Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7

Ini adalah yang kedua kalinya aku absen tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Entahlah, setelah kejadian sore kemarin aku merasa lemas dan badanku terasa panas hingga aku sulit tidur semalaman.

Namun sekarang aku sudah merasa baikan. Dan saat ini aku tengah menunggu kedatangan Agung yang katanya akan menjenguk ku setelah pulang sekolah yang mana hal itu sudah terjadi beberapa menit yang lalu. Agung juga sudah mengabariku, kalau dirinya sudah dalam perjalanan kemari sekarang. Jadi dengan begitu aku berusaha berdiri dan bangkit dari kasurku untuk menuju ke ruang tamu, memilih agar menunggu Agung di sana saja. Supaya aku bisa dengan mudah membuka pintu jika Agung sudah tiba nanti.

Soal Devan.....

Entahlah, aku juga tidak tau kabarnya setelah mendengar suara aneh yang menyakiti hatiku kemarin sore. Aku mengurung diriku di kamar, dan tidak pernah keluar sampai jam tiga pagi karena merasa haus dengan tubuhku yang sudah memanas dan penuh keringat. Sampai saat itu aku tidak mendengar suara Devan ataupun hal-hal yang membuktikan kalau dia ada di rumah.

Sebenarnya aku tidak perduli dengan Devan waktu itu. Entah kenapa, sesuatu dalam diriku merasa marah dan kecewa terhadap sosok Devan. Dan ini adalah untuk yang pertama kalinya terjadi kepadaku. Aku bingung. Aku jelas tau apa yang Devan lakukan dengan seorang wanita di dalam sana. Aku pernah mempelajarinya, dan tidak sengaja pula ku lihat di ponsel Agung yang entah sudah kapan hal itu terjadi.

Tapi, kenapa aku merasa kecewa dan berharap semua yang ku dengar itu hanyalah khayalan ku saja? Aku tidak tau jawaban pastinya. Yang jelas aku kacau semalaman dan menangis seperti orang bodoh yang kehilangan sesuatu.

Bunyi bel dari arah pintu membuatku sadar dari lamunanku barusan. Aku tersenyum tipis lalu dengan perlahan bangkit dari duduk ku untuk berjalan menuju pintu utama dan segera membukakan pintu saat aku sampai di sana.

"Hai!" sapa Agung dengan wajah cerianya. Ia tersenyum hangat menatap ku yang tentu saja segera ku balas senyuman itu. Namun saat mataku melirik ke samping kanan tepat di sebelah Agung, aku sedikit mengerutkan dahi ku saat mataku mendapati sosok Leo yang melambai kecil ke arah ku.

"Leo maksa gue biar dia ikut jenguk. Tau dah apaan maksud dia." jelas Agung, yang langsung mengerti akan ekspresi yang ku keluarkan.

Mendengarnya, aku pun tersenyum paham. Lalu setelahnya aku memperlebar pintu yang ku buka agar mereka berdua bisa masuk dan mengikuti ku menuju ruang tamu.

Aku mempersilahkan mereka duduk di sofa yang tersedia, dan Leo dengan cepat duduk di sana. Sementara Agung sama sekali tidak mendengarkan ucapan ku dan malah asik menelusuri apa yang ada di dalam rumah ini.

"Udah lama gue nggak main kesini. Kapan ya terakhir kali?" ujar Agung saat dirinya berhenti di sebuah lukisan pemandangan yang indah dengan sebuah tanda tangan yang tertera di sana.

"Hampir 2 tahun, mungkin? Dan ini yang ketiga kalinya kamu dateng semenjak kita temenan dari kelas satu." balasku setelah berfikir sejenak untuk mengingat apa yang Agung tanyakan. Setelahnya aku mengambil tempat duduk di samping Leo yang kini menatap ku lekat.

"Kenapa?" tanyaku saat mata kami bertemu. Leo segera menggeleng dan beralih untuk memperhatikan Agung.

"Baru yang ketiga kalinya? Lu bilang lo sahabatnya, Gung? Masa iya, sahabat baru main kerumah 3 kali doang. Sahabat macam apa itu?" ujar Leo.

Agung terlihat tidak suka. Ia segera kembali dari tempatnya, lalu berjalan mendekat ke arah Leo dan duduk tepat di tengah-tengah kami.

"Lo kalo tau sikap Abangnya Revan kayak begimana, lo pasti bakal ngelakuin hal yang sama kayak gue." ucap Agung dengan sedikit nada menakuti.

Aku tau percakapan ini akan menjurus kemana. Makanya aku segera memotong apa yang akan Agung ucapkan dengan menawarkan mereka minuman apa yang mereka inginkan. Namun sayangnya, hal itu tidak berguna. Karena mereka dengan kompak menggeleng dan menyuruhku duduk agar aku cepat sembuh.

"Emang kenapa sikap Abangnya Revan, Gung?" tanya Leo yang kembali membawa topik yang ingin ku hindari. Yaitu, membicarakan keburukan Devan.

"Eh...aku ingin makan roti yang kamu bawa, Gung. Bisa tolong bikinin, nggak?" ucapku segera sebelum Agung menjawab pertanyaan Leo.

Namun yang ku dapati dari Agung hanyalah tatapan malasnya terhadapku lalu tersenyum kecut. Setelahnya ia dengan perasaan tidak ikhlas meraih roti yang ia bawa dengan mata yang masih memperhatikanku.

"Sini, biar gue aja. Lu lanjut cerita." sergah Leo yang dengan cepat meraih bungkus isi roti dari tangan Agung. Setelahnya ia bangkit dari duduknya dan berpindah menjadi jongkok di depan meja agar bisa dengan mudah membuatkan ku roti selai.

Sementara Agung, ia tersenyum senang menatapku dengan kedua alis yang ia naikkan beberapa kali. Aku kesal. Tapi aku bukan tipe orang yang pemarah. Sejujurnya, aku tidak bisa marah. Aku selalu meluapkan isi hati ku dengan menangis. Karena selama ini yang kurasakan hanyalah rasa sakit. Sedangkan kesenangan yang ku jumpai bisa di hitung dengan jari. Dan tentu saja, senyuman yang sering mereka lihat hanyalah senyum palsu yang selalu ku tunjukkan saat di butuhkan. Seperti saat ini.

"Abangnya Revan ya, dia itu kasar. Orangnya jahat, dan dingin. Pokoknya nakutin deh. Lo tau nggak apa yang dia lakuin saat pertama kali gue dateng kerumah ini biar bisa lebih dekat sama Revan?" tanya Agung memulai cerita akan pengalamannya.

Leo terlihat tertarik, ia segera menoleh menatap Agung dengan tangan yang masih mengoles selai coklat di satu roti yang ia pegang.

"Apa? Lo di usir?" tebak Leo.

Agung menganggukkan kepalanya.

"Iya! Tapi sebelum di usir, dia ngelakuin hal-hal yang bikin bulu kuduk gue merinding. Apalagi saat Revan nggak ada di samping gue, ketakutan yang gue alami bertambah tinggi, njir." jelas Agung.

"Masa nih ya, pas gue lagi duduk bareng Revan disini sambil nonton tv. Gue kan nggak sengaja noleh tuh ke arah kursi santai di situ tuh!" ucap Agung sambil menunjuk kursi yang sering Devan gunakan saat pulang bekerja.

Leo mengangguk menunggu kelanjutan cerita Agung. Namun sebelum melanjutkan, Leo dengan tersenyum hangat memberikan roti selai yang sudah ia buat ke arah ku. Aku menerima dan mengucapkan terimakasih. Setelahnya, Leo pun kembali ke tempat duduknya yang semula untuk mendengarkan cerita yang tertunda dari Agung.

"Terus?" ucap Leo.

"Nah, lo tau nggak gue ngeliat dia lagi ngapain?" tanya Agung yang segera di beri gelengan kepala oleh Leo. Sementara aku sendiri mulai mengunyah roti yang ada di genggaman ku.

"Dia natep gue tajem banget, anjir! Gue kaget setengah mati pas liat tatapan Abangnya Revan. Matanya tuh kayak mau ngebunuh gue. Apalagi ekspresinya datar yang di dukung dengan bentuk wajah dia yang tegas. Lo bayangin coba? Dan gue pikir ya, dia natap gue cuma sebentar doang. Tapi gue salah. Setiap kali gue cek, dia tetep natap gue kayak gitu bangke! Pas gue mau ngadu ke Revan, eh dianya udah ngacir ke wc."

"Gue udah mati kutu waktu itu di tinggal sendirian. Dan pas gue mau nyoba ngecek lagi. Lo tau nggak apa yang dia lakuin? Dia udah di dekat gue dong. Dia berdiri pake gaya tangannya dia taro di dada. Terus natap gue dingin sambil ngomong dengan suara datar. Begini."

"Pergi dari rumah ini." ucap Agung yang meniru nada suara Devan yang tentu saja tidak ada miripnya sama sekali. Setelahnya, Agung diam tanda dirinya selesai bercerita.

"Njir, gila. Dengernya aja gue ngeri. Apalagi kalo ngalamin langsung yak." ucap Leo yang memasang wajah takut.

"Gue saranin. Kalo lo udah dapet tatapan itu. Lo lebih baik langsung cabut. Daripada lo berurusan sama psikopat dan akhirnya nyawa lo melayang?" ujar Agung. Lei mengangguk setuju.

"Terus, untuk kedatangan lo yang kedua kalinya gimana tuh? Kayak gitu juga nggak?" tanya Leo, dan kali ini Agung menggeleng.

"Enggak. Soalnya gue udah wanti-wanti. Jadi pas yang kedua kalinya gue nanya dulu ke Revan, abangnya ada dirumah atau enggak. Dan kebetulan waktu itu nggak ada. Jadi aman sentosa deh kunjungan gue ke rumah Revan." ujar Agung, yang beberapa detik kemudian ponselnya berbunyi yang segera ia ambil dari saku celana agar bisa langsung menjawab panggilan itu. Namun seperti obrolan pribadi, Agung berdiri, dan menjauh dari jarak kami berdua.

"Seriusan Abang lo kayak gitu?" tanya Leo dan menggeser duduknya mendekat ke arahku.

Aku yang sudah lega dari rasa haus ku setelah menyantap roti tadi memilih menganggukkan kepala ku sebagai jawaban.

"Kok bisa gitu? Lo nggak negur kalo sikap Abang lo udah bikin temen lo takut?" tanyanya lagi.

"Aku nggak akrab sama Devan." ujar singkat berusaha agar tidak sedikitpun kebocoran akan sikap dan sifat Devan yang sebenarnya.

Dan syukurlah, Leo hanya mengangguk paham lalu terdiam hingga akhirnya Agung kembali dengan wajah cemberut.

"Gue harus balik sekarang, Re. Pacar gue minta di anterin buat kerja kelompok." ujarnya.

"Bagus dong. Lo bisa sekalian pacaran." jawab Leo. Dan aku mengangguk setuju akan jawabannya.

"Tapi kan gue masih kangen sama Revan. Gue udah 2 hari ini nggak liat muka imutnya. Jadi wajar dong gue merasa sedih karena kunjungan gue cuma sebentar. Apalagi hari keberuntungan gue yang dateng pas Abangnya nggak ada di rumah. Jadi makin sedih lah gue nya." ujar Agung yang masih memasang wajah sedih.

Aku yang melihatnya tanpa sadar terkekeh kecil. Lalu tanpa beban aku merentangkan kedua tanganku tanda ingin memeluk Agung yang syukurlah Agung paham dan segera berjalan mendekat dan memeluk ku erat. Namun pelukan itu tidak sampai 3 detik, karena Leo segera memisahkan kami dengan cepatnya sehingga kini pelukan ku dengan Agung terlepas.

Leo menatap Agung seakan berkata hal yang tidak ku mengerti. Setelahnya, Agung memeletkan lidahnya ke arah Leo yang sepertinya paham akan maksud dari tatapan itu.

"Oke deh. Kalo gitu gue balik duluan ya, Re. Lo juga balik Yo! Ngapain lo disini? Ngapelin Revan?" ujar Agung lalu tertawa.

"Iya. Udah sono lo pulang. Ganggu aja lo." balas Leo. Dan setelahnya Agung benar-benar pulang setelah mengambil tasnya kembali di sofa. Aku menawarkan untuk mengantarnya sampai pintu. Namun dia menolak dan menyuruhku tetap pada di tempat, menatapinya berjalan keluar hingga akhirnya sosok Agung sudah tidak terlihat lagi.

Suasana terasa hening untuk beberapa saat. Sampai rasa pusing yang kurasakan membuatku sadar, kalau aku masih sakit dan belum pulih sepenuhnya. Aku ingin meminta Leo segera pulang agar aku bisa kembali tidur. Namun aku tidak bisa melakukannya. Perasaan tidak enak selalu menghinggapi ku setiap kali aku ingin melakukan hal yabg seperti itu. Jadi dengan begitu, aku harus terpaksa menunggunya hingga Leo memutuskan untuk pulang.

"Eh. Gue haus nih." ucap Leo memecahkan keheningan.

Aku tersenyum menatapnya, "Oke, kamu mau minum apa?" tanyaku.

"Air dingin aja." aku mengangguk mengerti. Lalu setelahnya aku berniat untuk bangkit dan berjalan ke arah dapur. Namun sayangnya, saat aku ingin melangkah untuk yang ketiga kalinya. Rasa pusing yang kurasakan bertambah parah dan itu sangat menyakitkan, sehingga menyebabkan tubuh ku oleng dan tidak bisa menahan berat tubuh ku lagi.

Aku sudah pasrah jika diriku akan terjatuh di lantai. Dan itu memang terjadi. Tapi aku tidak merasakan sakit yang begitu terasa. Karena ku yakin, bagian yang menyentuh lantai bukanlah bagian dari tubuhku. Melainkan bagian dari tubuh Leo yang kini berada di atas ku dan membuat jarak di antara kami sangatlah tipis.

Dari sini aku bisa merasakan tangan Leo di punggungku, dan dalam sedetik aku paham mengapa tubuhku tidak terasa sakit saat menyentuh lantai. Tapi begitu mataku melihat mata Leo yang memejam, seraya wajah yang mendekat, membuat ku bingung harus melakukan apa. Sampai akhirnya suara datar yang berat membuat Leo maupun aku menoleh dalam sekejap ke asal suara.

"Homo sialan" ucap Devan datar, dengan tatapan dingin yang tajam menusuk penglihatan ku. Ia berdiri tegap tepat beberapa meter di samping kami dengan tas kerja yang ia tenteng di tangan kanannya.

Aku terdiam membisu melihatnya, sedangkan Leo sudah dengan cepat bangkit dari posisinya tadi. Sebenarnya aku tidak akan bangkit karena saking takutnya memikirkan hal-hal yang akan terjadi selanjutnya setelah ucapan Devan tadi terdengar. Namun Leo dengan tanggap segera membantu berdiri, dan kini aku dan Leo berdiri menghadap Devan yang hanya fokus menatap datar dengan mata dingin yang tajam mencekam.

Aku sudah ketakutan. Namun sebisa mungkin ku tahan agar Leo tidak tau apa yang ku rasakan.

"Pergi dari sini." suara Devan lagi yang tentu saja aku tau untuk siapa ucapan itu di tujukan. Namun bukannya segera pergi, Leo malah tetap kokoh berdiri di sampingku sehingga aku harus sedikit menyenggol tubuhnya dengan sikut ku. Dan untunglah, Leo paham. Lalu setelahnya dia berjalan ke arah sofa untuk mengambil tasnya. Kemudian setelah itu, ia pun pamit padaku untuk pulang dan pergi dari rumah ini seperti apa yang Devan perintahkan.

Setelah bunyi pintu tertutup, suasana mencekam langsung memenuhi seisi ruangan yang sedang aku tempati bersama Devan. Aku dengan cepat menundukkan kepalaku walaupun saat aku melakukan itu kepala ku terasa berat dan pusing. Tapi itu tidak seberapa, jika aku harus merasakan siksaan Devan lagi. Jadi lebih baik aku menahan rasa sakit kepala ini dan tetap menunduk untuk menghindari tatapan Devan terhadap ku.

"Aku nggak tau apa yang ada di otak mu saat ini. Kamu memanglah sampah. Kamu sangat tidak berguna dan menyusahkan. Seharusnya aku langsung mengusir mu dari sini begitu Ayah meninggal." ucap Devan yang sangat menyakitkan hati ku. Jantungku sudah berdetak begitu cepat, dengan mata yang berkedut saat mendengar kata demi kata yang Devan keluarkan. Namun walaupun begitu, aku tetap berusaha menahan semua yang kurasakan saat ini.

"Kamu penghancur segalanya. Kamu penyebab kematian Ayah ku, kamu juga penyebab kematian Ibuku. Tapi apa yang ku dapat setelah menampungmu sampai sebesar ini? Menjadi seorang gay memalukan yang bercumbu di depan ku?" ucap Devan lagi melanjutkan kata-katanya yang menyakitkan.

Detik berikutnya, aku mendengar suara langkah kaki Devan yang mendekat, dan saat dirinya tiba di sampingku, aku segera menutup mata ku rapat karena belum siap atas apa yang akan Devan lakukan terhadapku. Namun aku salah. Devan tidak melakukan apapun terhadapku. Dia hanya berucap datar sambil berlalu saat melewati ku. Dan ucapkan itu sukses membuat ku membuka mata lebar sambil membeku di tempat.

"Dasar anak haram pembawa sial." begitulah ucapan Devan yang sukses menghancurkan seluruh hidupku selama beberapa tahun ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel