Bagian 5
Pukul tujuh pagi, Kanaya memberikan senyum terbaiknya pada Mario. Dia bersikap sangat biasa, bahkan terlampau biasa. Mario sampai tidak menyadari ada yang aneh dari Kanaya. Kanaya seperti Kanaya pada pagi-pagi sebelumnya, yang menyiapkan sarapan, mengobrol bersama dan memberikan kecupan dipagi hari sebelum berangkat kerja.
Selama tiga hari itu, Kanaya memperhatikan gerak gerik suaminya. Dia berpura-pura tidur saat Mario memeluknya seperti malam-malam sebelumnya kemudian Kanaya menangis saat Mario keluar dari rumah tengah malam. Kanaya berharap kalau Mario hanya pergi ke kantor untuk urusan pekerjaan, tapi tak bisa di pungkiri dalam hatinya dia bekata jika itu tidak masuk akal.
Hari keempat, Kanaya bingung, apakah harus membuktikan kebenarannya atau tidak, karena sungguh dia sangat terganggu dan sedih saat Mario mengendap keluar dan keesokkan harinya dia berlaku biasa saja. Kanaya sangat takut untuk membuntuti suaminya, takut jika sebuah kebenaran terbukti dan itu adalah hal yang menyakitkan baginya.
Malam senin itu, Kanaya akhirnya bertekad ingin membuktikan sebetulnya kemana saja suaminya itu pergi malam-malam dan pulang menjelang subuh. Diam-diam Kanaya memasang GPS di ponsel Mario. Kanaya mengikuti GPS yang ada di ponsel Mario dengan taksi online. Di perjalanan, saat Kanaya mengikutinya, jantung Kanaya berdetak sangat cepat dan jatungnya bertambah cepat ketika mengetahui Mario berhenti di sebuah rumah yang besar. Harapan Kanaya hancur.
Dia sangat berharap kalau yang dituju Mario adalah kantor tempatnya bekerja, tapi nyatanya mobil Brio itu ada di pelataran rumah bercat hijau muda. Kanaya mencoba memunculkan harapan lain, mungkin saja ini rumah sahabatnya yang butuh bantuan. Tanpa Kanaya sadari, harapan baru yang dimunculkannya akan menambah kesakitan yang di dapatnya saat harapannya kembali tidak terwujud.
Mengantungi keberanian, Kanaya yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah mengetuk pintu rumah besar itu. Awalnya tidak ada jawaban, tapi tidak lama dari itu muncul wanita paruh baya berdaster dengan wajah agak kesal karena mungkin merasa tidurnya terganggu.
“Ada yang bisa saya bantu?.”
"Maaf malam-malam menggangu, saya ingin bertemu dengan pemilik rumah ini. Saya temannya yang baru datang dari luar negeri. Nama saya, Andriana. Bilang saja Andri," ucap Kanaya berusaha menampilkan air muka setenang mungkin, bahkan saat wanita berdaster dihadapannya itu menilisik dirinya dari atas hingga bawah karena mungkin tidak percaya. Berusaha tidak terlihat cemas dan gugup, Kanaya pun sabar menunggu sampai akhirnya asisten rumah tangga itu berkata untuk memanggilkan majikannya.
Menunggu lama pemilik rumah keluar, Kanaya semakin merasa takut. Tak hentinya Kanaya berdo’a agar rasa takutnya berkurang namun semakin Kanaya menekannya semakin rasa itu tumbuh, membuat Kanaya memilih mundur dan berbalik namun sayang, baru Kanaya berbalik ada suara wanita yang memanggil nama ‘Andri’ kemudian disusul oleh suara seorang lelaki yang sangat Kanaya kenal. Tubuhnya mendadak kaku karena suara itu hingga berbalik pun rasanya sangat sulit.
“Sayang, tunggulah dikamar. Aku akan segera kembali.”
Perlahan Kanaya mencoba untuk membalikkan tubuh dan betapa kakinya sangat lemas hingga rasanya tak mampu menopang berat tubuhnya lagi saat yang dilihatnya adalah suaminya, Mario yang bertelanjang dada dengan celana pendek yang disiapkannya tadi malam dan wanita yang berada disampingnya sambil memegang dada Mario memakai kimono dengan rambut yang berantakan.
“Kanaya … “ panggil Mario terkejut.
"Kanaya?," ucap ulang wanita itu.
Kanaya tidak dapat bergerak, seakan rohnya sudah tidak ada dalam raganya. Dia menemukan suaminya yang selalu menghilang di tengah malam dan kembali dini hari bersama wanita lain yang tidak berbaju pantas dan berduaan di kamar. Sedang apa lagi mereka didalam kalau bukan hal yang dia lakukan juga bersama Mario?. Kanaya ingin sekali menjadi orang bodoh saat ini untuk membuatnya tidak terluka, tapi tidak bisa. Dia sadar dan tau betul. Kanaya mundur perlahan dengan senyumnya.
"Maaf menganggu saya salah rumah" katanya dengan gelagapan lalu berbalik secepat mungkin dan kembali pada taksi online yang menunggunya dengan bayaran lebih.
Ketika Kanaya masuk kedalam mobil, Mario terlihat mengejarnya dan meninju angin. Kanaya menengadah seraya menutup wajahnya untuk menahan tangis. Sungguh Kanaya ingin segera sampai di rumah dan menangis sekencang-kencangnya. Maka ketika taksi online itu membawanya sampai kedepan rumah, Kanaya langsung masuk dan menutup pintu rumahnya. Tubuhnya luruh ke lantai, bersamaan dengan kenyataan yang semakin nyata didepan matanya dan mau tidak mau harus diterimanya. Ranjangnya kosong dan suaminya tidak ada disana.
Kanaya bertanya apa yang membuat suaminya melakukan ini?. Dia memang memiliki banyak kekurangan, tapi haruskah suaminya melakukan ini semua?, membawanya terbang tinggi hingga langit ketujuh dengan sikap manisnya kemudian menghempaskannya hingga ke dasar bumi paling dalam dengan pengkhianatannya ini. Haruskah dia menerima kenyataan sepahit ini?. Apa yang harus dilakukannya?. Suaminya sangat apik menutupi semua ini, sampai-sampai Kanaya terlalu banyak menerima kejutan dalam waktu berdekatan.
Lamunan Kanaya terhenti saat suara deru mobil masuk ke indera pendengarannya. Mendengar itu, buru-buru Kanaya masuk kedalam kamar dan berpura-pura memejamkan matanya erat. Mario memanggil namanya pun berulang kali, diabaikan olehnya. Mario yang merasa percuma karena Kanaya masih sangat marah akhirnya menyerah dan ikut tidur disamping istrinya. Kanaya tidak mampu menahan air matanya yang kembali turun saat Mario memegang bahunya erat tanpa suara.
Saat pagi datang, Kanaya beraktifitas seperti biasanya. Mario bangun pun, Kanaya masih bersikap biasa. Mario memilih berdiri memperhatikan Kanaya yang sedang memasak dalam diam di dekat dapur.
"Kamu cepat mandi, sarapannya sebentar lagi siap,” titah Kanaya sambil terus memasak, tanpa memandang Mario. Mario mengusap wajahnya kasar kemudian menghampiri Kanaya dan menangkap tangan Kanaya.
"Tolong dengarkan aku. Mari kita bicara, Kanaya. Kita tidak bisa melewatkan masalah ini dan seakan tidak terjadi apapun."
Kanaya seakan tuli dan terus memasak hingga Mario menghentikan Kanaya dengan memeluk tubuhnya dari belakang. Kanaya memejamkan matanya erat, berharap rasa pelukan Mario masih sama, tapi kilasan bayangan Mario dengan wanita itu membuat Kanaya dengan cepat melepaskan tangan Mario. "Tolong jangan sentuh aku setelah kamu menyentuhnya," ucapnya dengan rasa sakit di hati.
Sedari pagi Kanaya terus menguatkan dirinya sendiri, berusaha melakukan kegiatannya seperti biasa dengan topeng paling tebal, seakan tidka terjadi apa-apa. Menata masakannya di meja makan dengan sebiasa mungkin, tapi baru sesaat kakinya sudah tidak merasa kuat lagi berlakon kuat di hadapan Mario. Tangisnya tak mampu dibendung lagi hingga kemudian dia memilih duduk dan menengadah agar air matanya tak mengalir deras.
Mario melihat itu merasa sedih, hingga dia menghampiri Kanaya untuk mengelus rambutnya. Sayang, tangannya baru akan menyentuh kepala istrinya, Kanaya pun bersuara.
"Siapa wanita itu?,” ucap Kanaya datar.
Ini baru pertama kalinya Mario melihat Kanaya berbicara sedingin ini padanya. "Lana, manager sepertiku." jawab Mario dengan lemas.
Mendengar itu, Kanaya merasa dejavu sampai ingatannya terhubung dengan wanita yang waktu itu duduk di sebelahnya dan mengatakan bahwa namanya adalah Lana, manager marketing.
"Manager marketing?," tanya Kanaya pelan, berharap itu tidak benar, karena jika benar berarti suaminya sudah lama berbuat seperti ini padanya.
Harapan Kanaya pupus ketika Mario dengan terkejut bertanya. "Darimana kamu tau?.”
Kanaya menunduk dengan diam, namun perlahan tertawa dan akhirnya menangis. Hatinya dipukul hancur berkali-kali oleh kenyataan yang dibawa Mario. Lelaki yang paling dicintai dan dipercaya olehnya. Untuk berucap sepatah kata pun, lidahnya terlalu kelu. Kecewa dan marahnya terlalu besar untuk Mario. Jadi, menangis dalam diam adalah yang bisa Kanaya lakukan saat menemukan satu kepingan kenyataan lagi. Mungkin, dia harus mengumpulkan kekuatan untuk membicarakan semua dengan Mario saat ini karena dia tidak tau kapan Mario akan benar-benar pergi dari rumah ini untuk lari ke rumah wanita itu. Tidak ada yang tau.
Mario yang duduk dihadapannya, merasa hatinya sakit melihat Kanaya menangis seperti ini. Baru disadari olehnya, Kanaya tidak pernah menangis sekalipun waktu itu keuangan mereka pas-pasan atau ketika dia harus mengalah tidak pulang karena ibunya yang ingin bertemu. Mario merasa terganggu dengan tangis Kanaya, hingga dia memilih mendekati Kanaya untuk memeluknya, namun belum Mario memeluknya, langkah Mario terhenti saat Kanaya berbicara dengan susah payah disela tangisnya.
"Aku ... bodoh selama ini tidak mengetahui kalau kamu keluar tengah malam dan berselingkuh dengan teman kerjamu. Aku menganggap selama ini hidupku sudah sempurna dengan kamu yang selalu tersenyum hangat saat pulang, segala sikap manismu sampai dengan kamu yang selalu pulang siang dan malam tepat waktu untuk berdua denganku. Sampai satu waktu, aku mendengar sesuatu dari teman kantormu tentang bagaimana kamu yang memilih selingkuh karena istrimu tidak secantik wanita selingkuhanmu atau istrimu yang hanya memberikan ongkos saja, tapi kamu tau?, aku berbicara dengan diriku sendiri kalau kamu tidak mungkin melakukan itu. Aku punya alasan, kamu selalu bersamaku,” ucap Kanaya panjang lebar dengan tangis yang berusaha ditahannya agar Mario dapat mendengar jelas apa yang dikatakannya.
"Selang beberapa waktu, alasan itu terpatahkan ketika tetangga bilang mobilmu sering keluar tengah malam. Aku tetap menyangkalnya, alasannya senyuman yang selalu kamu berikan untukku, tapi alasan itu rupanya terpatahkan kembali saat aku terbangun tengah malam oleh telepon ibu ku yang mengatakan kalau ayah matanya tiba-tiba tidak bisa melihat." Jeda .... Kanaya terisak kembali. Sesak rasanya sampai untuk berbicarapun benar-benar sulit dan Mario benar-benar baru melihat untuk pertama kalinya Kanaya menangis sampai sesak seperti sekarang.
"Aku mencarimu karena kamu tidak ada di seluruh penjuru rumah. Aku mencarimu, meneleponmu sampai frustasi. Aku tidak bisa keluar ke rumah sakit melihat ayah karena aku tidak tau keberadaanmu hingga ibu menelepon aku tidak perlu kesana karena dia memikirkan mu. Aku sungguh merasa tidak berbakti sebagai anak pada ayah dan ibuku dan hatiku hancur saat paginya mendengarmu mengendap di rumahmu sendiri dan kembali tidur disampingku. Melakukan aktifitas yang biasa kita lakukan bersama tanpa seperti ada masalah atau apapun. Aku terus memperhatikanmu dalam kepura-puraanku tertidur, tapi kamu terus saja keluar ditengah malam dan kembali pada dini hari. Aku mengikutimu dan berharap kamu pergi ke kantor, tapi lagi-lagi kamu mematahkan harapanku dan menorehkan luka baru di hatiku, membuat luka lainnya semakin dalam dan banyak. Kamu ...."
Tak sanggup Kanaya melanjutkan ucapannya hingga yang bisa dilakukannya menangis yang lama kelamaan menjadi kencang, apalagi saat Mario mendekatinya. Kanaya segera berdiri dan mundur.
"Aku mohon jangan seperti ini," pinta Mario mencoba menggapai tangan Kanaya, tapi Kanaya tetap menjauh.
"Apa salahku begitu besar Mario?, sampai kamu tega lakukan ini padaku," tanya Kanaya pilu seraya memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Membuat tangisannya semakin terdengar memilukan dan meluruh di lantai. Dia sungguh terluka. Segala yang dipendamnya selama ini meledak.
"Kamu ... tidak bisa memberikanku seorang anak," jawab Mario membuat Kanaya tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kanaya memandang pedih Mario yang kini berjongkok di hadapannya.
“Mario, kenapa kamu harus bersikap manis jika sebenarnya kamu tidak terima dengan keadaan itu?, bukankah kita sudah membicarakannya?. Apa tidak cukup pengorbananku untuk tidak bekerja seperti maumu?. Apa aku juga selama ini tidak patuh padamu sampai kamu melakukan ini padaku?. Apa aku selama ini mengeluh? Apa kamu tau bagaimana hatiku sekarang?” cerocos Kanaya panjang, mengeluarkan segala yang ada dihatinya.
Mario mengusap wajahnya kasar dan meninju lantai, mendengar apa yang dikatakan Kanaya. Entah kenapa semua mulai menjadi tidak terkendali saat Mario berkata dengan emosi. "Kamu memang tidak pernah mengeluh, tapi apa kamu pernah bertanya tentang bekalku?. Kamu patuh tapi dengan caramu sendiri Kanaya lalu apakah kamu mendengarkanku untuk bergaul?. Kamu sangat kuno dengan pakaian mu yang terlampau biasa saat ini dan apakah kamu mengerti apa yang aku mau ketika kita berada dikamar?. Kamu terlalu pasif. Aku tidak mengerti lagi Kanaya kamu menganggap dirimu baik dan sempurna, tapi sebenarnya kamu adalah ... argh .... " Mario berteriak, membuat emosi yang tidak pernah muncul dari dalam Kanaya pun keluar tak terkendali karena perkataan Mario barusan.
"Kenapa kamu baru mengatakannya setelah tiga tahun kita bersama?. Kenapa kamu tidak bicara?!" teriak Kanaya didepan muka Mario.
"Apa kamu benar tidak mengerti?. Aku tidak ingin melukaimu KANAYA!," teriak Mario begitu keras dihadapan Kanaya.
Kanaya terdiam mendengar apa yang dikatakan Mario. Kanaya merasa disambar petir hingga air matanya semakin mengalir deras dengan sendirinya dari pelupuk mata. "Aku lebih terluka saat ini MARIO!. Kamu berubah Mario, dulu kamu memujaku dengan jujur tapi sekarang kamu lakukan ini dengan tega padaku," balas teriak Kanaya yang diakhiri dengan isak tangis.
"Aku memang memujamu, tapi itu hanya selama satu tahun pernikahan kita. Setelah itu semuanya terasa hambar. Dirimu semakin lama semakin menutup diri dan membuat dirimu jauh dari penampilanmu yang dulu dan kamu semakin pasif saat kita di kamar tidur. Kamu pun patuh tapi juga keras kepala dengan apa yang menurutmu benar hingga membuatku kesal dan akhirnya muak,” dengan tega Mario mengatakan itu semua pada Kanaya.
Kanaya meredam segala amarahnya dan dengan lapang bertanya berharap dia dapat memperbaiki semuanya, “lalu apa yang membuatmu lebih memilih pergi setiap malam ke rumahnya?."
"Lana ada saat aku datang ke kantor pusat. Awalnya kami dekat hingga kami sering bercerita. Aku dengan masalahku dan dia dengan masalahnya. Dia selalu bisa menempatkan diri kapan dia patuh, kapan dia punya pendirian, tapi bisa membuatku merasa tertarik dan dia juga yang selalu bisa menyenangkan ku dengan aktif di atas ranjang sampai aku ... "
"CUKUP!," teriak Kanaya merasa tidak kuat mendengar lanjutan perkataan Mario.
Kanaya berdiri dan melempar apapun yang ada di meja makan ke arah Mario hingga makanan yang susah payah dimasaknya hancur berserakan. Perasaaannya merasa frustasi dan hancur mendengar semua yang dikatakan Mario secara blak-blakan, membuat Kanaya merasa tidak percaya bahwa Mario baru saja memuji wanita lain dihadapannya bahkan menceritakan mengenai hal seintim itu padanya.
Kanaya menutup telinganya dan menangis histeris, Mario hanya diam memandang Kanaya sedih dan akhirnya dengan tega pergi meninggalkan Kanaya sendiri karena melihat waktu sudah menunjukan pukul tujuh.
Kanaya terduduk lemas di depan meja makan, merasakan dinginnya lantai yang menusuk kulit hingga rasanya seluruh inchi tubuhnya menggigil. Sinar matahari yang menembus gordenpun tidak mampu membuat tubuhnya apalagi hatinya menghangat. Hatinya terluka sangat dalam. Masakan dan bekal yang sudah susah payah disiapkannya pun berserakan dilantai membuat pipinya yang sudah kering kembali sedikit basah.
Ingatan Kanaya kembali pada saat ini. Saat dia duduk dengan pandangan kosong, menatap rumahnya yang berantakan karena barang yang berserakan di lantai. Membuat hatinya pilu apalagi dengan ucapan suaminya tadi sebelum berangkat kerja.
"Mungkin kita memang tidak bisa bersama lagi." Kanaya tau saat ini kata-kata itulah yang lebih menyakitkan daripada saat Mario membela wanita lain dihadapannya. Mario sudah menyerah dengan semua ini tanpa mencoba berdiskusi dengannya, bagaimana jalan keluar dari semua masalah rumah tangga mereka saat ini. Padahal Kanaya sudah berusaha dengan hati yang besar untuk memperbaiki, tapi pantaskah dia yang berjuang sendiri menyelesaikan semua ini disaat suaminya sudah meneyrah dan berkata pisah?, ataukah dia harus seperti suaminya yang mundur tanpa berjuang dan mencoba menyelesaikannya?. Separah ini kah keadaan yang dianggapnya sempurna?. Adakah cinta lain yang akan ditemukannya ketika kegagalan besar sudah dirasakannya?. Banyak pertanyaan yang ada dibalik tatapan kosong Kanaya.
"Mario haruskah kita mengakhiri segalanya sebegini cepat?. Andai saja aku tidak mencari tau mungkin ini tidak akan terjadi. Haruskah aku menyesal Mario?," gumam Kanaya yang duduk dengan memandang kosong foto pernikahannya.
**
