Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

"A-aku bisa jelasin, Devan." ucapku gugup saat melihat sosok Devan mulai bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arahku.

Tatapannya yang tajam sungguh membuatku ketakutan saat ini. Dia tidak bicara apapun memang, tapi pasti Devan menunggu alasanku mengapa bisa pulang selarut ini.

Aku menahan nafasku sebentar saat sosok Devan sudah berada di hadapan ku dengan kedua tangannya yang ia taruh di dadanya. Wajah yang datar di sertai dengan tatapannya yang menakutkan, membuatku harus menelan ludah dengan susah payah. Aura yang dia keluarkan sudah sangat jelas kalau saat ini Devan sedang marah. Dan dia berusaha menahannya.

"Maafin aku pulang selarut ini, Devan. Aku nggak sengaja, tapi aku mengakui aku salah. Aku udah melanggar peraturan yang kamu buat. Tapi--"

Aku tidak melanjutkan kalimatku begitu wajahku dengan gerakan cepat menoleh ke samping kiri disusul dengan rasa sakit yang mulai terasa di bagian pipi kanan ku. Aku terdiam, menatap lantai sambil berusaha menahan sakit yang kurasakan akibat tamparan yang Devan berikan. Mataku sudah berair dan hendak menangis, tapi tidak. Aku tidak boleh cengeng, apalagi hal ini karena kelalaian ku sendiri. Jadi, aku pantas mendapatkannya.

"Diam dan pergi tidur." suara Devan datar, lalu setelahnya ku dengar suara langkah kakinya yang perlahan menjauh dari ku.

Menyadari hal itu, aku pun segera menaruh satu tangan ku ke pipi ku yang habis di tampar tadi. Ku elus pelan sambil dengan satu tangan yang lainnya mengusap mataku yang berair. Aku terduduk lemas dengan jantung ku yang terasa sangat sakit. Bahkan semua luka yang ku dapatkan malam ini tidak bisa di bandingkan dengan sakitnya hatiku yang kembali menerima perlakuan kasar Devan.

Ku pikir setelah beberapa tahun aku berusaha menghindar dari kesalahan, akan membuat Devan memberiku toleransi jika hal kecil seperti ini terjadi. Tapi sepertinya tidak. Dia tidak pernah menganggap ku berarti walaupun sudah lama aku dan dia serumah. Dia menganggap ku sebagai peliharaan yang hanya dia urus untuk dia sakiti. Dan hal yang tidak pernah jauh dari fakta adalah.... Fakta, bahwa Devan sangat dan selalu membenciku, yang mana hal itu tidak pernah ku ketahui akibat mengapa dirinya membenciku sedalam ini.

Kini air mataku mengalir, aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menangis tersedu sambil memikirkan bagaimana nasibku kedepannya. Aku tidak mau selamanya seperti ini. Menjadi orang yang paling di benci oleh saudara kandungnya sendiri. Aku lelah, aku bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri hidupku karena sudah tidak tahan menangani sifat Devan terhadapku. Tapi pesan yang Ayah sampaikan selalu saja menghantui ku. Sehingga akhirnya aku tidak jadi untuk menjadi mayat busuk yang mungkin tidak akan pernah Devan temukan karena saking tidak perdulinya denganku.

"Pergi tidur, sialan. Aku benci mendengar suara tangismu!" teriak Devan yang terdengar dari atas tangga.

Mendengar itu aku sontak menghentikan isak tangisku dan cepat-cepat mengusap air mataku, lalu setelahnya bangkit dari dudukku dan berlari kecil menuju kamar untuk memenuhi perintah Devan barusan. Aku tidak mau merasakan tangannya lagi. Tangannya sangat keras, dan sangat menyakitkan saat tangan itu mengenai wajahku. Jadi hal yang bisa ku lakukan hanya menurutinya dan tidak banyak omong seperti yang dia katakan.

Aku menutup pintu kamarku lalu berjalan ke kasurku untuk merebahkan tubuhku yang sudah terasa sakit dan pegal di seluruh tubuh. Ku pikir hari ini akan berjalan lancar, namun sepertinya hari yang lancar tidak akan pernah masuk dalam kamusku. Hidup penuh kesengsaraan adalah tujuan mengapa aku di lahirkan. Dan itulah kenapa, kebahagiaan tidak pernah berpihak kepadaku. Walaupun hanya semenit waktu yang ku butuhkan untuk merasakannya.

Melihat langit-langit kamar ku yang sederhana, dengan pikiran ku yang melayang. Membuatku tanpa sadar menguap, hingga akhirnya mataku lelah dan terpejam untuk menyelami mimpi alam bawah sadar ku yang entah akan memimpikan apa nanti. Yang jelas, ku harap aku memimpikan sesuatu yang indah dan membahagiakan.

• • •

"Thanks ya, Van. Gue ke bantu sama elo kemaren." ucap Agung, begitu aku duduk di kursiku yang berada di pojok kanan dan di posisi tengah-tengah.

Aku tidak langsung menjawabnya. Aku mengambil tisu di saku ku lalu menggunakannya untuk mengelap keringat ku yang sudah membasahi seluruh wajahku akibat berjalan kaki dari rumah menuju sekolah. Ini sangat melelahkan. Tapi mau bagaimana lagi. Sepedaku tidak ada kabarnya, jadi mau tidak mau aku harus berjalan kaki menuju sekolah yang memakan waktu hampir 40 menit jika saja aku tidak berlari saat mengetahui jam sudah hampir menunjukkan waktu yang sudah dekat dengan bunyinya bel masuk.

"Kenapa lu pagi-pagi keringetan. Biasanya wangi dan seger. Kok sekarang malah kayak orang habis maraton." ucap Agung lagi. Dan kali ini aku menoleh kepadanya.

"Aku memang habis maraton, Gung. Makanya aku keringetan kayak gini. Dan ya, sama-sama." balasku, lalu setelahnya kembali fokus untuk menghilangkan keringat ku agar nanti saat pelajaran di mulai, aku sudah tidak merasa panas dan gerah.

"Lo dari rumah ke sekolah naik sepeda kan? Kok lu bilang habis maraton. Gimana sih?" ujar Agung. Aku yang mendengarnya menghembuskan napas ku karena merasa kesal di tanyai terus padahal aku sedang sibuk dengan urusan ku saat ini.

"Sepedaku rusak. Dan nggak tau sekarang dimana." jawabku, dan saat Agung bersiap untuk berbicara lagi, aku segera menaruh telunjuk ku ke bibirnya.

"Nggak ada pertanyaan lagi, Gung. Aku lagi kecapekan." yjarku, setelahnya aku kembali menarik jariku dari bibirnya.

Agung diam, dan mengalihkan pandangannya dari ku berusaha mengerti akan ucapan ku tadi. Melihatnya membuatku tersenyum lalu setelah itu aku kembali fokus dengan kegiatan ku sampai akhirnya pelajaran pertama di mulai dengan diriku yang sudah merasa nyaman dan tidak berkeringat lagi.

Waktu terus berjalan. Dan kini waktu yang paling ku tunggu pun tiba. Pulang sekolah. Semua siswa menunggu momen itu kan? Bukan hanya aku saja. Jadi, itu normal.

Aku berjalan dengan santai melewati lorong kelas sambil pikiran ku yang memikirkan masak apa hari ini agar Devan menyukainya dan makan malam dirumah. Tapi sepertinya aku tidak perlu memusingkan masakan apa yang harus ku masak. Karena saat aku menyediakan jenis masakan apapun di atas meja, pasti selalu kosong saat aku bangun tidur di pagi harinya. Aku tidak yakin kalau Devan yang memakannya. Tapi aku akan menganggapnya benar agar aku tidak merasa aneh kalau makan malam di atas meja selalu habis jika itu bukan ulah Devan.

Tidak lucu kan kalau masakan ku habis dan bukan Devan yang memakannya? Hanya kami berdua di rumah besar itu. Dan aku tidak percaya hantu tentu saja. Aku tidak pernah melihat salah satu dari mereka, jadi aku tidak akan menduga masakan ku habis karena hal gaib dan berbau kehantuan.

"Hai, Re. Mau nebeng?" ucap Agung saat berhasil menghadang jalanku dan membuatku sedikit terkejut.

Aku menaikkan satu alisku mendengar tawarannya.

"Kalo aku nebeng sama kamu. Terus pacarmu gimana?" ujarku.

"Ya bukan sama gue lah nebengnya. Tapi temen gue. Gimana, lo mau?"

"Temenmu yang mana? Apa aku kenal dia?" tanyaku.

"Udah nggak usah banyak tanya. Lo jawab aja dulu, mau apa nggak?" ujarnya menekanku.

Aku berpikir cepat untuk segera menjawab pertanyaannya. Dan setelah selesai akupun segera menganggukkan kepalaku tanda aku setuju akan tawarannya. Bukan karena apa, aku butuh cepat untuk sampai rumah. Apalagi bahan-bahan makanan dirumah sudah menipis, aku harus cepat dan segera membeli persediaan di supermarket. Kalau aku jalan kaki, itu akan memakan waktu lama dan tentu saja aku akan terkena masalah seperti kemarin. Jadi tidak ada pilihan lain selain mengiyakan tawarannya. Itung-itung sebagai ganti aku menemani pacarnya yang sangat lama berurusan dengan salon yang membuatku pusing hanya dengan masuk ke dalamnya saja.

"Oke, aku mau. Dimana temanmu itu?" tanyaku.

Agung tersenyum senang, lalu setelahnya mengganti posisinya menjadi berdiri bersampingan denganku. Detik berikutnya dia pun merangkul dengan tangan panjangnya yang kini sudah melingkari bahu ku yang tidak terlalu lebat. Kata orang-orang.

"Gue belom ngomong sama dia. Ayo kita ke kelasnya, dan mintain dia buat anterin lo pulang." ucap Agung.

"Loh, kalian belum janjian?" tanyaku dan menghentikan langkah ku tiba-tiba. Agung menggeleng sebagai jawaban.

"Kalo gitu nggak usah deh. Kasian kalo minta sama temenmu secara tiba-tiba. Siapa tau dia udah punya rencana kan. Nanti kedatangan ku hanya ngebuat dia batal ngejalanin rencananya. Aku nggak jadi orang pengganggu, apalagi sama orang yang belum aku kenal." ucapku dan satu keplakan pelan ku rasakan di kepala ku.

"Lo terlalu berlebihan buat baca masa depan. Udah, mau dia ada rencana ato nggak kek, gue nggak peduli. Yang penting dia harus bawa temen tersayang gue pulang dengan selamat." ujarnya. Lalu memaksa gue untuk melanjutkan perjalanan.

"Teman tersayang? Aku baru denger kamu ngomong gitu ke aku." ucapku sambil menoleh menatapnya.

"Mulai sekarang lo bakal sering denger kata itu dari gue Revan." balas Agung dengan satu tangan yang mencubit hidungku. Aku mengerang dan langsung menepiskan tangannya menjauh, setelah itu bunyi tawa dari mulut Agung pun terdengar, berbeda dengan ku yang memasang wajah kesal sambil menatap ke depan berharap kalau aku tidak mengacaukan apapun hari ini.

5 menit berlalu, dan kini aku dan Agung sudah berhadapan dengan satu cowok yang sama tingginya dengan Agung sedang menatapku dari atas sampai bawah. Aku sedikit minder di nilai penampilanku seperti itu, apalagi yang menatapku memiliki paras yang sangat menawan. Membuatku minder dan tidak berani untuk menatapnya langsung.

"Gue nggak mau. Gue mau jemput gebetan gue habis ini. Lo aja yang nganterin dia. Ngapain harus gue!?" ujar cowok itu dengan keras. Aku jelas sekali bisa mendengarnya.

Aku sudah menduga hal ini. Jadi aku tidak begitu merasakan sesak saat dia mengatakannya.

Agung melihat kearah ku lalu tersenyum paksa, setelahnya dia membuat cowok di sampingnya berbalik dan kemudian aku hanya mendengar desisan suara mereka yang saling berbisik-bisik. Aku sudah mengira kalau hal ini akan sia-sia. Apalagi yang mereka bicarakan saat ini memakan waktu lumayan lama. Jadi sudah bisa di pastikan kalau nanti teman Agung akan sangat terpaksa untuk mengantarku pulang. Dan aku tidak mau itu terjadi.

"Eh...Gung. Aku duluan ya. Biar aku naik kendaraan umum aja." ujarku, dan langsung membuat mereka berdua berbalik untuk menatapku dengan ekspresi yang berbeda. Agung mengeluarkan ekspresi panik, sedangkan temannya menatapku malas dan sangat tidak berminat.

"Jangan, Van! Lo kan pernah bilang kalo lo trauma naik angkutan umum. Jadi nggak usah macem-macem! Sekarang Leo bakal anterin lo pulang. Dan ya, gue yang duluan. Kalian hati-hati di jalan ya." ujar Agung cepat begitu pula dengan dirinya yang melesat cepat menghilang dari pandangan kami berdua.

Aku yang di tinggalkan bersama temannya pun merasa canggung. Apalagi melihat tatapan malas yang penuh keterpaksaan membuatku merasa tidak enak. Jadi sebelum dia mengantarku, lebih baik aku membatalkannya sekarang. Aku akan berjalan saja, setidaknya aku susah sedikit kebal dengan tindakan Devan nantinya, daripada harus membuat seseorang yang belum ku kenal merasa terpaksa harus memgantarku pulang.

"Alamat lu?" ujarnya, yang dengan tepat mendahului ku yang ingin berbicara. Tapi itu tidak membuatku ingin tetap di antar olehnya.

"Kalo kamu merasa terpaksa buat nganterin aku, lebih baik jangan. Aku bisa jalan kok. Kamu pergi aja." ujarku.

"Cih, munafik. Nggak usah kayak cewek deh lu. Bilangnya nggak usah, padahal dalam hati lu mau. Ntar kalo gue nggak nganterin, lo ngadu sama Agung. Udah buruan kasih tau alamat lu. Gue lagi buru-buru nih." ujarnya. Aku yang mendengarnya tentu saja tidak terima. Aku kesal, dan ingin sekali memukul wajahnya. Tapi aku tahan, aku tidak boleh membuat masalah yang nantinya mengakibatkan Devan terlibat dan akhirnya aku akan mati sia-sia hanya karena masalahku yang bingung untuk pulang kerumah.

"Aku bukan orang yang kayak gitu. Tapi kalo kamu menilai ku begitu, ya terserah. Aku duluan, terima kasih atas tawarannya." ucapku, lalu setelahnya aku pun berbalik untuk memulai perjalanan ku untuk pulang ke rumah dengan jalan kaki.

Aku menjauh dari sana dan menetapkan hatiku agar tidak pernah menoleh ke arah cowok itu lagi. Aku tidak dendam, hanya saja aku terkejut. Ternyata cowok yang bermulut tajam bukan hanya Devan saja, tapi cowok lainnya pun ada. Seperti cowok itu contohnya.

Sudahlah, lupakan tentang kejadian tadi. Aku harus cepat sekarang. Waktu sudah hampir sore dan aku masih berada di kawasan sekolah. Jam berapa nanti aku sampainya kalau aku jalan sekarang. Entahlah, tapi aku berusaha berpikir positif dan berharap kalau aku akan sampai tepat waktu.

Di pertengahan jalan aku sudah mulai merasa lelah. Sinar matahari kembali membuat ku berkeringat disertai dengan kepala ku yang terasa sakit sejak tadi malam. Merasakan tubuhku yang melemas, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar dengan duduk di trotoar sambil mengipasi diriku dengan buku gambar yang ku keluarkan beberapa menit yang lalu.

Jalanan saat ini sangat sepi, entahlah aku tidak tau juga. Setiap kali aku melewati jalan ini aku tidak pernah melihat kendaraan lain mau itu motor ataupun mobil. Sempat curiga sih, tapi aku lebih memilih tidak peduli. Ini jalan tercepat untukku menuju sekolah, dan lagipula tidak ada kejadian apapun selama aku lewat jalan ini. Sudah 2 tahun malahan, sejak aku baru masuk sekolah ku yang sekarang ini.

Suara motor dari kejauhan membuatku mengerinyit. Ya, sepertinya ini yang pertama kalinya aku mendengar suara kendaraan lain. Dan itu sangat keras, dari jauh saja sudah terdengar apalagi saat dekat dan lewat di depan ku. Pasti motor itu sangat berisik.

Tapi bukannya suara motor itu bertambah kencang. Suara itu malah bertambah pelan seiring dengan motor itu yang mendekat ke arahku hingga akhirnya berhenti di depanku dan membuat ku dengan cepat berdiri sambil menatap was-was pengendara motor itu yang mengenakan jaket tebal yang sayangnya sangat cocok dengan dirinya begitupula motornya yang besar.

Pengendara itu turun, dan berjalan mendekati ku yang memundurkan diri karena merasa takut dengan wajahnya yang tidak di perlihatkan karena helm yang ia kenakan. Namun saat dia membuka kaca hitam dari helm itu, aku pun berhenti melangkah mundur dan mengerinyitkan dahi ku melihat sosok Leo yang masih dengan tatapan malasnya berdiri di hadapan ku.

"Naik! Biar gue anter lo pulang." ujarnya.

"Tapi, bukannya kamu terpaksa?" tanyaku.

"Tadinya. Sekarang gue udah merasa bersalah karena udah menilai lo dan bilang lo munafik tadi. Jadi sebelum gue berubah pikiran, sebaiknya lo cepet naik dan gue anter lo pulang sekarang." ujarnya lagi, setelah itu dia pun berbalik untuk berjalan kembali ke arah motornya.

Aku mengikutinya dari belakang karena setuju akan dirinya yang mau memgantarku pulang. Namun sialnya, saat aku sudah hendak sampai di dekatnya, aku lupa bahwa ada trotoar di sana, sehingga membuat ku tidak sengaja menginjak pinggiran trotoar itu dan menyebabkan ku tergelincir jatuh.

Pikiran ku sudah melayang memikirkan kalau aku akan jatuh dan mengukir luka lainnya di tubuhku. Tapi sepertinya itu tidak terjadi saat ku rasakan pinggangku di tahan oleh seseorang. Dan seseorang itu adalah Leo, yang kini sedang menahan ku dengan kedua tangannya agar aku tidak terjatuh.

Aku terdiam, mengedipkan kedua mataku menatap kedua matanya yang sangat dekat dengan jarak wajahku. Bahkan hidung ku sudah bersentuhan dengannya. Dan aku bingung harus melakukan apa, Leo sendiri hanya terdiam sambil terus menatapku yang membuatku menjadi canggung dengan jantung berdegup kencang akibat tergelincir tadi.

Satu menit berlalu, dan kami masih dengan posisi yang sama. Punggungku bahkan terasa pegal dengan posisi yang seperti ini.

"Emm... Kita jadi pulang kan?" tanya ku dengan hati-hati sambil menatap Leo yang jaraknya masih sangat dekat denganku.

Leo mengerjapkan matanya, lalu menggeleng pelan seiring dengan tangannya yang ia lepas dari pinggangku sehingga kini aku bisa bebas dan memulihkan pegal ku akibat posisi aneh yang tidak pernah ku alami tadi.

"Jadi. Naik sekarang." balas Leo cepat, lalu menaiki motornya dan menyalakan mesinnya. Begitu juga dengan ku, aku segera naik ke tempat boncengannya lalu berkata kalau aku sudah siap, detik berikutnya pun motor mulai berjalan untuk menuju rumah yang masih memakan waktu setengah jam lagi.

Tapi mungkin waktu setengah jam itu bisa langsung berkurang dengan menaiki motor Leo yang ia kendarai dengan kecepatan yang membuatku sulit untuk melihat ke depan. Aku berpegangan sangat erat dengan jaket yang Leo kenakan dengan hati yang berharap kalau aku tidak mati kecelakaan hanya karena aku yang menumpang dengan orang yang tidak aku kenal.

Dan syukurlah, aku selamat sampai tujuan.

Namun sepertinya musibah lainnya akan menimpa ku lagi. Begitu saat motor Leo berhenti tepat di depan gerbang rumahku yang mana di sana sudah terdapat sebuah mobil yang ku kenal, dan sepeda baru yang di sandarkan di gerbang itu yang juga di sambut dengan penampakan dua orang cowok yang saat ini menatap ku dengan Leo penuh tanya.

Dua orang itu adalah Devan, dan Adit sang cowok yang mengantarku semalam.

Dan tentu saja, firasat buruk memenuhi hatiku begitu pandanganku bertemu dengan tatapan dingin sekaligus tajam milik Devan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel