Bagian 7
Sepi dan hening, tidak ada yang berani bersuara di ruangan itu. Bahkan bernafaspun mereka merasa takut jika terdengar hembusannya. Dihadapan mereka, sepasang mata seperti elang memandang tajam bagai belati yang bisa menghunus tajam hingga jantung. Membuat seluruh bulu kuduk mereka berdiri. Tak ada pergerakan dari pria bersetelan jas hitam itu, hingga suara yang keluar membuat mereka semua menutup matanya erat. Tau jika atasan yang ada dihadapannya ini marah, maka apa yang keluar dari mulutnya pasti menyiksa dan itu tidak dapat dibantah sedikitpun.
"Sadar ini kesalahan kalian?," tanyanya santai tapi terasa sangat dingin dan menusuk. Beberapa orang itu hanya mengangguk tanpa berani mengangkat kepalanya.
"Bagus, jadi saya mau kalian perbaiki dokumennya dan selesaikan dengan pihak terkait. Saya tidak mau tau, barang itu harus dikirim besok,” titahnya tegas.
Ketika mulut beberapa orang itu dengan alami terbuka untuk membantah, atasan dihadapan mereka sudah berkata. "Kalian sadar bukan jika membantah?.”
Dengan lemas mereka kembali mengangguk lemah. "Bagus kalau begitu, silahkan keluar dan nikmati lembur kalian. Ingat, tidak ada uang lembur karena ini kebodohan kalian sendiri. Saya harap kalian bukan keledai yang masuk ke lubang yang sama dua kali dan kalian tau pasti kalau kalian melakukannya untuk kedua kali.”
"Ya, Pak Athaya. Kami permisi.” Atasan mereka yang bernama Athaya itu tidak menjawab hanya mengangguk dan melihat kertas yang ada di mejanya.
Setelah mereka keluar, Athaya yang memiliki kulit kuning langsat itu membanting dokumennya sambil memijit kepalanya. "Bodoh sekali mereka" umpatnya.
Dia sangat tidak suka dengan kebohongan dan pengkhianatan. Beberapa bawahannya tadi telah menipunya, bermain licik dibelakangnya sehingga dia bisa rugi karena pihak pemerintah mengetahui niat jahat para bawahannya. Jadi, barang yang dihasilkan oleh pabriknya terancam akan ditahan.
Apa aku kurang memberi mereka gaji? Perasaan aku cukup besar memberi mereka gaji dengan segala tunjangan kesehatan dan uang lembur, batin Athaya bermonolog sendiri.
Memang tidak besar kerugiannya, hanya saja Athaya tau jika hal kecil seperti tadi dibiarkan maka akan menjadi semakin besar dan menggila. Serakah akan menghancurkan dirinya mereka sendiri dan orang lain yang tidak bersalah. Athaya tidak mau seperti itu di kantornya.
Pusing memikirkan semuanya membuat kerutan tercetak dikeningnya, tapi tiba-tiba datang seseroang yang membuat kerutan di keningnya berganti menjadi senyuman lebar. Seorang wanita cantik dengan dress hitam membalut tubuhnya. Rambut pendek yang tidak terikat dan parasnya yang manis membuat Athaya yang memiliki tubuh tegap itu langsung berdiri dan menghampirinya.
"Sayang, aku dengar kamu sudah marah-marah pada bawahanmu," kalimat pertama yang dikeluarkan oleh si wanita pemilik kaki jenjang itu membuat Athaya yang mempunyai wajah tampan dengan garis rahang yang tegas, memberengut tidak suka.
Sudah mengerti dengan ekpresi Athaya, si wanita mencium sekilas bibir penuh Athaya membuat Athaya kembali tersenyum, "kamu selalu tau caranya, supaya aku tidak kesal padamu sayang.”
Si wanita pemilik puppy eyes itu terkekeh. "Oh iya aku kesini ingin meminta ijin padamu untuk pergi bersama teman-teman ku."
"Teman-teman sosialitamu?," tanya Athaya sedikit tidak suka, tapi mencoba meredamnya agar tidak terlihat oleh wanita yang berstatus sebagai istri dihadapannya ini.
Si wanita, mengelus dada suaminya dengan gerakan lembut. "Namanya Girls Out, Athaya".
"Ya, apapun itu, Narnia."
Dengan mata andalannya dan gerakan tangan yang tidak berhenti, Narnia terus membujuk suaminya. "Aku mohon, apa kamu tidak mencintaiku?. Aku berjanji, pulang dari sana aku akan mengabulkan apapun keinginan mu."
Athaya terlihat berbinar mendengar kalimat istrinya itu. "Termasuk memberikan adik pada Gintari?.”
"Aku mohon jangan itu sayang. Aku susah payah menurunkan berat badanku setelah Gintarai lahir. Aku tidak yakin bisa melakukannya lagi untuk kedua kali,” jawab Narnia lemah.
Athaya melepas pelukan istrinya dan duduk di sofa, membuat Narnia mengikutinya dan duduk di sebelah suaminya itu. "Baiklah, aku akan pikirkan lagi.”
Athaya memandang lekat wajah Narnia kemudian memegang pipinya dengan lembut. "Aku mohon, sayang, akan aku kabulkan apapun keinginanmu, tapi aku mohon penuhi keinginanku. Aku ingin satu anak lagi untuk membuat rumah kita ramai dan menemani Gintari.”
Narnia tidak menjawab, hanya mengikuti gerak bola mata suaminya. Mencari sebuah kesempatan dan kesungguhan Athaya atas apa yang diucapkannya tadi. "Apapun itu?.”
Athaya tanpa ragu mengangguk dengan yakin.
"Apapun, untukmu," jawab Athaya, seraya mengambil tangan Narnia kemudian menciumnya dengan segenap cintanya.
"Baiklah, aku akan memberi adik pada Gintari, tapi aku ingin kamu tidak melarangku pergi bersama teman-temanku. Kemanapun itu dan kapanpun." Athaya tanpa ragu mengangguk kembali.
"Baiklah." Narnia tersenyum dengan lebar dan lembut. Senyum yang membuat Athaya selalu jatuh hati pada istrinya ini. Langsung dipeluknya Narnia dengan erat. "Terima kasih sayang.”
Kehidupan Athaya terasa sangat sempurna di usianya yang menginjak 35 tahun. Istri cantik tak bercela, anak cantik yang mempunyai kekurangan, tapi tidak sedikit pun Athaya menganggap itu kekurangan. Ekonomi yang sangat menjamin dan wajahnya yang tampan. Dimana saat laki-laki tampan dan kaya lainnya diluar sana mempermainkan banyak waniita, seorang Athaya sangat menjaga perasaan dan mencintai wanita yang sudah menjadi istrinya selama tujuh tahun. Selain itu, seorang Athaya Naufal Azhari juga sosok ayah yang begitu menyanyangi anaknya.
Di kantor, Athaya berbeda. Dia akan sangat keras dan tegas. Kedisiplinan di junjung tinggi olehnya. Benci dengan segala bentuk ketidakjujuran apalagi kelicikkan. Maka dari itu, dia selalu bersikap seperti tadi agar karyawannya bisa segan padanya dan tidak berani melakukan hal yang dibencinya karena dia tau saat ini sedikit manusia yang mempunyai kerendahan hati bila ada uang dan kesempatan secara bersamaan. Athaya ingin perusahaan yang diturunkan kakek neneknya ini secara turun menurun dapat dijaganya dengan baik dan bisa dibuat lebih besar olehnya.
Terbukti saat ini apa yang dinginkan Athaya tercapai. Dia membuat perusahaan yang bisa menembus berbagai macam negara. Pakaian yang diproduksi oleh perusahaannya sudah dikenal di beberapa negara besar. Usaha dan kerja kerasnya pun, membuatnya beberapa kali pulang malam dan melancong ke berbagai macam negara untuk kesepakatan kerja. Meninggalkan istri dan anaknya untuk beberapa hari.
**
Seperti hari ini, Athaya baru datang dari luar negeri membawa koper besar yang digeretnya. Terdengar roda-roda kecil yang bergesekan dengan lantai licin. Memasuki rumah besarnya yang bernuansa putih, matanya menjelajah ke segala penjuru rumah. Mencari sosok yang menyita pikirannya berhari-hari kemarin hingga satu sosok yang dicarinya terlihat keluar dari dalam kamarnya.
“Tari,” panggil Athaya pada putrinya yang berjalan dengan kursi roda.
“Ayah,” teriaknya riang.
Athaya berlari dan memeluk putrinya yang sangat cantik dengan balutan dress kuning cerah yang kontras dengan kulit putihnya. Wangi strawberry dari rambut putrinya yang panjang membuat Athaya merasa benar-benar di rumah. “Ayah merindukanmu anak cantik.”
Gintari memberikan senyum yang selalu membuat Athaya merindukannya. Senyum yang sama persis dengannya. Athaya mengelus pipi lembut anaknya, “kamu mau apa? Mau jalan-jalan?.”
Putrinya menggeleng, “Ayah baru pulang, ayah pasti cape.”
Athaya tersenyum mendengar jawaban putrinya. “Tidak ko, ayah tadi sudah ke kantor dan istirahat dulu bahkan ayah bertemu bunda” bohong Athaya, sebenarnya dia sangat capek dengan penerbangan yang memakan banyak waktu. Ketika sampai pun, dia langsung mengurusi masalah karyawan dan akhirnya mengantarkan Narnia. Tidak apa, pikirnya. Athaya merasa bersalah sudah meninggalkan Gintari beberapa hari.
Raut wajah Gintari tiba-tiba berubah menjadi sedih, Athaya pun bingung ada apa dengan Gintari sehingga dia menanyakan ada apa pada putrinya tersebut. “Aku akhir-akhir ini jarang sekali bertemu bunda. Biasanya aku bertemu dengan bunda pagi dan malam hari, tapi sekarang aku hanya bertemu dengan bunda pagi saja saat sarapan dan mengantar sekolah.”
Athaya menghela nafas, dia memang tau akhir-akhir ini istrinya sedang senang-senangnya bertemu dengan teman-teman baru sosialitanya. Mungkin dia harus bicara pada istrinya nanti agar mengurangi sedikit jadwalnya dan lebih sering bertemu Gintari.
“Tari harus memaklumi bunda ya?. Bunda butuh teman seperti Tari yang butuh teman, kan yang terpenting bunda sayang sama Tari dan masih menemani Tari sarapan juga mengantarkan Tari ke sekolah. Bagaimana kalau sekarang kita keluar?. Kita makan ice cream kesukaan Tari.”
Wajah sendu putrinya berganti menjadi ceria dan matanya berbinar-binar dan Athaya menyukainya. Athaya dengan telaten menggendong putrinya ke mobil, memasukkan kursi rodanya ke bagasi mobil dengan bantuan Pak Wiro dan terakhir memasangkan sabuk pengaman pada putrinya tanpa mengeluh atau menunjukan wajah lelah sedikitpun.
**
Di taman, sore itu Athaya dan putrinya tertawa ceria dengan ice cream coklat dan vanila di genggaman tangan mereka masing-masing sambil melihat layangan yang mengapung-mengapung di udara dengan berbagai macam bentuk yang indah membuat Gintari tertawa lepas. Di dalam hatinya, Athaya berandai, “Andai saja Gintari bisa berjalan bebas seperti anak-anak didepan itu, pasti dia akan lebih lepas lagi tertawanya.”
Masih dengan senyum lebarnya dan pandangan ke depan, Gintari bertanya pada ayahnya. “Ayah kapan Gintari bisa berlari-lari seperti mereka?. Ayah bilang suatu saat nanti aku bisa seperti anak lainnya.”
Pertanyaan inilah yang sering Athaya hindari karena sebetulnya hati Athaya akan terluka jika mendengarnya. Rasanya ingin Athaya saja yang duduk di kursi roda itu, bukan anak perempuannya yang cantik, tapi takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Mereka punya jalan yang lebih baik daripada apa yang kita inginkan.
“Ayah,” panggil Gintari menyadarkan Athaya.
“Ehm, Tari berdoa ya. Semoga Tari bisa berjalan lagi secepatnya.”
Gintari lega mendengar jawaban ayahnya. Dengan jawaban itu, dirinya merasa masih memiliki harapan untuk berjalan dan berlari bersama temannya yang lain.
“Kalau aku sudah bisa berjalan aku ingin main layangan,” ucap Gintari langsung, membuat Athaya menoleh dengan pilu. Mata elang yang biasa menampilkan ketajaman itu kini berkaca-kaca karena seorang gadis kecil yang sangat berarti untuk hidupnya. Dalam hatinya berkata, “maafkan ayah, Tari. Ayah berbohong. Andai saja kaki ayah bisa membuatmu berjalan dan berlari, ayah rela memberikan keduanya padamu.”
**
Langit sudah berganti dari terang menjadi gelap dan mataharipun sudah bergantian dengan bulan. Di kamar besar bernuansa putih yang sepi itu, terdengar suara langkah sandal Athaya berjalan menyambut istrinya yang baru saja pulang.
“Maaf, aku pulang telat malam ini. Aku tadi harus membeli perlengkapan untuk keberangkatan ku besok.” Penjelasan Narnia ketika melihat jam sudah pukul sepuluh malam.
Athaya menarik pelan tangan istrinya dan mendudukannya di tepi ranjang. “Haruskah kamu pergi besok?.”
“Aku baru pulang loh sayang, lagi pula kamu sudah berjanji bukan?.” Narnia duduk manja diatas pangkuan Athaya.
“Aku sudah tidak mengkonsumsi pil KB hari ini. Aku sudah menepati janjiku, masa kamu mau mengingkarinya?” sambung Narnia, kembali menampilkan puppy eyes nya.
Dirangkulnya pinggang ramping Narnia kemudian di kecup bibir Narnia sekilas, “maafkan aku. Aku hanya merasa kasihan dengan Gintari, dia merindukanmu. Kalau memang kamu sudah menepati janji mu aku ingin kita memberikan adik untuk Gintari secepatnya. Aku sangat merindukanmu sayang.”
Athaya semakin menarik pinggang istrinya dan memagut bibir ranum istrinya hingga merekapun larut bersama malam cerah yang dihiasi bulan. Membuat Athaya berharap, malam ini malaikat kecil akan hadir dalam rahim istrinya. Memberikan apa yang diinginkan putri kecilnya. Athaya tidak bisa memberikan kaki sehat bagi anaknya tapi dia bisa memberi Gintari kaki kecil yang akan mendorong rodanya dan menemaninya selain dia dan istrinya.
Pagi datang dengan cepat, memberikan sinarnya yang hangat. Menyambut Athaya ketika pertama kali dirinya membuka mata. Dia melihat istrinya sudah bersiap-siap di depan meja rias, memakai dress biru tua tanpa lengan. Rambut yang diikat dan lipstick merah menghiasi bibirnya. “Cepatlah mandi Athaya, apakah kamu tidak akan mengantarkanku?.”
“Kamu sudah siap-siap sepagi ini?. Aku bahkan masih bertelanjang dada,” jawab Athaya semakin rapat menarik selimut abu polosnya.
Narnia menghela nafas kemudian berdiri dan menyingkap selimut yang menutupi tubuh Athaya. “Ayo mandi, aku tunggu di meja makan,” teriak istrinya sambil berlalu.
Tak ada pilihan lain lagi bagi Athaya walaupun matanya sangat berat dan mengantuk. Athaya pergi ke kamar mandi dan membersihkan keringat juga segala yang menempel di tubuh tegapnya dengan agak cepat karena tidak mau Narnia menunggu. Memakai setelan jas abu dan kemeja putih dengan cepat, Athaya melangkah menuju ruang makan. Disana terlihat istrinya yang sedang menyuapi Gintari.
“Pagi sayang,” sapa Athaya pada putrinya.
Gintari tersenyum lebar. “Pagi ayah.”
“Kamu sudah bicara pada Tari kamu akan berangkat hari ini sayang,?” Narnia mengangguk sebagai jawabannya.
“Iya, bunda bilang, bunda mau bermain sama teman-temannya seperti aku juga yang suka bermain bersama temanku saat istirahat dan pulang sekolah.”
Narnia mengelus kepala anaknya sambil berkata “Anak pintar.”
Pagi itu, Gintari bersama pengasuh dan supirnya pergi kesekoah. Sementara Athaya mengantarkan Narnia ke bandara, sebenarnya dia tidak rela istrinya pergi untuk seminggu, tapi dia juga tau sebagai ibu yang hanya bisa diam di rumah dan mengurusi suami juga anaknya, Narnia pasti membutuhkan liburan untuk membuat dirinya bahagia. “Kabari aku kalau ada apa-apa,” kata Athaya pada Narnia yang akan pergi.
**
