Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Mulai sekarang, kalau kamu ngelakuin hal yang ngelanggar lagi. Aku bakal melakukan hal sama kapanpun dan dimanapun itu. Ngerti?

Suara Devan selalu terngiang di pikiran ku beberapa hari ini. Aku seperti mendengar dengan jelas kalimat yang dia ucapkan setiap kali aku mengingat kejadian waktu itu. Aku bergidik takut, aku tidak ingin merasakan hal menyakitkan itu lagi. Rasanya aku lebih baik kena pukulannya atau bentaknya selama seharian penuh, daripada harus merasakan benda keras itu di bagian bawahku.

Itu terlalu menyakitkan, aku bahkan sulit berjalan selama dua hari. Tentu saja itu sangat jelas kalau ada yang salah denganku, Bi Mina selalu menanyaiku setiap kali melihat caraku berjalan yang tidak seperti biasanya. Dan ya, aku harus berbohong demi menghindari kejadian yang sama. Karena Devan sudah mengancamku, kalau aku mengadu, dia akan memperlakukan ku lebih dari yang aku rasakan hari itu.

Aku setuju, kali ini aku akan benar-benar mematuhi segala peraturan yang dia berikan kepadaku. Aku akan berusaha sebisa mungkin agar tidak terlibat dengannya. Apapun itu, aku akan tidak perduli apa yang dia lakukan dan tidak akan merasa penasaran dengan apapun yang dia tidak tunjukan padaku.

Itu pilihan yang terbaik yang bisa kulakukan. Walaupun tentu saja aku merasa sedih saat melihat teman-teman sekolah ku yang selalu menceritakan tentang Kakaknya, tapi apa boleh buat. Kakak ku membenci ku, bahkan mungkin sedari aku lahir. Aku tidak pernah mengerti apa alasannya, dan aku pun juga menyerah untuk bertanya pada semua orang yang ada di rumah ini. Termasuk Bi Mina.

Aku memalingkan pandanganku begitu mendengar suara Devan dan Ayah yang seperti sedang mendebatkan sesuatu. Mereka berdua berbicara sambil berjalan menuruni tangga. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, aku hanya duduk diam sambil memperhatikan mereka yang perlahan berjalan mendekat ke arah ku. Aku menaikkan kedua alisku begitu Ayah kembali tersenyum getir saat melihatku. Aku membalas senyumnya, dan tentu saja dengan tulus.

Salah satu hal yang tidak ku mengerti juga adalah tentang senyuman Ayah. Beliau selalu memberiku senyuman getir seperti itu. Entahlah, aku tidak pernah bertanya mengapa senyumannya selalu berbeda terhadapku di bandingkan senyumnya kepada Devan. Ayah selalu bisa tersenyum hangat sambil mengacak rambut Devan. Sementara denganku, dia hanya tersenyum getir lalu pergi menghilang dari hadapanku.

Awalnya aku selalu sedih dan menangis setiap kali menerima perlakuan seperti itu. Tapi setelah sekian tahun terlewati, aku sudah mulai terbiasa dan tentu saja aku tidak dendam, karena aku selalu berharap jika aku tersenyum tulus padanya mungkin saja dia akan tidak sengaja membalas senyuman tulusku. Ya, walaupun aku tidak tau kapan itu terjadi.

"Ayah jangan pergi. Aku nggak mau di tinggal di rumah ini berdua saja dengan dirinya. Ayah tau kan aku membencinya?" ujar Devan sambil menarik-narik tangan Ayah. Aku yang mendengar ucapannya pun segera melunturkan senyumku dan menundukkan kepala ku saat melihat matanya yang tajam menatapku.

Ayah menghela napasnya.

"Jangan seperti itu, Dev. Revan itu adikmu, kamu nggak boleh membencinya. Dan juga, kalian nggak cuma berdua di rumah ini. Kan ada Bi Mina juga. Kamu boleh ajak temanmu menginap, kok." ucap Ayah tenang.

"Nggak! Aku nggak mau Ayah pergi, aku nggak mau hanya berdua saja dengan dia. Dan yang lebih penting, dia bukan adikku! Selamanya bukan!" teriak Devan menolak.

Aku yang mendengar dengan jelas teriakan itu menggigit kuat bibir bawahku berusaha sebisa mungkin untuk menahan tangis yang sudah terbendung di pelupuk mata ku. Hati ku sakit, rasanya seperti ada yang mencengkramnya di dalam sana. Kata-kata yang terucap dari mulut Devan benar-benar menusukku sampai aku tidak bisa berfikir apa yang harus aku lakukan saat ini selain menahan semua rasa sakit yang aku rasakan.

"DEVAN!" bentak Ayah. Aku yang mendengarnya sontak langsung mendongak untuk melihat apa yang terjadi, karena ini baru pertama kalinya aku mendengar bentakan Ayah yang sebesar ini.

"Cukup, Nak. Kamu nggak boleh membenci adikmu sendiri. Dia adikmu, sadarlah. Dia keluar dari rahim yang sama dengan Ibumu. Jadi berhentilah membencinya dan jadilah seorang Kakak yang siap untuk melindunginya. Kamu nggak bisa selamanya seperti ini, ada kalanya nanti kamu menyesalinya. Sebelum itu terjadi, rubah lah sikapmu terhadap Revan. Ayah nggak mau kamu mengalami penyesalan nantinya. Mengerti?" ujar Ayah dengan nada yang kembali tenang. Tangannya di taruh di satu bahu Devan dan meremasnya pelan.

Devan terdiam, matanya menatap Ayah marah. Setelahnya diapun langsung menepis kuat tangan Ayah tersebut lalu berkata.

"Aku nggak akan pernah menyesal. Karena sudah dari aku melihat dirinya lahir, aku udah tanamkan sama diriku kalau dia bukanlah adikku. Sampai kapanpun itu." ucap Devan datar sambil menatapku dengan tatapan yang menakutkan. Setelahnya, dia berbalik dan berjalan kembali ke arah tangga dengan kedua tangan yang di kepal kuat.

Aku yang tadinya memperhatikan Devan, kini beralih begitu pendengaranku menangkap suara helaan napas Ayah. Aku menoleh dan langsung membesarkan mataku begitu Ayah berjongkok untuk menyamakan tingginya denganku yang sedang duduk di sofa.

Kedua tangannya terulur dan berhenti tepat di kedua bahuku. Ia meremas pelan bahuku, lalu tersenyum hangat dan sangat terkesan tulus yang terpancar langsung dari kedua matanya.

"Revan udah makan?" tanyanya lembut.

Aku yang masih terkena serangan dari senyuman Ayahpun hanya menganggukkan kepalaku dengan pikiran yang masih mencerna apa yang baru saja terjadi dan apa yang Ayah perbuat terhadapku.

T-tadi dia tersenyum kan? Dia tersenyum hangat dan membuat jantungku berdegup kencang di barengi dengan perasaan senang yang perlahan membuncah dari tubuhku saat merasakan ketulusan yang begitu terasa tadi. Apalagi saat dia bertanya, rasanya aku benar-benar melihat sosok Ayah yang selalu di tampilkan hanya pada Devan saja.

"Udah mengerjakan tugas rumah?" tanyanya lagi. Dan aku kembali mengangguk.

"Bagus." ujarnya lalu kembali menampilkan senyuman hangat di hadapanku dengan satu tangan besar yang kurasakan mengelus kepala ku lembut.

Aku ingin menangis saat Ayah melakukan itu. Ini pertama kalinya aku merasakan elusan tangan Ayah di kepala ku. Aku tidak pernah sekalipun mendapatkan perhatian seperti ini. Biasanya Ayah hanya menanyai perasaan ku saja, lalu berlalu pergi untuk bekerja. Sedangkan dengan Devan dia selalu melakukan hal-hal seperti ini. Aku iri tentu saja, aku marah juga. Tapi semua itu percuma, aku bahkan sudah percaya kalau Ayah hanya menyayangi Devan saja dan mengabaikan ku yang juga anaknya.

Namun sekarang?

Aku tidak bisa membendung air mata ku lagi. Aku langsung menangis kencang sambil memeluk Ayah erat. Aku menangis di pelukannya, sambil merasakan hangat tubuhnya yang baru kali ini kurasakan. Rasanya sangat berbeda saat aku menangis di pelukan Bi Mina. Saat ini aku benar-benar merasa kalau aku memiliki seorang Ayah, seseorang yang ingin melindungi ku hanya dengan pelukannya saja. Aku...aku tidak ingin melepaskan pelukan ini. Kalau bisa, aku ingin membawanya hingga aku terlelap tidur nanti.

Tapi sepertinya itu hal yang mustahil, karena pelukan itu segera berakhir dengan Ayah yang tersenyum simpul dan satu tangannya yang terulur ke wajahku untuk menghapus air mata ku yang mengalir.

"Jangan menangis, Nak. Ini bukanlah kesalahanmu. Ini salah Ayah. Maafkan Ayah yang udah mengabaikanmu selama ini. Maafkan Ayah juga yang sudah jelas membandingkan perhatian Ayah terhadapmu dengan Devan. Seharusnya Ayah nggak melakukan hal itu, Ayah memang bodoh. Revan juga anak Ayah tapi Ayah malah mengabaikanmu. Maafin Ayah ya, Nak." ucap Ayah dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Aku yang sesenggukan langsung menganggukkan kepalaku untuk mengiyakan permintaan maaf Ayah. Setelahnya aku kembali menghamburkan diriku ke pelukannya dan kembali menangis di dadanya yang hangat sambil kurasakan elusan lembut di kepalaku yang di iringi dengan ucapan terima kasih Ayah yang jelas terdengar di telingaku. Aku kembali mengangguk-angguk untuk menerima rasa terimakasihnya. Lalu kembali fokus untuk menuangkan segala perasaan ku selama ini dengan tangisan yang ku keluarkan di pelukannya.

Beberapa menit berlalu, tangisan ku pun perlahan mereda seiring dengan terlepasnya pelukan ku terhadap Ayah. Kini tersisa hanya sesenggukan ku yang sulit untuk ku hentikan setelah menangis lama di pelukannya. Sementara Ayah juga terlihat masih berair matanya namun bibirnya tersenyum hangat dengan tangan yang mengelus pipi ku lembut.

"Nangisnya udahan ya, Nak. Kita sama-sama pria. Dan seorang pria harus kuat menahan tangisnya walaupun seberat apapun itu. Dan Ayah juga tau, kalau Revan itu anak yang kuat. Revan pasti bisa menghadapi sikap Devan yang seperti itu kan? Walaupun Devan memang membencimu, tapi dia tetaplah Kakakmu. Jadi Ayah harap kamu tetap bersabar sampai tiba waktunya untuk hati Kakakmu luluh ya, Nak. Revan bisa kan?" ujar Ayah.

Aku yang mendengarnya terdiam sebentar, merasa ragu dengan keputusan yang akan ku ambil saat ini. Tapi seperti yang Ayah bilang, aku termasuk anak yang cukup kuat. Aku bisa menahan apa yang Devan perbuat kepadaku meski sudah bertahun-tahun dia membenciku. Namun yang masih menjadi masalah di pikiranku adalah, sampai kapan waktu yang di butuhkan hingga Devan tidak membenciku lagi? Dia saja sudah berkata kalau tidak akan pernah mengakui ku adiknya untuk selamanya.

Apa aku harus menahan semua rasanya bencinya hingga akhir hayatku nanti?

"Revan?" panggil Ayah yang langsung menyadarkan ku dari lamunanku barusan. Aku tersenyum, lalu mengangguk setelahnya untuk menjawab pertanyaan Ayah sebelumnya.

Ya, untuk saat ini mungkin aku akan berusaha lebih kuat lagi untuk bertahan. Setidaknya, aku berusaha. Daripada aku menyerah, itu tidak akan menyelesaikan masalah nantinya.

Ayah tersenyum, lalu mengacak rambutku pelan.

"Nah, sekarang Ayah tenang. Devan akan ada yang menjaganya nanti selagi Ayah bekerja di luar kota. Revan anak yang dewasa, jadi Ayah percaya kalau Revan bisa mengarahkan Devan yang masih bersikap kekanak-kanakan itu. Revan harus ingetin Devan untuk semangat belajar ya, biar nggak tinggal kelas kayak tahun kemarin. Dan yang pasti, Revan juga harus makan yang banyak supaya cepet gede, jadi kalo Devan ngelawan. Revan bisa jaga diri deh." ujar Ayah yang di akhiri dengan kekehan.

Aku ikut terkekeh walaupun sedikit tidak mengerti maksud Ayah untuk aku menjaga Devan. Tapi apapun itu, aku hanya bisa mengangguk agar suasana hangat ini tidak hancur hanya karena diriku yang tidak setuju.

"Oke deh. Ayah berangkat dulu ya. Kamu baik-baik dirumah. Jangan lupa sama sekolahmu, dan belajar yang lebih giat. Nanti kalau Ayah sudah pulang, bakal Ayah beliin mainan yang bagus buat kamu sama Devan. Ok?" ujarnya lagi, dan kali ini aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

Ayah tersenyum, lalu setelahnya mengecup kepala ku lama dan kemudian berdiri dari jongkoknya. Sebelum dirinya pergi dari sini, aku segera mengambil tangannya dan menyaliminya seperti yang sering aku lakukan kepada Bi Mina, ya, ini juga kali pertamanya bagi ku menyalimi tangan Ayah. Dan aku senang.

"Hati-hati di jalan, Yah." ujarku dan Ayah kembali tersenyum. Dia mengacak rambutku sebentar, lalu akhirnya pamit untuk mulai beranjak pergi dan menjauh dari jarak ku. Aku memperhatikannya, sampai akhirnya sosok Ayah menghilang setelah pintu rumah kembali tertutup dan suasana hening menyelimuti seisi ruangan yang saat ini ku tempati.

Aku tersenyum. Lebar sekali, sambil menyentuh jantungku yang masih berdebar kencang di barengi dengan perasaan lega yang akhirnya aku dapatkan selama beberapa tahun saat aku mulai mengerti tentang perasaan. Aku senang, sosok Ayah yang selalu ku dambakan kini benar-benar menjadi sosok Ayah yang menyentuhku seperti Ayah pada umumnya. Dia minta maaf, memelukku, bahkan menangis bersama denganku. Dia berjanji tidak akan mengabaikan ku lagi nanti setelah dirinya pulang dari luar kota dan akan menyamakan perhatiannya terhadapku dan juga Devan.

Namun sepertinya itu hanya kembali terjadi dalam khayalan ku saja. Rasa sayang yang ku rasakan hanya bisa ku dapatkan tadi siang saja. Semua hal yang ku dambakan tidak akan pernah terjadi lagi. Karena saat seseorang memencet bel rumah di malam hari itu datang, kami bertiga semuanya terdiam menatap kosong setelah orang itu berkata kalau Ayah kami baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal di tempat.

Di saat itu jugalah kurasakan kalau dunia ku runtuh untuk yang kedua kalinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel