Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9

"Ini semua salah lo goblok! Ngapain pake segala ngasih tau Devan kalo kematian gue itu karena kelahiran anak gue sendiri?" suara seorang pria yang belum pernah ku dengar sebelumnya kini terdengar samar di telingaku.

Mataku masih terpejam, aku masih merasa lelah akibat masalah yang ku alami seharian ini. Namun begitu sahutan pria lainnya yang bersuara seperti orang yang sangat ku kenali. Aku perlahan membuka mataku dan mendapatkan cahaya terang yang menyilaukan sehingga aku harus menyipitkan kedua mataku untuk membiasakan cahaya terang ini.

"Maafin gue, Yon. Gue nggak bermaksud untuk ngebuat Devan jadi kayak gitu. Itupun karena gue masih merasa berduka waktu itu. Iya gue emang nyalahin dia. Tapi gue nggak bermaksud untuk membuatnya menjadi musuh, apalagi membencinya." ujar suara pria yang ku kenali.

Dan saat ini aku tersadar. Bahwa aku sekarang tidaklah berada di tempat tidur. Aku sedang berdiri tegap dengan seluruh ruangan yang hanya di penuhi warna putih dan dua orang pria dengan tinggi yang berbeda yang berjarak beberapa meter di depanku.

"Ya lo emang nggak bermaksud. Tapi karena itu, lo ngebuat anak kita jadi benci sama adeknya sendiri! Lo Ayah macam apa sih? Tega banget lo bikin anak gue tersakiti kayak gitu. Apa lo pikir karena dia bukan darah daging lo, lo bisa seenaknya abaikan dia? Gue bisa paham kalo lo mikir gitu. Tapi, apa lo nggak mikirin gue? Dia anak gue, Nan. Gue yang udah ngandung sekaligus melahirkan dia." ujar pria yang tubuhnya membelakangi ku. Suaranya terdengar sedikit bergetar, apalagi dari cara dia berbicara, itu sudah cukup untuk ku ketahui kalau pria itu sebentar lagi akan menangis.

"Ya. Awalnya gue mikir kayak gitu. Gue juga sempet benci bahkan gue mau dia nggak ada di dunia ini dan menggantikan nyawanya dengan nyawa elo. Dia udah bikin lo ninggalin gue, Yon. Gue udah beberapa kali bilang sama lo untuk melenyapkannya. Nyawa lo lebih penting dari segalanya. Tapi apa? Lo menolak dan malah terus merawat kandungan lo sampe besar yang mana lo sendiri tau kalo kandungan itu bukanlah anak gue. Anak kita. Melainkan anak hasil dari penjahat yang gue sendiri nggak tau dia siapa. Lo egois tau nggak." balas pria itu yang ada di hadapan pria satunya yang membelakangi ku.

Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya, karena disini sangat terang sehingga membuatku sulit untuk memfokuskan mataku melihat wajahnya. Namun walau begitu aku paham. Perasaan ku yang tadinya sudah sedikit membaik, kini kembali terasa menyakitkan.

Aku sepenuhnya sadar kalau yang barusan berbicara tadi adalah sosok Ayah. Suara yang sempat tidak asing di telingaku kini aku sudah mengenalinya. Dia adalah Ayahku. Tidak, maksudku, dia adalah Ayah Devan.

Dan mendengar ucapannya barusan membuatku semakin sadar kalau memang benar keadaan ku sepenuhnya adalah kesalahan. Ini sangat menyakitkan, bahkan janji yang sudah ku buat beberapa jam lalu pun teringkari. Aku kembali menangis mengeluarkan air mataku sambil dengan hatiku yang terasa sakit akibat setiap kata yang kudengar sangat menusuk jantungku dan membuatku sulit untuk mengontrol air mata ku yang kian deras.

Aku terduduk lemas, dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku agar tangisanku tidak menyebabkan isakan tangis yang mengganggu obrolan dua orang yang saat ini masih saling melontarkan kalimat dengan pendapat yang berbeda. Jika orang tidak ku ketahui terus membela diriku, sementara sosok Ayah terus mencela dan memberi ungkapan yang sangat menyakitkan hatiku.

Namun dalam detik berikutnya, mataku kembali terbuka dengan paksa dengan napas yang memburu dan jantung yang berdetak cepat.

Suasana disekitar ku berubah. Sangat berubah. Cahaya silau yang sempat membuatku sulit untuk melihat kini sudah sirna, dan di gantikan dengan cahaya sedang yang terkesan redup yang menyinari seluruh ruangan yang ku sadari adalah kamarku sendiri.

Aku segera bangkit. Aku duduk dan menatap sekitarku untuk memastikan kalau aku memang benar sedang berada di kamarku. Dan setelah sepenuhnya yakin, aku menyentuh dadaku yang masih merasakan sakit akibat perkataan yang ku dengar yang syukurlah hanya terjadi di dalam mimpi.

Ya, semua itu hanya mimpi. Aku sadar akan hal itu. Namun satu hal yang membuatku heran adalah sosok yang tidak ku kenali itu. Mengapa dia selalu membelaku dan berkata kalau dia telah mengandungku yang jelas-jelas dia adalah seorang pria?

Aku terus memikirkan hal itu, sampai akhirnya aku sedikit mendengar suara yang berada dari luar kamarku yang ku yakini asal suara tersebut dari ruang tamu, karena jarak kamarku dan ruang tamu hanya berjarak beberapa langkah saja.

"Bibi mohon sama kamu Nak Devan. Berhentilah menyiksa Nak Revan. Ingat Nak, dia Adikmu. Lahir dari rahim yang sama dengan Babamu. Dia memang bukan dari darah yang sama dengan darah yang kamu miliki. Tapi tetap saja, kalian di kandung dan dirawat oleh orang yang sama. Yaitu, Mas Dion. Babamu." suara Bi Mina yang terdengar jelas di balik pintu. Aku menempelkan telingaku di sana agar bisa mendengar suara Devan yang kemungkinan juga berada di sana.

"Bibi sudah tau kami tidak sedarah. Bukannya itu jelas? Kalau tidak ada ikatan apapun diantara kami. Dia bukan adikku, dan dia tetaplah anak haram yang memiliki darah penjahat yang membuat Baba menderita. Di tambah lagi dia mengidap penyakit homo dan memperlihatkannya padaku. Bagaimana bisa aku menganggapnya Adikku jika saja kasusnya sangat menjijikkan seperti itu." ucapnya yang sebisa mungkin ku tahan agar tidak terasa menyakitkan untuk kudengar.

"Apa kamu lupa Nak Devan tentang kedua orangtuamu sendiri? Apa status mereka selama ini? Apa mereka juga sama menjijikannya dengan Nak Revan? Karena mereka juga sama. Mereka memiliki kelamin yang sama, bahkan sampai saat ini status mereka masihlah suami-istri. Apa kamu tidak sadar akan hal itu?" ujar Bibi. Aku yang mendengarnya hanya bisa diam sambil mencerna maksud dari ucapan itu. Namum saat ini otakku sudah tertuju akan sosok yang kutemui di alam bawah sadarku.

"Jujur, Bibi juga sangat anti untuk menyebutkan kata itu secara bebas. Bibi takut menyakiti hati kedua orangtuamu Nak. Tapi melihatmu seperti ini, sama saja kamu sudah menyatakan kalau Ayah dan Babamu menjijikan. Seperti Nak Revan yang hingga saat ini tidak memiliki dosa apapun terhadapmu, namun kamu selalu membuatnya menderita padahal kamu sendiri sadar kalau memang benar Revan bukanlah sosok yang pantas untuk kamu salahkan." tambah Bibi.

"Nggak. Ayah dan Baba nggak sama. Mereka pasangan yang murni dan sangat pantas mendapatkan pujian atas cinta mereka berdua. Berbeda dengan dia. Dia lemah, menjijikan. Dan yang lebih penting, dia tidak memiliki keistimewaan seperti Baba yang bisa mengandung walau sudah jelas itu bukan kodratnya. Jika Bibi masih mau membela anak itu, aku akan merubah pikiranku dan mengusirnya dari sini dengan cara yang paling kasar yang mungkin akan membuat Bibi terkejut nantinya." ucap Devan yang di akhiri dengan ancaman yang terdengar sangat menakutkan.

Jantungku berdebar. Aku berharap-harap cemas akan apa yang Bibi ucapkan selanjutnya. Aku takut Bibi akan kembali membela ku dan berakhir dengan diriku yang mendapatkan siksaan Devan seperti yang ia ancamkan barusan. Namun percuma jika aku mengharapkan Bi Mina. Beliau pasti akan terus membela ku karena beliau tau bahwa aku memang tidak tau apa-apa atas semua yang terjadi. Oleh karena itu, dalam sekali tekan, aku membuka pintu kamarku dan memanggil nama Bibi sedikit kencang agar dirinya mendengarku yang saat ini sudah di penuhi dengan rasa takut yang besar, apalagi saat tatapan ku Devan dengan bertemu. Aku bisa merasakan kalau nyawaku sudah sepenuhnya berada di tangannya.

"Loh, Nak Revan? Kok sudah bangun? Ini masih malem loh. Ayo, ayo, tidur lagi." ujar Bi Mina sambil berjalan mendekat ke arahku. Aku memasang senyumku lalu menerima rentangan tangannya yang berniat untuk memelukku.

"Jangan dengerin ucapan Devan ya, Nak. Kakakmu itu memang tidak ada otaknya." bisik Bibi di telingaku. Aku yang mendengarnya hanya mengangguk lalu melirik sebentar ke arah Devan yang ternyata saat ini dirinya sudah berbalik untuk menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai atas.

Rasa lega perlahan menghampiriku, lalu setelahnya aku pun melepas pelukan Bi Mina dan tersenyum hangat ke arahnya walaupun aku yakin Bi Mina pasti tau kalau senyumanku sangatlah terlihat palsu.

"Bi. Malam ini, Bibi tidur di kamarku ya." pinta ku sambil memegang tangannya.

Beliau tersenyum, lalu dengan pelan mengusap matanya yang masih tersisa sedikit air mata disana. Setelahnya beliau pun mengangguk dan membalik tubuhku untuk menuntunku masuk kedalam kamar.

"Kamu pasti kangen banget sama Bibi kan sampe minta tidur bareng padahal kamu udah segede ini." ujar Bi Mina setelah aku sudah berbaring di kasurku dengan Bi Mina yang juga tidur di sampingku.

Aku tersenyum lalu mengangguk kecil sambil mata yang memandangi langit-langit kamarku yang tentu saja terlihat sederhana.

"Bi, tadi aku mimpiin Ayah." ucapku yang teringat akan mimpi yang ku alami beberapa saat yang lalu.

"Hm? Ayahmu? Tuan Aznan?" tanya Bibi. Aku menoleh padanya.

"Berhentilah menyebut Ayah Tuan, Bi. Dia sudah bukan lagi majikan Bibi." ucapku. Bi Mina hanya tersenyum tipis mendengarnya.

"Apa yang kamu mimpikan, Nak?" tanyanya.

Aku kembali ke posisi semula, lalu mulai bercerita tentang mimpiku tadi.

"Aku bermimpi dua orang pria yang seumuran ku Bi, mereka mengenakan seragam SMA dan saling berargumen tentang hal yang awalnya nggak aku pahami. Tapi semakin aku mendengar jelas ucapan mereka, aku semakin yakin kalau yang mereka ucapin itu adalah tentangku, Bi. Apalagi suara Ayah yang masih sama seperti yang terakhir kali aku dengar. Tapi sayang setiap ucapan yang keluar dari mulutnya, selalu menyalahkan kehadiran ku di dunia ini, Bi." ungkapku sambil sebisa mungkin menahan perasaanku yang sudah kembali terenyuh mengingat setiap kata yang kudengar.

"Aku awalnya bingung kenapa pria yang di hadapan Ayah selalu membela ku dan bilang kalau dirinya sudah mengandung diriku, Bi. Tapi setelah tidak sengaja menguping tadi. Sepertinya aku tau siapa sosok itu sebenarnya. Apa dia adalah Mas Dion yang Bibi sebutkan di hadapan Devan tadi? Diakah Ibu ku, Bi? Baba yang di sebut-sebut Devan siang tadi?" ujarku yang sudah menoleh ke arah Bibi sambil menatapnya menuntut jawaban.

Bi Mina tidak langsung menjawab. Beliau malah mengusap matanya yang mengeluarkan air mata akibat cerita yang ku beritahu padanya tadi. Setelah itu Bi Mina mengusap kepala ku dan mengecupnya hangat yang bisa ku rasakan ketulusannya saat menciumku barusan.

"Iya, Nak. Dugaanmu benar. Mas Dion yang Bibi sebutkan adalah Ibumu. Baba yang disebutkan Devan tadi siang. Maafkan Bibi yang tidak pernah menceritakan asal-usul Ibumu, Nak. Bibi terpaksa merahasiakannya karena Tuan Aznan menyuruh Bibi agar kamu tidak terlalu merasa kehilangan, Nak." ucap Bi Mina yang sudah berderai air mata yang mengalir di pipinya.

Aku ingin merasa sedih dan ikut menangis sebenarnya. Namun aku terlalu lelah. Jadi aku hanya bisa diam sambil terus menahan rasa sakit yang ku terima akibat fakta baru yang baru saja ku ketahui. Aku tidak bisa menyalahkan Bi Mina, karena seperti yang dia ucapkan kalo yang dia lakukan adalah berasal dari perintah Ayah. Jadi sudah jelas kalau Bi Mina tidaklah salah.

Aku tidak tau lagi apa yang harus aku lakukan selain menghembuskan napasku berusaha menenangkan hatiku yang terluka lalu berusaha memasang senyum sambil memeluk Bi Mina untuk menenangkannya juga.

Namun entah bagaimana bisa, sebelum aku melakukan niatku, pandangan ku menggelap dan bisa kurasakan tubuhku yang jatuh sambil mendengar suara Bi Mina yang memanggil namaku sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran ku sepenuhnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel