Pustaka
Bahasa Indonesia

Failure

60.0K · Tamat
Gita Hadianty
28
Bab
6.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Ketika kegagalan mempertemukanmu dengan orang yang sama gagalnya denganmu. Membuatmu merasa tidak sendiri dan kesepian. Perasaan yang hancur dan membuatmu sesak seakan terbagi dengannya. Apakah kegagalan ini akan membuat dua orang yang terluka bersama bisa memulai sesuatu?. Atau mundur?. Mereka bingung, ketika gagal dan ingin bangkit datang bersamaan. Apakah yang harus mereka lakukan?, karena yang menjadi permasalahannya. Mereka telah menutup pintu hatinya pada cinta.

RomansaPresdirIstriLove after Marriage

Bagian 1

Kanaya duduk di sofa dengan pandangan kosong sembari mengusap titik air mata yang lolos. Seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini, ia melihat rumahnya berantakan layaknya kapal pecah. Rumah yang selalu dia jaga dan dia bersihkan agar selalu rapi kini menjadi acak-acakan dengan banyak barang yang tergelak di lantai. Semua akibat emosinya sendiri yang tak terkendali. Emosi yang selama ini dipendamnya namun pada akhirnya meledak hingga dia sendiripun tidak menyadari siapa dirinya saat itu. Seakan dirinya yang selama ini selalu mudah memaafkan dan tidak pernah membesar-besarkan masalah seperti terbawa angin lalu berganti menjadi sosok lain. Kehidupan manis yang dulu juga dicecapnya seakan terbawa angin dan kini hanya ada kenangan saja di benaknya. Kenangan baik dan buruk yang menyatu namun didominasi oleh si buruk yang menyisakan luka dan sesak mendalam. Pikirannya menerawang mundur ke beberapa waktu yang lalu.

Ruangan persegi panjang berukuran 4 x 5 meter yang terhubung dengan ruang makan itu terasa ramai oleh suara spatula yang beradu, ditambah lagi suara wanita yang bersenandung sambil bergerak ke kanan dan ke kiri. Namun pergerakan kakinya terhenti saat alarm berbunyi sangat keras. Perempuan yang memiliki kuit putih dan tubuh semampai itu mematikan kompor dan berjalan ke arah kamar yang didominasi oleh warna putih.

"Bangun sayang. Kamu itu bunyi alarm segitu kencengnya, tapi masih saja tidur."

“Ehm, iya bentar lagi, Kanaya." Lenguh pria itu seraya menarik selimut menutupi kepalanya.

Kanaya berkacak pinggang, bingung sekali jika harus membangunkan suaminya yang senang tidur ini, "ayo dong Mario, kamu mau bangun jam berapa? ini udah mau jam tujuh loh."

Suaminya yang bernama Mario duduk sambil mengucek matanya. Lalu tak lama menjatuhkan dirinya lagi ke kasur, "ya ampun Mario." Kanaya pun tidak punya jalan lain dan akhirnya membunyikan lagu rock lalu menyimpan ponsel itu disamping telinga Mario. Kanaya langsung berjalan cepat menjauhi kamar hingga tidak lama terdengar suara Mario yang berteriak, "Kanaya!.”

Begitulah gambaran kegiatan setiap pagi yang dilakukan oleh Kanaya, seorang perempuan berumur 24 tahun yang menikah muda dengan laki-laki yang lebih tua tiga tahun darinya bernama Mario. Usia pernikahan mereka sudah menginjak tahun ke tiga. Ayah dan ibu Kanaya tinggal di luar kota begitupun dengan keluarga suaminya. Pekerjaan Mario yang cukup terjamin, membuat hidup mereka berkecukupan. Sudah mempunyai mobil dan rumah kecil yang walaupun masih mereka cicil, akan tetapi bagi Kanaya itu sudah lebih dari cukup untuknya.

"Kanaya, ketika kemarin kamu ke supermarket ada ibu-ibu kesini mencarimu." Mario berbicara sambil menyesap kopinya .

Kanaya yang sedang memasukkan suapan nasi menjawab dengan malas, "biarkan saja. Mereka sudah beberapa kali menawarkan arisan, tapi aku gak mau."

"Kenapa?,” tanya Mario sambil menaikkan satu alisnya yang tebal.

Kanaya mengangkat bahu. “Ya malas saja. Mereka itu bukan arisan, tapi ngegosip banyaknya.”

Ya, Kanaya berpikir ibu-ibu komplek yang ada di sini mengadakan arisan bukan benar-benar untuk arisan tapi untuk menggosip saling membicarakan tetangga yang tidak hadir atau salah satu anggota arisan itu sendiri dan tak lupa ajang saling pamer. Saling mempertontonkan kekayaannya dan Kanaya tidak suka itu.

"Tapi kan bagusnya kamu jadi gaul Kanaya. Tidak diam di rumah saja, pake kaos sama celana pendek." Kata Mario menghembuskan nafas lelah sambil geleng-geleng.

"Itu lebih baik," jawab Kanaya cuek. Kemudian mengambil tas suaminya yang ada di sofa dan menyodorkan pada Mario.

Mario hanya bisa menjawab, "terserah kamu saja."

"Oh, iya, ini bekel kamu." Kanaya membawa kotak bekal persegi panjang yang diisi lengkap oleh sayur, daging dan nasi.

Mario melirik sekilas dan hanya megangguk saja. "Ya taruh saja di tas, tapi besok jangan dulu dibekali ya. Aku ... ada meeting di luar sama bos.”

Wajah Kanaya terlihat agak muram dan sedih, tapi dia juga merasa kalau dia harus mengerti kalau suaminya ini salah satu orang penting di pabrik jadi menemani bos meeting ya pasti diharuskan ikut makan makanan jamuannya.

"Hei, jangan sedih ya.” Ujar Mario kemudian mengecup bibir Kanaya sekilas dan akhirnya pergi berangkat kerja. Kanaya menarik nafas mengumpulkan tenaga untuk membereskan rumah kecilnya.

**

Kanaya hanya berguling saja di atas kasurnya, sambil membaca novel yang selalu dibelinya setiap awal bulan. Dia merasa sangat bosan hingga dia mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan untuk suaminya ketika melihat waktu sudah menunjukan tengah hari. Suaminya pasti sudah istirahat, pikirnya.

To : Mario

Udah istirahat?

Tak lama muncul balasan pesan masuk, Kanaya memanyunkan bibirnya melihat balasan suaminya.

From : Mario

Udah, aku ini abis makan. Kamu jangan di rumah aja, keluar sana. Bergaul

Suaminya ini memang selalu menyuruhnya berkumpul dengan orang-orang dan bergaul, padahal suaminya tau sendiri istrinya ini lebih sering menyendiri di kamar dengan buku dan ponselnya ketimbang harus keluar dan bergosip dengan ibu-ibu yang lainnya. "Kenapa sih dia terus aja nyuruh aku buat gaul sama ibu-ibu?.”

Di ruang kerja yang berAC Mario menghela nafas dan menutup bekal yang sudah dimakannya, entah sudah keberapa kalinya dia di pandang aneh oleh beberapa orang. Atau mendengar ejekan teman-teman dekatnya seperti, "ayo jangan ajakin si Mario. Dia kan udah bawa bekal,” atau sampai ada isu di sekitaran pabrik kalau Mario ini hanya diberi uang trasportasi saja sehingga selalu dibawakan bekal atau yang paling parah di sebut suami takut istri.

"Bekel lagi?,” tanya sahabat Mario yang baru saja datang dengan perawakan tinggi besarnya.

"Diem." Jawab Mario dengan sebal.

"Kenapa sih harus sewot?, biarin aja orang ngomong apa. Lagian bukannya harusnya lo seneng ada yang buatin lo makanan. Ini lo malah kesel gitu. Gue aja jomblo ngiri."

"Ish lo itu berisik banget deh Jod. Lo bakalan ngerti nanti kalau udah punya istri." Bela Mario pada sahabatnya bernama Jodi yang kebetulan sama-sama bekerja di pabrik ini. Jodi hanya bisa menghela nafasnya melihat tingkah sahabatnya yang akhir-akhir ini sering uring-uringan.

"Lo itu kalau ada masalah dan ngerasa ada yang gak suka ya tinggal bilang sama istri lo, jangan di pendem sendiri. Gue takut lama kelamaan lo berbuat sesuatu diluar nalar."

Mario yang sudah pusing berdiri dari tempatnya menuju wastafel untuk mencuci tangan sambil berkata, "lo gak ngerti posisi gue."

Jodi diam, lelah memberi tahu temannya yang keras kepala ini. Dia tidak tau lagi harus bagaimana cara memberitahu Mario hingga satu ketukan terdengar.

"Pa Mario ini ada surat buat Bapak." Seru salah satu staf. Mario langsung mengangguk dengan lemas. "Apa lagi ini?,” gumamnya. Dia menerima surat itu dengan lemas dan langsung membukanya. Mario seketika tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia di mutasi ke kantor pusat yang berada dekat dengan rumahnya. Perlu diketahui, pabrik tempat dia bekerja saat ini agak jauh dari perkantoran dan rumahnya. Perjalanannya bahkan bisa memakan waktu 1 jam 30 menit.

"Kenapa?,” tanya Jodi memecahkan lamunan Mario yang sedang melamunkan, bagaimana nanti jika istrinya tau dia semakin dekat dengan rumah.

"Ini gue di mutasi ke kantor pusat." Jodi langsung menepuk bahu Mario kencang.

"Bagus dong itu artinya lo lebih deket sama rumah."

Mario tertawa hambar membuat Jodi mengernyit dan berpikir, jangan-jangan sahabatnya ini tidak suka jika bekerja dekat dengan rumahnya. Ah makin aneh saja. Kenapa dengan Mario?, tanyanya dalam hati. Padahal dulu dia sangat mencintai daan memuja istrinya yang cantik juga pintar dalam segala hal. Jodi tidak mau mengambil kesimpulan apapun karena dia belum menikah.

**

"Aku pulang." Seru Mario kencang, Kanaya yang sedang menunggunya di kamar sambil membaca langsung berlari ke arah pintu.

"Pulang cepat hari ini?,” tanya Kanaya yang melihat jam baru menunjukan pukul setengah enam sore. Biasanya suaminya ini pulang lepas maghrib.

Mario menyodorkan tas kepada Kanaya, "aku pulang lebih awal soalnya mulai besok aku pindah tugas ke kantor pusat yang ada disini. Aku naik jabatan."

Wajah Kanaya langsung berbinar, "benarkah?.”

Mario dengan wajahnya yang putih dan memiliki lesung pipi mengangguk sambil tersenyum. "Wah jadi kalau siang kamu bisa pulang ke rumah?.”

Mario mengangguk antusias sambil duduk dan membuka kaos kakinya, "makanya, karena sekarang gajiku juga pasti naik, kamu lebih baik bergaul dengan ibu-ibu sekitar agar kamu gak ketinggalan jaman."

"Kenapa sih kamu pengen banget aku jadi ibu-ibu kaya gitu?.” Kanaya heran dengan keinginan suaminya yang satu itu. Mario tidak menjawab. Dia sudah lelah menjelaskan berulang pada Kanaya.

"Iya terserahmu saja, aku mau mandi." Mario melepaskan kemeja dan menyerahkannya pada istrinya.

"Iya, akan aku siapkan.” Kata Kanaya dengan malu. Entahlah, melihat suaminya bertelanjang dada selalu membuatnya malu. Sampai-sampai Kanaya yang jalan terburu-buru menyandung kaki kursi yang ada di ruang TV dan hampir jatuh.

"Hati-hati, sayang. Kamu itu masih saja malu melihatku," bisik Mario ditelinga istrinya membuat Kanaya tambah berlari menuju kamar.