9. Davit Yang Kuwalahan
“Lintang, kamu mau dimasakin apa?” teriak Davit dari luar rumahnya. Saat ini Davit tengah berdiri bersama ibu-ibu tetangganya mengerubuni penjual sayur keliling.
Kalau orang normal, seorang istri lah yang biasanya belanja, tetapi beda dengan Davit dan Lintang. Saat ini Lintang masih asik nonton kartun kesukaannya, sedangkan Davit yang harus berebut terong bersama ibu-ibu tetangganya.
“Lintang!” teriak Davit lagi berharap istrinya akan menjawab. Kalau sudah nonton kartun kuning kotak, Lintang tidak peduli apapun.
“Mas, amanin terong ini. Jangan sampai direbut ibu-ibu,” ucap Davit pada Mas Anton, penjual sayur keliling yang masih lajang.
“Enak saja, itu terong aku yang pegang duluan. Davit jangan asal merebut!” pekik Bu Suratin merebut terong dari Anton.
Davit yang akan menghampiri istrinya pun mengurungkan niatnya. Pria itu membulatkan matanya saat terongnya diambil alih oleh Bu Suratin. Si ibu satu itu memang sangat sering membuat Davit kesal perkara belanjaan.
“Eh aku yang pegang duluan, Bu. Itu terong milikku,” ucap Davit ingin merebut terongnya. Tetapi Bu Suratin segera menyembunyikan di belakang tubuhnya.
“Kamu punya terong sendiri kenapa harus beli terong? Kalau mau masak ya masak yang itu saja,” kata Bu Suratin menatap ke bawah perut Davit. Dengan spontan Davit menutupi tubuh bagian bawahnya. Pria itu bergidik ngeri membayangkan sosis kebanggaannya dicincang dan dimasak.
“Bu, jangan aneh-aneh, deh. Bayangin saja kalau terongnya Pak Suratin yang dimasak. Memangnya Bu Suratin masih mau sama suami tanpa terong?” tanya Davit.
“Dasar kurang ajar, suamiku namanya Pak Haidar, bukan Pak Suratin,” ucap Bu Suratin mencubit perut Davit dengan gemas.
“Iya iya namanya Pak Dar, sekarang balikin terongnya. Saya mau masak.”
“Ya kamu pikir saya beli terong buat apa kalau bukan buat masak?”
“Buat kepuasan batin,” jawab Davit tergelak.
“Lintang, suamimu kurang ajar!” teriakan menggelegar terdengar sangat nyaring dari bibir Bu Suratin. Davit ikut tergelak, pun dengan Mas Anton dan ibu-ibu yang lainnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau Davit selalu menjadi primadona di kalangan ibu-ibu. Pasalnya Mas Anton selalu menghentikan dagangannya di rumah Davit, dan karena Davit yang paling muda, Davit sering digoda ibu-ibu.
“Sudah-sudah jangan berdebat, Mas Davit besok aku bawain terong. Sekarang biar Bu Suratin yang bawa, terongnya juga tinggal dua,” ucap Anton.
“Satu-satu dong, Bu. Bu Suratin satu aku satu, jadi sama-sama ngerasain terong,” ucap Davit mencoba nego. Dari semalam Davit sangat ingin makan sambal terong, tetapi Mas Anton hanya bawa dua.
“Nih kalau berani ambil. Ambil gih. Kalau nyenggol biar dihajar sama Pak Haidar,” ucap Bu Suratin memasukkan dua terongnya ke daster yang dia kenakan.
“Ya Allah di sini ada perjiki ting-ting, jangan kalian nodai calon mantuku!” teriak Bu Luluk dengan heboh. Perempuan itu langsung menutup mata Anton seraya berjinjit. Anton sedikit terhuyung karena ulah Bu Luluk.
Berada di komplek dengan orang-orang yang sangat absurd membawa tekanan batin tersendiri untuk Anton. Setiap hari melihat Davit dan Bu Suratin bertengkar, Bu Luluk yang selalu menjodohkannya dengan anaknya dan memanggilnya anak nenantu. Belum lagi ia juga harus mendengar ghibahan dari ibu-ibu. Ibu-ibu absurd di sini sudah seperti CCTV berjalan, gosip dari kota tetangga pun sampai terdengar dan dibicarakan sambil belanja. Katanya mereka tidak sedang bergosip, melainkan mereview kehidupan orang lain. Namun kalau berhenti di depan rumah Davit, tidak menunggu waktu lama dagangannya pasti habis karena ibu-ibu memang lebih suka belanja sambil godain Davit.
“Ya sudah aku masak tempe saja. Dasar ibu-ibu gak mau ngalah,” ucap Davit mengambil tempe, cabe, dan bumbu rempah lainnya.
Anton melepas tangan Bu Luluk, pria itu celingak-celinguk menatap ke rumah Davit. Sang primadona belum juga muncul. Anton sangat suka melihat Lintang, definisi perempuan cantik, kalem dan keibuan. Padahal Anton tidak tahu saja kalau aslinya Lintang juga sangat cerewet dan suka ngomel.
“Heh, lihatin apa?” tanya Davit menyenggol pundak Anton.
“Eh itu Mas, kok istrinya gak keluar?” tanya Anton. Keberanian Anton memang patut diacungi jempol, menanyakan istri orang ke suaminya langsung.
“Kenapa nanyain istri saya?” tanya Davit yang wajahnya sudah mulai garang.
“Tanya saja sih, Mas. Kok bisa sih dapat istri cantik, kalem, baik, pengertian. Resepnya apa?” tanya Anton berbisik biar tidak didengar ibu-ibu yang saat ini masih saja bergosip. Ibu-ibu itu belanja hanya lima menit, selebihnya bergosip sampai berjam-jam. Tidak tahu kalau suami dan anak di rumah sudah kelaparan. Kalau Anton dapat istri seperti ibu-ibu itu, sudah pasti Anton tukar tambah atau dijadiin tumbal di gunung Kawi untuk mencari pesugihan.
“Kamu mau tanya resep?” tanya Davit. Anton menganggukkan kepalanya.
Davit menatap ke sekelilingnya, saat dirasa aman, dengan isyarat tangannya Davit menyuruh Anton mendekat. Anton menganggukkan kepalanya, pria itu mendekatkan telinganya pada Davit.
“Besok kamu ke Gunung Merapi, kamu bertapa di sana dan mencari ilmu pelet suci untuk mencari perempuan yang kamu inginkan,” bisik Davit.
“Ohh begitu,” jawab Anton mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dasar kurang kerjaan nanyain istri orang. Nih berapa totalnya,” ketus Davit mendorong tubuh Anton agar menjauh. Pria itu menunjukkan tempe dan bahan lain yang ia ambil. Anton menggaruk kepalanya, pria itu menghitung total belanjaan Davit.
Setelah membayar Davit bergegas masuk ke rumahnya. Lintang benar-benar budeg, sejak tadi diteriaki tapi tidak menjawab. Saat sampai di rumahnya, Lintang masih duduk di depan televisi dengan rambut yang acak-acakan. Beberapa hari ini Lintang seolah malas sisiran. Sisiran pun harus suaminya karena Lintang malas melakukannya.
Lintang tampak fokus menatap kartun di hadapannya, Davit mengikuti arah pandang Lintang. Seketika Davit memutar bola matanya jengah, selalu kartun itu yang ditonton Lintang.
“Lintang!” panggil Davit. Lintang tidak bereaksi apapun, perempuan itu masih fokus pada kartunnya.
“Lintang!” panggil Davit lagi. Davit menonyor kepala belakang lintang membuat Lintang limbung.
Lintang merebahkan dirinya dengan lemas, perempuan itu seolah tidak mempunyai tenaga apapun.
“Ahhh, capek,” rengek Lintang merentangkan tangannya.
“Lintang, sejak sore sampai tadi pagi kamu tertidur pulas dan sekarang masih lemas? Cepat mandi sana!” oceh Davit.
“Bagaimana gak lemas. Kemarin setelah kamu pulang ngajar, kamu langsung nyeret aku ke kamar. Dasar laki-laki gak ingat apa yang udah dilakuin. Kamu buka-buka baju aku sampai aku masuk angin,” omel Lintang menendang kecil kaki Davit.
“Husst jangan kenceng-kenceng, kita punya tetangga yang otaknya gampang traveling,” tegur Davit. Yang Davit maksud adalah Bayu.
“Ya memang gitu. Coba kamu jadi aku, sudah pasti kamu encok apalagi tulang kamu tulang tua.”
“Kamu diam saja banyak protes. Kamu diam pasrah di bawah modal mendesah, sedangkan aku harus goyang kanan kiri, sampai muter-muter biar kamu puas,” kata Davit menendang balik kaki Lintang.
”Ya kamu goyangnya gak beraturan sampai punggungku sakit semua. Sekarang aku nonton kartun saja protes terus. Dasar suami gak nyenengin hati istri,” kata Lintang mengambil boneka dan memeluknya dengan erat.
“Wes angel dikandani. Duwe bojo koyok ngene, ora popo tetep tak pertahanke,” ucap Davit menggelengkan kepalanya. Davit menuju dapur untuk masak karena sebentar lagi ia harus ke kampus. Kalau sudah kesal dengan istrinya, Davit akan mengomel memakai bahasa jawa yang artinya ‘Sudah susah dikasihtau, punya istri seperti ini tidak apa-apa tetap aku pertahankan.’
Dengan cekatan Davit mengambil pisau dan mengiris bawang putih, bawang merah dan cabai yang banyak. Awalnya Davit tidak suka pedas, tetapi akhir-akhir ini Davit sangat menyukainya. Apapun yang Davit makan, Davit ingin menggunakan sambal.
Urusan dapur, Davit lebih suka mengerjakannya sendiri dari pada sang istri yang mengerjakan. Davit lebih percaya Anton benar-benar ke gunung Merapi dari pada percaya istrinya tidak ceroboh saat memasak. Mempercayai istrinya yang memasak dengan damai dan selamat membuat Davit merasa jadi orang yang sesat. Saat membakar ikan gurami, harusnya menggunakan minyak soya, sedangkan Lintang dengan asal menggunakan minyak goreng, lalu apa bedanya dengan goreng dan bakar.
Sedangkan di depan televisi, Lintang bersusah payah bangun dari rebahannya. Lintang menyibak rambutnya yang acak-acakan, Lintang sangat alergi sisir beberapa hari ini. Setelah mengumpulkan banyak niatnya, Lintang menuju ke dapur dengan langkah kaki yang terseok-seok. Harum masakan yang dibuat suaminya membuat perut Lintang keroncongan.
“Mas, masak apa?” tanya Lintang memasuki dapur.
“Sudah bangun, Tuan Puteri? Gak lemas lagi?” tanya Davit menaikkan sebelah alisnya.
Lintang tidak menjawab suaminya, perempuan itu memeluk tubuh suaminya dari belakang. “Kamu marah ya, Mas?” tanya Lintang dengan pelan.
“Enggak,” jawab Davit. Pria itu memasukkan kecap manis di pan yang sudah berisi tempe. Davit memasak tempe orak-arik.
“Jujur aja, kamu marah kan sama aku? Kamu marah karena aku yang sekarang menjadi tulang lunak, gak pernah sisiran dan bau,” ucap Lintang. Davit hanya menghela napas mendengar ucapan istrinya.
“Kamu pasti nyesel kan punya istri kayak aku, udah jelek, gak bisa rawat diri, gak bisa-”
“Lintang, siapa sih yang marah sama kamu? Aku juga gak nyesel punya istri kamu. Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Davit sembari mematikan kompornya.
“Tadi kamu tinggalin aku begitu saja di depan televisi,” jawab Lintang.
“Ya karena kamu mau nonton tv dan aku mau masak.”
“Ya gak boleh gitu, kamu harus tawarin aku buat ikut kamu.”
Davit melepas tangan Lintang, pria itu membalikkan tubuhnya untuk menatap sang istri. “Kan aku sudah menyuruh kamu mandi, kenapa kamu malah ke dapur?”
“Kan, kamu memang jahat dan tidak masuk akal jadi suami. Istri mau ke dapur juga gak boleh. Aku juga tahu ini rumah kamu, makanya kamu jadi semena-mena.”
Davit menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi, “Arghhh Lintang, siapa sih yang semena-mena sama kamu? Kamu yang tidak masuk akal. Ucapanku biasa, tapi kamu salah mengartikannya,” ucap Davit yang nada bicaranya sudah sangat geram.
“Tuh jadi marah kan.”
“Siapa yang gak marah kalau kamu bersikap seperti ini? Aku sudah sabar sama kamu sejak tadi. Tadi saat aku belanja, aku panggil kamu tapi kamu gak jawab. Lalu saat aku suruh kamu mandi kamu masih rebahan pun aku juga gak marah. Sekarang kamu bilang gini, lama-lama kejadian siang kemarin bakal terjadi lagi di sini,” ucap Davit mendorong tubuh istrinya pelan dan mendaratkan ciuman pada leher istrinya.
Secapek apapun Lintang dan bibirnya terus mengatakan kelelahan, kalau sudah disosor suaminya Lintang akan pasrah. Lintang memiringkan kepalanya dan memberikan akses pada suaminya. Davit yang diberi ruang oleh istrinya semakin dalam menyesap leher istrinya. Suara renyah dari ciuman bibir Davit terdengar beriringan dengan desahan kecil Lintang. Tangan Lintang juga yang merayap pada kaos suaminya.
Lintang meraba-raba tubuh suaminya, tangannya menemukan chocochip milik suaminya dan mencubitnya pelan. Davit mendesis pelan, pria itu ingin menurunkan tangan istrinya, tetapi Lintang menahan tangannya. Lintang semakin gencar memainkan chocohip suaminya dan memelintirnya dengan brutal.
“Akhh Lintang, jangan diputer-puter,” bisik Davit mendesis.
“Gunanya putiing cowok buat apa kalau gak buat diputer? Keluar susu juga gak bisa,” jawab Lintang.
“Jangan kenceng-kenceng, bisa putus nanti.”
“Akhh aku ingin makan chocochipmu,” ujar Lintang dengan gemas.
“Lintang, jangan brutal-brutal,” pekik Davit yang kuwalahan sendiri karena ulah istrinya.
