Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Kegep Papa

Aidan membeku di tempatnya, sedangkan bibirnya masih menempel di bibir Gendis. Begitu pun dengan Gendis yang merasa seluruh otot tubuhnya kaku. Masih dapat Aidan rasakan dengan jelas bagaimana nikmatnya bibir Gendis. Aroma cheryblashoom di tubuh Gendis pun sangat memabukkan untuk Aidan.

“Akhhh!” Aidan terpekik kencang tatkala seseorang menarik kerah belakang bajunya.

Bugh!

Satu bogeman mentah juga Aidan dapatkan dengan cuma-cuma, tubuh Aidan yang tidak siap pun langsung limbung menubruk lemari pendingin. Aidan mendongkkan kepalanya, menatap papanya yang jelas sekali gurat kemarahan di wajahnya.

“Pa, kenapa papa kesini?” tanya Aidan mengusap pipinya yang terasa panas.

“Apa papa gak boleh ke rumah anak sendiri?” tanya Pratama dengan tajam.

“Oh apa kamu gak mau papa ganggu saat sedang melakukan tindakan tidak senonoh pada Gendis?” sinis Pratama.

Buru-buru Gendis berdiri, gadis itu mengusap bibirnya dengan kasar. Hal itu tidak luput dari pandangan Aidan. Aidan menatap Berang ke arah Gendis sembari menunjuk-nunjuk gadis itu.

“Heh, Gendis. Sikap apa itu, hah?” tanya Aidan menyentak. Gendis mendongakkan kepalanya.

“Apa?” tanya gadis itu.

“Kenapa kamu usap bibir, hah? Kamu menghinaku?”

“Tidak, menghina apa?” tanya Gendis dengan polos.

“Aku baru mencium kamu dan kamu mengusapnya. Sikapmu ini seolah kamu tidak mau aku cium, itu melukai harga diriku,” teriak Aidan menepuk-nepuk dadanya.

“Aku memang tidak mau dicium Pak Aidan,” jawab Gendis.

“Tadi kamu-”

Plak!

Satu tamparan kembali melayang di pipi Aidan. Aidan memalingkan wajahnya, tentu saja pelaku utamanya adalah papanya sendiri, Pak Pratama. Gendis ikut tesentak melihat Aidan.

“Gendis, kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya mama Aidan memeluk tubuh Gendis. Wajah Gendis sudah semerah tomat busuk karena saking malunya ke-gep tengah melakukan perbuatan tidak senonoh.

Gendis mengusap bibirnya lagi, tangan gadis itu gemetar. Delapan belas tahun ia hidup, ia belum pernah merasakan ciuman. Baru kali ini dan Aidan si bosnya lah yang tengah mengambil ciuman pertamanya. Gendis menyalahkan dirinya sendiri kenapa ia tidak menolak sentuhan bibir Aidan, Gendis hanya diam seolah menikmati. Mata gadis itu berkaca-kaca, tidak butuh waktu lama gadis itu mengeluarkan air matanya.

“Hikss hiksss ….” Gendis terisak pelan. Pratama, Febia dan Aidan menatap ke arah Gendis.

“Aidan!” desis Pratama yang kembali menatap Aidan.

“Papa menyuruh kamu menerima Gendis untuk menjadi asisten rumah tangga dan papa sudah mengamanahi kamu untuk menjaganya. Tapi apa yang sudah kamu lakukan sama dia?” bentak Pratama menarik kerah kaos Aidan.

“Pa, aku tidak melakukan apapun,” protes Aidan.

“Papa melihat dengan mata kepala papa sendiri dan kamu masih mau mengelak?”

“Beneran, Pa. Aku tidak sengaja melakukannya, tadi hanya kecelakaan biasa dan kebetulaan bibir kami saling bersentuhan.”

“Papa pernah muda, jadi papa tahu mana kecelakaan dan mana modus kamu,” elak Pratama. Aidan menghentakkan kakinya dengan kesal karena papanya tidak percaya.

“Pa, tadi benar-benar kecelakaan. Gendis, kamu jangan diam saja, cepat jelasin ke orang tuaku!” titah Aidan.

Gendis menggelengkan kepalanya, gadis itu melepas pelukan Bu Febia, Gendis melenggang pergi menuju kamarnya.

“Gendis, woy, jangan kabur!” teriak Aidan. Aidan ingin mengejar Gendis, tapi tubuhnya dihadang oleh papanya.

“Sudah dewasa harus berani tanggung jawab!” desis Pratama. Pratama menarik paksa anaknya menuju sofa, pria satu anak itu menghempaskan tubuh Aidan ke sana.

Aidan terduduk dengan kepalanya yang terbentur punggung sofa. Papa dan Mamanya duduk di hadapannya dengan menatapnya tajam.

“Ma, Pa, kenapa aku ditatap tajam begini?” tanya Aidan dengan kikuk.

“Sudah berapa kali?” tanya Pak Pratama tanpa basa-basi. Aidan membeo mendengar pertanyaan papanya.

“Apanya yang berapa kali, Pa?”

Brakk!

Pratama memukul meja di depannya dengan kencang. Napasnya terengah-engah tanda sedang benar-benar marah.

“Aidan, kamu sudah dewasa, sudah harusnya tahu apa yang papa maksud,” ucap Pratama.

“Pa, papa yang begini membuatku yang polos, imut dan menggemaskan jadi ikut ternoda.”

“Aidan, papa tidak bercanda!”

“Satu kali,” jawab Aidan dengan pasrah.

“Berapa kali?” ulang Pratama.

“Satu kali, Pa. Ini pertama kali dan terakhir kalinya. Kalau gak percaya tanya saja sama Gendis, ini hanya kecelakaan.”

“Tapi kamu mencuri kesempatan.”

“Sedikit doang.”

“Aidan, kamu tahu apa yang kamu lakukan? Ciuman pertama bagi seorang gadis itu sangat penting, dan kamu sudah mengambilnya,” pekik Febia.

“Ma, aku kan sudah bilang kalau itu gak sengaja. Katanya rezeki tidak boleh ditolak, ya sudah aku gerakin bibir, itung-itung ambil rezeki,” jelas Aidan.

Bugh!

Febia mengambil bantal sofa dan melemparkannya pada sang anak. Aidan mengaduh kesakitan. Belum ada setengah jam orang tuanya datang, tapi ia sudah terkena amukan dan penganiayaan ringan. Tadi ditonjok dan ditampar papanya, sekarang dilempar bantal oleh mamanya. Orang tuanya hanya punya satu anak yaitu dirinya, bukannya disayang malah ditendang.

“Papa gak mau tahu, kamu harus tanggung jawab sama dia!” ucap Pratama bersedakap dada.

“Iya nanti Aidan minta maaf sama si Gula,” jawab Aidan. Gula yang dimaksud Aidan adalah Gendis. Dalam bahasa Jawa, Gendis artinya Gula.

“Bukan minta maaf, tapi nikahi dia.”

Dengan spontan Aidan tersedak angin, pria berusia dua puluh delapan tahun itu terbatuk-batuk dengan hebat. Buru-buru Febia mendekati anaknya dan menepuk-nepuk pundak anaknya. Febia juga mengambil air mineral kemasan gelas di meja dan menyodoran pada Aidan.

Aidan menerimanya dan meminumnya dengan cepat, setelah selesai dengan urusan batuknya, Aidan langsung berdiri. “Aku tidak mau menikah,” ucap Aidan dengan tegas.

“Aidan, duduk!” titah Pratama tidak mau dibantah, tetapi Aidan tetap saja berdiri.

“Aku tidak mau menikah, apalagi dengan Gendis, bukan levelku,” ujar Aidan.

“Dengarkan papa dulu.”

“Gak mau dengar.”

“Aidan, jangan kayak cewek yang gak mau mendengar penjelasan. Sekarang duduk dan dengarkan baik-baik.”

“Tidak ada yang perlu didengarkan dan aku gak mau mendengarkan. Bila di dunia ini hanya tinggal aku dan Gendis, aku juga gak akan mau menikahi dia. Aku ingin gadis yang sederhana, bersahaja, kalem, pintar, memiliki cita-cita yang tinggi dan yang pasti bukan gadis kampungan,” oceh Aidan dengan kencang.

Definisi gadis idaman yang diucapkan Aidan adalah ciri-ciri Lintang. Dulu sebelum ia menyerah, ia mengejar cinta Lintang. Namun sayang, Lintang memilih bertahan dengan pernikahan kontrak bersama sang suaminya. Karena Aidan tidak mau mengganggu rumah tangga orang, Aidan pun memilih mundur meski harus merasakan sakit hati.

“Jaga bicaramu, Aidan!”

Aidan terdiam, napas pria itu terengah-engah karena keputusan papanya yang sepihak. Aidan bagai disiram karma dengan instan. Tadi ia mengatai Bayu yang nyosor dengan Hukma, sekarang ia sendiri saat pertama kali berciuman dengan Gendis, ia pun langsung nyosor begitu saja. Kalau ia tahu rasanya bibir sangat nikmat, ia juga tidak akan mengatai Bayu biar ia tidak termakan omongannya sendiri.

Di kamarnya, Gendis mendengarkan semuanya. Gadis itu semakin menangis sembari memegangi handle pintu. Gendis menangis bukan karena apa-apa, ia hanya takut kalau orang tuanya tahu. Ia datang ke kota berniat untuk bekerja, membantu ekonomi keluarganya, tetapi ia sudah melakukan kesalahan yang besar. Juga, ucapan Aidan membuat Gendis merasa gagal menjadi seorang perempuan. Di luar sana banyak perempuan hebat yang bisa berjuang di tengah kerasnya hidup untuk merasakan bangku pendidikan, bekerja sambil kuliah. Sedangkan dirinya? Gendis tidak bisa melakukan apa-apa selain bekerja dengan giat. Bila ia boleh memilih, ia juga ingin melanjutkan pendidikannya.

Aidan salah besar bila menganggap Gendis tidak memiliki cita-cita, karena gadis itu pun punya cita-cita menjadi desainer. Namun hal itu belum bisa terwujud sampai sekarang. Gendis berjalan meninggalkan pintu, gadis itu menarik laci di sudut kamarnya. Ada benang, jarum, dan beberapa lembar kain kecil-kecil. Gendis menarik satu kain yang sudah berbentuk gaun kecil. Setelah selesai dengan pekerjaannya, Gendis akan menyibukkan diri di kolam bersama kura-kura, sedangkan saat malam hari, Gendis akan melanjutkan baju yang sedang ia buat.

“Kenapa kalau memang tidak mau menikah denganku? Aku juga tidak mau menikah dengan kamu,” ucap Gendis menusukkan jarumnya dengan kencang ke baju.

“Aku memang bodoh, udik, kampungan, jelek, gak kayak Mbak Lintang, tapi aku juga punya cita-cita. Siapa juga yang mau terdampar menjadi pembantu di sini. Aku ingin kuliah, ingin pergi main sama teman-temanku, ingin bebas jalan-jalan di luar sana. Tapi aku tidak bisa,” oceh Gendis mengusap air mata yang kembali jatuh.

Terkadang Gendis menyesal telah terdampar menjadi asisten rumah tangga di rumah Aidan. Ibu dan ayahnya mengirimnya ke sini, sedangkan mereka sama sekali tidak mempedulikan bagaimana keadaannya di kota orang. Sudah makan atau belum, baik-baik saja kah, bosnya baik atau tidak, pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan oleh kedua orang tuanya. Gendis hanya gadis yang dipaksa kuat oleh keadaan. Ia merindukan ibunya, merindukan ayahnya, merindukan saat mereka bertiga berkumpul di rumah. Meski hanya rumah gubuk yang sempit, itu lebih baik karena mereka berkumpul. Namun Gendis merasa orang tuanya tidak butuh kebersamaan, tanpa persetujuannya, mereka mengirimnya ke rumah Aidan, menjadi asisten rumah tangga yang tidak pernah dibayangkan oleh Gendis.

Gendis terlalu banyak berharap, saat selesai sekolah menengah atas, ia berpikir akan kuliah. Namun itu hanya sebatas angan, sampai kapan pun mungkin ia akan mengabdi pada Aidan.

Gendis turut mengambil sebuah buku yang ada di laci, buku yang ia beli saat di pasar loak. Buku tentang ilmu memotong kain. Gaji yang diberikan Aidan lumayan banyak, tetapi langsung masuk ke rekening orang tuanya. Aidan selalu memberikan gajinya lewat Akalana dan langsung ditransfer ke rekening atas nama ibunya. Kalau Gendis tidak diberi uang bonus secara langsung oleh Aidan, Gendis pun juga tidak mempunyai sepeser pun uang.

Gendis menata buku yang halamannya sudah terlepas, gadis itu merapikan dan mengurutkan halaman-halaman yang sudah acak-acakan. Mungkin buku itu memang sudah tidak layak baca karena sudah kusut, tetapi buku itu sangat berguna untuk Gendis. Ia hanya mampu membeli yang bekas, itu pun setelah lama menanti bonus dari atasannya.

“Gendis, cuci bajuku yang tadi, besok sudah harus kering!” teriakan Aidan terdengar sangat nyaring. Gendis menghapus air matanya dan bergegas berdiri, buku yang belum selesai ia rapikan pun ia letakkan di lantai begitu saja.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel