Bab 5
Aku segera turun dari motor Leo dan tersenyum menatapnya di susul dengan ucapan terima kasih karena sudah mengantarku. Setelahnya aku pun berbalik darinya begitu juga dengan Leo yang kembali menyalakan mesin motornya dan berlalu pergi untuk pergi ke rencana yang ia sebut-sebutkan tadi di sekolah.
Aku berjalan perlahan ke arah dua cowok itu. Mereka berdua sama-sama menyambutku. Hanya saja ekspresi wajah mereka sangatlah berbeda. Jika Adit menyambutku dengan senyuman ramah dan penuh kehangatan. Berbeda dengan Devan yang masih setia dengan tatapan dinginya dan wajah datarnya yang sama sekali tidak terlihat senang atas apa yang telah terjadi.
"Eh... Hai, kak!" sapaku saat sudah berhadapan dengan Adit dari posisi ku yang berdiri di samping Devan yang tentu saja ku beri jarak sekitar lima meter darinya.
Oh iya, aku baru sadar kalau Adit lebih tua dariku. Dia memiliki wajah yang sudah terlihat seperti anak kuliahan. Dan ya, dia tampan. Hanya saja Devan lebih terlihat menarik bagiku, entahlah, mereka berdua sama-sama tampan. Tinggi, dan tentu saja memiliki otak yang jauh dari jangkauan ku. Tapi yasudahlah, aku juga mencintai diriku apa adanya.
"Hai, Re. Baru pulang kamu?" ujarnya.
"Seperti yang Kakak liat." balasku sambil mengangkat kedua alisku karena pertanyaannya yang sudah sangat jelas apa jawabannya.
"Kakak ada apa kemari? Nyari aku atau..." aku melirik ke arah Devan untuk mengisyaratkan kalau aku memberitahu Adit jika mungkin dia kemari untuk Devan.
Devan sendiri terlihat sangat fokus menatap Adit dengan pandangannya yang menusuk. Aku tidak tau apa maksud dari pandangannya itu. Apa sedari tadi dia melakukannya sebelum aku sampai kesini? Tapi jika itu memang terjadi, bagaimana bisa Adit bertahan di tatap mengerikan seperti itu?
"Aku kesini nyari kamu kok, tadi aku pencet bel dan yang dateng malah dia. Aku tanya kamu dimana, dia cuma natap aku kayak sekarang ini tanpa berniat jawab apa-apa. Dia siapa kamu emangnya?" tanya Adit yang jelas sekali menceritakan tentang Devan tepat di depannya.
Aku tidak berani untuk menatap Devan saat ini. Karena aku tau, Devan selalu membenci kalau aku mengenalkannya sebagai Kakakku, jadi kalau ada pertanyaan seperti ini membuatku sangat bingung. Apalagi saat ini Devan berada di sebelah ku, dan aku tidak tau bagaimana reaksi sekarang.
"Eh...dia Devan. Dia..."
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Devan dengan cepat berbalik dari posisinya lalu berjalan masuk ke dalam setelah membuka gerbang terlebih dahulu. Setelahnya dia berjalan dengan aura yang begitu mengerikan masuk ke dalam rumah. Melihatnya sudah tidak lagi di samping ku, membuat ku tanpa sadar menghembuskan napas lega yang berhasil di tangkap basah oleh Adit yang menatapku dengan satu alisnya yang terangkat.
"Apa dia Kakak yang kamu maksud tadi malem?" tanyanya. Dan aku langsung mengangguk mengiyakan pertanyaan itu.
"Ya, aku nggak heran kenapa kamu begitu ketakutan karena terlambat. Kakakmu benar-benar menakutkan. Tapi nggak terlalu menakutkan bagiku. Dia hanya terlihat seperti bocah biasa yang masih sekolah sepertimu." ujar Adit sambil mengulurkan satu tangannya untuk mengacak rambutku pelan.
Aku yang tidak pernah menerima perlakuan seperti itu pun hanya mengerutkan keningku menatapnya karena bingung kenapa dia melakukan itu kepada rambutku? Detik berikutnya, Adit segera menghentikan aksinya begitu dia paham maksud dari tatapan ku.
"Jadi, ada apa Kakak kerumah ku?" tanyaku kembali ke topik awal.
Adit tersenyum, ia memajukan bibirnya untuk menunjukkan arah ke sepeda baru yang masih di sandarkan di pagar itu. Aku mengikuti arah yang dia maksud, namun setelahnya aku bingung. Apa maksud dari sepeda itu?
"Ini sepeda Kakak?" tanyaku.
"Bukan, itu sepeda kamu Revan." jawabnya. Aku yang mendengarnya tentu saja tidak percaya. Aku menaikkan satu alisku untuk menatapnya bertanya maksud dari perkataannya barusan.
"Sepedamu sudah nggak bisa di perbaiki lagi. Kata orang bengkel, sepedamu sudah terlalu tua jadi alat-alat yang di butuhkan sudah nggak tersedia lagi. Aku bingung juga awalnya, tapi kata temenku lebih baik aku ganti yang baru, karena bagaimanapun semalem itu salahku yang udah nyerempet kamu." jelasnya. Dan aku langsung paham.
Sepeda yang ku gunakan memang sudah lama dan itu pun yang belikan Ayah. Saat aku baru memasuki kelas 4 sd dan Ayah berhenti untuk mengantarku ke sekolah dengan alasan dirinya yang bertambah sibuk. Sepeda itu penuh dengan kenangan, saat-saat diriku mengalami kesulitan bahkan saat aku merasa senang, aku selalu menaiki sepeda ku untuk pergi jalan-jalan sesuai suasana hatiku waktu aku masih kecil. Tapi setelah aku menginjak bangku smp dan Ayah telah tiada, kebiasaan itu kini sudah ku hilangkan. Dan ku prioritaskan sepeda itu hanya untuk kendaraan ku sehari-hari.
Kini sepeda itu rusak, dan tidak bisa ku lihat lagi. Aku sedih, tapi aku bisa apa. Aku hanya bisa menerima kenyataan kalau barang pemberian Ayah satu-satunya yang ku punya sudah tiada.
"Revan?"
Aku segera mendongakkan kepalaku begitu suara panggilan Adit yang menyapa telingaku dan membuat ku sadar akan lamunanku barusan. Aku memasang tersenyum terpaksa sambil menatapnya.
"Terima kasih udah berniat mengganti sepeda aku Kak. Tapi maaf, aku nggak bisa menerimanya." ujarku jujur.
"Nggak bisa kenapa?" tanya Adit.
"Devan bisa marah. Kakak udah liat sendiri kan bagaimana ekspresinya barusan? Dia sedang memendam amarahnya sekarang, dan aku nggak tau apa yang bakal terjadi kalo aku menerima sepeda ini nantinya." ucapku sambil memandang lesu ke arah sepeda baru itu
"Kok gitu sih? Emangnya kalian nggak akur ya? Kamu di tindas sama Kakakmu sendiri?"
Mendengarnya aku segera menggeleng kuat.
"Nggak. Dia orang yang baik kok, hanya saja caranya yang salah." balasku sambil menyengir dengan tangan yang menggaruk bagian tengkukku yang tidak gatal.
"Maksud kamu?"
"Nggak papa. Eh.. ini udah sore kak, aku mau mandi dan bersiap untuk ngerjain pr. Kakak masih mau disini atau pulang?" ujarku berusaha mengalihkan topik. Aku tidak mau orang-orang luar menganggap Devan orang jahat yang selalu menindasku. Lagipula Devan memang tidak menindasku. Dia juga bukan orang jahat. Buktinya dia masih mempertahankan ku di rumah ini. Jadi sudah jelas kan?
"Kamu ngusir aku?" ujar Adit dengan nada rendah yang ngebuat aku merasa nggak tega seketika.
Aku menggeleng pelan, "Bukan begitu, Kak. Aku beneran lagi di kejar waktu. Maaf ya kalo itu terkesan ngusir Kakak." ujarku. Dia mengangguk pelan mendengarnya.
"Oke, aku bakal pulang. Tapi kamu harus nerima sepeda pemberian aku itu." ujarnya.
"Aku nggak bisa Kak."
"Yaudah kalo gitu aku nggak bakal pulang." balasnya, dan kini aku menghembuskan napasku pelan. Nggak ada pilihan lain. Jika aku terus berlama-lama disini dan tidak mengerjakan tugasku untuk memasak makan malam. Bisa-bisa aku terkena masalah nanti. Jadi dengan sangat terpaksa aku harus menerima sepeda ini agar aku selamat dari masalah. Soal Devan yang tidak suka dengan sepeda itu, biar aku urus nanti. Aku akan menyembunyikannya sementara waktu sebelum nantinya aku mengembalikan sepeda ini ke Adit.
"Oke, aku terima sepeda ini. Jadi Kakak pulang, ya." ujarku.
"Heh? Beneran?" tanya Adit dengan wajah tidak percaya. Aku mengangguk membenarkan.
Setelah itu aku pun meraih sepeda tersebut dan menuntunnya kembali ke hadapan Adit.
"Udah sana pulang. Aku bakal bawa masuk sepeda ini setelah Kakak udah nggak ada." ujarku.
"Nggak bisa gitu dong. Kamu duluan yang masuk, biar aku bisa percaya kalo kamu beneran nerima sepeda itu dan nggak bermaksud untuk membuangnya setelah aku pergi nanti." balasnya.
Mendengar itu, aku menghela napas. Sepertinya Adit adalah seseorang yang pemaksa. Dia sulit untuk percaya kepada orang. Dan ya, tidak ada pilihan lain selain menurutinya agar kemauan yang aku inginkan bisa terlaksanakan.
"Yaudah deh, aku masuk dulu ya Kak. Hati-hati di jalan." ucapku sebelum akhirnya berbalik dan berjalan sambil menuntun sepeda memasuki halaman rumahku lalu kembali menutup pintu gerbang agar Adit percaya akan apa yang ku lakukan.
Melambaikan tangan ke arahnya, aku pun kembali melanjutkan perjalanan ku untuk masuk ke dalam rumah setelah sepeda baru itu ku masukan ke dalam garasi dimana biasa aku menaruh sepeda lamaku.
Namun langkah ku segera terhenti begitu mataku mendapati sosok Devan yang duduk di sofa dengan mata yang sama menatap ku tajam yang menakutkan. Otakku segera berputar cepat memikirkan masalah apa yang telah ku lakukan kali ini sehingga membuat Devan terlihat marah dan bersiap mengamuk sekarang.
Tapi nihil. Aku tidak berhasil memikirkan apa kesalahan ku, dan aku langsung ketakutan dengan tubuh terdiam membeku seraya menunggu sosok Devan yang berjalan mendekat ke arah ku. Segala doa sudah ku ucapkan dalam hati ku, berharap semoga Devan hanya memasang wajah seperti itu dan tidak berniat menyakiti ku saat ini. Aku sedang dalam kondisi kurang fit, luka yang ku dapatkan semalam masih terasa. Jadi aku belum siap untuk menerima luka lainnya yang mungkin akan aku dapatkan dari Devan.
"Siapa dia?" suara Devan terdengar begitu dirinya sudah berada tepat di hadapan ku.
Aura yang mengerikan yang kurasakan saat dirinya berjalan mendekat sempat membuat ku menahan napas dan kini aku menghirup napas dalam-dalam begitu pertanyaan itu muncul dari bibirnya.
Aku segera menunduk untuk menghindari tatapan mengerikannya, setelahnya aku pun memulai untuk menjelaskan siapa itu Adit dan kenapa dia bisa membelikan ku sepeda yang baru.
"Sepedamu rusak karena nggak sengaja terserempet sama mobilnya? Oleh karena itu dia membelikan mu sepeda baru karena dirinya merasa bersalah?" ujar Devan menyimpulkan maksud dari cerita ku barusan. Dan aku mengangguk mengiyakan dengan posisi yang sama, menunduk menatap lantai.
"Omong kosong! Buang sepeda itu sekarang! Aku nggak menyukainya!" marah Devan tiba-tiba, dan membuatku termundur perlahan karena sedikit kaget yang langsung membuatku mendongak menatapnya.
"Kenapa kamu nggak bilang kalo sepeda kamu rusak!? Apa kamu seorang pengemis yang berharap belas kasihan dari orang lain?" ujar Devan. Matanya benar-benar sudah memancarkan kemarahan.
Rasa takut menguasai diriku. Sosok Devan beberapa tahun yang lalu kini terlihat lagi. Pikiran-pikiran jahat sudah mengisi otakku tentang apa yang akan Devan lakukan selanjutnya. Apalagi saat dirinya mulai mengangkat satu tangannya dengan pergerakan yang seperti ingin memukulku.
Aku sontak terpejam sebelum tangan itu mengenai wajahku. Namun bukannya rasa sakit di bagian wajahku yang terasa ketika tangan Devan meraih tanganku, melainkan rasa perih yang kurasakan saat Devan dengan kuat menarik tangan ku dan menghentaknya sehingga membuat luka yang ku dapatkan semalam kembali terasa. Dan itu menyakitkan.
"S-sakit, Devan." ucapku begitu remasan tangannya pada lenganku menguat.
"Jangan lemah. Aku cuma mencengkeram tanganmu saja." balasnya tanpa melihat ke arahku. Dia masih melanjutkan aksinya dengan menyeretku ke arah pintu keluar dan berhenti tepat setelah kami sampai di dalam garasi.
Devan menarik ku kuat lalu menghempaskan ku begitu saja yang mana hal itu membuatku termundur hingga berakhir dengan pinggulku yang mengenai setang sepeda. Rasanya menyakitkan, seluruh tubuhku mengejang begitu aku merasakan dampak dari pinggulku yang menabrak setang itu. Aku meringis pelan, dan memilih untuk memendam rasa sakit yang kurasakan demi masalah yang ku alami tidak membesar.
"Ambil dan buang sepeda itu." ucap Devan penuh dengan penekanan. Aku yang mendengarnya menggeleng dua kali.
"Aku nggak bisa melakukan hal yang kayak gitu, Devan. Ini pemberian orang, jika aku membuangnya itu akan sangat melukainya nanti. Tapi kalo kamu emang nggak suka. Aku bakal balikin sepeda ini besok. Aku janji." ujarku dengan satu tangan yang ku remas di bagian pinggang ku. Rasa sakitnya masih terasa.
"Aku bilang buang." perintah Devan lagi.
"Nggak, Devan. Aku nggak akan membuangnya. Aku akan mengembalikannya. Aku berjanji, aku mohon percayalah padaku. Aku benar-benar akan mengembalikannya pada orang yang membeli ini." ucapku masih berusaha bernegosiasi dengannya.
Devan mendekat, ia maju beberapa langkah hingga kini dirinya tepat berada di depanku. Dan matanya bertambah dingin dengan aura menyeramkan yang benar-benar menusuk dan memenuhi ruangan ini. Aku bergetar dengan air ludah yang susah payah ku telan saat melihat dirinya yang terlihat begitu menyeramkan.
"Buang." ucap Devan dengan nada yang terasa sangat mengancam. Namun walau begitu aku tetap memilih menggeleng untuk menjawabnya.
Kupikir dia akan membentak ku atau membalas perkataan ku seperti sebelumnya. Tapi aku salah, dia malah dengan kuat mendorong ku hingga membuatku jatuh tersungkur ke bawah lantai.
"AKU BILANG BUANG KAU BAJINGAN!!!" bentak Devan, dan detik berikutnya ku rasakan tendangan kuat yang Devan berikan tepat di pinggulku yang masih terasa sakit tadi.
Tidak hanya sekali, dia melakukannya dua kali. Dan itu benar-benar menyakitkan sampai-sampai aku tidak bisa menahan air mataku lagi yang sudah ku tahan sedari tadi. Aku menangis kencang tanpa suara yang ku keluarkan. Aku menangis dalam diam namun dengan air mata yang mengalir deras dan berjatuhan mengenai lantai. Devan yang melihatnya tentu saja tidak menyukainya. Sedari dulu dia tidak pernah menyukai ku yabg mengeluarkan air mata. Karena jika aku melakukannya dia akan melakukan sesuatu yang lebih parah dari yang apa dia lakukan sebelum aku menangis. Dan aku selalu menghindari hal itu, tapi sepertinya Devan memang sengaja melakukan hal yang membuatku tidak tahan, sehingga kini pertahanan ku pecah dan air mataku pun keluar dengan begitu derasnya.
Di tengah-tengah diriku yang sibuk menangis, aku bisa mendengar suara Devan yang berdecih kuat lalu berkata.
"Oke, kalo kamu nggak mau buang benda ini. Biar aku yang melakukannya." ucapnya.
"Dasar tidak berguna." tambahnya, lalu kurasakan tendangannya yang kuat menendang kakiku begitu saja. Merasakan hal itu, aku segera melipat kaki ku dan menyembunyikan wajahku di lipatan itu. Aku menangis tersedu di sana sampai akhirnya aku mendengar suara rantai sepeda yang perlahan menjauh dari jarakku. Setelah itu, aku pun kembali memunculkan wajahku untuk melihat keadaan sekitarku yang kini sudah tidak terdapat sosok Devan begitu juga sepeda baru pemberian Adit.
Aku ingin bangkit dari tidurku bermaksud untuk pergi dari sini dan pergi ke kamarku. Namun rasa sakit yang ku rasakan di bagian pinggangku, membuat ku urung melakukannya. Di tambah lagi dengan pandangan ku yang mulai menggelap dan pikiran yang kosong membuatku dengan rela menyambut alam bawah sadar yang sebentar lagi akan ku rasakan. Namun sebelum itu terjadi. Aku berharap terlebih dahulu, agar aku tidak pernah membuka mata lagi untuk selamanya.
Aku... Aku lelah.
