-tengah. Jadi guru-guru bisa dengan mudah mempertimbangkan kelulusan ku nanti.

Baiklah, lupakan soal sekolah untuk sekarang. Sepertinya aku harus absen hari ini setelah membaca note kecil yang tergeletak di atas meja belajarku. Itu dari Devan dan berisi pesan singkat yang penuh dengan perintah.

Jangan sekolah hari ini. Ambil kartu yang ku sediakan dan gunakan untuk membeli sepeda baru. Jangan lupa obati lukamu. Aku benci melihatnya.

Begitulah kira-kira isi dari pesan kecil yang di tinggalkan di atas mejaku beserta kartu hitam yang tidak ku ketahui apa itu yang berasal dari Devan. Isinya memang penuh dengan perintah, apalagi ada kata benci disana. Tapi entah mengapa aku merasakan hangat menyelimuti hatiku saat membacanya, aku...aku merasa di perhatikan. Merasakan itu membuatku mengingat akan mimpi yang baru saja aku alami tadi.

Devan mengungkapkan kata sayang dan dia menempelkan bibirnya padaku.

Aku tidak tau bagaimana bisa mimpi itu datang atau terbuat. Aku sungguh bingung juga untuk memahaminya. Devan adalah Kakakku, dan dia seorang pria. Bagaimana bisa aku bermimpi basah tentang dirinya yang mencium ku dengan kata-kata indah yang sama sekali tidak pernah ia ucapkan?

Tunggu dulu...mimpi basah?

Aku segera menyentuh bagian sensitif ku untuk memastikan hal itu. Dan benar saja, ada sedikit bagian yang basah di sana. Tentu saja aku tau kenapa bisa basah seperti itu, aku sudah mempelajarinya walaupun baru kali ini aku mengalaminya. Aku tau ini sangat terlambat dan lagi pula aku sangat gila memimpikan sosok Devan di dalam mimpi basahku.

Pertanda apa itu? Apakah aku akan mendapatkan banyak siksaan di waktu mendatang?

Entahlah aku tidak tau. Yang penting saat ini aku harus lebih berhati-hati dalam bertindak. Aku tidak mau hal yang seperti kemarin terjadi lagi. Dan ya, sekarang aku harus mandi dan menuruti semua perintah Devan yang sudah terdapat dalam note kecil itu yang sudah ku letakkan kembali di atas meja.

Setelahnya aku pun dengan perlahan dan menahan rasa sakit berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku yang sudah sangat kotor.

• • •

Membutuhkan waktu yang cukup lama bagiku untuk sampai ke klinik kecil untuk memeriksa rasa sakit yang ku dapatkan kemarin. Letaknya cukup jauh memang, di tambah lagi dengan diriku yang beberapa kali meringis setiap kali merasakan nyeri di bagian pinggang ku. Jadi wajar saja aku butuh hampir 1 jam untuk sampai kesini. Dan itu pun belum dengan mengambil nomor antriannya.

"Ini ambil saja nomor antrian ku. Habis ini bakalan di panggil." ujar seseorang di samping ku sambil mengulurkan nomor antrian di tangannya.

Aku menoleh lalu menggeleng pelan untuk menjawabnya.

"Terima kasih, Kak. Tapi, Maaf. Aku bukan orang yang suka mendahului antrian." balasku sambil tersenyum ramah ke arahnya. Dia seorang wanita, dan ku pikir umurnya sepantaran dengan Devan. Kalau tidak salah.

"Oh, nggak apa. Kamu ambil aja, aku nggak jadi periksanya. Kamu ambil aja nomor antrian ini ya. Aku mau pergi dulu. Lagian aku ngeliat kamu lebih membutuhkannya." ujar Kakak itu, lalu setelahnya dia berdiri dari duduknya dan kembali menyodorkan nomor antrian itu padaku.

Mendengar alasannya aku pun menerima nomor tersebut dan tersenyum menatapnya.

"Terima kasih, Kak." ucapku tulus. Ia membalas senyumku lalu mengacak rambutku pelan.

"Iya, sama-sama. Aku pergi dulu ya. Semoga cepet sembuh." ujarnya, lalu berlalu pergi ke arah pintu keluar klinik. Tidak lama kemudian, nomor antrian yang ada di tanganku pun di sebut. Aku segera berdiri dan menghampiri orang yang menyebutkan nomor tersebut. Lalu setelahnya aku pun di arahkan ke ruangan yang ku butuhkan untuk memeriksa rasa sakit yang kurasakan.

Beberapa waktu kemudian aku pun keluar dari ruangan tersebut setelah mendapatkan resep obat yang dokter berikan selama sesi pemeriksaan tadi. Tidak terlalu banyak, aku hanya di berikan tiga jenis obat yang harus ku tebus di tempat yang sama seperti tadi aku datangi tempat yang menyebutkan nomor antrian.

Aku tersenyum menatap orang yang menjaga disana, setelahnya aku pun menyerahkan kertas kecil tulisan dokter itu. Lalu aku pun di suruh menunggu untuk obat yang akan aku bawa pulang nanti.

Selagi menunggu, bunyi notifikasi dari ponselku membuatku teralihkan dari lamunan ku menatap orang-orang sekitar. Aku mengambil ponsel ku dalam saku lalu memeriksa notif yang masuk untuk mengetahui pesan dari siapa dan apa isi pesan tersebut.

Agung Serbian

Re. Ngapa lo kagak masuk? 10.02

Melihatnya, aku pun segera membalas dengan mengetikkan kalau aku sedang sakit dan tidak bisa mengikuti pelajaran hari ini. Tidak lama kemudian balasan dari Agung masuk kembali dan berisi kalau sepulang sekolah dia akan menjenguk ku di rumah. Aku mengiyakan lalu setelahnya aku menaruh ponselku kembali ke dalam saku bersamaan dengan namaku yang di sebut oleh petugas yang berjaga itu.

Aku berdiri dan dengan senyum ramah menghampiri tempat itu untuk mengambil obat yang sudah selesai di buat. Aku membayar nominal yang di sebutkan, lalu setelahnya aku pun berbalik untuk segera pergi dari sini. Masih ada tempat yang harus ku datangi. Aku harus membeli sepeda baru seperti yang di perintahkan Devan. Jadi aku harus cepat, ini juga sudah hampir masuk makan siang. Dan aku belum masak apapun untuk makan siang Devan. Sebenarnya aku tidak pernah melakukannya. Tapi karena hari ini aku tidak masuk, jadi besar kemungkinan kalau Devan akan pulang untuk makan siang.

Aku mengeluarkan obat-obat yang aku beli tadi dan membaca merk apa yang orang itu berikan kepadaku. Namun aku hanya membacanya saja, karena bagaimanapun aku tidak tau apa kegunaannya di masing-masing obat yang ku terima. Jadi aku hanya iseng saja sambil berusaha menghabiskan waktu ku untuk berjalan ke jalan raya menunggu angkutan umum yang akan membawa ku ke pasar besar.

Aku mendudukkan diriku begitu sampai di halte dan dengan sekali hembusan napas aku pun menatap jalanan untuk melihat kendaraan yang berlalu lalang. Halte ini sangat sepi, hanya aku saja yang menunggu angkutan umum disini. Dan ya, mungkin karena hal itu angkutan umum yang ku tunggu tidak kunjung datang, melainkan sebuah motor besar dengan pengendara yang mengenakan seragam sekolah begitupun dengan orang yang berada di belakangnya.

Awalnya aku biasa saja. Aku berpikir bahwa orang itu mengantarkan orang yang berada di belakangnya untuk menunggui angkutan umum di halte ini. Namun aku salah, orang yang mengendarai motor tersebut membuka kaca helmnya dan memanggil namaku sebelum akhirnya dia turun dari sana untuk menghampiri ku yang berusaha mengingat siapa orang itu yang kini tersenyum hangat menatapku.

"Ngapain lu disini?" tanya orang itu. Aku pernah mendengar suaranya. Tapi aku lupa siapa namanya, wajahnya pun familiar. Aku ragu untuk membalas pertanyaannya, pertama, aku takut dia salah orang. Kedua, aku takut ternyata dia bukan menanyaiku.

"Leo! Lo ngapain sih? Katanya mau ngewek!" ucap pria yang masuk duduk di atas motor.

Aku tidak paham dengan apa yang pria itu ucapkan. Aku hanya menangkan satu kata yang menyebutkan nama dari orang yang saat ini terlihat panik menatap pria yang satunya. Dan sekarang aku ingat. Dia adalah Leo teman Agung yang bersedia mengantarku pulang kemarin. Dan aku dengan bodohnya melupakannya yang sudah berbaik hati padaku. Bagaimana bisa aku melakukan hal semacam itu.

"Eh, Leo." panggilku pelan.

Dia yang tadinya bermain mata dengan pria yang ada di motor kini menoleh ke arah ku dengan senyum kaku yang sangat jelas sekali terpancar di wajahnya.

"Ya?" tanyanya.

"Maaf, tadi aku sempet bingung siapa kamu sebelum temenmu nyebut nama kamu tadi. Kamu nggak sekolah?" tanyaku, mengingat kalau sekarang masih memasuki jam sekolah.

Pria yang berada di motor itu turun dari sana lalu ikut berjalan mendekat ke arah aku dan Leo.

"Siapa dia? Pacar lo?" ujar pria itu. Yang tentu saja menimbulkan pertanyaan di benakku. Tapi aku tidak akan menanyainya, akan sangat tidak sopan nantinya jika aku menanyakan hal yang mungkin saja sensitif bagi mereka berdua.

Leo berdiri, dan membisikan sesuatu di telinga pria satunya yang ternyata bernama Deka terlihat dari name-tag yang ada di bajunya.

Deka terlihat menganggukkan kepalanya, lalu kemudian ekspresinya pun berubah menjadi ramah setelah sebelumnya dia terlihat tidak suka melihatku.

"Hai, gue Deka. Anak IPS 4." ujarnya dengan tangan yang ia ulurkan ke arahku. Aku menyambut tangan itu dan tersenyum ramah lalu menyebutkan nama dan kelasku kepadanya.

"Jadi, lo ngapain disini dan nggak sekolah?" tanyanya.

"Aku sakit, dan baru selesai periksa tadi di klinik itu." jawabku sambil menunjuk ke arah tempat ku periksa tadi.

"Sakit apa lu?" kini giliran Leo yang bertanya.

Aku berpikir sebentar untuk menjawab pertanyaan itu. Aku ingin mengatakan kalau pinggang ku sakit dan itu karena Kakak ku sendiri. Tapi sepertinya itu akan membuat Devan terlihat jahat di mata mereka. Jadi dengan begitu aku pun menjawabnya kalau aku hanya sakit biasa dan tidak perlu di khawatirkan.

Mereka berdua mengangguk paham, lalu setelah menatap satu sama lain dan kembali untuk menatap ku secara bersamaan.

"Sekarang lo mau pulang?" tanya Leo, dan aku pun segera menggeleng pelan.

"Enggak. Aku mau ke pasar untuk membeli sepeda baru." ujarku.

"Oh yaudah. Kalo gitu bareng gue aja, gue bisa anterin lo kesana. Gimana?" tawar Leo, dan detik berikutnya pukulan kecil di terimanya dari Deka yang memasang wajah kesal menatapnya.

"Gue tau lo lagi klepek-klepek. Tapi jangan abaikan gue yang udah lo ajakin ngewek sampe gue rela bolos segala. Nggak mau tau ya, pokoknya kita ke kosan gue sekarang. Urusan anter menganter, biar lo urus setelah lo crot di muka gue." ujar Deka dengan nada kesal. Setelahnya dia pun berbalik untuk kembali duduk di motor besar itu.

Aku yang tidak mengerti hanya memandangnya bingung dan beralih menatap Leo yang tersenyum canggung menatapku.

"Maafin sikap dia ya. Dia emang orangnya kasar." ujarnya.

"Nggak apa kok. Kalian lanjut aja, aku emang lagi nungguin angkot dari tadi." balasku sambil tersenyum.

"Oke deh. Hati-hati di jalan ya."

Aku menganggukkan kepalaku menjawabnya. Setelahnya diapun menyusul Deka, dan menaiki motornya lalu kemudian dia menyalakan mesin motor tersebut untuk segera pergi dan menghilang dari pandangan ku.

Di waktu yang sama, angkutan umum yang kutunggu pun datang. Aku segera masuk ke dalamnya untuk melanjutkan rencana ku pergi ke pasar untuk membeli sepeda dan memenuhi perintah Devan yang sangat mutlak tertulis di kertas kecil itu.

• • •

3 jam berlalu. Dan sekarang aku sudah berada di depan rumah dengan sepeda yang ukurannya tidak jauh berbeda dengan sepedaku yang dulu. Aku membelinya menggunakan uang tabungan ku sendiri. Aku tidak mengerti cara menggunakan kartu hitam yang Devan berikan padaku. Semua toko sepeda yang ku sodorkan kartu itu selalu berkata kalau mereka tidak menyediakan pembayaran menggunakan kartu itu.

Ya, aku tidak mengharapkan apa-apa dari kartu tersebut. Aku hanya mengikuti perintah Devan saja. Untung saja aku membawa tabunganku. Jika tidak, aku tidak tau ekspresi apa yang akan Devan keluarkan kalau melihatku pulang tanpa membawa apapun padahal dia sudah memerintahkannya dengan jelas tertulis di kertas kecil yang ia letakkan di mejaku.

Aku masuk ke dalam garasi untuk memarkirkan sepedaku di sana. Setelahnya aku pun berbalik untuk masuk ke dalam rumah.

Sekarang baru jam satu. Dan sudah lewat waktu makan siang. Jadi aku dengan takut-takut masuk ke dalam rumah jika saja Devan sedang marah karena tidak ada makanan di meja makan. Tapi sepertinya hal itu tidak terjadi, dan aku bersyukur atas itu.

Sepertinya Devan sudah makan siang. Dan sekarang dia mungkin sedang berada di kamarnya untuk tidur siang. Aku tidak begitu yakin sebenarnya, jadi untuk memastikan, aku naik ke atas untuk memeriksa kamar Devan apakah benar ada dirinya di sana atau tidak. Namun sepertinya aku tidak butuh untuk masuk ke kamarnya untuk memastikan hal itu lagi.

Saat aku berada di depan pintu, aku bisa mendengar suaranya yang terengah-engah di susul dengan suara wanita yang meringis kesakitan di dalam sana. Aku tidak tau apa yang mereka lakukan di sana. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Devan sukses membuat ku merasakan sakit yang tidak ku mengerti mengapa.

"Aku menyukaimu sayang. Puaskan aku, buatlah aku berada di duniamu. Karena aku sangat mencintaimu...."

"Rani."

Begitulah ucapan Devan yang begitu jelas terdengar di telinga ku. Dan saat itu juga aku merasakan kesedihan yang begitu dalam di dalam hatiku. Ini terasa menyakitkan, bahkan lebih sakit di bandingkan saat Devan memukuli tubuhku. Aku tidak mengerti kenapa. Tapi yang jelas, aku menangis dalam diam untuk menyembunyikan rasa sakit ku yang tentu saja di iringi dengan suara-suara aneh yang keluar dari mulut wanita itu di dalam sana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel