Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8

Aku mengusap air mataku yang mengalir untuk yang kesekian kalinya. Otakku selalu terngiang atas kejadian beberapa menit yang lalu. Aku memang tidak merasakan sakit secara fisik. Namun aku begitu tersakiti di dalam hati. Ucapan Devan beberapa saat yang lalu sukses membuat ku terdiam dan mengeluarkan air mata yang tak kunjung berhenti.

Awalnya aku masih berpikir Devan hanyalah menggertak ku karena aku sudah membuatnya salah paham akibat kejadian saat Leo menindih ku tadi. Aku yang masih merasakan pusing beberapa kali mencoba untuk naik ke atas dan mengetuk pintu kamar Devan kencang bermaksud meminta penjelasan atas apa yang dia ucapkan terhadapku.

Namun bukannya penjelasan yang ku dapatkan. Melainkan bentakan kencang yang menyuruhku pergi dan disertai dengan lemparan benda keras yang mengenai pintu kamarnya.

"KAU ANAK HARAM SIALAN! PERGI KAU! TIDAK BERGUNA." bentaknya.

Aku sedih tentu saja. Dunia seakan hancur saat itu juga menerima kenyataan bahwa aku bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki ikatan apapun dengan Devan. Aku tidak tau tepatnya seperti apa. Tapi apapun yang di ucapkan Devan, itu sudah mutlak adanya. Ia tidak pernah membual, apalagi mengarang cerita. Devan selalu berkata seadanya, walaupun itu menyakitkan bagi yang mendengarnya. Jadi sudah bisa di pastikan, kalau memang apa yang Devan teriakan terhadap ku adalah benar.

Air mataku tidak mau berhenti untuk keluar saat itu juga. Badanku lemas, bahkan untuk berdiri saja aku tidak cukup kuat. Namun aku harus menguatkan diriku untuk bangkit dan pergi dari sini. Devan sudah melontarkan perintahnya. Dia menyuruhku pergi.

Aku adalah anak haram yang tidak berguna baginya.

Ya, itu benar. Aku menyadari bahwa aku belum melakukan apapun untuk membalas perbuatan Devan yang sudah mengizinkan ku tinggal di rumah ini hingga aku besar sekarang. Jadi jika itu keinginannya, baik, aku akan pergi.

Aku melangkah tertatih sambil menuruni tangga untuk menuju kamarku. Namun saat aku berada di depan pintu. Pikiran ku berkata, kalau aku pun tidak berhak membawa apapun yang seharusnya bukan milikku. Baju yang ku punya semuanya milik Devan. Ia memberi ku uang saku bulanan dan aku membelikannya untuk keperluan ku. Dan sekarang aku tau kebenarannya. Jadi sudah tidak seharusnya aku berniat mengambil pakaian ataupun barang-barang yang berasal dari uang Devan. Itu pasti sangat tidak sopan jika aku bersikeras untuk membawanya juga.

Dengan pikiran seperti itu, aku pun mengurungkan niatku untuk membuka pintu dan melanjutkan perjalanan ku menuju pintu keluar. Mungkin aku akan membawa beberapa uang yang ku tabung untuk jaga-jaga. Dan baju yang ku kenakan saat ini akan ku masukan dalam daftar bukan milik Devan, karena jika aku memasukkannya. Aku akan tidak berbusana, dan tentu saja masalah lainnya akan muncul dan bertambah.

Aku mengusap air mata ku, dan berharap ini yang terakhir kalinya aku mengusap air mataku yang mengalir. Aku tidak boleh kelihatan lemah di dunia luar. Jika itu terjadi, dunia akan semakin menekanku, dan akan semakin tidak adil karena mungkin orang-orang akan berpikir kalau aku lemah dan pantas untuk ditindas.

Panas matahari membuatku sadar kalau saat ini masih lah siang bolong yang terik. Dalam beberapa menit setelah aku keluar gerbang, aku bisa merasakan sengatan panas matahari yang mengenai kulitku. Aku menambah cepat langkah kaki ku dan menepi untuk mencari tempat teduh yang terhindar dari panasnya matahari.

Aku berhenti sejenak begitu bunyi ponsel dan getarannya terasa di saku ku. Aku meraba saku ku dan meraih ponsel tersebut untuk melihat pemberitahuan apa yang masuk di sana.

Bi Mina.

Nama tersebutlah yang muncul di layar ponselku. Aku mengerutkan keningku, menatap bingung nama itu. Namun karena perasaan sedih dan lemas yang sudah menguras pikiranku. Tanpa bertanya-tanya lagi pun aku segera membuka pesan tersebut.

Nak, Revan. Bibi lagi di jalan nih, sebentar lagi sampai di rumah Nak Revan. Tungguin Bibi ya.

Begitulah isi pesan yang Bi Mina kirimkan padaku. Aku yang membacanya segera saja membesarkan mataku. Entah dari mana energi yang kuterima ini berasal. Yang jelas aku merasakan tenaga yang kuat untuk segera meluruskan masalah ku saat ini. Apalagi saat aku mengetahui kalau Bi Mina sedang dalam perjalanannya menuju rumah. Bisa-bisa nanti Bi Mina mengetahui semuanya. Termasuk sikap Devan kepadaku selama ini.

Aku sudah menutupi segala sesuatu yang Devan lakukan terhadapku pada Bi Mina. Aku tentu saja tidak ingin membuatnya khawatir dan berujung kembali bekerja dengan usianya sudahlah tua. Lagipula jika aku melakukannya, aku tidak akan tau apa yang Devan perbuat pada ku nantinya karena sudah membuat namanya buruk di mata Bi Mina, sang Asisten sekaligus pengasuh kami berdua.

Tidak mau mengambil resiko yang mungkin akan menjadi rumit. Aku segera berdiri dari duduk ku lalu berlari kecil menyusuri jalanku yang sebelumnya, yaitu menuju ke rumah. Aku sudah menelpon nomor Bi Mina berkali-kali, tapi tidak ada jawaban apapun yang di berikannya.

Aku semakin khawatir, apalagi memikirkan Devan dengan wajah dinginnya menatap tidak suka pada Bibi yang mungkin ia kira kalau kedatangannya adalah karena perbuatan ku yang mengadu padanya.

Namun syukurlah. Saat aku tiba di dalam rumah, Bi Mina baru sampai dan saat ini tengah tersenyum hangat padaku seraya berjalan mendekat untuk memeluk ku erat.

"Apa kabar kamu, Sayang." ucap Bi Mina sambil memelukku. Ia mengelus punggung ku lembut sambil terus membisikan kata kalau dirinya merindukan ku.

Aku membalas pelukan tersebut sambil merasakan perasaan yang begitu lega karena akhirnya aku kembali bisa meluapkan perasaan ku kepada Bi Mina. Aku menangis, mengeluarkan semua yang kurasakan sedari tadi. Badanku yang lemas serta tenaga ku yang terkuras di tambah juga suhu tubuh ku yang kurang sehat, membuat ku tidak tahan untuk terus menahannya.

Bi Mina yang menyadari isak tangisku segera melepaskan pelukan kami berdua. Beliau menatapku sambil mengusap air mata ku yang mengalir.

"Jangan nangis Nak Revan. Bibi tau kamu kangen sama Bibi. Tapi kalo kamu nangis gini Bibi jadi merasa bersalah udah dateng kemari." ujar Bi Mina yang masih mengusap air mata di wajahku.

Aku mengangguk, walaupun dalam hatiku ingin sekali berteriak dan menceritakan seluruh kejadian yang ku alami. Fakta yang ku terima, serta menuntut kebenaran atas apa yang Devan ucapkan padaku. Namun belum juga aku melaksanakan niatku. Suara Devan kembali menginstrupsiku sehingga aku menunduk takut hanya karena mendengar suara langkah kakinya yang mendekat.

"Ya, Bi. Bibi memang harus merasa bersalah. Karena sudah kembali membawa anak sial ke rumah ini yang harusnya udah pergi beberapa jam yang lalu." ucap Devan sambil berjalan mendekat.

Bibi yang mendengar itu tentu saja terkejut. Ia berbalik sambil menatap heran ke arah Devan. Aku yang sedikit melirik kedepan segera meraih helai baju Bi Mina untuk kutarik pelan bermaksud supaya Bi Mina mengabaikan Devan dan segera pergi dari sini.

"Maksudmu apa Nak Devan?" tanya Bi Mina yang tidak terpengaruh dengan tarikan yang ku lakukan pada ujung bajunya.

Aku memang tidak memandang wajah Devan. Namun saat mendengarnya berujar, aku tau ekspresi apa yang saat ini ia keluarkan saat berkata yang jelas sekali menyindirku yang berada di belakang Bibi.

"Apa lagi kalo bukan anak haram yang selalu membawa sial dirumah ini. Yang udah bikin kedua orangtuaku meninggal. Ku akui dia memang tebal muka. Tapi aku tidak bisa terima lagi saat melihatnya bercumbu dengan pria lain di hadapanku. Sekarang dia bukan hanya anak haram. Tapi sudah menjadi anak homo yang terlahir sebagai anak haram yang tidak tau diri." ucap Devan begitu menyakitkan.

Aku bisa merasakan setiap kata yang dia ucapkan menusuk hatiku. Aku ingin menangis, namun aku tidak sanggup karena kondisi ku memang sudah sangat lemas. Aku bahkan hampir kehilangan kesadaran ku jika saja aku tidak mendengar suara tinggi yang di keluarkan Bibi yang membuat ku sedikit terkejut menatap punggungnya yang membelakangi ku.

"DEVAN!" teriak Bi Mina.

"Apa maksud kamu ngomong kayak gitu sama Adikmu sendiri!? Siapa yang anak haram? Jangan mengada-ada kamu. Dia adikmu. Seratus persen lahir dari rahim Ibumu. Babamu, Devan." ujar Bi Mina yang sudah mewakili ku yang ingin bertanya tentang bagaimana bisa aku menjadi anak haram seperti yang dia lontarkan padaku beberapa jam yang lalu.

Aku melirik sedikit sosok Devan yang tidak kusangka dirinya juga menatapku dingin yang penuh dengan sirat kemarahan dimatanya. Aku takut, jadi aku kembali menghindarinya dan bersembunyi di balik punggung Bi Mina.

"Ya. Dia memang terlahir di rahim yang sama dengan Baba. Tapi tidak dengan Ayah. Dia bukan anak Ayah. Dan jika Baba mendengarkan nasihat Ayah untuk membuatnya tidak lahir di dunia ini. Keluarga ku akan utuh. Tidak meninggal semua seperti sekarang. Dia tetap anak haram. Karena tumbuh dari sperma penjahat yang sudah memperkosa Baba." ucap Devan.

Mendengarnya membuatku seketika merasakan jantungku berhenti berdetak dalam waktu yang singkat. Aku terdiam mematung, dan seperti merasakan berbagai benda berat yang runtuh dan menjatuhi kepala ku. Aku bahkan tidak fokus lagi akan apa yang Bi Mina bicarakan pada Devan. Aku hanya fokus pada diriku sendiri dan pikiranku yang menelaah ucapan Devan yang sangat mengena di hatiku.

Aku... Aku adalah anak dari seorang penjahat?

Ibu meninggal karena sudah mengandungku yang seharusnya tidak dilahirkan. Sedangkan Ayah juga sudah menyuruh Ibu untuk mengugurkan ku agar dirinya tidak mengalami kematian yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.

Dunia ku hancur seketika. Kini aku memahami sikap Ayah selama ini yang terus mengabaikan ku walaupun aku sudah berusaha mengambil perhatiannya selama bertahun-tahun yang akhirnya aku mendapatkannya biarpun itu hanya sehari saja. Aku juga sudah paham mengapa Devan sangat membenciku.

Aku dan dirinya tidaklah sedarah. Kami hanya lahir dari rahim yang sama. Namun tidak dengan darah kami yang berasal dari sperma yang berbeda. Aku bukanlah anak Ayah. Bukan juga saudara kandung Devan. Dan yang lebih parah, aku lah penyebab kematian kedua orangtuanya. Membuat Ibunya mengandungku yang sudah jelas itu tidak perbolehkan. Dan membuat Ayah pergi dari rumah padahal Devan sudah telak melarangnya.

Air mata yang sedari tadi ku tahan kini mengalir deras membasahi pipi ku dan membuat pandangan ku mengabur akibat air mata yang memenuhi mataku. Tenaga ku pun rasanya menghilang sehingga membuat ku terduduk lemas sambil meremas dadaku yang benar-benar terasa sakit. Bagaikan ribuan jarum yang menusuk, rasa sakit yang kurasakan tiba bisa ku tahan. Menyadari semua peran ku selama ini yang memang sudah seharusnya di benci oleh Devan.

Aku yang bersalah. Kehadiran ku yang salah.

Seharusnya aku tidak dilahirkan. Harusnya Ibu membuatku menghilang, daripada dirinya menghilang dan membuat Devan menderita karena kehadiran ku di dunia ini. Aku membuat kedua orangtuanya meninggal.

Aku manusia yang kejam.

Dalam sekejap aku bisa merasakan bagaimana penderitaan yang Devan rasakan ketika kedua orangtuanya meninggalkannya di usianya yang masih belia. Dan itu semua karena aku. Akulah penyebab kematian itu.

Aku...aku...

Aku segera berdiri dari dudukku, lalu berjalan cepat kearah Devan dan mengabaikan panggilan Bi Mina yang sudah penuh dengan nada khawatirnya. Aku tidak memperdulikannya, aku menatap Devan yang ada di hadapanku. Ia masih mengeluarkan tatapan yang dingin yang penuh dengan sirat marah di dalamnya. Aku terisak, lalu kemudian aku menjatuhkan diri ku di depannya dan bersimpuh di kedua kakinya. Aku memeluk kaki itu erat lalu mengucapkan kata maaf beberapa kali.

"Maafin aku, Devan. Maafin aku." ucapku dengan isakan yang sudah memenuhi seluruh isi hatiku merasakan betapa jahatnya diriku kepada Devan.

Bahkan perbuatannya selama ini tidaklah sebanding dengan apa yang sudah ku perbuat terhadapnya. Aku menghilangkan dua orang yang paling di sayangi nya. Sedangkan aku, aku hanya menerima rasa sakit di seluruh tubuhku tanpa kehilangan apapun.

Devan menggerakkan kakinya berusaha melepaskan pelukan ku pada kakinya. Namun aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk mempertahankan posisiku yang memeluk kakinya dengan air mata yang masih membanjiri mataku. Aku tidak perduli. Aku akan terus melakukan ini, sampai Devan memaafkanku. Aku bahkan sudah tidak berani lagi mendongak padanya menyadari semua kesalahanku terhadapnya.

"Berhenti menyentuhku kau sialan. Apa kamu masih belum menyadari seberapa menjijikkannya dirimu?" ucap Devan yang masih menggerak-gerakkan kakinya. Dan karena aku yang merasa lemas, jadi dengan sedikit kekuatan yang Devan keluarkan membuat pelukan yang kulakukan segera terlepas dan membuat ku terpental beberapa langkah karena Devan menendang ku kuat.

"Menjijikkan. Berani-beraninya menyentuhku seperti itu." dinginnya.

Bi Mina yang melihatku, segera menghampiri ku dan berniat membantu ku berdiri. Namun aku menolaknya. Aku menepiskan tangan Bi Mina yang juga sudah terisak lalu kemudian aku merangkak mendekat ke arah Devan. Aku kembali meraih kakinya lalu segera membuka sepatunya sehingga saat ini kedua kakinya sudah tidak mengenakan alas apapun dan detik berikutnya aku pun langsung mencium kaki tersebut sambil terus meminta maaf padanya.

"Aku mohon maafkan aku Devan. Maafkan aku." ucapku sambil terisak, dan kembali menciumi kakinya.

Tidak ada tanggapan darinya. Aku tidak tau dia mengeluarkan ekspresi macam apa saat ini. Namun yang jelas aku terus menyebutkan kata-kata maaf sambil terus menciumi kakinya. Aku tidak akan berhenti sampai maaf ku di terima olehnya. Jika tidak, aku mungkin akan memilih mengakhiri hidupku, karena itulah yang terbaik untuk membayar semua kesalahan ku padanya.

"Sudah, Nak. Sudah." isak Bi Mina di belakangku. Tangisannya terdengar pilu. Namun tidak semenyakitkan tangisan yang ku keluarkan. Aku benar-benar merasa hancur. Aku tidak tau harus berbuat apa lagi selain meminta maaf seperti ini.

"Maafkan Nak Revan, Nak. Bibi mohon. Maafkanlah dia. Kamu boleh menyebutnya anak haram, menyebut apapun yang kamu terhadapnya. Tapi Bibi mohon, maafkan dia. Buat dia berhenti melakukan hal seperti ini. Bibi tau kamu sangat merasa kehilangan atas kedua orang tua kamu, Nak. Tapi itu tidak menutup kemungkinan kalau Revan juga merasa sedih atas kepergian Ayah dan Babamu. Karena bagaimanapun, mereka juga adalah kedua orangtuanya." ucap Bi Mina yang bisa kudengar jelas walaupun saat ini aku masih melakukan aksi ku pada kaki Devan.

Tidak ada jawaban apapun dari Devan. Sehingga menyebabkan suasana hanya di penuhi dengan isakan ku dan Bibi. Namun beberapa detik kemudian, Devan mulai beraksi lagi. Ia berteriak, lalu menendangku dari kakinya.

Aku terkejut dan ingin kembali melakukan hal yang sama. Namun Devan segera menghentikannya dengan berkata.

"Ini bukan berarti aku memaafkanmu. Tapi aku akan memberimu kesempatan untuk tetap tinggal disini. Dengan syarat kamu harus berhenti sekolah dan mulai bekerja di kantor. Jika kamu tidak mau. Kamu bisa pergi dari sini dengan segala penyesalan mu itu." ucap Devan tegas. Lalu kemudian ia berbalik dan pergi meninggalkan ku bersama Bi Mina yang kini sudah memelukku erat.

Kami menangis bersama, saling mengeluarkan segala perasaan kami masing-masing sambil mensyukuri karena Devan sudah mau memberiku kesempatan untuk tetap berada di rumah ini. Bukan maksudku aku senang terus berada di rumah. Namun aku akan menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan maaf dari Devan walaupun resikonya aku akan kehilangan pendidikan ku. Itu tidak masalah. Asalkan aku bisa mendapatkan maafnya, aku sudah senang.

Namun untuk saat ini biarkan aku menangis sepuasnya di pelukan Bi Mina. Dan setelah ini aku berjanji, untuk tidak akan menangis lagi di depan Devan maupun di depan orang lain.

Ya. Aku janji akan hal itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel