Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11

Aku mengayuh sepeda ku lebih cepat begitu aku selesai melirik jam tanganku yang sedikit lagi mengarah ke angka enam.

Aku memang belum terlambat. Bahkan ini masih terlalu pagi jika diukur dari jam kerjaku yang sebenarnya. Namun aku ingin melakukannya. Aku harus membersihkan ruangan Devan sebelum Devan sendiri tiba di kantor. Aku pikir Devan ada dirumah dan terlelap, oleh karena itu aku buru-buru datang ke kantor agar Devan tidak mengintimidasi ku saat dirinya bangun nanti.

Lagipula akan sangat menegangkan jika aku harus bekerja dan ada Devan yang sedang memperhatikan. Seperti kemarin saat aku di ajak berkeliling bersama Ardi--satpam yang memandu ku untuk mengetahui dimana saja letak dan tempat untuk ku bekerja. Saat itu aku dan Ardi ingin ke ruangan Devan karena memang aku belum mengetahui letaknya berada dimana.

Namun saat kami tiba, pintu ruangan tersebut terbuka dan menampilkan sosok Devan dengan wajah lelah dan dasi yang berantakan. Dia menatapku dan Ardi bergantian. Aku awalnya hanya memandangnya biasa, namun tiba-tiba Ardi memaksa kepala ku untuk menunduk sebagai pemberian salam terhadap Devan yang berstatus sebagai bos dirinya. Aku pun menurut, dan memberi salam pada Devan walaupun Devan hanya diam dan berlalu begitu saja.

Beberapa menit kemudian aku sampai. Aku segera berjalan menuju tempat ku bekerja setelah sebelumnya aku menyapa Ardi yang juga sudah siap pada tempatnya tadi. Aku memasuki ruang yang bertuliskan Cleaning Service, lalu menoleh kesekitar untuk melihat apakah ada orang selain aku yang sudah datang bekerja.

Namun sepertinya memang baru aku lah yang datang disini. Karena saat ini ruangan yang dibuat khusus untuk pekerja seperti ku tengah sepi dengan lampu yang masih menyala saat aku memasuki ruangan.

Aku mematikan lampu tersebut, lalu kemudian aku berjalan mendekat ke arah lemari untuk mengambil baju ku yang sudah di sediakan disana. Aku memperhatikan baju kerja yang berwarna hitam kehijauan tersebut dan menyadari kalau belum ada namaku disana. Aku lupa untuk membawa baju ini kemarin dan memasang name-tag di sana.

Aku berpikir beberapa menit untuk membayangi apa yang akan terjadi jika aku mengenakan seragam ini tanpa adanya nama pengenal seperti pegawai lainnya yang kulihat kemarin sudah memiliki nama di bagian kiri baju kerja yang sudah di sediakan.

"Ah, kamu sudah datang ternyata. Apa ini nggak kepagian?" tanya seseorang yang membuatku sedikit terkejut akibat kedatangannya yang tiba-tiba.

Aku segera memasang senyumku sambil mengingat nama pria yang saat ini mendekat ke arah ku dengan senyuman yang ia balaskan tadi. Sebenarnya sesi pengenalan diri sudah kulakukan kemarin. Namun mungkin karena ada banyak pegawai yang pekerjaannya sama denganku, aku hampir lupa nama mereka semua kecuali Ardi dan Ratna yang memiliki kepribadian menyenangkan yang dengan mudahnya mengajak ku berbicara.

"Pasti kamu seneng banget ya ditempatin di ruangan direktur padahal kamu sendiri masih sangat baru disini." ucap pria itu yang masih belum ku ingat namanya. Ia berhenti di hadapan ku dan memberi ku senyum singkat.

Mendengar itu, tentu saja aku ingin berkata tidak. Aku tidak merasa senang sama sekali di tempatkan bekerja di ruangan Devan. Itu sangat menyiksa, apalagi saat wanita yang bekerja di bagian HRD mengatakan kalau Devan sering mengganti-ganti pegawai yang bekerja di ruangannya. Mendengarnya saja sudah bisa ku bayangkan apa yang terjadi dengan mereka semua.

"Bukan begitu. Aku dateng cepet karena emang perintahnya seperti itu. Aku disuruh datang lebih pagi, sebelum De--Direktur datang." ucapku yang berusaha membuatnya tidak salah paham dengan diriku yang langsung mendapatkan pekerjaan mengurusi ruangan Devan.

Pria itu mengangguk paham.

"Namamu Revan kan?" tanyanya. Aku mengangguk menjawabnya.

"Danu." ucapnya, mengulurkan tangannya ke arahku yang segera saja ku sambut uluran tangan tersebut sambil tersenyum menatapnya.

"Itu baju baru kan? Butuh bantuan buat bikin nametag nya?" tawarnya. Aku segera menggeleng pelan.

"Nggak apa. Aku nanti bakal sempetin buat bikin nametag nya kok. Untuk sekarang aku harus buru-buru bersihin ruangan Direktur." ucapku sambil mengenakan seragam tersebut dengan gerakan sedikit cepat.

"Loh? Baju santaimu nggak di buka?" tanyanya.

Aku segera menghentikan aksiku lalu menatapnya bertanya.

"Emang harus di buka?" tanyaku balik. Danu mengangguk.

"Selain karena nanti bajumu bau keringat. Disini juga ada peraturannya. Aku nggak tau sih buat apa peraturan itu. Yang jelas, kalo kamu ketahuan Kepala bagian kita. Kamu bakal di tegur." jelasnya.

"Emm. Begitu ya." gumamku pelan sambil mengangguk kecil. Setelahnya aku pun membuka kembali seragam yang sudah setengah ku kenakan lalu berjalan ke arah pintu bermaksud pergi ke toilet untuk membuka baju santai ku dan menggantinya dengan baju kerja.

Namun belum juga aku menyentuh gagang pintu. Suara Danu membuatku berhenti dan berbalik untuk menoleh ke arahnya.

"Kamu mau kemana?" tanya Danu. Aku tersenyum kecil lalu menjawab.

"Aku mau ke toilet. Mengganti pakaian ku." ucapku, lalu kemudian berniat kembali membuka pintu.

"Kenapa harus di toilet? Kamu bisa berganti disini. Hanya ada aku sekarang. Dan kita sama-sama pria kan. Jadi nggak ada yang harus kamu khawatirkan. Maksudku, kamu nggak perlu malu. Karena pegawai wanita akan berganti diruangan sebelah." jelasnya.

"Aku bukan malu berganti pakaian di hadapan wanita. Tapi aku memang nggak terbiasa membuka pakaianku di depan orang lain. Tapi, karena kamu bilang gitu. Yaudah, aku akan bikin ini jadi yang pertama kalinya." ucapku lalu kemudian melepaskan genggaman tanganku pada gagang pintu lalu kembali berjalan mendekati Danu yang masih pada tempatnya.

Danu tidak mengucapkan apapun. Ia hanya menggeser tubuhnya lalu kemudian berjalan mendekat ke arah lemari untuk mengambil seragam miliknya. Aku yang menyadari hal itu segera ku gunakan kesempatan tersebut untuk melepaskan baju ku dan kemudian menggantinya dengan seragam yang sudah di sediakan.

Aku melirik sedikit ke arah Danu yang kini juga sedang mengganti pakaiannya. Aku melirik sedikit dada bidangnya yang terlihat bagus dengan kulit kuning langsat dan beberapa otot yang timbul di bagian perutnya. Aku tidak merasakan apapun, selain kagum dan penasaran akan tubuh seperti itu jika saja terjadi dengan tubuhku juga.

Namun aku segera mengerinyit begitu Danu melihat ke arah belakangku lalu membungkuk dan mengucapkan kata selamat pagi yang begitu sopan. Aku yang masih setengah perjalanan mengganti pakaian pun segera menoleh ke belakang untuk mengetahui apa yang membuat Danu membungkuk seperti itu.

Harusnya aku paham. Karena Ardi sudah mengajari ku hal itu kemarin. Namun entah kenapa aku bisa lupa sehingga kini menyebabkan diriku merasakan sesuatu yang menusuk saat pandangan ku bertemu dengan Devan yang saat ini berdiri di ambang pintu dengan pakaian olahraga yang melekat di tubuhnya.

Aku tergagap. Namun aku tidak lupa untuk menutupi tubuhku yang masih sedikit terbuka dengan kedua tanganku. Setelahnya aku pun segera ikut membungkuk untuk menghormati Devan yang saat ini tengah menatapiku dan membuatku takut setengah mati.

Aku tau maksud dari tatapan itu. Namun aku berusaha berfikir positif kalau tatapan itu adalah memang watak Devan yang sebenarnya. Apalagi ini di kantor. Devan tidak mungkin menghukum ku di kantornya sendiri kan? Dia pasti sangat menyayangkan reputasinya sebagai bos dan pemilik perusahaan ini. Jadi sangat tidak mungkin hal itu terjadi.

"Direktur udah nggak ada. Ngapain kamu masih bungkuk?" suara Danu. Aku yang mendengarnya segera saja memperbaiki posisi ku dan dengan cepat menyelesaikan kegiatan ku mengganti baju.

"Sepertinya kamu kalah cepat dengan direktur. Aku nggak tau apa yang bakal terjadi. Tapi kamu harus cepat sekarang. Direktur akan menggunakan lift untuk keruangannya. Sementara lift saat ini masih sedang di gunakan. Kamu bisa lewat jalan darurat kalo kamu mau lebih cepat darinya." ucap Danu menyarankan ku.

Aku yang sebenarnya belum siap, apalagi aku dalam kondisi terkejut akibat penampakan Devan pun harus segera menepiskan hal itu terlebih dahulu. Aku segera menerima saran tersebut, lalu kemudian aku berjalan keluar setelah di beri tahu dimana letak jalan darurat yang Danu maksud. Aku berlari kuat, menaiki puluhan anak tangga hingga akhirnya aku sampai di lantai 5 dimana letak ruangan Devan berada.

Aku berhenti sejenak. Mengambil napasku yang memburu dengan jantung yang terasa sesak. Namun saat ku lihat orang-orang yang menggunakan lift sebelumnya keluar, aku segera kembali berlari menuju ruangan Devan karena aku tau yang menggunakan lift selanjutnya adalah Devan.

Aku tidak perduli seberapa lelahnya aku berlari dan menaiki puluhan tangga tadi. Yang penting aku segera sampai di ruangan tersebut dengan keringat yang membanjiri tubuhku dengan suhu panas yang membuatku langsung mengibas-ibaskan tanganku berharap agar rasa panas tersebut segera hilang.

Sebenarnya banyak pertanyaan yang muncul di benakku mengetahui sosok Devan yang seharusnya berada dirumah namun pada kenyataannya muncul di ruangan pegawai yang seharusnya tidak ia datangi. Namun aku tidak punya waktu untuk menanyakan hal itu. Aku harus segera mengerjakan tugasku untuk membersihkan ruangan yang terlihat besar ini.

Sayangnya. Aku lupa untuk membawa alat-alat kebersihan ku di ruangan sebelumnya. Aku terlalu panik sehingga aku melupakannya. Harusnya aku tetap tenang dan datang kemari dengan perlahan. Tidak terburu-buru seperti tadi. Devan pasti akan mengerti mengapa aku terlambat datang ke ruangannya. Dia melihat ku mengganti pakaian tadi. Jadi sudah jelas kalau aku datang lebih dulu dari dirinya. Apalagi saat ini jam masih menunjukkan pukul 6.37.

Sekarang karena kepanikan tersebut aku menjadi bertambah takut.

Aku datang lebih dulu di ruangan Devan. Namun aku tidak melakukan apapun. Devan pasti akan sangat marah besar nantinya. Apalagi kondisiku saat ini berkeringat walaupun rasa panas yang sempat kurasakan tadi telah menghilang.

Aku tidak tau harus melakukan apa saat ini. Aku terlalu takut, apalagi saat ini kaki ku bergetar ketika melihat gagang pintu yang bergerak dan membuat pintu yang tertutup tersebut kini terbuka lebar dan menampilkan sosok Devan dengan pakaian yang sama dan tatapan yang sama pula.

Aku segera menunduk, menghindari tatapan tersebut dan berjalan menyamping agar Devan bisa leluasa ke meja kerjanya yang terletak di belakang ku tadi.

"Kamu sudah membersihkan ruanganku?" tanya Devan yang ku sadari sudah berada di belakangku, tepatnya di meja kerjanya sendiri.

Aku segera memutar dan hendak menjawab belum padanya. Namu sebelum itu, Devan kembali berkata.

"Buatkan kopi hitam panas. Dalam 5 menit." perintahnya dengan nada yang datar.

Aku segera mengangguk dan kembali berbalik untuk keluar dari ruangan tersebut bermaksud menjalankan perintah Devan yang baru saja ia ucapkan. Aku tidak ingin merusak suasana dengan aku yang berkata jujur kalau aku belum membersihkan ruangannya. Namun perintah yang keluar langsung dari mulut Devan adakah hal yang terpenting. Jika aku membuang-buang waktu yang sudah ia berikan, aku pasti akan mendapatkan masalah yang lebih besar.

"Untuk direktur?" tanya seseorang saat aku tengah mengaduk kopi hitam yang sedang ku buat.

Aku menoleh sebentar, tersenyum lalu mengangguk kemudian.

"Direktur suka kopi hitam yang manis. Apa kamu menambahkan gula ke dalamnya?" ujar pria tersebut yang tidak ku ketahui namanya.

Aku menggeleng pelan.

"Setahuku Dev-maksudku direktur nggak terlalu menyukai rasa manis." ujarku sambil mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu saat kami masih kecil dan Ayah membawakan dua permen lolipop dengan ukuran yang berbeda. Ukuran yang besar untuk Devan, sementara yang sedang untukku.

Kala itu Devan menolaknya dan bilang tidak menyukai rasa manis. Ayah dan Bi Mina menyarankan agar memberikannya padaku saja, karena waktu itu aku sudah menghabiskan lolipop tersebut dalam waktu yang singkat. Namun seperti yang di ketahui. Devan tidak melakukannya seperti yang di sarankan Bi Mina maupun Ayah. Devan lebih untuk menginjak permen tersebut dengan sengaja lalu memasukkannya ke tong sampah. Sangat di sayangkan memang, tapi aku bisa apa?

"Kamu pegawai baru tapi udah sok tau ya. Masih untung di kasih tau. Sini biar aku yang bikinin. Kamu yang anterin aja." ucap pria tersebut lalu mengambil alih tempatku dan mendorongku sedikit dari sana.

Aku tidak tau apa yang dilakukannya. Tapi aku bisa melihat gula yang ia masukkan sangatlah banyak. Aku ingin protes dan bilang kalau Devan benar-benar tidak menyukai rasa manis. Namun pria tersebut tetap bantah dan mengaduk kopi tersebut yang sudah berisikan banyak gula.

"Ini. Berikan pada direktur. Bilang ini buatanmu ya. Awas saja kalo berani bilang ini buatanku. Akan ku buat hari-harimu bekerja disini menjadi neraka." ucapnya mengancam. Aku yang mendengarnya pun tidak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk takut akan ancaman tersebut.

Cukup Devan saja yang menyiksaku. Aku tidak ingin orang lain turut andil dalam penyiksaan yang kuterima.

Aku mengambil gelas tersebut, lalu kemudian berjalan kembali untuk menuju ruangan Devan. Jantungku berdegup kencang. Rasa takut membuncah ke sekujur tubuhku. Apalagi saat aku memasuki ruangan, Devan masih pada posisi yang sama, berdiri di depan mejanya dengan kedua tangan yang ia lipat di dadanya dengan mata yang menatap lurus ke arahku yang mendekat ke arahnya.

"Kau telat 3 menit." ucapnya dingin.

"Maafkan aku. Aku masih sedikit bingung dengan letak dapurnya." ucapku sambil menunduk.

"Kemarikan kopi itu." ucapnya. Aku kembali mendongak lalu menggeleng kemudian.

"Maafin aku, Devan. Tapi kamu nggak bisa minum kopi ini. Ini terlalu manis." ucapku yang memandang penuh maaf.

"Kenapa kamu membuatnya kalo kamu tau aku nggak suka manis?" ujarnya yang bisa kurasakan sedikit penekanan di kalimatnya.

Aku menunduk, lalu kemudian menjawab.

"Aku nggak sengaja melakukannya, Devan. Maafkan aku." ucapku yang sedikit putus asa.

"Kalau begitu. Kau saja yang meminum kopinya, lalu buatkan aku kembali." ujarnya dan membuatku mendongak untuk bertanya maksudnya. Namun tanpa ia jelaskan pun aku segera paham.

"Baik. Aku akan buatin kamu kopi yang baru." ucapku lalu berniat untuk berbalik dari sana.

"Habiskan dulu kopi yang pegang saat ini. Baru buatkan aku yang baru." ucapnya yang membuatku mengurungkan niatku tadi. Aku mengangguk paham, lalu kemudian aku pun segera melakukan perintah Devan untuk menghabiskan kopi tersebut.

Namun, baru saja aku ingin mengangkat gelas tersebut untuk memulai meminumnya. Tiba-tiba saja sebuah benda mengenai gelas tersebut dan mengakibatkan isi yang ada di gelas tersebut keluar dan mengenai tanganku yang terasa sangat panas saat ini. Saking panasnya, gelas yang ku pegang erat pun tanpa sadar ku lepaskan dan tentu saja menyebabkan gelas tersebut jatuh dan pecah di bawah sana.

Aku meringis kesakitan sambil melirik arah benda tersebut yang ternyata berasal dari Devan yang saat ini tersenyum miring menatapku.

"Aku juga tidak sengaja." ucapnya datar yang tentu saja membuat rasa sakit pada tanganku bertambah akibatnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel