Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

8 tahun berlalu semenjak kejadian meninggalnya Ayah dan meninggalkan aku maupun Devan yang mengalami kesulitan keuangan setelah lewat seminggu waktu kematian Ayah. Semuanya berjalan kacau waktu itu, aku yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa pasrah dengan nasib ku kedepannya, apalagi dengan Devan yang menambah kadar kebenciannya kepadaku saat Ayah sudah tiada. Dia selalu menyalahkan ku yang sudah membiarkan Ayah mati dengan mengizinkannya pergi dan tidak melarangnya seperti yang dia lakukan.

Aku tidak bisa membantah hal itu, aku juga merasa bersalah dan selalu menyalahkan diri ku sendiri. Lagipula seharusnya aku berterima kasih padanya karena masih ingin menampung ku di rumah ini dan memberiku makan serta membiayai ku sekolah hingga saat ini walaupun dengan fakta dia tidak pernah menganggap ku sebagai saudara kandungnya.

Sesekali aku merasa kasihan padanya yang harus berusaha sebisa mungkin untuk belajar mengurus perusahaan Ayah yang dititipkan padanya. Dia selalu sibuk dan jarang sekali ada waktu luang untuknya. Dan ya, dia tidak melanjutkan sekolahnya di sekolah umum. Dia memilih home schooling dengan maksud agar dirinya juga bisa sambil belajar berbisnis seperti yang Ayah dulu lakukan.

Selama beberapa tahun aku hanya bisa memandangnya saja. Aku melihat dirinya yang sibuk tanpa berniat menyapanya ataupun menanyakan hal apa yang bisa kulakukan untuk membantunya. Aku takut, semenjak aku tau dia membenciku lebih dalam aku sudah memutuskan untuk tidak akan pernah berbicara dengannya lagi. Ini pilihan yang terbaik karena mungkin yang aku lakukan adalah salah satu cara untuk membantunya, yaitu tidak mengganggunya dengan membuat kebenciannya muncul saat melihatku.

Namun memang pada dasarnya kami bersaudara, aku tidak bisa menahan rasa peduli ku padanya saat melihatnya sempoyongan dan terlihat akan jatuh dari berdirinya. Sebelum itu terjadi, aku berlari ke arahnya dengan cepat dan menangkap tubuhnya sambil memeluknya erat mencegah agar dirinya tidak jatuh kelantai.

Aku terdiam beberapa saat, jantungku berdebar begitu kuat merasakan takut saat menyentuh tubuhnya. Hal-hal buruk yang pernah dilakukannya kembali terngiang di kepala ku. Namun untuk saat ini aku juga berusaha untuk menghilangkan semua kenangan buruk itu, aku dalam kondisi menolong Devan sekarang. Jadi tidak boleh ada perasaan dendam atau apapun terhadapnya. Well, aku tidak pernah menyimpan perasaan seperti sebenarnya. Walaupun aku tau dia membenci ku tanpa sebab, aku tetap tidak akan dendam padanya apalagi sampai mengabaikan fakta bahwa kami bersaudara.

Aku yang sudah tidak tahan dengan berat tubuhnya pun bergegas untuk membopongnya menuju sofa dan menidurkannya disana. Ini pilihan yang tepat, karena kalau aku membawanya ke kamarnya itu akan sangat tidak mungkin. Tubuhnya besar dan tinggi, ditambah lagi dengan jarak kamarnya yang jauh yang mana mengharuskan ku untuk menaiki tangga, itu akan mustahil untuk kulakukan jika harus membopongnya kesana.

Ku pikir Devan tersadar dan hanya lemas saja. Tapi saat aku melihat wajahnya, aku sadar kalau dia baru saja terlelap. Dia tidur dengan nafas yang teratur. Entahlah bagaimana dia bisa melakukannya. Yang jelas aku bersyukur karena dia tidak tau kalau aku baru saja menyentuhnya yang mana dia pasti akan sangat marah jika mengetahuinya.

"Syukurlah." ucapku yang merasa lega.

Aku berjongkok untuk memperhatikan wajahnya yang kini sudah berbeda dari Devan yang berumur 11 tahun kemarin. Wajahnya sekarang tampak terlihat tegas dan yang pasti dia terlihat tampan. Dia sudah bukan lagi seorang bocah pemarah seperti dulu. Sekarang dia lebih ke dewasa yang pendiam dan ya tentu saja masih dengan sangat membenciku.

Aku kembali fokus untuk melihat wajahnya yang benar-benar menenangkan ku dan membuat sesuatu dalam diriku seperti berkata kalau aku harus menjaganya dan merawatnya seperti yang Ayah pesankan kepada ku.

Ya, aku masih ingat jelas pesan itu. Pesan terakhir dari Ayah sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan ku selamanya. Aku selalu bingung pada awalnya memikirkan bagaimana cara aku menjaga dan merawat Devan. Dia dua tahun lebih tua dari ku, jadi akan sulit bagi ku untuk menyuruhnya untuk tidak melakukan hal-hal buruk yang tidak seharusnya. Jika aku melakukannya, pasti semua itu akan berbalik pada ku dan pada akhirnya aku akan kembali menerima pukulannya.

Kerutan di dahi Devan tidak luput dari penglihatan ku, aku mengerinyit sambil berfikir apa yang sedang ada dalam mimpinya sampai membuat kerutan seperti itu. Tapi sepertinya aku salah, Devan tidaklah sedang bermimpi apalagi tertidur, dia membuka mulutnya dan berkata.

"Pergilah dari sini. Bantuanmu sudah cukup." ucapnya tiba-tiba dengan mata yang masih tertutup.

Aku tentu saja kaget, aku terjatuh dari jongkok ku saking kagetnya. Namun aku segera membangunkan diriku dan berucap maaf pada Devan lalu setelahnya berbalik dan pergi dari sana dengan jantung yang berdetak sangat kencang menerima situasi yang mengejutkan seperti tadi.

Aku masuk ke dalam kamar ku yang terletak tidak jauh dari sana dan langsung mengunci pintu itu dengan tergesa. Menyentuh dada ku dan berusaha untuk mengatur nafas agar tidak terlalu terburu-buru hingga terasa sulit bagiku untuk bernafas. Otakku berjalan sangat cepat memikirkan apa yang baru saja terjadi. Aku berjongkok sambil memandangi wajah Devan, dan sialnya Devan mengetahui hal itu.

Bagaimana bisa aku melakukan hal semacam itu padanya? Apa aku sudah gila?

Untung dia hanya menyuruhku pergi, bagaimana jika dia langsung menghukum ku dan memberiku hal yang menyakitkan. Itu pasti akan menjadi hari yang berat untukku nantinya.

Bunyi ponsel membuatku teralihkan dari perasaan berdebar ku tadi. Nafasku juga sudah mulai teratur, dan sekarang aku sudah cukup tenang untuk mengangkat telfon dari teman sekolahku yang baru saja masuk.

"Halo?" sapa ku pertama kali saat ponselku sudah menyentuh telingaku.

"Halo, Van. Lo ada waktu nggak sore ini?" ujar Agung teman ku di sebrang telfon.

Aku diam sebentar memikirkan jadwal ku sore ini, dan ya, ku rasa sore ini aku bebas. Semua pekerjaan rumah sudah ku kerjakan tadi pagi, menyapu, mengepel, dan memasak sudah ku lakukan. Karena ini hari minggu, aku melakukannya lebih awal mengingat kalau Bi Mina sudah tidak lagi bekerja disini membuatku harus menggantikan posisinya sebagai pekerja rumahan karena Devan tidak pernah sekalipun mengucapkan kalau dia ingin mencari pengganti asisten rumah tangga. Jadi apa boleh buat? Selama aku bisa melakukannya tentu saja aku akan dengan siaga menggantikan sosok Bi Mina yang sudah beberapa tahun mengabdi di rumah ini sebelum akhirnya memilih berhenti karena alasan umurnya.

"Ya, kayaknya aku ada waktu luang sore ini. Emangnya kenapa, Gung?" ujarku menjawab pertanyaan tadi.

"Ituu...si Dhea. Dia minta gue temenin ke salon, tapi karena tadi bokap gue bilang butuh bantuan gue juga sore ini, jadi gue terpaksa harus bilang nggak bisa sama dia. Karena gue nggak nemenin dia sore ini, Dhea minta pengganti dari salah satu temen gue, dan semuanya punya jadwal sore. Jadi satu-satunya harapan yang tersisa cuma elo Re. Lo mau kan gantiin gue buat nemenin pacar gue ke salon?" ujar Agung menjelaskan maksud dari dirinya menelfon ku.

Aku tidak begitu kenal sebenarnya dengan pacar Agung itu. Tapi jika Agung yang memintanya dan aku juga sudah bilang kalau aku tidak ada kegiatan sore ini, aku bisa apa? Tentu saja aku akan mengiyakannya dan menggantikan posisi Agung sore ini.

"Ok deh. Terus aku yang harus jemput pacarmu juga, Gung? Kalo emang harus jemput kayaknya aku nggak bisa. Aku nggak punya kendaraan." ujarku jujur.

Sebenarnya ada, mobil dan motor. Tapi itu semua milik Devan dan tentu saja dia tidak akan mengizinkan ku menaikinya. Aku hanya di bekali sepeda untuk berangkat dan pulang sekolah. Tapi jika pacar Agung ingin berboncengan dengan ku menaiki sepeda aku tidak keberatan. Kebetulan sepeda ku ada tempat boncengan di belakangnya.

"Nggak usah, Re. Gue yang nganter dia. Lo nemenin aja. Nama salonnya Gege Salon di simpang deket sekolah kita ya." ucap Agung.

Aku pun mengiyakan ucapannya itu, setelahnya suara sambungan terputus pun terdengar dan aku menjauhkan ponsel itu dari telingaku. Melirik jam sebentar untuk melihat jam berapa saat ini.

Ini sudah memasuki waktu sore. Tapi sepertinya aku masih ada waktu untuk bersiap-siap keluar hari ini. Jadi tanpa membuang waktu lagi, aku segera beranjak dari sana untuk menyiapkan segala persiapan ku untuk menemani Dhea pacar Agung yang tidak begitu aku kenal. Ya, karena tidak terlalu kenal jadi sebaiknya aku harus persiapkan banyak hal, seperti uang dan beberapa hiburan untuk diriku selama menungguinya.

Setelah semua siap, aku pun masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan seluruh tubuhku agar nanti aku tidak terlihat kusam maupun kotor saat berhadapan dengan wanita. Jujur saja, aku sulit untuk berbincang dengan lawan jenis. Tapi apa salahnya untuk mencoba hari ini? Lagipula dia pacar temanku, jadi akan ada bahan perbincangan nanti saat bertemu.

Tidak memerlukan waktu yang lama untuk ku mandi. Sekarang aku sudah selesai dan berdiri dengan pakaian rapi di depan cermin. Aku kembali menata rambut ku sebentar setelahnya aku sudah merasa percaya dan diri dan siap untuk keluar menemui pacar temanku itu. Namun sebelumnya aku harus meminta izin kepada Devan dulu, jadi jika dia mencariku nanti, dia tau kalau aku sedang keluar. Ya, walaupun aku tau itu tidak akan terjadi. Tapi setidaknya aku sudah mempersiapkannya jika aku membuat kesalahan nanti.

Posisi Devan masih sama, ia masih berbaring di sofa dengan mata yang terpejam. Sekarang aku meragukan dia sedang tidur atau tidak. Tapi apapun itu aku harus mengucapkannya. Karena belum lama setelah kejadian mengejutkan tadi, jadi kupikir dia masih terjaga saat ini. Jadi dengan pelan aku minta izin padanya kalau aku akan keluar sebentar setelahnya aku pun berbalik dan berjalan keluar untuk menemui kekasih Agung seperti yang dia pesankan kepadaku.

• • •

Pikiran ku kacau. Aku panik dengan langkah kaki yang berjalan terburu-buru. Aku terlambat, aku terlambat, aku terlambat.

Kata-kata itu selalu terngiang di otak ku selama kaki ku melangkah untuk menuju pulang. Dada ku sudah berdebar kencang begitupula dengan nafasku yang memburu. Aku tidak bisa menyalahkan Dhea saat ini, karena hal yang ia tawarkan adalah hal yang ku setujui sendiri juga. Jadi ini adalah salahku.

Tapi kupikir itu tidak akan selambat ini sampai akhirnya aku harus pulang dengan waktu selarut ini. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, dan aku masih di pertengahan jalan menuju pulang. Ini bukan karena Dhea yang berlama-lama di salon, ya mungkin sedikit lama di sana. Tapi yang lebih dari urusan salon adalah pesta temannya.

Dhea mengajakku ke pesta temannya sebagai rasa terima kasih karena sudah menemaninya. Aku awalnya menolak, namun Dhea memohon padaku sampai akhirnya aku tidak tega dan berakhir mengiyakan ajakannya. Dalam pikiran ku pesta yang di maksud seperti pesta ulang tahun pada umumnya. Namun kurasa aku salah.

Pestanya penuh dengan musik dan gelas-gelas yang berisikan air yang beraroma sangat pekat. Ternyata bukan hanya aku dan Dhea saja yang hadir disana, Agung dan teman-teman ku yang lainnya juga ada di sana. Jadi dengan kata lain aku merasa lega dan tidak canggung lagi. Namun sepertinya pesta ini bukanlah tempat orang seperti ku, jadi aku memilih menyendiri dan mengamati teman-temanku yang menikmati pestanya.

Sialnya, aku malah mabuk di tengah pesta. Aku tidak tau kalau minuman yang beraroma pekat itu bernama alkohol jadi aku meneguknya satu gelas penuh saat aku kehausan. Dan beberapa menit kemudian aku mulai menjadi orang bodoh dengan pikiran yang melayang. Setelahnya aku tidak ingat apa yang terjadi selain bangun dari tidurku dengan tubuhku yang terbaring di atas sofa dan musik kencang yang masih saja di putar hingga saat ini.

Aku tau aku mabuk karena aku pernah melihat Devan mengalaminya. Tapi aku tidak tau kalau perasaan setelah mabuk akan sepusing ini. Tapi rasa pusing itu tidak mampu mengalahkan rasa takutku saat mataku melirik jam tangan milikku saat itu. Aku melotot dan segera bangkit dari tidurku dengan kepala yang masih terasa pusing.

Beberapa kali aku menabrak orang yang sedang berjoget dan beberapa kali juga aku meminta maaf selama melakukannya. Sampai akhirnya setengah jam berlalu dan aku sampai di depan salon sambil dengan mata yang menemukan sepeda ku yang masih terparkir di tempat yang sama. Aku bersyukur karena tidak ada yang mencurinya.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mencapai sepeda itu dan segera menaikinya. Dan tibalah saat ini, aku berada di sepertengahan jalan menuju rumah yang masih berjarak beberapa ratus meter dari sini. Aku selalu merapalkan kata-kata dalam hatiku bahwa aku berharap Devan tidak menyadari keterlambatan waktuku untuk pulang kerumah dan berharap kalau dirinya sudah terlelap seperti saat aku pergi dari rumah tadi.

Namun sepertinya waktuku untuk sampai rumah akan bertambah lama, karena saat mataku melihat kilatan lampu mobil dari depan membuatku tidak bisa melihat dengan sempurna hingga akhirnya ku rasakan kemudi sepeda ku bergoyang disusul dengan suara jatuh dan rasa sakit yang begitu terasa saat tubuhku berbenturan dengan aspal yang saat ini ku tiduri.

"Awhh" erangku merasakan sakit di seluruh badanku.

Aku bangkit dari tidurku dan terduduk untuk memastikan kalau sepedaku baik-baik saja.

"Kamu nggak papa?" tanya seseorang dari arah belakang ku. Aku menoleh dan masih tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena pantulan cahaya mobilnya yang menyilaukan mataku.

Aku menggeleng pelan. "Aku nggak papa, mungkin hanya luka kecil di bagian siku kaki dan tanganku saja. Namun sepeda ku..."

Aku berusaha berdiri perlahan dan tentu saja di bantu dengan orang itu untuk menghampiri sepeda ku yang tergeletak tidak jauh dari tempatku jatuh.

Pria itu beralih dari tubuhku dan membantuku untuk mengecek keadaan sepedaku.

"Sepertinya sepedamu nggak bisa kamu pake lagi untuk sekarang. Rantainya putus, dan kemudinya juga bengkok." ujarnya setelah selesai memeriksa sepedaku.

"Ah...begitu ya. Terima kasih sudah membantuku mengeceknya. Sebaiknya aku segera pulang sekarang, aku sudah sangat terlambat." balasku dan berjalan tertatih menuju sepedaku ku. Aku memegang kemudinya dan bersiap untuk mendorong sepeda itu memutuskan untuk melanjutkan pulang dengan berjalan kaki.

"Sekali lagi terima kasih." ucapku sambil menganggukkan kepala. Setelahnya aku bersiap untuk beranjak dari sana. Namun saat aku mulai melangkah, rasa sakit di bagian siku ku muncul dan aku berdesis kesakitan karena itu.

"Hmm...gimana kalo kamu aku anter aja ke rumahmu? Ya...kalo kamu emang bener-bener udah telat sih." tawar pria itu. Aku menoleh dan menatapnya sambil memikirkan tawaran itu.

Well, sepertinya kecelakaan ini bukan salahku sepenuhnya, jadi kupikir tawaran itu adalah salah satu cara agar dia bisa menebus kesalahannya.

"Aku mau. Tapi, bagaimana dengan sepeda ku?" ujarku yang sadar akan kondisi ku yang sebenarnya.

"Kamu bisa tinggalin disini dulu. Aku bakal mengurusnya nanti. Kamu terluka, dan mungkin kamu bakal kena masalah jika semakin terlambat untuk pulang kerumah." ujarnya.

"Gimana kamu tau kalo aku bakal kena masalah?" tanyaku.

"Raut wajahmu terlihat sangat jelas. Apa Ibumu yang akan mengamuk nanti?"

Aku menggeleng. "Bukan, tapi Kakakku." balasku menjawabnya.

"Kalau begitu ayo. Kamu nggak mau lebih terlambat lagi kan?" ujarnya. Aku mengangguk, dan setelahnya aku pun melepaskan sepedaku begitu saja sehingga terjatuh di depanku dengan bunyi yang keras. Lalu aku pun berbalik dan berjalan tertatih untuk menuju pria itu.

"Kamu yakin akan mengurus sepedaku nanti?" ujarku yang masih menyimpan ragu padanya.

"Tenang saja, aku bakal kembaliin sepedamu dengan keadaan yang sehat setelah aku mengetahui alamat rumahmu nanti." ujarnya, dan aku pun hanya mengangguk-angguk saja.

Setelahnya aku pun dibopong olehnya menuju mobil yang masih menyala itu dan membuka pintunya untuk menyuruhku masuk ke dalamnya. Aku langsung masuk, dan disusul dengan dirinya yang setengah memutar untuk menuju pintu mobil satunya. Setelah itu dia pun menyalakan mobilnya untuk mengantarku pulang ke rumah.

Tidak butuh waktu lama, karena 7 menit kemudian kami sampai di depan gerbang rumah dan berhenti tepat setelah aku menyuruhnya. Aku tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih padanya yang sudah baik dan mau memgantarku kerumah. Aku berpamitan padanya dan bersiap untuk keluar dari mobil, namun sebelum hal itu terjadi, pria itu menghentikan aksiku dengan berkata tunggu dan membuatku langsung berbalik untuk menoleh padanya.

"Ya?" tanyaku.

"Siapa nama kamu?" tanyanya balik.

"Revan." balasku.

"Ok, namaku Adit. Makasih udah numpang sama aku ya." ujarnya, aku yang mendengar itu menaikkan satu alisku bingung.

"Bukannya aku ya yang harusnya yang terima kasih?" ujarku. Dia terlihat seperti tersadar saat aku mengucapkan itu.

"Ah iya. Kalo gitu sama-sama." ujarnya cepat. Aku tersenyum mendengarnya, setelahnya aku pun melanjutkan aksiku untuk keluar dari dalam mobil untuk segera masuk ke dalam rumah karena wajah Devan sudah terngiang-ngiang di kepala ku saat ini.

Dan benar saja. Saat aku masuk ke dalam rumah, sosok Devan terlihat duduk di atas sofa dan menatap ku datar dengan tatapan dingin yang menusuk tajam. Melihat itu, seluruh tubuhku merasakan takut yang amat sangat tinggi sampai-sampai luka yang kurasakan pun kalah dengan rasa takut yang saat ini sedang ku rasakan.

Aku dalam masalah besar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel