Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Kesetiaan Bayu

Sudah dua puluh empat tahun Hukma hidup, baru kali ini ia merasa sengsara. Hukma terlahir dari keluarga berada, meski pernah merasakan jatuh bangun karena usaha papanya mengalami penurunan, tetapi papanya selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Hukma juga sangat berbakti pada mamanya, saat mamanya mengatakan A, Hukma akan melakukannya. Namun, Hukma tidak tahu balasan dari perbuatannya yang mana yang membuatnya tidak diterima baik oleh murid-murid yang sedang ia ajar. Ia masih guru magang dan ia akui ia belum bisa membuat mereka nyaman dengannya. Namun perlakuan mereka hari ini sangat keterlaluan.

Hujan turun dengan sangat deras, Hukma berteduh di halte Bus untuk menunggu kekasihnya. Bayu mengatakan akan menjemputnya tepat waktu. Hukma memeluk tubuhnya sendiri yang terasa sangat dingin. Angin berhembus kencang membuat hawa dingin sampai menembus tulang. Sesekali Hukma akan mengusap pipinya yang masih terasa panas. Ingatan tadi siang masih membayangi Hukma, Hukma ingin segera melupakannya, tetapi rasanya sangat sulit.

Tidak mengelak kalau apa yang sudah Pak Ilham lakukan padanya membuat trauma tersendiri untuk Hukma. Dibesarkan dengan kasih sayang penuh membuat Hukma kaget saat ada orang yang berani menamparnya. Hukma menahan air matanya yang mendesak ingin keluar. Gadis itu mengusap-usap pipinya, berharap rasa panas itu segera hilang.

“Itu Bu Hukma yang tadi ada masalah sama Kesiswaan.”

“Iya yang mendorong Keyla. Untung Bu Hukma tidak masuk di kelas kita.”

Suara krasak krusuk terdengar di telinga Hukma. Hukma ingin menulikan pendengarannya, tetapi semakin lama ia membiarkan, semakin pula banyak yang membicarakan. Para murid itu yang sebelumnya sudah bosan menunggu bus pun kini memiliki bahan pembicaraan yang panas.

“Kemarin-kemarin Bu Hukma dipuji cantik, sekarang semua pada caci maki karena tidak punya etika. Good looking doang attitued gak punya juga buat apa.”

Hukma bungkam, meski banyak siswi yang memancing keributan, gadis itu masih teguh dengan pendiriannya untuk diam. Karena percuma ia meladeni kalau tidak akan ada yang percaya padanya.

“Diam kalian semua!” suara teriakan yang nyaring membuat seluruh siswa yang ada di halte bus menatap ke sumber suara. Tidak terkecuali Hukma. Hukma menatap dua remaja yang datang dari belakang Halte.

“Kalian tidak tahu yang terjadi malah menghakimi. Siapa tadi yang ngomong? Ngomong lagi kalau berani, gue tampol bibir lo,” oceh Elo menatap tajam ke arah teman-temannya.

“Bu Hukma, Bu Hukma tidak apa-apa, Kan?” tanya Niko menghampiri Bu Hukma. Pria itu ingin memegang tangan Hukma, tetapi Hukma mengangkat tangannya tanda tidak mau disentuh.

“Bu Hukma tidak salah, yang salah Keyla. Kalau gue denger kalian jelekin Bu Hukma, urusannya sama gue,” ujar Elo lagi.

“Kok lo belain Bu Hukma? Dikasih apa lo sama Bu Hukma?” tanya salah satu siswi.

“Gue gak dikasih apa-apa sama Bu Hukma, gue bicara yang sebenarnya,” jawab Elo.

“Semua orang juga tahu kalau lo suka sama Bu Hukma. Jadi lo belain dia.”

“Kalau gue suka sama Bu Hukma apa urusan lo?”

“Ya gak ada urusan sih. Pantas saja lo belain. Bu Hukma memang cantik, tapi percuma kalau jadi simpenan anak SMA.”

Bugh!

Hukma tersentak saat Elo memukul satu siswi dengan kencang. Suara jeritan dan pekikan nyaring terdengar.

”Elo, apa yang lo lakuin?” teriak teman-teman Elo segera membantu seorang gadis yang kini menangis karena tonjokan Elo.

Elo menarik kerah gadis itu dengan kasar. “Jaga batasan lo, punya mulut gak guna banget. Berani bilang lagi, nyawa lo yang melayang,” ancam Elo membanting gadis itu dengan kasar.

“Elo sudah,” tegur Bu Hukma segera menghampiri Elo. Wajah Elo sangat memerah, napas pria itu juga naik turun tidak beraturan.

“Beraninya lo lawan cewek, sini lo kalau berani,” salah satu gadis ikut bersuara dan mendorong tubuh Elo. Elo tidak tinggal diam, pria itu balik mendorong gadis yang Elo tidak tahu namanya. Niko yang semula diam pun membantu temannya karena temannya yang dikeroyok para gadis.

Suasana yang semula damai kini menjadi sangat ricuh karena pertengkaran Niko, Elo dan para siswi yang berada di sana. Elo sudah banyak menghantam teman-teman perempuannya. Ia tidak mempedulikan bila lawannya seorang perempuan.

Di sisi lain, Bayu tengah berusaha menghidupkan mobilnya yang tiba-tiba macet. Hujan turun dengan deras membuat Bayu sangat gugup, pasalnya ia harus menjemput Hukma. Ia sedikit terlambat keluar dari kelas karena ditahan para mahasiswinya yang masih bertanya materi.

“Nasib orang ganteng, mau keluar kelas saja pake ditahan-tahan. Sekarang mobil dengan tidak tahu dirinya malah mogok,” umpat Bayu memukul setirnya. Bayu masih berusaha menghidupkan mobilnya, tetapi tetap saja hasilnya nihil.

Pria itu menggulung lengan kemejanya, Bayu mengambil payung dan bergegas keluar menuju kap mobil depannya untuk mengecek mesin. Hujan yang turun sangat deras membuat percikan air itu mengenai kemeja Bayu.

“Pak Bayu!” segerombol mahasiswi lewat seraya melambaikan tangannya pada Bayu. Bayu membalasnya dengan senyum tipis dan kembali mengotak atik mesinnya.

Seorang gadis menghampiri Bayu, dengan lancang gadis itu menarik paksa payung Bayu. Bayu terkesiap, menolehkan kepalanya pada Ela, mahasiswinya.

“Saya payungin, Pak,” kata Ela dengan senyum manis yang mengembang di bibirnya.

“Tidak perlu, saya bisa sendiri,” jawab Bayu ingin menarik payung Ela, tetapi Ela menahannya.

“Bapak benerin saja mesinnya. Atau kalau bapak buru-buru pulang, bapak bisa ikut saya. Saya bawa mobil sendiri,” kata Ela. Bayu tidak menjawab, pria itu menundukkan kepalanya lagi untuk mengotak-atik mesin mobilnya.

“Pak Bayu, gimana? Mau bareng sama saya saja?” tanya Ela lagi yang masih belum menyerah.

“Terimakasih kebaikannya, Ela. Tapi tidak perlu,” jawab Bayu. Ela menampilkan wajah cemberutnya, tetapi Bayu sama sekali tidak peduli.

Ela menatap Bayu dengan pandangan memujanya, gadis itu bahkan membasahi bibirnya sendiri. Beberapa kali Ela juga menggigit bibir bawahnya. Saat mata kuliah Bayu, Ela selalu berangkat paling awal biar bisa duduk di depan. Sekarang Ela punya kesempatan untuk mendekati Bayu.

Bayu yang merasa ditatap pun menghela napasnya, pria itu menegakkan badannya. Namun sayang, saat ia menegakkan badannya, kepala Bayu tersundul payung membuat pria itu memejamkan matanya menahan kesal.

“Eh eh … maaf, Pak. Saya jinjit nih biar kepala Pak Bayu gak tersundul,” ucap Ela.

Bayu menarik paksa payungnya membuat Ela terkesiap, “Dasar Tulkiyem, kenapa masih di sini? Cepat pulang sana cuci tangan, cuci kaki, minum cucu lalu bobok,” ucap Bayu dengan geram.

“Pak, tapi saya-”

“Cepat ikuti apa yang saya katakan sebelum saya benar-benar marah.”

“Niat saya membantu.”

“Tapi kamu tidak membantu saya,” sentak Bayu.

“Yang ada kamu menyusahkan orang susah!” tambah pria itu.

Bayu menutup kap mobilnya dengan kencang, pria itu menuju ke post satpam dengan tergesa-gesa, meninggalkan Ela yang langsung basah kuyup.

“Pak Bayu, tungguin!” teriak Ela.

Bayu menolehkan kepalanya, tatapan mata pria itu menusuk tajam. “Jangan ikuti saya!” kata Bayu menunjuk Ela dengan jari telunjuknya. Ela pun langsung ngibrit berbalik arah. Bayu memutar bola matanya jengah, pria itu kembali menuju ke post satpam. Bayu tahu kalau resiko orang ganteng memang disukai banyak orang, tapi terkadang rasa suka orang-orang padanya sangat membuatnya susah. Ada hati yang harus Bayu jaga, yaitu Hukma.

Sedangkan di halte bus masih terjadi keributan. Hukma berusaha memisah Niko, Elo dan para siswi yang tengah membabi buta mencacinya.

“Cukup Elo!” teriak Hukma menarik paksa seragam Elo membuat Elo sedikit mundur. Air mata Hukma jatuh dengan deras, gadis itu menatap lekat anak muridnya yang masih terlihat marah.

“Tidak ada gunanya kamu melakukan ini, Elo,” ucap Hukma.

“Tapi mereka sudah bicara sembarangan, Bu,” sentak Elo.

“Semua di sekolahan sudah tahu kalau saya yang salah. Dari mulut ke mulut mengatakan kalau saya yang mendorong Keyla. Sudah seperti hukum alam kalau manusia hanya mau mendengarkan keburukan orang lain, tidak dengan kebaikannya. Mau bibir kamu berbusa, mereka yang terlanjur membenci saya tidak akan percaya dengan kebenarannya. Kalau kamu berniat membela saya, harusnya kamu lakukan saat di kelas. Kamu tahu kalau saya tidak salah, tapi saat saya membutuhkan pembelaan di kelas, apa kamu melakukannya?” oceh Hukma panjang lebar.

“Kamu tidak melakukannya, Elo,” tambah Hukma.

“Bukan begitu maksud-”

“Lalu apa maksud kamu, Elo? Kita berada di generasi Z di mana semua sudah serba modern. Guru magang diperlakukan tidak adil, padahal kami yang masih magang juga sama-sama berjuangnya untuk mencerdaskan kalian-kalian para murid. Tetapi kalau semua guru mengalami apa yang saya alami hari ini, kemudian hari apa masih ada yang bercita-cita menjadi guru? Saya yakin hari ini masih awal, besok dan hari-hari selanjutnya kalian akan semakin menjadi. Mungkin hari ini saya mendapat tamparan, tapi besok, siapa yang bisa menjamin kalau kasusnya tidak akan lebih parah?”

Semua bungkam mendengar ucapan Hukma, air mata gadis itu terus membasahi wajah cantiknya. Wajahnya memerah karena tamparan tadi dan hawa dingin yang menusuk kulitnya. Hukma mengusap air matanya dengan pelan.

“Elo, Niko, lain kali tidak perlu membela saya. Fokus saja pada sekolah kalian, itu yang nanti akan berguna untuk kalian,” ujar Hukma lagi.

Sebuah motor berhenti tepat di halte bus. Semua mata menatap ke arah motor itu, seorang pria memakai jas hujan turun dan membuka helmnya.

“Papi,” panggil Hukma.

Bayu menuju halte Bus mendekati Hukma, pria itu memegang pundak Hukma dan menatap gadis itu dengan lekat. Elo dan Niko sedikit mundur.

“Hukma, kamu baik-baik saja, kan? Maafkan aku terlambat jemput kamu, tadi mobilku mogok, aku pakai motor penjaga kampus,” ucap Bayu memutar-mutar tubuh Hukma memastikan Hukma baik-baik saja.

Pandangan Bayu mengarah tepat di air mata Hukma yang membasahi pipi gadis itu. Tangan Bayu terulur di pipi Hukma, “Kenapa sampai ada air mata di sini?” tanya Bayu dengan pelan. Hukma memaksakan senyumnya, gadis itu memeluk tubuh Bayu dengan erat.

Bayu mengelus surai lembut kekasihnya, pria itu menatap seluruh murid yang menatapnya. Saat ia menatap mereka, mereka segera menundukkan kepalanya. Pandangan Bayu tepat pada dua orang remaja yang tadi pagi sempat bertemu dengannya.

“Saya ingat tadi pagi bertemu sama kamu dan kamu menaiki motor. Kenapa sekarang ada di sini?” tanya Bayu pada Elo. Elo terdiam, pun dengan Niko.

“Siapa yang membuat pacar saya menangis?” tanya Bayu dengan tajam.

“Sudah, kita pulang saja,” kata Hukma mengurai pelukannya pada Bayu.

“Tidak bisa, aku harus tahu siapa yang sudah membuat kamu menangis,” kata Bayu. Bayu menata lekat wajah Hukma lagi. Pipi Hukma memerah di sebelah kanan. “Siapa yang menamparmu, Hukma?” tanya Bayu meminta penjelasan.

“Tidak ada,” jawab Hukma.

“Hukma, jawab. Siapa?”

“Papi, aku tidak mau ribut di sini. Biar aku jelaskan di rumah.”

Bayu menatap lagi ke arah Elo, tiba-tiba pria itu menarik krah seragam Elo dengan kencang. Tubuh Elo yang kalah besar dari Bayu pun sedikit limbung ke arah Bayu.

“Apa yang sudah kamu lakukan?” desis Bayu mengintimidasi.

“Tidak. Aku tidak melakukan apapun.”

“Kekasih saya menangis dan ada bekas tamparan di pipinya. Siapa yang melakukannya?”

“I … itu hanya kesalahpahaman,” cicit Elo. Tadi pagi Elo terlihat sangat garang, sekarang remaja itu menciut melihat kemarahan Bayu.

“Jelaskan!” titah Bayu dengan tajam.

Elo menatap Niko, Niko tidak berani ikut campur. Niko mengenal Bayu meski hanya di media sosial. Sejak dulu Niko sudah menjadi pengikut media sosial Bayu karena Niko memiliki cita-cita menjadi arsitek.

“Jelaskan!” titah Bayu lagi mencengkram kerah baju Elo dengan kencang.

Awal melihat Bayu tadi, Elo kira Bayu adalah orang santay dan bisa diajak bercanda. Tetapi penilaiannya langsung berubah saat melihat kemarahan Bayu sore ini. Mau tidak mau Elo pun menceritakan yang sebenarnya pada Bayu. Mulai dari Hukma yang diejek teman-temannya hingga berujung pada penamparan. Rahang Bayu mengetat, pria itu mati-matian menahan amarahnya yang akan meledak saat mendengar serentetan penjelasan dari Elo.

“Papi, kita bahas lagi kalau kita sudah sampai rumah,” lerai Hukma menarik paksa tangan Bayu. Bayu melepas cekalan tangannya pada krah Elo.

Bayu menatap Hukma yang jejak-jejak air mata sangat jelas. Pria itu melepas jas hujannya dan melipatnya dengan cepat. Hujan sudah mereda, awan mendung juga sudah pudar.

Bayu melepas kancing kemejanya satu persatu, tanpa basa-basi pria itu menyampirkan kemejanya pada tubuh Hukma. “Pakai ini dulu biar gak dingin, nanti sampai rumah kamu ganti baju,” ucap Bayu. Bayu memeluk tubuh Hukma dari samping dan mengajaknya ke motor. Apa yang Bayu lakukan tidak lepas dari pandangan Elo, Niko dan teman-temannya yang lain.

Bayu menaiki motornya, Hukma pun segera duduk di belakang Bayu. Tanpa diperintah, Hukma memeluk tubuh Bayu dengan erat. Tanpa menunggu lama Bayu menjalankan motornya meninggalkan halte bus. Hukma memejamkan matanya di sela pelukannya yang semakin mengerat. Di sepanjang jalan, Hukma merebahkan kepalanya di punggung Bayu, tidak terasa air mata kembali keluar dari mata cantik Hukma. Kalau tadi air mata sedih, sekarang air mata bahagia. Isakan kecil keluar dari bibir Hukma, meski bibirnya terisak, tetapi Hukma juga tersenyum.

“Hukma,” panggil Bayu mengelus lutut Hukma dengan pelan.

“Tenang saja, Pi. Aku menangis karena bahagia. Tidak peduli bagaimana penilaian orang lain di luar sana tentang aku. Tidak apa-apa mereka tidak percaya padaku, asal kamu masih berdiri di sampingku dan mempercayaiku. Satu orang yang percaya padaku itu lebih cukup dari apapun,” ucap Hukma. Bayu tersenyum kecil pada Hukma, pria itu semakin mengelus lutut Hukma.

“Aku akan berdiri di sampingmu. Tidak peduli apa yang akan tejadi, aku tetap bersamamu. Jangan khawatirkan tentang kesetiaanku,” kata Bayu menarik tangan tangan Hukma untuk ia genggam. Tangan kanan Bayu memegang kendali, sedangkan tangan kirinya memegang erat tangan Hukma.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel