Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10

Aku akhirnya pulang kerumah.

Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, akhirnya hari ini aku dinyatakan sembuh dan di perbolehkan untuk pulang kerumah. Entahlah bagaimana ceritanya aku bisa berada di rumah sakit saat itu. Yang kuingat hanyalah diriku yang tidak sadarkan diri saat berbicara dengan Bibi di kamar.

Hari pertama saat aku sadar. Aku bingung. Bagaimana bisa aku berada di bangsal rumah sakit dengan bau obat-obatan yang sangat pekat di sekitarku. Namun setelah sosok Bi Mina muncul, aku pun paham dan sedikit mencoba meminta pulang karena aku tau, biaya rumah sakit tidaklah murah. Apalagi aku yakin kalau Devan angkat tangan dan tidak mau tau tentang keadanku. Sedangkan tabungan ku sendiri tidaklah banyak. Jadi aku sebisa mungkin meminta Bibi agar memulangkan ku saja.

Namun Bibi menolak. Beliau terus saja menyuruhku istirahat dan tidak usah memikirkan masalah biayanya sampai akhirnya beliau mendapat panggilan kalau anaknya baru saja melahirkan dan mengharuskannya untuk kembali pulang kerumahnya.

Awalnya Bi Mina menolak karena masih ingin menemani ku dirumah sakit. Namun aku terus memaksanya, karena bagaimanapun aku hanyalah anak dari mantan majikannya. Bukan anak kandungannya yang harus di prioritaskan. Sejam berlalu, Bi Mina pun akhirnya setuju. Beliau mengucapkan kata maaf berkali-kali, lalu menit berikutnya beliau pergi untuk kembali pulang kerumahnya meninggalkan ku sendiri menunggu kesembuhan yang terjadi selama dua hari.

Saat aku dinyatakan telah sembuh dan di perbolehkan untuk pulang. Aku dengan perasaan gugup berjalan menuju admistrasi untuk membayar biaya rumah sakitku. Aku yang saat itu sudah siap dengan tabunganku yang tidak seberapa hanya bisa menatap bingung ke arah penjaga saat mengatakan kalau biaya penginapan dan pengobatan sudahlah lunas.

Penjaga itu tidak menyebutkan siapa yang sudah membayarnya. Namun aku harap kalau yang membayar perawatanku adalah Bi Mina, dan aku berjanji akan menggantinya saat uangku sudah terkumpul nanti.

Aku tidak langsung kerumah saat sudah keluar dari rumah sakit. Aku langsung menuju kesekolah ku untuk mulai menjalankan perintah Devan yang terlambat dua hari akibat tubuhku yang kehilangan kesadaran waktu itu.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Dan ini adalah waktu istirahat para murid yang tentu saja akan meramaikan seluruh halaman sekolah yang saat ini tengah menatapi ku dengan pandangan aneh karena diriku tidaklah mengenakan seragam sekolah seperti yang mereka kenakan.

Aku berusaha tidak perduli, sampai akhirnya satu suara yang memanggilku yang tentu saja sudah ku kenali suara tersebut. Siapa lagi kalau bukan Agung.

"Gue pikir lo nggak sekolah lagi hari ini. Lo dari mana aja sih?" tanyanya begitu sampai di hadapanku yang menunggunya berlari tadi.

"Aku sakit dua hari kemarin, Gung." jawabku jujur sambil mengeluarkan senyum tipis ke arahnya.

"Sakit?" tanyanya lagi, aku mengangguk untuk menjawabnya.

Agung dengan cepat menaruh satu tangannya di dahi ku. Mengecek suhu tubuhku sambil dengan ekspresi menerawang yang membuatku tertawa kecil melihatnya.

"Aku sudah sembuh. Makanya aku datang kemari." ucapku sambil menghentikan aksinya.

Agung terlihat berpikir. Ia memandangi ku dari atas sampai bawah lalu kemudian dia menyadari kalau aku datang tidak menggunakan seragam sekolah seperti yang dirinya kenakan.

"Kok lo make baju bebas, Re? Seragam lo mana? Dan kenapa lo baru dateng jam segini?" tanyanya yang menyerbu ku.

"Itu karena aku kesini untuk mengkonfirmasi tentang diriku yang berhenti sekolah, Gung. Aku nggak akan dateng kesekolah ini lagi. Jadi itulah kenapa aku nggak masuk dan make baju bebas kayak gini." ucapku menjelaskan. Agung terlihat terkejut mendengarnya.

"Loh, kenapa lo berhenti Re? Lo masih waraskan? Lo udah kelas tiga tau. Bentar lagi lulus, kenapa mesti berhenti segala. Sayang tau." ucapnya. Aku membenarkannya dalam hati. Namun aku bisa apa? Devan sudah mengeluarkan perintahnya, jadi aku harus menurutinya. Dan jika tidak, entah apa yang akan ia lakukan nantinya. Lagipula, aku masih menyimpan rasa bersalah setelah mengetahui fakta yang sebenarnya.

"Nggak ada alasan khusus sih, Gung. Aku cuma mau memulai bekerja aja. Dan setelah ini aku akan langsung bekerja. Untuk masalah pendidikan, aku nggak mempermasalahkannya. Asalkan aku dapat membayar segala hutangku pada seseorang yang sudah amat tersakiti akibat kehadiranku." ucapku yang tentu saja yang membuat Agung bingung.

"Maksud lo apaan sih? Utang apaan? Bukannya Abang lo kaya ya? Dia nggak bisa bayarin utang lo gitu?" ujarnya yang membuatku terkekeh kecil karena Agung salah tangkap dengan apa yang telak ku ucapkan.

Aku ingin membalas ucapannya. Namun bunyi ponselku membuatku urung dan meraih ponselku untuk memeriksa pemberitahuan yang masuk di sana.

Sebenarnya aku tidak pernah menyimpan nomor Devan. Karena memang Devan tidak pernah memberitahu ku tentang nomornya. Namun dari pesan yang ku baca, aku bisa tau kalau pengiriman pesan tersebut berasal dari Devan. Apalagi saat membacanya aku bisa dengan jelas mendengar suara Devan yang datar namun penuh dengan ancaman. Seperti pesannya saat ini yang berisi,

Segera pergi kekantor untuk memulai pekerjaanmu.

Itulah isi pesannya yang anehnya bisa kudengar suara Devan disana. Aku pun yang sudah melihatnya segera kembali menaruh ponselku lalu memandang maaf Agung yang menunggu jawabanku tadi.

"Maaf, Gung. Tapi aku lagi buru-buru." ucapku padanya. Lalu tanpa menunggu jawaban darinya aku segera berlalu dari sana dan berlari kecil menuju ruang kepala sekolah yang syukurlah tidak jauh dari jarak ku tadi.

Kepala Sekolah yang melihatku masuk segera saja paham. Karena aku yakin pasti Devan sudah menyampaikan tentangku pada beliau. Jadi kehadiran ku hanyalah untuk mengkonfirmasi bahwa yang Devan sampaikan adalah benar. Jadi karena itu, aku tidak memerlukan waktu yang lama untuk berada di ruangan tersebut, karena begitu bel masuk sudah berbunyi aku sudah di persilahkan pergi dan aku sudah di nyatakan kalau aku bukan lagi murid di sekolah ini.

Guru-guru yang ada disana menyayangkan pemberhentian ku. Namun apa boleh buat. Bukan aku yang memutuskan hidupku mulai sekarang. Devan sudah mengambil alih segalanya. Dan aku harus menerima akan hal itu. Karena bagaimanapun, aku sudah sangat berhutang padanya yang sudah membuat kedua orang yang paling ia sayang pergi meninggalkannya, walaupun faktanya kalau aku pun juga merasakan kesedihan yang amat dalam atas kepergian mereka berdua.

Aku sudah sedikit jauh dari area sekolah. Kini aku berjalan dengan cepat untuk mencari kendaraan umum agar bisa membawaku menuju kantor milik Devan untuk memulai pekerjaan ku yang entah pekerjaan apa yang di berikan Devan padaku.

Namun hampir 20 menit lamanya, tidak ada satupun tanda-tanda kalau angkutan umum akan datang dan membawa ku pergi ketempat tujuanku. Aku mulai frustasi. Apalagi saat aku mencoba untuk mencari angkutan umum melalui internet, data koneksi ku habis padahal aku sendiri baru membuka aplikasi yang di sediakan.

Menyadari hal itu, aku pun mulai beranjak dari tempatku menunggu dan memutuskan untuk berjalan sambil mencari kalau-kalau ada angkutan umum yang lewat. Namun beberapa menit kemudian, bukannya angkutan umum yang berhenti untuk mengantarku pergi. Namun sebuah mobil pribadi yang terlihat mewah berhenti tepat di sampingku.

Awalnya aku menatap mobil tersebut dengan bingung karena sudah berhenti di samping ku begitu saja. Aku melihat kebelakang ku untuk memastikan kalau-kalau ada orang lain disana yang memiliki hubungan dengan pemilik mobil tersebut. Namun nihil, tidak ada siapapun di sekitarku. Aku yang masih bingung pun akhirnya memilih untuk beranjak dari sana dan meninggalkan mobil tersebut yang sayangnya kembali berjalan dan berhenti di sampingku.

Aku berhenti dan kali ini aku menunggu sang pemilik keluar dari mobilnya untuk menanyai maksudnya yang mengikutiku seperti tadi. Namun saat sang pemilik sudah keluar dan menampilkan dirinya yang kini berjalan mendekat ke arahku, aku langsung memutar otakku untuk mengingat sosoknya yang seperti pernah kulihat beberapa waktu yang lalu.

"Hei. Apa kabar?" sapa pemilik tersebut yang berwajah menarik dengan tinggi yang hampir sama dengan Devan, Agung, maupun Leo. Aku yang mendengar suaranya seketika langsung mengingat sosoknya yang ternyata adalah sosok Adit yang beberapa waktu lalu sudah menolongku yang sudah ceroboh malam itu

"Kak Adit?" tanyaku memastikan. Pria itu mengangguk lalu tersenyum lebar sambil dengan satu tangan yang mengacak rambutku.

Aku membalas senyumannya, lalu menjawab.

"Aku baik, Kak. Kakak sendiri gimana? Kok mobilnya beda lagi dari beberapa waktu yang lalu?" ujarku sambil melirik mobilnya yang memang berbeda dari terakhir kali ku lihat.

Adit terkekeh lalu berhenti mengusak rambutku. Ia menaruh kedua tangannya di saku celananya lalu berkata.

"Iya. Mobil yang kemarin milik Adikku. Yang ini baru milik ku sendiri. Kamu darimana? Kok jalan kaki, apa sepedamu rusak lagi?" tanyanya.

Aku yang mendengar itu segera saja teringat peristiwa Devan yang sangat marah akibat sepeda pemberian Adit. Aku masih mengingat jelas tendangan yang Devan berikan padaku yang menyebabkan ku tidak sadarkan diri waktu. Namun setelah tau kebenarannya, itu cukup setimpal untuk melampiaskan kemarahannya padaku yang sudah menghilangkan kedua orangtuanya.

"Sepedaku nggak rusak kok, Kak. Aku lagi pengen jalan aja." ucapku yang ku akhiri dengan kekehan.

"Emang kamu mau jalan kemana?"

"Ke tempat kerja." ucapku yang kelepasan. Aku segera merutuk diriku yang sudah keceplosan mengucapkan tujuanku padanya. Sebenarnya tidak masalah, tapi pasti Adit akan bertanya...

"Kerja? Bukannya kamu masih sekolah ya?" tanya Adit yang segera saja membuat gugup untuk menjawabnya.

"I-iya Kak. Aku masih sekolah kok." balasku tanpa melihat kearahnya.

"Terus maksudmu mau ketempat kerja itu apa?" tanyanya lagi.

Aku segera memutar otakku untuk menjawab pertanyaan itu. Dan entah ide dari mana, aku segera menjawab dengan berkata.

"Maksudku, aku mau ke tempat kerja Kakakku. Dia memintaku kesana karena ada sesuatu yang ingin Kakakku beritahu." ucapku yang kini sudah memberanikan diri untuk menatapnya.

"Kakakmu yang berekspresi datar dan menatapku tajam itu?" tanyanya. Aku yang mendengar itu hanya bisa menganggukkan kepala ku menjawabnya.

"Apa tempat kerjanya jauh dari sini? Kalau iya aku akan mengantarmu. Kalaupun nggak, aku tetap antar kamu." ujarnya.

"Kalo begitu, ngapain Kakak nanyain jaraknya kalo setiap jawaban yang aku kasih bakalan menghasilkan hak yang sama?" balasku. Adit terkekeh mendengarnya.

"Yaudah kalo gitu. Ayo aku antar. Jangan menolak, daripada nanti kamu kena marah lagi seperti malam itu yang membuat wajahmu sangat pucat dan penuh ketakutan." ucap Adit yang cukup membuatku terdiam beberapa saat karena memikirkan tentang malam itu. Kupikir Adit tidak akan memperhatikan kondisiku. Ternyata dia menghafalnya hingga mengingatnya sampai sekarang.

"Ayo. Jangan berpikir. Waktu terus berjalan." ucapnya lagi, lalu kemudian menarik tanganku menyuruhku agar segera masuk ke dalam mobil yang sudah ia buka beberapa detik yang lalu.

Aku yang awalnya ragu, kini perlahan masuk ke dalam sana setelah memikirkan akibat kalau aku terlambat lebih lama lagi untuk sampai ke tempat kerja yang akan ku mulai hari ini.

Adit terlihat tersenyum, lalu kemudian ia berjalan ke pintu satunya dan turut masuk ke dalam.

"Dimana alamat tempat kerjanya?" tanya Adit. Aku yang tadinya terdiam segera tersadar dan langsung merogoh sakuku untuk mengambil ponselku lalu memberikannya kepada Adit setelah membuka pesan yang berisikan alamat yang di berikan Devan tadi pagi saat aku berada di rumah sakit.

"Ah. Perusahaan ini tengah maju pesat saat ini. Apa pekerjaan Kakakmu di sana?" ujar Adit setelah membaca alamat tersebut sambil menyerahkan ponsel ku kembali.

"Aku nggak tau. Devan nggak pernah memberitahu ku apa pekerjannya." bohong ku.

Aku tidak mungkin memberitahu kalau Devan adalah pemilik perusahaan tersebut kan? Itu mungkin akan menimbulkan masalah nantinya. Walaupun aku tidak paham. Tapi setidaknya aku berusaha untuk tidak membocorkan identitas Devan.

Adit mengangguk.

"Ok. Kalau begitu, perjalanan kita nggak akan lama. Karena perusahaannya lumayan dekat kalau menggunakan mobil." ujarnya, lalu kemudian mulai menjalankan mesin mobilnya untuk mengantar ku ke tempat Devan dan memulai pekerjaan ku untuk pertama kalinya.

Perjalanan yang di tempuh memang tidak lama. Kami sekarang sudah sampai di hadapan sebuah gedung besar yang aku sendiri tidak yakin kalau ini memang benar perusahaan yang Devan maksud atau bukan. Karena selama ini aku tidak pernah sekalipun melihat kantor ataupun perusahaan ini. Ayah maupun Devan tidak pernah mengajak ku ketempat mereka bekerja. Aku paham mengapa, jadi aku tidak akan mengeluh akan hal itu.

"Kita sudah sampai. Kamu tau kan tempat kerja Kakakmu dimana? Atau perlu ku antar?" tawar Adit yang tentu saja langsung ku tolak dengan gelengan kepala.

"Nggak usah. Aku tau kok dimana Devan bekerja. Terima kasih atas tumpangannya. Aku akan turun sekarang." ucapku dan memasang senyum tulus padanya. Setelah itu, aku pun mulai membuka pintu mobil dan berniat untuk keluar dari sana.

Namun sebelum itu, Adit sempat berkata yang membuatku urung sebentar karenanya.

"Aku akan sering main ke perusahaan ini untuk melihat kakakmu bekerja. Jadi, tolong sampaikan padanya ya agar jangan menatapku mengerikan seperti terakhir kali." ucapnya yang di akhiri dengan kekehan kecil.

Aku ikut terkekeh, lalu tanpa membalas, aku langsung keluar dari dalam mobil dan tersenyum ramah kepada Adit dari luar. Setelahnya, aku pun segera berjalan masuk ke dalam perusahaan yang sayangnya harus kembali urung akibat panggilan seorang pria yang berpakaian rapi dengan seragam yang bertuliskan satpam di bagian kanan dadanya.

"Mohon maaf. Tapi yang boleh masuk ke dalam gedung hanya orang-orang yang memiliki urusan." ucap satpam itu sopan setelah berhenti di hadapanku.

Satpam itu terlihat tinggi dengan wajah yang masih terlihat muda yang tentu saja berbeda dari satpam-satpam lain yang sering kutemui.

Aku tersenyum ramah padanya, lalu aku pun menjawab.

"Maaf juga, Pak. Tapi saya memang ada urusan untuk masuk ke dalam gedung ini." ucapku.

"Urusan apa ya, Mas?" tanya satpam tersebut.

"Saya mulai bekerja mulai hari ini, Pak." jawabku sambil masih memasang senyum ke arahnya.

Satpam itu mengangguk, lalu kemudian mengambil buku catatan kecil yang ia ambil dari sakunya. Ia membaca catatan tersebut lalu kemudian menyebutkan namaku sambil menatapku untuk memastikan kalau itu memang benar namaku.

Aku mengangguk lalu membenarkan nama yang ia sebutkan. Dan kemudian satpam tersebut pun tersenyum ramah padaku lalu menjabat tanganku sambil berkata.

"Selamat Mas atas di terima bekerja di tempat ini. Silahkan masuk, biar saya hantarkan langsung ke HRD nya." ucap satpam itu ramah. Lalu berjalan mendahuluiku.

Aku mengikutinya dan berjalan di belakangnya sampai akhirnya satpam itu berhenti di depan sebuah pintu yang terdapat tulisan HRD seperti yang satpam itu katakan beberapa menit yang lalu.

"Tunggu disini ya." ucap satpam itu. Aku mengangguk lalu kemudian mulai menunggunya yang sudah masuk ke dalam ruangan tersebut.

Tidak butuh waktu yang lama. Karena dua menit kemudian itu kembali keluar dan mempersilahkan diriku masuk ke dalam untuk wawancara penerimaan pekerjaan.

Jantung ku berdegup kencang mendengarnya. Aku gugup. Ini pertama kalinya aku di wawancara bekerja. Namun aku berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan hatiku sebelum akhirnya aku masuk ke dalam dan di sambut dengan tatapan ramah seorang wanita yang lumayan dewasa yang saat ini duduk di kursinya.

Melihat senyuman itu, membuat perasaan gugup ku perlahan hilang dan kemudian membalas senyuman wanita itu seraya berjalan mendekat dan duduk di kursi yang sudah di sediakan di hadapannya.

"Dengan saudara Revan?" tanya wanita tersebut. Aku mengangguk membenarkan.

"Baik. Kita langsung saja ya. Jadi tadi pagi saya mendapatkan pesan dari atasan kalau kamu di terima bekerja di perusahaan ini dengan jabatan sebagai Cleaning Service." ujar wanita tersebut membacakan selembar kertas yang ada di atas meja.

"Kamu tau bagaimana cara kerja menjadi Cleaning Service?" tanya wanita itu yang menatapku bertanya.

Aku mengangguk pelan karena aku sendiri pun ragu dengan pekerjaan itu.

"Kalau masih belum paham, saya akan menjelaskannya. Jadi, tugas kamu adalah membersihkan salah satu ruangan yang sudah di tentukan. Dan itu harus bersih. Sangat bersih. Sebenarnya tugas Cleaning Service itu bukan hanya satu ruangan saja. Namun karena ini perintah langsung dari atasan. Jadi kamu hanya mendapatkan tugas membersihkan ruangan Direktur sekaligus CEO di perusahaan ini." jelas wanita itu.

"Bukan hanya sekedar membersihkan, tapi kamu juga harus menuruti dan membiasakan apa yang biasanya Direktur inginkan. Jadi saya harap kamu bisa melakukannya. Karena sudah beberapa kali posisi ini di gantikan akibat mereka yang mendapatkan tugas ini tidaklah benar dan selalu mendapat masalah dengan atasan." tambahnya.

Aku yang mendengarnya hanya bisa mengangguk sambil membayangkan perasaan para pegawai yang bertugas membersihkan ruangan Devan. Aku saja yang bertahun-tahun tinggal bersamanya masih merasa takut dengan tatapannya. Apalagi mereka yang baru pertama kali?

"Bagaimana? Apa kamu sudah paham?" tanya wanita tersebut. Aku mengangguk dan tersenyum ramah kepadanya.

"Baik. Kalau begitu kamu sudah bisa mulai bekerja mulai besok. Hari ini kamu akan di ajak keliling oleh salah satu karyawan kami dan mengambil baju untukmu besok. Jadi setelah itu, kamu bisa pulang untuk mempersiapkan diri bekerja sebagai karyawan baru. Saya harap kamu bertahan. Karena bagaimanapun, sudah banyak karyawan yang resign di hari pertama mereka bekerja. Untuk lebih jelasnya, silahkan kamu temui satpam tadi untuk mengantarmu ke tempat para Cleaning Service berada." ucap wanita itu mengakhiri wawancara hari ini.

Aku pun mengangguk lalu kemudian berdiri dari dudukku dan pamit padanya untuk keluar dari ruangan. Sambil berjalan, aku memikirkan bagaimana nasibku selanjutnya yang akan terus bertemu Devan setiap harinya karena aku yang mengurus ruangannya mulai besok.

Namun aku harap semuanya berjalan lancar. Karena bagaimanapun, masih ada rasa takut yang kurasakan setiap kali aku bertemu tatap dengannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel