Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Dua Bola

Gendis berjalan mengendap-endap menuju ke tempat cuci, gadis itu tampak celingak celinguk mencari keberadaan Aidan. Pasca ciuman beberapa menit lalu, Gendis belum siap bila harus bertemu Aidan. Gendis belum menyiapkan kata-kata bila bertemu dengan Aidan. Dirasa Aidan tidak ada, gadis itu berlari menuju ruang cuci. Napas Gendis naik turun, gadis itu mengatur napasnya tatkala sudah sampai di tempat cuci. Buru-buru Gendis mengambil jas dan kemeja yang akan ia cuci. Kalau kemeja dan jas, Aidan selalu menyuruh Gendis mencuci pakai tangan. Terkadang juga Aidan akan mencucinya sendiri karena terlalu sayang dengan kemeja mahalnya.

Sebelum benar-benar mencuci, Gendis menuju pintu dan menutupnya rapat. Tidak lupa gadis itu menguncinya biar sewaktu-waktu Aidan datang, Aidan tidak bisa asal masuk.

Tidak beda jauh dengan Gendis, saat ini Aidan juga sedang mengendap-endap menuju dapur untuk mengambil kura-kura yang tadi sempat ia nistakan. Aidan celingak celinguk ke seluruh rumahnya, memastikan kalau tidak ada Gendis di rumahnya. Ini rumah milik Aidan, tapi ia bagai maling yang ingin mencuri seisi rumah. Aidan sungguh tidak memiliki jawaban bila nanti Gendis mempertanyakan soal ciuman. Aidan memukul bibirnya sendiri, baginya semua yang terjadi bukan salahnya, melainkan salah bibirnya. Andai bibirnya tidak agresive, mungkin ia tidak akan membuat kesalahan yang fatal sampai mamanya menyuruh menikah dengan Gendis.

“Hih, jijik, iyuh!” ucap Aidan menggosok lengannya gemas tatkala bayangan ia menikah dengan Gendis terlintas di pikirannya. Aidan berlagak mual dan nyaris muntah.

“Hiyaa … bayangin aja aku merinding.” Aidan bermonolog seorang diri sambil mengusap bulu kuduknya yang merinding.

Sesampainya di dapur, Aidan segera mengangkat kura-kura yang kepalanya masih bersembunyi. Pria itu segera lari tunggang langgang menuju ke kolam, mengembalikan si Bubu kembali pada habitatnya.

“Kali ini kamu selamat, jangan harap besok kamu masih bisa berenang di kolam, karena besok pagi kamu akan berenang di wajan,” hardik Aidan menunjuk-nunjuk kura-kura.

Mama dan Papa Aidan sudah pulang setelah perdebatan yang panjang. Mama Aidan mendesak anaknya berpacaran dengan Gendis, tentu saja hal itu ditolak mentah-mentah oleh Aidan. Aidan tidak suka Gendis, Aidan hanya menganggap Gendis tidak lebih dari asisten rumah tangga.

Aidan berkacak pinggang di halaman samping rumahnya, menatap hewan-hewan yang dipelihara asisten rumah tangganya. Semuanya tampak sehat wal afiat, tapi Aidan tidak terlalu suka dengan hewan, apalagi Iguana yang dipelihara Gendis. Iguana itu pernah melompat ke tubuhnya, sudah ia hajar habis-habisan tapi tetap saja tidak mati. Setelah menghajar Iguana, bukannya si Iguana mati, ia malah dipaksa Gendis mengantar Iguana itu ke dokter hewan. Dan sekarang hewan itu kembali waras seperti sedia kala.

Suara dering hp berbunyi nyaring, bukan suara dering hp Aidan, pria itu menatap ke sekelilingnya. Benda pipih berwarna biru metalik menarik perhatian Aidan, itu hp Gendis yang Aidan belikan. Aidan meraih hp itu, menatap benda pipih itu yang ada tulisan panggilan suara dari Gonzales. Buru-buru Aidan menggeser ikon hijaunya.

“Hai Gendis, aku punya kabar baik buat kamu. Kemarin aku bertemu temanku yang kuliah di tata busana, ada buku-buku yang sudah tidak dipakai, kemarin aku memintanya. Besok aku ke kota, aku akan bawakan untukmu. Oh iya aku juga akan bawakan makanan kesukaan kamu,” ujar Gonzales di seberang sana. Aidan meremas hp yang ia bawa dengan kuat.

“Gendis, tiga bulan lagi pendaftaran kuliah dibuka. Gimana? Apa tabungan kamu sudah terkumpul?” tanya Gonzales.

Aidan hanya diam, tidak membuka sepatah kata pun. “Gendis, kamu mendengarku, kan? Kenapa tidak bersuara?” tanya Gonzales lagi.

“Hem.” Aidan berdehem dengan kecil. Pria itu memejamkan matanya, berharap pria di seberang sana tidak curiga.

“Gendis, buat apa kamu kerja di kota kalau kamu tidak bisa mengumpulkan uang untuk kuliah? Sudah berapa lama kamu kerja di sana dan sampai saat ini kamu belum bisa lanjutin pendidikan kamu. Kembalilah, Gendis. Aku akan carikan pekerjaan untuk kamu, aku sudah mengambil banyak browsur beasiswa berbagai jenis, besok aku bawakan sekalian buat kamu dan kamu bisa isi. Aku berharap kamu bisa melanjutkan kuliah kamu, Gendis. Jangan jadikan impian kamu hanya sia-sia.”

Aidan mematikan sambungan telfonnya sepihak. Pria itu mengotak-atik hp Gendis, menghapus riwayat panggilan.

“Pak Aidan,” panggil Gendis membuat Aidan tersentak. Aidan menatap Gendis, sedetik kemudian mereka memalingkan wajahnya satu sama lain. Aidan tampak gugup, pria dewasa itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, pun dengan Gendis.

Gendis memainkan jari jemarinya dengan canggung, saat gadis itu akan pergi, Aidan menahannya. “Ini hp kamu,” ucap Aidan.

“Ah iya,” jawab Gendis. Gendis berjalan mendekat ke arah Aidan, tapi gadis itu sama sekali tidak menatap atasannya.

Aidan pun demikian, pria itu mengulurkan tangannya sembari membalikkan tubuhnya.

“Aku ambil hpnya, Pak,” kata Gendis menarik hp dari tangan Aidan. Aidan menolehkan kepalanya dengan spontan membuat Gendis terkesiap.

“Eh Gendis, soal ciuman tad-”

“Lupakan saja,” sela Gendis dengan cepat. Gendis menarik hpnya dan segera mengantonginya.

“Aku … aku minta maaf,” ucap Aidan. Gendis menganggukkan kepalanya pelan.

“Aku sudah minta maaf, aku harap kamu tidak menuntut aku untuk tanggung jawab. Itu terjadi hanya karena kecelakaan dan kamu tahu itu. Aku tidak ingin menjadi pacar kamu, aku juga tidak ingin menikah denganmu, tolong kamu mengerti dan jangan berharap apapun sama aku,” oceh Aidan dengan satu tarikan napas.

Gendis tercenung di tempatnya, gadis itu menatap Aidan tidak percaya. “Apa Pak Aidan kira aku berharap banyak?” tanya Gendis. Aidan menaikkan sebelah alisnya, tidak mengerti maksud Gendis.

“Dari awal aku datang ke sini, tidak ada sedikit pun niat kalau aku akan menyukai Pak Aidan. Aku sadar diri, Pak. Aku hanya orang biasa, dari segi apapun aku tidak pantas menyukai Pak Aidan. Aku masih waras untuk mengerti batasanku sebagai asisten rumah tangga. Oh iya, selama ini Pak Aidan sudah baik sama aku, membelikan hp, membelikan hewan dan makanan-makanan hewan yang aku pelihara, mulai sekarang tidak perlu lagi Pak Aidan melakukan itu. Kita kembalikan hubungan sama seperti saat kita pertama kali bertemu,” jelas Gendis.

“Lagi pula aku sudah punya seseorang yang aku sukai. Aku juga akan keluar dari rumah ini, aku yang akan bilang baik-baik sama Bu Pratama,” tambah gadis itu. Gendis segera pergi melenggang meninggalkan Aidan.

“Gendis, aku tidak menyuruhmu pergi,” teriak Aidan mengejar Gendis. Namun Gendis sudah menuju ke kamarnya dan menutupnya rapat. Aidan menuju kamar Gendis, pria itu mengetuk-ketuk pelan kamar asisten rumah tangganya.

“Gendis, aku tidak menyuruh kamu untuk pergi,” ujar Aidan masih mengetuk pintu kamar Gendis. Namun Gendis tidak menjawab apa-apa. Aidan mengetuk dengan brutal, berharap Gendis akan mengeluarkan sepatah kata, tetapi Aidan tidak mendengar jawaban apa-apa.

Dugh!

Aidan menendang pintu dengan kencang, “Sialan,” umpatnya.

Di sisi lain, Davit tengah memandangi semestanya yang sedang makan dengan lahap. Saat ini Davit dan Lintang tengah berada di salah satu restoran berbintang di kawasan Kota Jakarta. Makanan Davit sudah habis, pria itu menyangga kepalanya dan menatap intens ke arah sang istri.

Lintang yang tidak sadar akan tatapan suaminya pun melanjutkan makannya. Akhir-akhir ini napsu makan Lintang meningkat, apapun makanannya akan masuk ke perutnya selagi tidak pedas. Lintang bingung dengan dirinya sendiri, dari remaja ia pecinta pedas. Bahkan ramen level sembilan dua mangkuk pun bisa ia habiskan sendiri, tetapi sejak mendapatkan suntikan dari suaminya, ia tidak lagi menyukai pedas.

Davit masih menatap Lintang, pria itu seolah lupa bagaimana caranya berkedip. Semestanya memang indah, semestanya memang cantik dan sulit untuk dilewatkan. Lintang menolehkan kepalanya menatap suaminya. “Ada apa, Mas?” tanya Lintang. Davit menggelengkan kepalanya pelan.

“Kok natap aku begitu?” tanya Lintang.

Davit menegakkan tubuhnya, pria itu menangkup wajah istrinya dengan kedua telapak tangannya. “Aku sedang memandangi poros cintaku,” jawab Davit. Lintang menundukkan kepalanya, wajahnya terasa memanas mendengar sepotong kalimat sederhana dari suaminya.

Tidak butuh waktu lama wajah Lintang sudah memerah sampai ke ujung telinga. Kalau sudah tersipu, Lintang tidak bisa menyembunyikan rona merah di wajahnya. Davit yang melihat itu semakin gemas pada istrinya. Davit sedikit berdiri, pria itu mendekatkan bibirnya pada pipi sang istri.

“Mas, ini di tempat umum,” tegur Lintang. Davit terkesiap, pria itu segera menjauhkan tubuhnya dari tubuh Lintang. Beberapa pengunjung lain tampak menatap Davit yang membuat Davit menjadi salah tingkah.

“Makanya kalau mau melakukan sesuatu tuh lihat tempat,” bisik Lintang.

“Kalau sudah melihatmu, aku menghiraukan yang lain,” jawab Davit yang juga berbisik.

Lintang terkikik geli, gadis itu melepas sendal yang ia pakai. Dengan usil Lintang menaikkan satu kakinya ke paha suaminya. Davit menundukkan kepalanya, melihat kaki mulus sang istri yang bertengger di paha kanannya. Davit menutup tubuh bagian bawahnya dengan telapak tangannya. Kalau Lintang diam, maka Davit yang usil dengan mencubit-cubit bagian tubuh Lintang. Namun kalau Davit diam, maka Lintang yang akan bergerak. Kaki Lintang yang berada di paha Davit masih belum seberapa, lebih parahnya setiap Davit mengerjakan proyek gambarnya di rumah, Lintang akan duduk di seberangnya dengan kaki yang tepat berada di tengah selakangannyaa. Hobi Lintang bermain sepak bola, sekali sepak langsung dua bola.

“Lintang, jangan aneh-aneh!” desis Davit menepuk telapak kaki Lintang dengan pelan.

“Apanya, Mas?” tanya Lintang menaik turunkan alisnya.

Lihat, Lintang sudah tidak polos lagi. Kalau Davit suka mancing Ikan, kalau Lintang suka mancing keributan yang berujung pada terkaman Davit di ranjang.

“Kaki kamu, jangan main sepak bola di tempat umum!” tegur Davit.

“Aku hanya numpangin kaki doang. Karena tidak ada tumpangan yang lebih enak daripada paha kamu, dan tidak ada sandaran terenak daripada sandaran kamu. Juga, aku sangat benci dengan jarum suntik dokter, tetapi anehnya aku tidak bisa benci saat kamu menyuntikkan jarum kamu, yang ada malah ketagihan,” oceh Lintang terkikik geli.

Davit meletakkan kepalanya ke meja dengan pasrah. Sekarang wajah Davit lah yang semerah buah tomat karena tersipu mendengar godaan istrinya. Davit heran bagaimana Lintang yang polos menjadi penuh noda seperti ini. Padahal pelaku utama dari ketidak polosan Lintang adalah Davit sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel