Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Diterima

Bab 11 Diterima

Jam di dinding telah menunjukan waktu pukul 9 malam, Keenan yang telah meminum obat dan membersihkan diri kini merapikan ranjangnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang akhir-akhir ini jarang ia tiduri, karena ia selalu pulang dengan tidak sadarkan diri dan akhirnya tidur di mana saja.

Pada saat ini Keenan merasakan kenyamanan luar biasa sekujur tubuhnya. Akhirnya ia bisa tidur lagi di ranjangnya sendiri bukan ranjang rumah sakit.

Keenan memejamkan mata. Menenangkan seluruh pikiran yang ada di kepalanya. Ia sempat memikirkan kata-kata yang diucapkan Mira tadi siang.

“Aku memang sudah keterlaluan menyiksa diri, hanya karena kekalutanku.” Pria itu mendudukan tubuhnya. Pria itu berujar. “Walau harus melewati hari-hari yang hampa, mungkin itu memang harus aku jalani. Tidak ada hidup yang mudah.”

Lelah bergelut dengan pikirannya Keenan akhirnya tertidur lelap. Sebelum ia tidur, ia sadar dan bertekad ingin kembali menjadi manusia normal. Banyak sekali yang harus ia rapikan. Bukan hanya kebersihan dan kerapihan rumahnya, namun juga akal sehatnya.

Kondisi akalnya tidak bisa dianggap ringan, ia bahkan sudah hampir ingin meregang nyawa dengan suka rela di tepi jembatan. Hal ini juga yang masih mengganggu wanita yang kini tengah duduk di sofa ruang tengahnya.

Wanita itu duduk diam, seakan ditelan sepinya malam. Matanya masih terbuka sempurna, bahkan tidak sedikit pun ia merasakan kantuk melandanya.

Mira masih mencerna kejadian di hari-hari kemarin, yang membuatnya sedikit terganggu. Sebenarnya saat itu Mira juga merasakan hal yang sama seperti Keenan dulu saat SMA. Namun, hal itu tidak diketahui oleh Keenan. Karena ia menutupi dengan sikap acuhnya kepada Keenan.

Mira memang sedang mengenang masa lalu, namun ia tahu jelas bahwa itu hanyalah kenangan manis yang ia miliki. Masa kini adalah masa yang harus ia jalani bukan masa lalu.

***

Suatu pagi, sebuah nada dari ponsel Keenan berbunyi menandakan hari sudah pagi. Keenan terbangun, ia langsung disambut dengan terangnya cahaya yang masuk dari sela tirai jendelanya.

“Sudah pagi, aku harus pergi ke – ,” ucapnya terpotong.

Keenan masih terbiasa dengan rutinitas paginya, yang kini sudah tidak bisa ia lakukan lagi. Keenan menyibak selimutnya. Berjalan pelan masuk ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.

Keenan harus minum obat tapi di rumah tidak ada sesuatu yang bisa ia makan. Jadi ia harus keluar rumah, dan mencari makanan di depan komplek untuk sarapan.

Keenan sampai di pertigaan kompleksnya, ia melihat gerobak bubur ayam terparkir di sana. Ia menghampirinya, ketika ia hendak memesan datanglah seorang ibu-ibu.

“Pagi, Mas Keenan. Sudah lama tidak melihat Masnya. Bagaimana Mas kabarnya, sehat?” tanya Ibu itu kepadanya.

“Sehat Bu,” jawab Keenan singkat.

“Ibu lihat Masnya kurus dan lesu sekali. Lagi kurang sehat ya Mas?” tanya lanjutan dari Ibu itu.

“Iya Bu, saya baru pulang dari rumah sakit kemarin,” jelasnya.

“Oh iya Ibu lihat, kemarin Masnya diantar sama wanita itu ya. Ibu hanya ingin berpesan nih. Mas Keenan kan sudah menduda sekarang, dan rumahnya juga ditinggali sama Masnya sendirian. Jangan melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah tetangga ya Mas,” pesan Ibu itu.

“Baik, akan saya ingat Bu terima kasih. Saya pamit dulu,” pamit Keenan.

Keenan merasa sepertinya semua hal yang ia lakukan bisa menjadi sorotan tetangganya. Entahlah, mungkin karena ia berstatus duda sekarang. Ia tidak terlalu memikirkan seperti apa kata orang yang terpenting, dia bahagia dan nyaman dengan hidupnya.

Keenan menyantap bubur yang tadi ia beli di depan televisi ruang tamu. Sudah lama Ia tidak melihat berita di televisi. Hanya sebentar menonton tv pria itu sudah merasa bosan dengan acara-acara yang ada, ia memutuskan untuk mematikannya.

Bubur ayam yang tadi memenuhi mangkuk, kini sudah bersih tidak tersisa. Keenan langsung masuk ke kamar mengambil obat dan meminumnya dengan segelas air.

Duduk di tepi ranjang, Keenan melihat sekeliling kamar. “Sepi sekali rumah ini,” ujar Keenan dalam hati. Keenan masih merasa hampa dalam dirinya.

Keenan memang sudah tidak lagi datang ke tempat hiburan malam, namun ia masih dengan setia menghisap rokoknya seperti saat ini yang ia lakukan di kamarnya.

Keenan rasa ia memerlukan bantuan asisten rumah tangga untuk membersihkan rumahnya, namun dengan cepat ia sadar bahwa ia kini pengangguran. Bagaimana ia membayar upah asisten rumah tangga, untuk kebutuhan hidupnya saja ia harus berpikir kali ini.

Tanpa sadar Keenan sudah menghabiskan hampir sebungkus rokoknya hanya untuk ia hisap. Ketika ia berjalan keluar kamar, Ia tidak sengaja melihat kartu nama yang tergeletak di atas nakas. Kartu nama yang ia lihat sekarang, kembali mengingatkannya kepada seseorang.

Beberapa hari ini Mira tidak ada kabar, Keenan pun sungkan untuk menghubunginya dahulu karena ia merasa dirinya sudah sering sekali merepotkan wanita itu. Namun, ada rasa yang kini ia rasakan di dadanya. Rindu.

***

Tok Tok!!

Suara ketukan pintu terdengar oleh Keenan. Keenan membuka pintu, namun ia langsung mematung di tempat. Ia tidak percaya dengan kedatangan seseorang yang baru saja hadir dibenaknya. Mira.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Mira.

“Jauh lebih baik,” jawab Keenan.

“Syukurlah,” Mira langsung duduk di sofa ruang tamu. Namun matanya tidak dapat berhenti melihat sekeliling ruangan yang sepertinya jauh lebih kotor kondisinya dari saat terakhir ia berkunjung.

Keenan melihat dengan seksama aktivitas Mira yang seakan sedang menilai keadaan rumahnya. Ia bahkan belum membawa mangkuk bekas sarapan buburnya. Ia menunduk saat Mira kini tengah menatapnya dengan tatapan sedikit marah.

Mira bertanya. “Kamu tidak pernah mencoba membersihkan rumah, Nan?”

“Belum sempat Mir. Tapi sejujurnya aku tidak tahu harus mulai membersihkannya dari mana,” tuturnya pelan.

“Setidaknya bekas makanmu itu ditaruh di tempatnya Nan. Kalau begini bukannya sehat kamu tambah sakit dengan keadaan rumah yang kotor dan berantakan begini.” tegur Mira.

Mendengar omelan dan ceramah dari Mira kini, membuat Keenan teringat omelan-omelan dan ceramahan kecil sampai panjang dari istrinya dulu. Seakan baru kemarin ia diceramahi semalaman karena tertidur tanpa membersihkan badan dahulu oleh Darina.

Keenan tengah senyum sendiri sambil melamun, hal itu tertangkap basah oleh Mira. “Keenan! Jangan senyum-senyum saja. Cepat bereskan mangkuknya, dan cuci piring-piring kotor di dapur. Ayo kita bagi tugas. Kamu dengar aku kan?!

“Hah, iya siap Mira,” sahut Keenan tersadar dari lamunan.

Selayaknya pasangan yang hidup bersama mereka dengan kompak berbagi tugas membersihkan rumah. Dengan sekejap rumah Keenan sudah rapi dan bersih.

Mira duduk bersandar di sofa, meregangkan otot-ototnya yang lelah. Keenan datang dengan dua gelas minuman di tangannya. Mira berkata. “Terima kasih Nan.”

“Aku yang seharusnya berterima kasih Mir,” sahut Keenan.

“Tidak apa, kita harus saling bantu kan,” jawab Mira seraya tersenyum.

Keenan bertanya. “Mir, aku melamar pekerjaan di kantormu.”

“Oh, begitu baguslah. Semoga kamu diterima ya,” ujar Mira.

“Pengumumannya hari ini. semoga saja diterima, aku merasa tidak produktif jika hanya diam di rumah saja. Kebutuhan hidupku juga masih harus aku penuhi, jadi aku butuh penghasilan,” katanya.

“Ya itu sudah jelas. Maka dari itu, saranku sudahi semua aktivitasmu yang tidak berguna. Mabuk, pergi ke bar malam, itu semua tidak berguna dan hanya membuatmu semakin terpuruk. Aku juga tahu kamu masih merokok, oke baiklah merokok masih wajar. Tapi sebisa mungkin itu juga disudahi karena aku juga tahu dulu kamu bukan perokok seperti sekarang,” jelas Mira.

“Untuk itu akan aku usahakan,” sahut Keenan.

“Jangan hanya diucapkan Nan, tapi harus diniatkan, dilakukan, diusahakan sampai akhirnya berhenti,” sambung Mira.

“Siap Nyonya,” ledek Keenan.

Keduanya tersenyum. Mira melihat sudah banyak perkembangan yang positif dari Keenan. Ia sempat tidak menyangka Keenan yang dulu selalu berperilaku positif, rajin, dan periang, sampai nekat ingin mencoba membunuh dirinya sendiri.

Keenan memang sudah berencana sejak Mira memberikan kartu nama tempo hari, ia akan melamar pekerjaan di kantornya. Selain sebagai jalan kembali ke dunia produktif, ia juga menjadikan kesempatan ini untuk selalu bersama dengan Mira.

Memecah keheningan, Keenan dengan tiba-tiba membuka suara. “Wah, pengumumannya sudah keluar nih Mir. Apa jangan-jangan kamu sudah tahu?" tanya Keenan disela semangatnya membuka pengumuman tersebut.

Mira menjawab. “Aku tidak ikut kalau pengambilan keputusan ini. Penerimaan pegawai baru itu ditentukan sama petinggi kantor.”

“DITERIMA!!!” teriak Keenan seperti anak SMA yang diterima masuk perguruan tinggi favoritnya. Hanya saja Keenan tidak melompat kegirangan.

Mira yang melihat ekspresi bahagia Keenan saat ini, hanya mengulum senyum. Ia juga senang Keenan dapat pekerjaan baru, terlebih pekerjaannya di kantor yang sama dengannya.

Tanpa keduanya sadari kesempatan ini akan menjadi kesempatan yang menghantarkan mereka pada hubungan yang tidak terduga antara keduanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel