3. Serangga Punya Pisang
“Papi capek banget ya?” tanya Hukma sembari meniup wajah Bayu. Wajah Bayu penuh dengan keringat, Hukma tidak sampai hati melihatnya.
“Enggak capek sayang. Nih keningku ada keringatnya, usapin dong, Yang!” pinta Bayu.
“Eh jangan diusap keringatnya,” kata Hukma.
“Kenapa? Keringat ini buat aku gerah, Yang.”
“Papi terlihat lebih sexy kalau berkeringat,” bisik Hukma seraya terkikik geli. Bayu tidak bisa menahan rasa gemasnya pada Hukma. Pria itu menarik pipi Hukma sedikit kencang membuat Hukma mengaduh kesakitan.
“Nanti kalau kita sudah menikah, aku pastikan setiap malam kamu melihat keringat di wajahku. Kita keringatan bareng, basah-basahan bareng,” bisik Bayu ingin mencium pipi Hukma, tapi terhenti saat seseorang menarik rambutnya hingga kepalanya menjauh dari Hukma.
“Eh eh eh … kepalaku bukan barang bongkar pasang, jangan ditarik-tarik,” pekik Bayu dengan kencang.
“Kak Davit apaan sih tarik-tarik kepala Papi,” pekik Hukma menepis tangan Davit dari rambut Bayu. Sesegera mungkin Hukma mengelus kepala Bayu dengan lembut.
”Atutu kepala Papiku, pasti sakit ya ditarik Kak Davit,” ujar Hukma meniup ubun-ubun Bayu.
“Sakit banget, Sayang,” jawab Bayu dengan manja. Bayu memeluk pinggang sang pacar dengan erat. Sedangkan Hukma lebih gencar meniup ubun-ubun Bayu biar kepala pacarnya tidak sakit lagi.
“Angkat barbel lima puluh kilo saja kuat, baru dijambak sedikit saja sudah kesakitan,” cibir Davit yang kumat nyinyirnya.
“Di sini ada Hukma, jelas saja aku kesakitan. Karena Hukma kelemahan serta kekuatanku. Apa gunanya pacar kalau tidak untuk manja-manjaan. Kamu sudah tua, makanya gak ngerti,” oceh Bayu.
“Tua tua gundulmu. Aku yang sudah menikah sudah khatam dengan hal begituan. Kamu baru nyebur pacaran aku sudah kering,” jawab Davit.
“Bodo amat.”
“Kalau belum nikah jangan main sosor sama anak gadis orang!” tegur Davit.
“Nyosor dikit yang penting gak banyak.”
“Sudah sudah, sini aku tiup lagi kepalanya biar gak sakit,” kata Hukma menengahi.
“Hukma, sebul terus ubun-ubunnya biar setannya kabur!” titah Davit.
“Kakak bisa diam gak sih? Julid terus kerjaannya. Jangan-jangan kerja sampingan kakak itu menjadi admin lambe turah,” oceh Hukma.
“Kakak ini sayang sama kamu, makanya kakak jaga kamu dari predator macam Bayu. Bayu itu buaya darat. Kamu perempuan kalau belum dihalalin jangan mau diapa-apain. Meski kakak kenal dekat dengan Bayu, bukan berarti Bayu gak mungkin berhianat. Jauh-jauh sana duduknya!” oceh Davit. Bukannya menjauh, Bayu dan Hukma malah semakin menempel bak lintah darat.
Lintang yang sejak tadi diam pun kini menghampiri Hukma. Lintang menarik kaos Hukma membuat Hukma tersentak.
“Kak, apa yang kakak lakuin?” teriak Hukma ingin menepis tangan Lintang. Namun terhenti dengan tatapan tajam Lintang yang menusuk. Hukma terdiam, dulu Lintang sangat menghormatinya karena ia lebih tua dari Lintang. Namun kini keadaannya berbeda, Lintang lebih berani karena posisinya yang kakak ipar dan Hukma yang jadi adik ipar.
Lintang menurunkan kaos Hukma, memperlihatkan bercak merah yang ada di sekitaran pundak gadis itu.
“Mas, lihat tingkah polah Bayu dan Hukma!” pekik Lintang menunjukkan pundak Hukma pada suaminya. Mata Davit membulat sempurna melihat penampakan pundak adiknya yang penuh tanda merah. Tadi Lintang sudah curiga karena warna leher dan wajah Hukma tidak sama. Leher Hukma terlihat lebih banyak bedak, ternyata kecurigaannya benar saat ia menurunkan kaos Hukma. Di pundak Hukma penuh tanda merah. Lintang bukan gadis polos lagi yang tidak tahu apa tanda itu. Lintang juga menghapus bedak pada leher Hukma yang membuat tanda merah juga terlihat di sana.
“Hukma!” desis Davit mengepalkan tangannya. Tampak jelas raut amarah yang ada di wajah pria itu.
Melihat kemarahan Davit, Bayu dan Hukma dengan spontan berdiri. Hukma berdiri di depan tubuh Bayu, melindungi sang pacar dari amukan kakaknya.
“Kak, aku bisa jelasin. Ini bukan Papi yang buat, ini digigit serangga,” kata Hukma.
“Serangga kepala hitam dan punya pisang maksud kamu?” tanya Davit menarik tubuh Hukma agar menjauh.
“Kak, jangan marah. Kami gak akan lakuin lagi,” ujar Hukma yang masih berusaha melindungi Bayu.
“Bayu, kemari!” titah Davit. Namun Hukma menghadang kakaknya. Hukma sungguh panik kalau kakaknya akan beradu jotos dengan pacarnya. Pasalnya jelas kakaknya yang akan kalah, dari perawakan tubuh saja Davit kalah dengan Bayu. Davit bisa masuk rumah sakit kalau Bayu sudah beraksi.
“Bayu, sejak kapan kamu tidak punya harga diri sampai berlindung di balik perempuan?” tanya Davit menaikkan sebelah alisnya.
“Hukma, minggir dulu, ini urusan laki-laki,” kata Bayu menarik Hukma untuk berdiri di belakangnya.
“Davit, aku hanya mencicipi tidak lebih,” kata Bayu mendorong Davit agar mereka berbicara empat mata. Namun Davit kembali mendorong Bayu hingga Bayu berdiri di tempatnya semula.
“Mencicipi kalau enak kamu bisa ketagihan. Mana Bayu yang dulu selalu bilang untuk menghargai perempuan. Sekarang kamu sudah seenaknya sendiri mentang-mentang aku kasih restu. Kamu dikasih hati minta jantung, lama-lama ngelunjak.”
“Iya iya aku gak bakal lakuin lagi, kemarin aku khilaf.”
“Hukma, kamu jangan gampang mau sama Bayu. Kalau ada apa-apa yang rugi kamu sendiri,” bisik Lintang menarik tangan Hukma.
“Tapi kan cuma dikit. Janji gak banyak-banyak,” jawab Hukma. Lintang menepuk kening Hukma dengan pelan.
“Sejak kapan sih kamu jadi kayak gini.”
“Sejak pacaran sama papi.”
Lintang sungguh ingin menjambak Hukma sampai botak. Sudah melihat kemarahan Davit, tapi tetap saja tidak gentar.
“Mulai sekarang saat kalian kencan, aku wajib ikut buat mantau,” putus Davit dengan sepihak.
“Mana bisa begitu?” teriak Bayu dan Hukma bersamaan. Davit membulatkan matanya saat melihat kekompakan Bayu dan Hukma.
“Tidak bisa begitu dong, Vit. Kemarin aku terlanjur pesan Hotel,” ucap Bayu.
Plak!
Davit memukul kepala kanan Bayu dengan kencang. “Setiap hari kamu ngeluh gak punya duit, tapi kamu malah cek in. Otak kamu dimana, Yu? Astagfirullah, Bayu!” pekik Davit mengacak rambutnya dengan frustasi. Lintang segera mendekati suaminya dan mengelus lengan suaminya dengan pelan agar emosi suaminya reda.
Di balik keributan keluarga Davit, ada seorang pria yang saat ini tengah duduk di sofa dengan mengangkat sebelah kakinya. Pria itu mengarahkan hp tepat ke arah empat orang yang tengah berdebat. “Wah wah wah, prahara rumah tangga yang sangat bagus,” ujar Aidan menatap hpnya yang merekam keributan Davit, Bayu, Hukma dan Lintang. Pria itu merasa menjadi pria normal di antara dua sahabatnya lain.
Davit si tukang encok, keju linu, syaraf kejepit dan si Bayu yang tukang nyesap leher pacar. Kalau Aidan, sudah pasti orang paling normal, baik hati, polos dan tidak pernah marah.
“Aidan, letakkan hpmu!” teriak Davit tatkala melihat Aidan tampak merekam. Aidan tersentak kaget, pria itu segera mengantongi hpnya dan berdiri menatap Davit.
“Siap!” jawab Aidan seraya hormat.
“Pusing kepalaku setiap bertemu kalian semua. Bayu, ini terakhir kalinya aku melihat leher dan pundak Hukma yang merah. Kalau kedua kali aku melihatnya, jangan harap aku akan mengampunimu,” bentak Davit.
“Tenang, Pi. Kata Kak Davit hanya leher dan pundak, jadi masih boleh nyesap bagian lain,” bisik Hukma dengan pelan pada Bayu. Bayu mejawab dengan mengancungkan jari jempolnya. Tidak lupa kedipan mata Bayu layangkan pada Hukma.
“Mantab, Baby!” ujar Bayu yang juga berbisik.
***
Aidan membuka pintu rumahnya dan bergegas untuk masuk. Orang yang pertama ia cari saat masuk rumah adalah Gendis, asisten rumah tangganya yang beberapa hari ini tengah perang dingin dengan dirinya. Gendis gadis berusia delapan belas tahun yang berasal dari kota Magelang. Ayah Gendis mantan sopir orang tua Aidan, Gendis bisa terdampar di rumahnya karena mama Aidan memaksa Aidan menerima Gendis sebagai tenaga asisten rumah tangga. Awalnya Aidan menolak rumahnya ada orang asing, terlebih dengan gadis alien yang cocok hidup di hutan. Bagamana tidak, setiap hari Gendis akan berbicara dengan hewan-hewan peliharaan yang sebagian besar dibeli oleh Aidan. Awalnya Aidan kasihan melihat Gendis si gadis kecil yang sudah bekerja, padahal harusnya Gendis masih sibuk kuliah. Saat tahu Gendis suka dengan hewan, Aidan pun membelikan beberapa hewan untuk Gendis dan menyulap halaman samping rumahnya untuk tempat hewan Gendis.
Perang dingin antara Gendis dan Aidan dimulai saat Gendis menjelek-jelekkan Aidan pada Gonzales, anak Pak Rt di desa tempat Gendis tinggal saat di Magelang. Saat itu Gendis menyebut Aidan seperti monster, jelas saja Aidan marah dengan ucapan Gendis. Dan terjadilah perang dingin antara keduanya.
Aidan menuju halaman samping rumahnya, pria itu menenteng jas dan kemeja kotor, sedangkan di tubuhnya hanya melekat kaos putih polos. Aidan mengintip Gendis yang tengah berjongkok sambil menggosok punggung kura-kura.
“Bubu ganteng banget sih,” puji Gendis menciumi punggung kura-kura jenis Sulcata miliknya.
“Nak ganang-ganang dewe, nak ganteng-ganteng dewe.” Gendis masih memuji kura-kuranya dengan gemas menggunakan bahasa jawa. Persis seperti yang dilakukan tetangga di desanya saat menggoda bayi.
Aidan berekspresi ingin muntah mendengar pujian Gendis pada kura-kura. Gendis sudah tinggal lama bersama Aidan, tetapi satu kali pun Gendis tidak pernah memuji ketampanan Aidan. Padahal banyak yang mengatakan Aidan persis seperti aktor korea yang spesialis membintangi film aksi, Ji Chang Wook. Namun tetap saja Gendis tidak meliriknya.
“Gendis!” teriak Aidan membuat Gendis segera berdiri.
“Siap menghadap, Bos!” jawab Gendis meletakkan kura-kuranya ke kolam. Gadis itu segera menghampiri Aidan.
“Cuci yang bersih!” titah Aidan menyerahkan jas dan kemejanya pada Gendis.
“Hem.” Gendis menjawab dengan deheman. Gadis itu lantas berlari menuju tempat pencucian. Aidan menatap punggung Gendis yang menjauh.
Sebelum perang dingin, Gendis akan berceloteh ria saat ia menyuruhnya. Atau bahkan gadis itu sering menggodanya dengan ocehan-ocehan tidak bermutu. Namun setelah perang dingin terjadi, Gendis hanya menjawab dua hal saat ia memanggilnya. Yang pertama ‘Siap menghadap, Bos. Dan yang kedua adalah deheman ‘Hem’.
Aidan menuju kolam kura-kura Gendis. Pria itu mengangkat kura-kura yang lumayan besar. Pandangan Aidan tampak sinis menatap kura-kura hijau itu.
“Mata Gendis memang tidak normal. Kura-kura jelek kayak gini dibilang ganteng,” sinis Aidan.
“Awas saja, Bubu. Sebentar lagi kamu akan jadi almarhum,” ucap Aidan dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Pria itu menculik Bubu dan berlari menuju dapur.
Aidan mengambil pisau daging dan mengacungkan pada Bubu. Bubu yang sadar ancaman segera menyembunyikan kepalanya ke cangkangnya. Aidan yang melihat itu meletakkan Bubu ke meja makan, pria itu memukul-mukul cangkang Bubu.
“Heh Bubu, keluar kamu!” titah Aidan masih menepuk-nepuk cangkang Bubu. Namun Bubu tidak kunjung mengeluarkan kepalanya.
“Hah … Hah …” Aidan mendekatkan bibirnya seraya meniup cangkang kura-kura itu berharap kepalanya keluar. Namun tetap saja Bubu bersembunyi.
“Heh, Bubu. Jangan cupu kamu. Cepat keluar!” bentak Aidan yang sangat kesal.
“Sama Gendis saja kepalamu nyosor-nyosor, giliran sama aku gak mau. Cepat keluar atau kamu bakal mati lebih cepat,” teriak Aidan ingin memukul lagi cangkang Bubu. Namun terhenti oleh suara teriakan nyaring dari Gendis.
“Pak Aidan, apa yang bapak lakuin?” teriak Gendis segera berlari merebut Bubu kesayangannya.
“Pak Aidan kalau marah sama saya marahin saya saja, gak usah sakitin Bubu,” ujar Gendis memeluk Bubu dengan erat.
“Siapa yang mau nyakitin Bubu? Aku hanya ingin menyelamatkannya,” jawab Aidan.
“Menyelamatkan bagaimana? Jelas-jelas Pak Aidan bawa pisau dan ingin mencelakai Bubu.”
“Lihatlah Bubu, dia tidak tumbuh besar karena keberatan sama cangkangnya. Aku hanya ingin memisahkan dia dari cangkang biar dia tidak punya beban kehidupan. Lihatlah kelinci, semut, tikus, mereka jalannya kenceng karena rumahnya gak dibawa di pundak. Sedangkan kura-kura? Apa-apaan coba bawa rumahnya di pundak. Lagi pula siapa yang mau mencuri rumah dia sampai dia se-possesive ini sama rumahnya. Kalau aku pisahin dia dari rumahnya, dia bisa lari lebih cepat dari teman-temannya,” oceh Aidan sambil meletakkan pisaunya ke meja dengan kencang. Suara benturan pisau dengan meja membuat Gendis tersentak.
“Dasar sakit jiwa!” desis Gendis dengan tajam. Wajah Gendis sudah memerah, amarahnya sudah ingin meledak mendengar ocehan tidak bermutu dari Aidan.
“Kamu memang begini, Gendis. Setiap kebaikan yang aku lakukan tidak pernah kamu hargai. Kamu hanya bisa menyalahkanku setiap hari!” kata Aidan mendorong tubuh Gendis. Gendis meletakkan kura-kuranya di meja, gadis itu balas mendorong tubuh Aidan.
“Aku tidak peduli kalau hari ini aku dipecat. Aku sudah berada di puncak emosi menghadapi tingkah Pak Aidan. Kalau Pak Aidan memarahiku aku bisa terima, tapi kalau sudah mencelakai hewan-hewanku, aku tidak akan terima,” teriak Gendis mendorong lagi tubuh Aidan lebih kencang. Aidan yang tidak bisa menyangga keseimbangan tubunya pun limbung ke lantai. Sebelum benar-benar jatuh telentang, Aidan menarik pinggang Gendis membuat Gendis ikut terjatuh.
Tubuh belakang Aidan terbentur lantai, sedangkan tubuh depannya ditimpa oleh Gendis. Gendis dan Aidan membulatkan matanya tatkala mereka sama-sama merasakan daging kenyal di bibir mereka. Gendis jatuh tepat mencium bibir Aidan. Tubuh gadis itu membeku, pun dengan Aidan. Aidan merasakan bibir yang sangat manis, pria itu tersadar lebih cepat, tetapi bukan melepas tautan bibir keduanya, Aidan malah melumat bibir Gendis pelan. Pria itu membalikkan keadaan, Aidan membalik tubuh Gendis, saat ini tubuhnya yang menindih tubuh remaja delapan belas tahun itu.
Aidan mencium lebih intens bibir Gendis, pria itu juga menahan tangan Gendis agar tidak memberontak. Rasa lembut nan manis dapat Aidan rasakan. Aidan tidak pernah berciuman sebelumnya, ini untuk pertama kalinya. Aidan hanya mengikuti insting laki-lakinya. Decapan lembut dan gerakan lembut bibir Aidan membuat Gendis tidak bisa berkutik. Ia ingin memberontak, tapi ia juga menikmati sentuhan bibir Aidan.
Setiap harinya Aidan dan Gendis bagaikan kucing dan tikus yang tiada hari tanpa ribut. Namun kali ini bibir keduanya menyatu, Gendis sebagai pihak pasif hanya terdiam merasakan bibir Aidan yang agresive.
“Bila masih kamu lanjutkan, jangan harap besok pagi kamu masih punya burung!” Suara teriakan seorang pria menggema dengan kencang di seluruh rumah Aidan bagai petir yang menyambar dengan keras, menyentak kenikmatan sekilas antara Aidan dan Gendis.
