Bagian 4
Pagi yang dingin menyambut Kanaya yang saat ini baru terbangun dipukul enam pagi. Hujan yang semalam turun membuatnya tidur dengan nyenyak. Disampingnya pun, Mario terlihat sangat pulas. Kanaya memperhatikan wajah Mario dan mengelusnya lembut penuh cinta. Dia sungguh tidak percaya dengan kata-kata dua orang perempuan kemarin malam. Mario sungguh manis. “Kamu tidak mungkin melakukan itu padaku,” gumam Kanaya, lalu beranjak turun dari ranjang untuk memulai aktifitas paginya seperti biasa.
Hari telah berganti demi hari, Kanaya tidak memikirkan apapun lagi mengenai hal buruk mengenai Mario. Kehidupannya kembali terasa manis dan tanpa keraguan hingga satu waktu, ketika Kanaya sedang membersihkan rumahnya dengan vacuum cleaner, ponselnya berdering keras.
Tanpa melihat nama si penelepon, Kanaya menjawab dengan santai, “Halo”
"Halo, Kanaya ini ibu." Mendengar suara ibu mertuanya yang bernama Nuri, Kanaya langsung mencabut vacum cleaner yang sedari tadi dipegangnya lalu membersihkan tangannya yang kotor. Seakan Nuri ada dihadapannya.
"Ya, bu," jawab Kanaya gugup.
"Ponsel Mario tidak bisa dihubungi, sepertinya dia sedang rapat. Ibu hanya ingin memberitahukan akan mampir sebentar nanti siang ke rumah kalian. Ibu sedang ada acara keluarga di Bekasi,” jelas Nuri pada Kanaya, membuat Kanaya mengangguk-ngangguk mengerti dengan sopan hingga akhirnya Kanaya sadar bahwa Nuri tidak melihatnya.
Memindahkan ponsel ke tangan kanannya, Kanaya berkata dengan canggung dan sopan pada ibu mertuanya. "Ya, baik bu." Panggilan pun di putus oleh Nuri, tanpa basa-basi. Kanaya memang tidak bisa dekat dengan ibu mertuanya seperti hubungan menantu dan ibu mertua lainnya. Dia dan ibu mertuanya seperti ada dinding pembatas, Kanaya yang memiliki sosok serupa seperti ibu mertuanya yaitu tidak mudah berbaur, membuat mereka sering diam jika berdua saja. Sehingga untuk membuat hubungannya lebih baik, Kanaya berusaha menyenangkan ibu mertuanya tersebut. Berharap walaupun tidak terlalu dekat, tapi ibu mertuanya bangga padanya sebagai seorang menantu dan merasa senang.
Tak mau membuang waktu lama, Kanaya langsung membersihkan seluruh rumahnya secepat mungkin dan saat jarum jam menunjukan pukul sembilan pagi, Kanaya bergegas pergi ke supermarket terdekat untuk membeli berbagai bahan makanan yang sekiranya bisa dia masak. Selera makanan ibu mertuanya yang berbeda, membuat Kanaya berdiri lama di depan deretan sayur, memilih sayur apa yang akan dimasaknya hingga dia menoleh ketika seseorang memanggil nama suaminya.
"Bu Mario?," tanya seorang perempuan sekitar 40 tahunan. Kanaya ingin pergi menjauh saat menoleh dan tau siapa yang memanggilnya, tapi sayangnya saat ini dia tidak mungkin beranjak dari tempatnya karena tetangga rumahnya itu sudah berjalan mendekatinya. Dalam hati, dia berdoa semoga tetangganya ini berhenti menawarinya untuk ikut arisan.
"Ya, Bu Sugeng," jawab Kanaya dengan senyum, sambil memilih bahan capcay yang sudah dikemas. Mungkin memasak capcay saja, putus Kanaya bicara dalam hati.
Bu Sugeng pun melirik isi troli Kanaya yang banyak kemudian mengambil bayam yang tersedia di di deretan sayur. "Bu Kanaya setiap malam suka jalan-jalan ya sama suaminya?."
Kanaya menoleh bingung dengan maksud tetangganya ini. Dia dan suaminya jarang keluar malam karena lepas makan malam mereka akan menonton tv atau melakukan kegiatan lain lalu tidur. "Maksud ibu?," tanya Kanaya hati-hati.
"Saya kalau malam sering lapar dan beli nasi goreng di kedai ujung jalan. Beberapa kali, saya melihat mobill Brio ibu keluar dari rumah sekitar pukul dua belas atau satu," ujar ibu itu sambil memasukkan bayam ke dalam jinjingannya kemudian memilih-milih kembali tomat.
Kanaya pun bingung, dia merasa tidak pernah keluar malam apalagi semenjak suaminya pindah ke kantor pusat. Mario selalu terlihat kelelahan, jadi Kanaya tidak pernah meminta keluar. Pesta perayaan kantor pun, tidak selarut itu. Tiba-tiba ingatan mengenai apa yang didengarnya di pesta itu terlintas, tentang bagaimana obrolan dua orang perempuan yang ada di toilet.
"Bu," panggil Bu Sugeng membuat Kanaya tersadar.
"Oh, iya bu, saya ... hanya sering kepanasan di rumah, jadi keluar malam-malam bersama suami saya," jawab Kanaya pelan, berusaha menjawab semasuk akal mungkin.
"Oh, iya, memang cuaca panas banget ya." Bu Sugeng membenarkannya, tanpa melihat raut muka Kanaya yang mulai berubah.
"Bu, maaf saya harus segera pergi. Saya harus pulang sebelum suami saya pulang untuk istirahat siang", pamit Kanaya terburu-buru dengan mendorong trolinya.
Kanaya tidak ingin mempercayai kata-kata ibu itu, dia hanya ingin percaya suaminya. Ibunya pernah bilang, setelah menikah kita harus menutup telinga dari orang mengenai suami kita dan Kanaya menginginkan itu sekarang. Tidak mungkin jika memang suaminya keluar malam dia tidak menyadarinya.
Ya, benar, pikir Kanaya meyakinkan dirinya sendiri.
Begitu sampai di rumah, Kanaya menyibukkan dirinya dengan memasak. Berharap dapat melupakan apa yang didengarnya tadi. Tanpa disadari, sebetulnya Kanaya sedang mengingkari hatinya yang sudah mulai curiga pada suaminya. Dua jam kemudian, ayam balado, ikan gurame asam manis, capcay kuah dan perkedel kentang sudah disajikannya di atas meja makan. Berharap ibu mertuanya akan senang dengan masakannya kali ini.
Tepat pada pukul satu, terdengar pintu terbuka dan suaminya pulang dengan senyuman yang disuka Kanaya. Egoiskah Kanaya untuk tidak memikirkan apa yang didengarnya tentang suaminya itu?. Biarlah, batin Kanaya berbicara, jika memang egois. Dia sangat mencintai suaminya. Dengan menekan dan mengubur dalam-dalam apa yang membuatnya sedih, Kanaya menyambut Mario dengan senyuman terbaiknya. “Hai sayang.”
"Ibu belum datang?," tanya Mario. Kanaya mengangguk kembali merapihkan penataan hasil masakannya. "Aku mau ke toilet dulu," Mario meletakkan ponselnya di nakas samping sofa kemudian berlalu.
Kanaya dengan rasa keingintauannya, menatap ponsel Mario agak lama. Selama ini untuk menghargai privasi Mario, dia tidak pernah mengecek apa yang ada di dalam ponsel suaminya itu, tapi saat ini dia sungguh sangat penasaran. Tangan Kanaya pun perlahan meraih ponsel itu, namun gerakan tangannya terhenti di udara saat suara suaminya yang menanyakan dimana handuk kecil. Kanaya langsung menggelengkan kepala dan memukul tangannya sendiri, dia merasa tidak perlu seperti itu. Dia harus percaya pada suaminya.
Ya, harus!. Berulang kali Kanaya meyakinkan hati dan pikirannya.
"Ini," Kanaya meninggalkan ponsel suaminya dan menyodorkan handuk putih di depan kamar mandi.
"Terima kasih," Mario menerima handuk kecil itu dan menggunakannya untuk mengeringkan wajah. Kanaya kembali merapihkan masakan dan rumahnya, dia tidak mau saat ada yang datang rumahnya berantakan dan tak enak dipandang. Mario hanya duduk memainkan ponselnya di sofa, hingga terdengar ketukan di pintu. Kanaya bergegas langsung untuk membukakan pintu dan benar saja, ibu mertuanya sudah berdiri didepan pintu. Kanaya mempersilahkan ibu mertuanya itu masuk.
"Bagaimana kabarmu Kanaya?," tanyanya tersenyum canggung sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
"Baik, bu, bagai ..., " belum Kanaya selesai berbicara, suaminya datang dan memeluk juga mencium pipi ibunya dengan mesra membuat senyum Nuri mengembang sempurna.
"Bagaimana anak kesayangan ibu?."
“Baik bu. Kabar ibu?” Mario dan ibunya berjalan berdua memasuki rumah. Dari belakang, Kanaya memperhatikan suami dan ibu mertunya. Hubungan anak dan ibu diantara mereka memang sangat kuat dan harmonis. Itulah yang membuat Kanaya sangat yakin menerima lamaran Mario saat itu. Mario memperlakukan ibunya dengan sangat baik, layaknya seorang putri dan selalu mencium mesra ibunya, tapi terkadang itulah yang membuat Kanaya merasa asing diantara mereka. Kanaya sering mencoba memahaminya.
Teringat dengan tas yang dibelinya bulan lalau untuk Nuri, Kanaya bergegas ke kamar dan mengambilnya. Dengan wajah seumuringah Kanaya mengambil tas itu, tapi baru saja akan keluar dari kamar Kanaya mendengar sesuatu yang membuatnya berhenti dan diam.
"Kamu kenapa tidak mengunjungi ibumu kemarin?, kan libur kemarin?," tanya Nuri.
Suaminya dengan pelan menjawab, namun masih bisa didengarnya. "Maaf ya, bu, kemarin aku ke rumah Kanaya."
"Kamu sekarang lebih perhatian dengan ibu dan ayah mertuamu. Kamu ingat?, yang mengurusmu sampai seperti sekarang siapa?. Memangnya ibu mertuamu membesarkanmu seperti ibu?." kata Nuri panjang lebar.
Kanaya bagaikan ditusuk pisau oleh kalimat ibu mertuanya itu. Sepanjang umur pernikahannya, sepertinya kalimat yang barusan didengarnya adalah kalimat paling menyakitkan dari ibu mertuanya. Dalam benak Kanaya bertanya, apakah tidak boleh jika ibu nya diperhatikan oleh menantunya?. Kanaya diam tidak bergeming. Hatinya terasa sakit. Ibu mertuanya dan Mario sekaan punya dunianya sendiri sementara Kanaya hanyalah orang asing yang hadir di antara mereka.
"Bu, sudah jangan marah ya, nanti aku akan lebih sering mengunjungi ibu. Aku takut Kanaya dengar.”
Dalam diam, hati Kanaya berkata, "aku sudah mendengarnya.”
Kanaya masih diam berdiri dengan memeluk tas hitam itu, sampai akhirnya Kanaya keluar dengan topeng terbaik yang dipunyanya selama ini. Menyerahkan hadiahnya pada Nuri, membuat Nuri sangat bahagia dan berterima kasih pada Mario. Kanaya lagi-lagi diam diantara mereka berdua dan mencoba ikhlas menerima semua ini.
"Ayo makan sekarang," ajak Nuri, setelah menyimpan hadiahnya.
Kanaya tersenyum, "Iya bu, ayo.”
Kanaya terus tersenyum dan berbicara layaknya tidak ada yang mengganjal di hatinya. Perlu diketahui, Kanaya adalah pelakon terbaik di kehidupan nyata. Dia bisa menyembunyikan apa yang dirasakannya, sekalipun itu sulit seperti saat ini. Setiap senyuman yang ditampilkannya adalah setiap kesakitan yang ditahannya. Bukan hal pertama Kanaya mendengar mengenai hal seperti ini. Ini sudah ke berapa kalinya.
Ketika Mario dan Nuri berpamitan pergi, tubuh Kanayapun luruh begitu pintu tertutup. Air mata yang ditahannya sedari tadi mengalir deras tak terasa. Ibu mertuanya memang bersikap baik, tapi ibu mertuanya tidak suka jika ada yang mengalahkan perhatian anaknya seorang pun. Kanaya tau mengenai anak laki-laki yang menjadi milik ibunya sampai kapanpun dan mengerti, tapi apakah tidak boleh orang tua Kanaya juga diperhatikan dan disayang oleh Mario?.
**
Beberapa hari setelah itu, Kanaya sudah memaafkan segala yang di dengarnya. Dia kembali ceria dengan alami, tanpa paksaan seperti beberapa hari sebelumnya hingga pada satu waktu. Malam yang diiringi dengan hujan deras dan petir yang besar, suara dering dari ponsel Kanaya terdengar sangat nyaring hingga berulang kali. Kanaya dengan kebiasaan tidurnya yang sangat mudah terlelap, akhirnya terbangun dan langsung mengangkat panggilan itu.
"Kanaya ini ibu nak," suara cemas dari ibunya terdengar, sontak mata Kanaya terbuka lebar dan segera bertanya ada apa.
"Mata ayahmu tiba-tiba tidak bisa melihat jelas saat akan ke toilet, ibu ini dijalan ke rumah sakit. Ibu, takut Kanaya." Kanaya terkejut bukan main saat mendengarnya, air mata Kanaya pun sudah turun.
Dengan mencoba tenang, agar ibunya tidak panik Kanaya berkata akan secepatnya kesana. Kanaya segera menutup teleponnya dan berbalik untuk membangunkan Mario, tapi sayang disampingnya hanya ada guling yang tertutupi selimut. Kanaya pikir, mungkin Mario sedang di kamar mandi. Kanaya mencari ke seluruh penjuru rumah, namun dia tetap tidak melihat Mario. "Mario," teriak Kanaya dengan air mata yang sudah mengalir. Ponsel segera dicarinya untuk menelepon Mario, tapi percuma nomor Mario tidak aktif. Kanaya merasa frustasi.
"Aku mohon, Mario dimana kamu?. Kita harus melihat ayah." ucap Kanaya lemas, di sudut rumahnya sambil terduduk di lantai. Kanaya sungguh panik, akhirnya Kanaya berdiri dan segera berganti baju kemudian membawa tas juga keperluan lainnya. Dia menuliskan di kertas putih dengan cepat, jika ayahnya sakit dan dia harus pergi. Dosa memang, Kanaya karena pergi tanpa izin suaminya, tapi untuk saat ini dia tidak memiliki pilihan karena ayah dan ibunya benar-benar membutuhkannya.
Tepat saat akan mengangkat tasnya dengan tangan yang agak gemetar, ponsel Kanaya kembali berdering. Ternyata itu dari ibunya dan mengatakan, "nak, tidak usah kemari. Ayah sudah ditangani, beliau akan segera di operasi matanya. Tenang saja operasinya pun ringan. Sekarang, sudah ada Deana yang menemani ibu. Jadi, kamu tidak perlu kesini. Ibu tau suamimu baru dipindah tugaskan ke kantor pusat dan dia pasti sibuk sekali."
"Ibu." Kanaya terisak, mendengar apa yang dikatakan ibunya. Dia tidak kuat lagi menahan sedihnya. Ibu dan ayahnya yang selalu memperhatikan suaminya dan dirinya.
"Iya nak. Kamu perhatikan saja ya asupan gizi suamimu dia pasti butuh asupan gizi yang banyak saat sedang sibuk seperti sekarang. Jangan sampai dia sakit. Maafkan ibu tadi terlalu panik dan takut."
"Maafkan Kanaya, bu," lalu panggilan terputus dan Kanaya menangis kembali di ranjangnya.
Dia terus menangis hingga air matanya tak sanggup lagi keluar. Dia hanya memandang jendela dengan gorden siang yang terangkat-angkat karena terbawa angin. Ketika jam sudah menunjukan pukul tiga pagi, suara deru mobil terdengar oleh Kanaya. Kanaya berusaha memejamkan matanya, berperan sebaik mungkin seperti tidak ada yang terjadi. Derap langkah suaminya yang mengendap, terdengar olehnya hingga pergerakan suaminya yang perlahan tidur kembali di sampingnya.
Kanaya hanya bisa memejamkan matanya erat dan berharap bahwa dugaannya salah saat ini
**
