Bagian 3
Terasa sempurna hidup Kanaya Gardapatri. Suaminya baru saja naik jabatan dan dipindah tugaskan ke kantor pusat yang dekat dengan rumah mereka. Rumah yang selalu sepi kini menjadi terasa ramai oleh suara dentingan garpu dan sendok, tak lupa suara Mario yang menjawab apapun yang ditanyakan oleh Kanaya atau memperdebatkan sesuatu mengenai apapun jika hari berganti dari pagi yang sejuk menjadi siang yang panas. Waktu dimana biasanya dia sedang sangat bosan hingga hanya beguling-guling di kamar. Ya, Kanaya sangat menyukainya.
"Mario kamu pulang jam berapa hari ini?,” tanya Kanaya yang mengantarkan suaminya ke depan pintu.
"Aku baru saja mau berangkat kerja, kamu sudah menanyakan jam berapa aku pulang. Aku sekarang setiap istirahat pulang loh sayang," jawab suaminya membuat Kanaya terkekeh.
Membenarkan apa yang dikatakan oleh suaminya. Dengan senyuman manis Kanaya berdiri di samping pintu rumah dan melihat suaminya dengan mobil Brio merah meninggalkan rumah. Kanaya berharap andai saja suaminya bisa menemaninya dirumah seharian, tapi dia tau jika suaminya tidak bekerja maka mereka tidak akan bisa makan dan tidak bisa menabung untuk masa depan.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, sudah sebulan Mario bekerja di kantor pusat. Gaji pertama setelah promosi yang sudah diambilnya dari ATM itu pun digenggam dan di berikan pada istrinya dengan senyuman ketika pulang. “Banyak sekali." seru Kanaya seraya menghitung uang yang ada di amplop cokelat yang diberikan Mario lalu memegangnya dengan erat dan penuh rasa syukur.
"Iya, kan aku sudah bilang kemarin, gajiku naik." Jawab Mario agak kencang sambil membuka kancing kemejanya.
"Alhamdulillah, kalau begitu kita bisa menabung lebih." Balas Kanaya.
Mario tersenyum dan mengelus pipi istrinya yang lembut seperti bayi, "gunakanlah untuk membeli baju baru yang sedang musim dan pergi keluar sekali-kali dengan temanmu ketika aku bekerja."
"Tidak, bajuku masih banyak dan aku malas harus keluar jalan-jalan sendiri." Jawab Kanaya dengan senyum kemudian berdiri menuju kamar untuk menyimpan uang tersebut. Suaminya yang duduk di sofa hanya bisa menghela nafas, istri nya ini memang sangat patuh padanya tapi untuk hal satu itu istrinya sangat keras kepala. Mungkin istri lain akan senang jika disuruh suaminya jalan-jalan dan membeli baju, tapi tidak dengan Kanaya. Dia terlalu malas. Dia wanita sederhana.
Semenjak itu kehidupan yang dicecap oleh Kanaya semakin manis. Dia merasa sangat sempurna dengan statusnya dan apa yang dimilikinya saat ini, walaupun memang masih ada satu yang kurang dalam pernikahannya yaitu kehadiran buah hati, tapi Kanaya adalah seseorang yang selalu bersyukur atas apa yang Tuhan berikan padanya. Kanaya merasa sangat bahagia.
**
Suatu hari ketika Kanaya sudah siap dengan masakan yang dihidangkannya di atas meja dan juga kue yang dibuatnya sendiri, Kanaya melirik jam didinding putihnya yang sudah menunjukan pukul tujuh tepat. Biasanya Mario akan pulang dengan senyuman yang menyimpan lelah. Benar saja, tidak lama dari itu terdengar suara deru mobil di depan rumahnya, tapi aneh bukan suara pintu terbuka dengan teriakan "aku pulang," tapi ketukan di pintu. Kanaya meremas jemarinya, dia takut kalau terjadi sesuatu dengan suaminya seperti cerita-cerita yang pernah ditontonnya hingga dia membuka pintu dan menemukan Mario yang menutupi wajahnya dengan buket bunga mawar merah besar juga paper bag besar ditangan kirinya. Kanaya langsung menghambur dan mengambil bucket bunga itu.
"Happy anniversary," ucap Mario dengan senyuman yang memperlihatkan lesung pipi yang selalu membuat Kanaya jatuh hati padanya. Kanaya menitikkan air matanya bahagia, Mario memberikan paper bag pada Kanaya dan berkata "kado untukmu dan bukalah didalam rumah." Mario menutup pintu dan mengikuti Kanaya masuk.
Kanaya menyimpan buket bunga di meja dan dengan bahagia membuka kado yang tadi diterimanya dari Mario dengan cepat. Setelah dibuka ternyata isinya sebuah gaun berwarna hitam dan sepatu yang senada. Kanaya langsung memeluk Mario, "terima kasih, sayang. Maaf aku tidak punya hadiah apapun, aku hanya punya kue dan janji untuk menjadi istri yang lebih baik lagi," ucap Kanaya dengan tulus.
"Tidak masalah, aku hanya ingin kamu sekarang." Ujar Mario sambil tersenyum kemudian menggendong istrinya dengan cepat menuju kamar untuk beradu bersama dan menghabiskan waktu berdua dengan romantis.
Keesokkan harinya Kanaya berdiri didepan cermin dengan balutan gaun hitam yang memiliki belahan dada cukup rendah sehingga memperlihatkan sesuatu yang membuatnya risih. Membalikkan tubuhnya pada Mario yang sedang membuka kancing kemeja, Kanaya bertanya dengan pelan karena tidak enak Mario telah membelikannya gaun mahal tersebut. "Mario aku rasa ini terlalu terbuka. Bisakah aku mengganti dengan gaun yang lain?.”
"Kamu sangat cantik sayang," jawab Mario sambil terus membuka kancing kemeja.
"Bukankah ini terlalu terbuka?, apakah.... kamu rela tubuhku dilihat oleh banyak orang?,”ujar Kanaya hati-hati.
"Ini bukan dunia novelmu, sayang. Laki-laki dengan tingkat kecemburuan berlebihan. Aku hanya ingin orang tau betapa cantik dan seksinya istriku." Mario melempar kemejanya dan mencium bahu Kanaya yang sedikit terbuka.
"Mario, bisakah cukup kamu saja yang melihatku seperti ini?,” tanya Kanaya. Berharap Mario mengerti.
"Aku mohon, Naya. Aku sudah membeli gaun itu khusus untukmu." Pinta Mario sambil berjalan mengambil handuk yang sudah Kanaya siapkan diatas kasur. “Kamu berdandanlah yang cantik," sambung Mario yang membuat Kanaya mengangguk patuh walapun sebenarnya dia sendiri tidak yakin dapat melakukan hal itu.
Didepan cermin riasnya, Kanaya memandangi apa saja yang dibelinya tadi siang. Berbekal youtube yang dilihatnya, juga apa kata penjual kosmetik, Kanaya dengan tekad kuat mulai merias wajahnya. Selama ini dia hanya tau bedak dan gincu saja, tidak dengan pensil alis, eyeliner ataupun maskara. Berulang kali, Kanaya menghapus coretan di alisnya dan tidak sekali pula Kanaya menghapus garis lurus tipis yang dihasilkan oleh eyeliner nya. Kanaya sudah berusaha keras k tapi dia sungguh tidak bisa dan itu membuatnya benar-benar merasa frustasi.
Mario yang sudah berbalut kemeja putih, melihat istrinya merasa kasihan juga. Kanaya begitu kesusahan dengan make upnya. Tak mau menunggu lama, akhirnya Mario menyuruh Kanaya berdandan sebisanya. Kanaya merasa sangat bersalah pada Mario karena tidak bisa memberikan apa yang diinginkan Mario, tapi apa daya dia lebih takut jika hasil make upnya akan membuat Mario malu. Dengan rasa menyesal, pada akhirnya Kanaya hanya memakai bedak, gincu dan blush on saja.
**
Sepanjang pesta Kanaya merasa tidak nyaman, dia tidak suka dengan keramaian. Mario pun meninggalkannya sendiri dengan alasan ada urusan dengan teman kerjanya. Kanaya tak punya pilihan selain duduk sendiri di salah satu meja sambil memainkan ponselnya. “Boleh ikut duduk?," tanya seseorang mengejutkan Kanaya. Dia mendogak dan mendapati perempuan yang berparas sangat cantik. Dilihatnya, perempuan itu memakai gaun merah menyala yang begitu terbuka dengan rambut bergelombang panjang dan tersenyum sangat lebar kepadanya.
"Tentu, silahkan duduk." Kanaya mempersilahkan dengan agak gelagapan.
Perempuan itupun duduk dengan anggun dan mengulurkn tangannya, "Lana Sasongko."
Kanaya segera menerima uluran jabat tangan itu dan menyebutkan namanya, "Kanaya Gardapatri.”
Lana tersenyum dan melepaskan tangannya, kemudian asyik mendengarkan live music dan minumannya. Selang beberapa menit, Kanaya mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan pesta untuk mencari dimana Mario. Kanaya sungguh merasa tidak nyaman duduk satu meja dengan orang yang baru dikenalnya. Dia tidak tau harus berkata apa dan bagaimana, hingga akhirnya Kanaya memilih untuk pergi ke toilet.
Belum Kanaya masuk ke kamar mandi, di lorong Kanaya tidak sengaja mendengarkan sesuatu yang menarik dan membuatnya terus merapatkan tubuhnya ke dinding agar tidak menghalangi orang berjalan dan tidak ada yang mengetahuinya kalau dia tengah menguping.
" ... iya memang sih cantik istrinya itu, tapi ya kalau dibandingin sama ibu manager marketing sih jauh banget," bisik seorang perempuan, namun masih bisa Kanaya dengar jelas.
"Iya lah. Liat aja badannya ibu marketing, belum apa yang dipakai sama dia. Oh ya, aku juga denger dari temenku yang kerja dikantor cabang, kalau Pak Mario itu dikenal takut sama istrinya. Tiap hari aja di bekelin, cuman dikasih buat ongkos aja. Ya, pantes aja dia cari wanita yang baru di tempat kerja sekarang," jawab teman si perempuan dengan berapi-api.
Seketika, Kanaya merasa kakinya lemas dan detak jantungnya pun berdetak sangat cepat. Tangannya sudah mencengkram tas hitam yang dipegangnya dengan sangat kuat. Kepalanya secara spontan terus menggeleng sambil berkata dengan lirih dan pelan, "tidak mungkin." Dia harus segera pergi, berharap itu hanya gosip tidak benar sama seperti gosip yang menyebutkan kalau dia hanya memberi suaminya ongkos saja.
Ya, seperti itu pikir Kanaya. Batinnya terus membantah sampai-sampai dia terus berjalan dengan pandangan tidak fokus dan menabrak seorang pria yang baru keluar dari kamar mandi. “Pake mata dong kalau jalan," tegur lelaki berperawakan kecil tinggi itu.
Kanaya hanya bisa mengucapkan kata "maaf" berulang kali hingga akhirnya lelaki itu pergi dengan perasaan kesal dan membiarkan Kanaya berdiri seperti orang bodoh di depan toilet pria.
Berjalan kembali ke pesta, Kanaya mencari kuris kosong untuk duduk dan mencari dimana Mario berada. Kanaya ingin melihat senyum Mario untuk membuat hatinya kembali baik dan percaya. Dia yakin Mario tidak mungkin mengkhianatinya, kalaupun benar, kapan suaminya mempunyai waktu untuk berselingkuh?. Siang saat istirahat saja Mario selalu pulang dan malam harinya pun Mario tidak pernah terlambat.
Ya Kanaya, kamu harus yakin!. Apalagi yang kamu ragukan?. Kamu ingin menghancurkan segalanya dengan omongan kedua perempuan tadi?.
Tidak, kamu bodoh kalau sampai terpengaruh dan lebih bodoh lagi jika kamu sampai menanyakan pada Mario langsung. Tidak ..., tidak ..., jika memang suamimu berselingkuh dengan orang kantor tidak mungkin kamu diajak kesini bukan?. Perang batin Kanaya.
Sedang gamang dengan pikirannya, Kanaya melamun hingga tidak menyadari kedatangan Mario yang menyentuh bahunya. "Kanaya, kamu darimana saja?. Ayo kita pulang."
Kanaya menoleh dengan wajah gelisah dan langsung berdiri memeluk Mario, berharap segala keraguan itu hilang lalu berganti menjadi sebuah kepercayaan yang lebih besar dari apa yang dipunyanya saat ini. Mario merasa bingung dengan sikap Kanaya, "Kamu kenapa?."
Kanaya melepas pelukannya dan tiba-tiba bertanya, "kamu ingin kita jalan-jalan malam dulu sebelum pulang?."
Mario makin bingung, tapi dia menjawab apa yang ditanyakan oleh Kanaya tanpa bertanya lagi. Mario pikir, mungkin saja Kanaya merasa tidak nyaman karena ditinggalkannya terlalu lama. "Maafkan aku ya, aku lelah sekali. Sebaiknya kita pulang, aku ingin dirumah saja berdua dengan kamu."
Kanaya tidak marah mendengar jawaban Mario, dia malah tersenyum dan merasa hangat. Kanaya merasa menemukan sebuah kenyataan bahwa suaminya tidak mungkin mengkhianatinya. Selama ini suaminya selalu hanya ingin berdua dengannya. "Ya, kita dirumah saja. Itu lebih baik. Ayo kita pulang"
Keluar dari tempat pesta itu, Kanaya menggenggam tangan Mario erat. Meyakinkan dirinya bahwa Mario memang hanya untuknya.
**
