Bab 10 Silakan Diminum, Mira
Bab 10 Silakan Diminum, Mira
Mira yang tadi pergi mengurus administrasi Keenan kini sudah kembali. Ia juga membantu merapikan barang-barang Keenan sebelum meninggalkan rumah sakit. Mereka pun tidak lupa berpamitan dengan pasien lain dan keluarganya, serta mendoakan semoga mereka bisa menyusul Keenan pulang ke rumah masing-masing dengan kondisi sehat seperti sedia kala.
Mira mengambil mobilnya dari parkiran, sedangkan Keenan kini sedang menunggunya di lobbi rumah sakit. Ketika mobil Mira datang, Keenan terkejut bukan main. Keenan tak menyangka kalau hidup Mira kini berubah drastic. Sekarang Mira bukan hanya tambah cantik tapi wanita itu juga sudah kaya. Mobilnya pun tidak kaleng-kaleng sangat keren dan keluaran terbaru.
Selama perjalanan mereka tidak banyak mengobrol karena fokus dengan pikiran masing-masing. Mira fokus pada jalan, dan Keenan masih fokus dengan rasa ketidakpercayaannya pada kondisi hidup Mira sekarang. Ia juga sempat berpikir bahwa kata Mira ia tinggal di perumahan dekat rumah sakit. Ia menebak dengan yakin kalau perumahan besar dan mewah itu rumah Mira karena tidak ada perumahan lain selain itu.
…
Sesampainya di rumah Keenan, Keenan langsung turun membawa barang-barangnya. Keenan membuka pintu rumahnya, dan mempersilahkan Mira masuk. Mira sudah pernah masuk ke rumah ini. Namun, kali ini berbeda ia bersama dengan pemilik rumahnya.
“Silahkan duduk Mir. Sebentar aku ambilkan minum seadanya ya?” ujar Keenan.
“Tidak usah repot-repot, aku hanya sebentar saja,” sahut Mira.
“Duduk dan diam saja. Oh iya harap maklum juga kondisi rumahnya berantakan sekali,” ujar Keenan.
Keenan dengan cepat bergegas menuju dapur, memeriksa adakah sesuatu yang bisa ia suguhkan untuk Mira. Akhirnya ia menemukan seperangkat bahan untuk membuat the manis, lalu ia membuatnya dan menyuguhkannya kepada Mira.
“Mir, silahkan diminum. Maaf hanya ada ini didapur yang bisa aku buatkan,” ucap Keenan.
“Tidak apa, ini sudah cukup.” Melirik ke arah foto di sampingnya. Pantas saja Keenan tidak waras kemarin, ternyata istrinya memang sangat cantik.
“Kalau boleh tahu, sudah berapa lama istrimu meninggal?” tanya Mira hati-hati.
“Sudah hampir enam bulan,” jawab Keenan lirih.
“Sepertinya ia sangat berarti bagimu ya Nan. Semoga istrimu tenang di sana,” ucap Mira.
Keenan hanya mengamini doa Mira dengan anggukan. Ia tidak mau lagi membuka kenangan lama yang hanya membuatnya sedih. Lebih baik jika topik pembicaraannya diubah batin Keenan. “Aku lihat kamu sudah bekerja Mir, dimana?” tanya Keenan.
“Iya sudah, aku bekerja di Bank,” jawab Mira.
“Wah hebat, sudah berapa lama?” sambung Keenan.
“Sekitar 3 tahun, mungkin ya segitu,” ujar Mira.
Percakapan mereka mengalir begitu saja, mulai dari pekerjaan, kesibukan, sampai hal-hal ringan tentang kabar dunia hari ini. Mereka juga terkadang membahas masa lalu mereka ketika muda dan tinggal di desa.
Ada kenyamanan yang tumbuh di antara keduanya. Sudah lama keduanya tidak merasa selepas ini. Bercerita tanpa takut dicerca. Saling berbagi kisah sederhana namun dapat membuat bahagia. Tertawa tanpa alasan akan sesuatu yang sebenarnya tidak lucu.
Rumah Keenan yang berbulan-bulan sepi, kini mendadak ramai akan tawa mereka. Obrolan sederhana yang menghidupkan. Bukan hanya menghidupkan suasana rumah ini, namun tanpa sadar juga menghidupkan sisi jiwa yang sudah lama mati diredam kondisi akan ego seseorang.
Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat. Gelas yang awalnya penuh kini sudah kosong. Pagi kini sudah berganti siang, wajar saja saat ini panas matahari sampai terasa ke dalam rumah.
Tidak ada percakapan yang serius yang mereka lakukan sedari tadi. Karena sudah lama tidak bertemu, akhirnya mereka memanfaatkan waktu untuk bercerita tentang diri mereka selama merantau atau bahkan pada saat kuliah dulu.
Keenan tidak menyangka ternyata beginilah sifat Mira, dulu Mira sangat ketus padanya. Mira ketus tentunya dengan alasan. Namun, alasan tersebut belum diketahui Keenan sampai saat ini. Sepertinya ini kesempatan menanyakan mengapa Mira begitu padanya dulu gumam Keenan dalam hati.
“Mir, kalau kita ingat-ingat dulu. Sepertinya sifatmu berbeda sekali dengan sekarang. Apalagi sama aku. Dulu kamu ketus,” ucap Keenan.
Mira tersenyum. “Ya ampun kamu masih ingat saja Nan. Dulu mengapa aku begitu, karena ya aku kan baru pindah ke tempat Mbah. Jadi harus hati-hati sama orang termasuk kamu.”
“Wah, sebegitu hati-hatinya sampai aku saja kamu judesin begitu,” sahut Keenan.
“Yaa, begitulah aku dulu. Lagi pula kamu, baru kenal langsung begitu perilakunya. Kelihatan sekali kalau kamu sedang cari perhatian,” sindir Mira kepada Keenan.
“Cari perhatian? Hahaha, aku memang begitu ke semua orang kamu tahu, ke Mbah juga aku ramah kok,” bantah Keenan.
“Yakin? Aku rasa iya kok. Aku lihat kamu sama gadis lain tidak begitu,” balas Mira.
“Oh, jadi kamu dulu sampai begitunya memperhatikanku,” ledek Keenan.
“Haaah, sudahlah itu kan dulu,” sahut Mira menutup topik yang satu ini.
Keenan bukan hanya mengetahui alasan Mira bertingkah ketus dulu, tapi juga dapat tambahan informasi bahwa Mira memperhatikannya juga. Wah! Kalau begitu memang Mira sebenarnya dulu tertarik pada Keenan bukan hanya dirinya.
Keenan sebenarnya masih ingin menggali sebenarnya bagaimana perasaan Mira dulu saat dirinya mengejar wanita itu. Tapi tampaknya Mira tidak ingin membahasnya lagi dan memilih beralih topik pembicaraan.
“Nan, jadikan waktu aku melihat kamu di jembatan tempo hari itu kamu baru saja dipecat dari perusahaan kamu. Nah, kamu depresi, sedih, kalut lalu mabuk dan sampai tidak sadar kalau kamu jalan sampai jembatan. Aku masih penasaran, kok bisa sih?” tanya Mira.
“Panjang kalau diceritain Mir. Ya intinya aku memang sudah kalut dan berantakan berlulan-bulan. Pekerjaan aku tidak sama sekali aku bisa tangani. Aku sering mabuk dengan alasan aku lebih nyaman istirahat kalau aku sedang mabuk. Stres aku hilang dan aku rasa bisa lebih senang dan tenang kalau lari ke bar,” jelas Keenan.
“Hmm, begitu. Tapi ya Nan, menurutku. Seberapa besar-besarnya rasa putus asa kamu, tidak seharusnya kamu begitu. Jadi, sekarang semua berantakan kan,” sahut Mira.
“Ya, semua orang juga bicara seperti kamu. Tapi mau bagaimana, aku merasa semenjak kepergian istriku aku hampa, seperti jiwaku ikut dengannya bersama juga cintaku yang memang lagi sangat dalam untuknya saat itu.”
Mira melihat memang sepertinya Keenan sangat mencintai mendiang istrinya itu. Mira bisa melihat dengan jelas bagaimana foto-foto kebersamaan mereka masih terpajang rapi di atas meja maupun di dinding.
Mira merasakan ada rasa yang aneh timbul di dalam hatinya. Perasaan yang ia tidak dapat ungkapkan kepada siapapun. Seperti ingin, namun ia tidak kuasa untuk mewujudkannya.
Rumah tangga Keenan dulu sepertinya sangat harmonis, Darina pasti wanita yang beruntung bisa mendapatkan suami yang baik seperti Keenan. Ia iri dengan Darina, walau kini ia sudah pergi namun Mira masih melihat masih ada cinta dan kerinduan di mata pria yang ada di sampingnya kini.
…
Keenan menyadari bahwa saat ini Mira sedang melamun. Ia sudah lama tidak menjahili Mira seperti dulu pada saat mereka masih di desa.
“Mir, bisa minta tolong buatkan teh manis lagi di dapur? Atau apapun yang bisa diminum di dapur. Aku harus ke kamar sebentar. Aku haus nih, kebanyakan mengobrol sama kamu,” perintah Keenan seraya ia masuk ke dalam kamarnya.
“Tamu kok disuruh buatkan minum sih, Nan, aneh kamu nih.” gerutu Mira.
“Tolong ya Mir? Sambil periksa juga ada barang yang rusak tidak di dapur, maklum dapurnya sekarang tidak pernah dipakai,” perintah lanjutan dari Keenan.
“Ya ya, baik Boss!”
Keenan tertawa geli di dalam kamarnya. Ia senang dengan kehadiran Mira kembali dihidupnya. Seperti ada secercah cahaya yang datang padanya setelah ia melewati banyak kegelapan dihidupnya.
Keenan senang berlama-lama menghabiskan waktu dengan Mira walau hanya sebatas mengobrol ringan. Ia juga sangat senang melihat senyum wanita itu. Keenan saat ini berpikir sepertinya Tuhan mengirimkan hadiah untuknya setelah Tuhan memberinya banyak sekali ujian dan cobaan yang berat dihidupnya.”
Mira sudah selesai membuat minuman kembali ke ruang tamu dengan membawa dua gelas jus buah ditangannya. Keenan yang saat itu juga keluar dari kamarnya, langsung melihat betapa repotnya Mira membawa dua gelas yang terisi penuh dengan juas itu langsung menghampirinya.
“Sini biar aku saja yang bawa. Terima kasih banyak Mbok, sudah dibuatkan jus. Sepertinya enak,” ledek Keenan.
“Wahh, kamu kalau bicara sembarangan sekali. Enak saja aku kamu sebut si Mbok!” Mira menjawab ledekan Keenan dengan murka. Ia menonjok tangan Keenan yang tidak membawa gelas jus dengan satu kepalan tangannya.
